Cerpen
Disukai
1
Dilihat
523
DELAPAN LENGAN PAK OKTOPUS
Slice of Life

Delapan Lengan Pak Oktopus

Oleh Desto Prastowo

Lautan yang Tak Pernah Tenang

Ruang kerja itu sempit, seperti akuarium kaca yang terlalu kecil untuk menampung ikan-ikan yang terus bergerak. Dindingnya dipenuhi rak arsip menjulang, penuh map lusuh berdebu, berdiri kaku seperti karang mati. Lampu neon menggantung redup, berkedip sesekali, memantulkan bayangan tubuh-tubuh yang bergerak tanpa suara.

Mesin fotokopi di sudut ruangan berdengung lirih, seperti paus tua yang terengah-engah setiap kali harus menyemburkan kertas. Pendingin ruangan meraung tak merata, membuat udara kantoran terasa dingin sekaligus pengap. Di meja-meja, jemari para pegawai mengetuk keyboard dengan ritme yang monoton—sebuah simfoni sunyi yang hanya bisa didengar oleh mereka yang telah lama terjebak di sana.

Di tengah lautan dokumen dan disposisi, ia berenang. Seorang ASN yang oleh rekan-rekannya dijuluki “Pak Oktopus.” Julukan itu lahir dari kecepatan dan kelenturannya mengurus banyak hal sekaligus: satu lengan mengetik laporan, satu lagi menjawab telepon, yang lain sibuk menghadiri rapat, mengisi absen, membalas email, menyusun koordinasi, menyiapkan evaluasi, dan tentu saja—merapikan revisi mendadak. Delapan lengan administratif yang bergerak nyaris tanpa jeda, seakan tubuhnya memang diciptakan untuk pekerjaan yang tak pernah selesai.

Namun, ada satu lengan yang selalu menyelinap, tak terpantau atasan, tak tercatat dalam daftar tugas. Lengan itu diam-diam menulis puisi.

Kadang di balik notula rapat yang panjang dan membosankan. Kadang di margin memo internal yang ia tahu tak akan pernah benar-benar dibaca siapa pun. Baris-baris itu lahir seperti napas yang ditahan terlalu lama, keluar dengan getir sekaligus lega:

“Aku bukan angka.

Aku suara yang tertahan.

Di bawah tinta stempel,

ada detak yang tak terasa.”

Ia menatap baris itu sebentar, lalu menyelipkannya kembali di antara tumpukan kertas. Ada rasa bersalah, seperti siswa yang ketahuan mencoret-coret buku pelajaran di tengah kelas. Tapi ada pula rasa lega: sebuah pengingat kecil bahwa ia masih manusia.

Sebab, di luar itu semua, kadang ia merasa dirinya sudah tak lebih dari mesin dengan delapan tentakel. Sistem birokrasi adalah laut yang tak pernah tenang. Dan setiap hari, ia harus menyamar sebagai bagian dari arus yang dingin dan tak berwarna.

Cermin Kecil di Laci Tua

Malam itu kantor sudah sepi. Kursi-kursi kosong berdiri kaku, seperti barisan prajurit yang menunggu perintah tak pernah datang. Hanya lampu neon yang masih menyala, meneteskan cahaya dingin di atas tumpukan arsip.

Ia duduk di mejanya, sendirian. Lalu, pelan-pelan, membuka laci paling bawah. Di sana tersimpan sebuah cermin kecil, bingkainya plastik murahan, kacanya retak di salah satu sudut—oleh benturan stapler bertahun-tahun lalu.

Ia mengangkatnya, menatap bayangan diri sendiri. Mata itu merah, diselimuti lingkaran hitam dari lembur dan rapat tanpa ujung. Wajahnya datar, nyaris tanpa ekspresi, seperti topeng yang dikenakan terlalu lama hingga melekat pada kulit.

“Apakah aku masih manusia?” bisiknya.

Atau, pikirnya, mungkin aku hanyalah algoritma birokrasi yang diberi tubuh. Mesin pengisi formulir yang bisa berjalan di atas dua kaki, mengetik dengan delapan lengan imajiner, dan tersenyum seperlunya pada jam apel pagi.

Cermin itu tentu tak menjawab. Tapi ia tahu, ketakutan terbesar bukanlah pada deadline yang menumpuk, atau revisi yang datang mendadak seperti badai. Bukan pula pada atasan yang bisa menghapus satu tanda tangan dengan mudahnya.

Yang ia takutkan sesungguhnya adalah kehilangan dirinya sendiri.

Kehilangan suara kecil yang masih berbisik di balik arsip-arsip. Kehilangan getar hati yang dulu membuatnya percaya bahwa bekerja adalah bagian dari hidup, bukan hidup itu sendiri.

Ia mengembuskan napas panjang. Cermin kecil itu bergetar di tangannya, seolah ikut menahan kesedihan. Dalam retakan kacanya, ia melihat wajahnya pecah menjadi serpihan-serpihan. Dan ia bertanya-tanya, berapa lama lagi dirinya bisa bertahan sebelum benar-benar terbelah?

Menulis untuk Bertahan

Di rumah, ketika seluruh penghuni sudah terlelap, ia duduk di meja kayu yang penuh noda kopi. Hanya lampu belajar kecil yang menyala, menyorot lembar-lembar kertas kosong. Di kantor, ketika semua pegawai sudah pulang, ia tetap tinggal, menyelinap di balik tumpukan map seperti bayangan yang tak ingin terlihat. Dan di kedua tempat itulah ia menemukan ruang rahasia: menulis.

Jari-jarinya menari di atas papan ketik, bukan untuk laporan keuangan, bukan pula untuk notula rapat. Ia menulis untuk dirinya sendiri—sebuah cara agar sisa kemanusiaannya tidak terkubur oleh tumpukan formulir.

“Laut tak pernah bertanya, kenapa ia biru.

Tapi manusia selalu bertanya, kenapa ia tak bebas.”

Baris-baris itu muncul begitu saja, seperti bisikan laut dalam yang menyelinap ke telinganya. Ia membaca ulang, lalu menambahkan tanda titik, seolah menutup sebuah perlawanan kecil terhadap dunia yang selalu menuntut efisiensi.

Malam itu, ia berani melakukan sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya: mengirimkan puisinya ke sebuah media daring. Tanpa nama, tanpa foto, hanya inisial sederhana: O.P.

Kirimannya meluncur seperti pesan dalam botol, dilempar ke samudra digital yang luas dan asing.

Saat tombol “kirim” ditekan, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti seekor gurita yang memutuskan satu lengannya agar bisa melarikan diri dari predator. Ada rasa sakit, ada keraguan, tapi juga ada harapan: mungkin dengan kehilangan sebagian dirinya, ia bisa tetap bernapas.

Resonansi yang Tak Terduga

Minggu berikutnya, ia membuka laman media daring itu tanpa banyak harapan. Ia hanya ingin melihat puisinya sekali lagi, memastikan ia benar-benar telah berani mengirimkannya. Tapi yang muncul justru sesuatu yang tak pernah ia bayangkan: ribuan orang sudah membaca. Ratusan komentar membanjir, berbunyi lirih tapi kompak, seperti paduan suara yang selama ini ditahan dalam dada masing-masing.

“Saya juga Pak Oktopus.”

“Saya menulis di balik notula rapat yang tak pernah dibaca.”

“Saya menyamar di balik jabatan yang bukan milik hati saya.”

Matanya bergerak cepat membaca satu per satu. Jari-jarinya gemetar. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah singgah sebelumnya—semacam campuran antara lega dan gentar, bahagia dan bingung, seakan lautan sunyi yang selama ini ia renangi mendadak dipenuhi suara-suara lain.

Ada ASN dari daerah terpencil yang menulis, “Saya menulis di sela piket kantor kecamatan. Terima kasih sudah menyuarakan apa yang saya rasa.”

Ada pegawai muda yang berkata, “Saya juga punya cermin di laci, Pak. Dan saya juga takut melihatnya.”

Pak Oktopus menatap layar, jantungnya berdegup seperti hendak pecah. Ia ingin tersenyum, tapi ada juga rasa takut yang membekapnya.

“Apakah atasan akan tahu?” pikirnya.

“Apakah aku akan dipanggil, dimintai klarifikasi?”

“Apakah aku akan didemosi hanya karena mencoba menjadi manusia?”

Ia menutup laptopnya dengan cepat, seolah sedang menyembunyikan barang bukti. Namun gema itu tak bisa dihentikan. Resonansi sudah terlanjur lahir, dan ia sadar, puisinya kini bukan lagi miliknya seorang—melainkan milik semua orang yang pernah merasa punya lebih dari dua lengan, tapi hanya satu hati.

Rapat dan Warna Kulit yang Berubah

Rapat mingguan dimulai seperti biasa. Ruangannya penuh aroma kertas baru dan kopi instan yang sudah dingin. Atasan membuka sesi dengan nada ringan, mencoba mencairkan suasana yang biasanya kaku.

“Eh, ada yang baca puisi viral itu? Tentang ASN dan laut?” katanya sambil tersenyum tipis.

Beberapa orang terkekeh. Yang lain hanya mengangguk tanpa minat.

“Lucu juga, ya. Entah siapa penulisnya. Kreatif sekali. Bisa jadi bahan motivasi, tuh.”

Ruangan mendadak senyap, seolah semua orang diam-diam menoleh ke arah yang sama.

Pak Oktopus menunduk. Jantungnya berdetak tak karuan, seperti sirene darurat yang meraung dalam dada. Ia pura-pura sibuk membuka notula lama, padahal matanya tak mampu membaca satu kata pun.

Seorang rekan di sampingnya menyenggol lengan bajunya pelan.

“Itu kamu, ya?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.

Ia hanya menoleh sekilas, ingin menyangkal, tapi wajah rekannya begitu tulus.

“Kalau iya, terima kasih,” lanjutnya. “Aku jadi berani menulis lagi.”

Pak Oktopus terdiam. Sebuah senyum tipis lolos dari bibirnya, samar, seperti ombak kecil yang tak berani pecah di karang. Ia tak mengiyakan, tak pula membantah.

Di dalam dirinya, ia merasa seperti seekor gurita yang mendadak harus mengganti warna kulit. Menyamar demi bertahan hidup. Menyamarkan tinta agar tak terbaca jelas. Menyembunyikan detak jantung di balik seragam cokelat muda yang seragam.

Namun di balik semua itu, ada keinginan yang kian mendesak: ingin sekali menjadi diri sendiri, sepenuhnya. Ingin keluar dari samaran, berenang ke permukaan, dan berkata dengan suara utuh: “Ya, itu aku.”

Tapi belum sekarang. Belum hari ini.

Berenang ke Permukaan

Malam itu, ia kembali duduk di meja kayu yang sederhana. Lampu kecil menyinari lembar kosong, sementara dunia di luar terlelap dalam keheningan. Kali ini ia tak lagi ragu, tak lagi menyembunyikan identitas di balik inisial. Ia menulis dengan nama lengkapnya—seluruh diri yang tak ingin lagi terpecah.

“Delapan lenganku bukan hanya untuk kerja.

Tapi juga untuk merasakan, mencintai, dan menulis.

Aku tak ingin bersembunyi lagi.

Aku ingin berenang ke permukaan, dengan seluruh tubuhku.”

Titik demi titik ia ketik dengan tenang, seolah setiap kata adalah gelembung udara yang membawanya naik ke atas. Ia tahu, di permukaan mungkin ada badai. Ia tahu, konsekuensinya bisa berat: teguran, cibiran, bahkan mungkin kehilangan jabatan.

Tapi bukankah hidup memang begitu? Setiap tindakan punya harga, dan ia siap membayarnya. Sebab harga yang lebih mahal adalah kehilangan dirinya sendiri.

Tangannya berhenti sejenak. Ia menatap layar, membaca ulang kalimat terakhir yang ia tulis. Lalu ia tambahkan satu baris lagi, sebuah pernyataan yang selama ini hanya berani ia bisikkan pada cermin retak di laci tua:

“Karena menjadi manusia adalah keberanian.

Dan aku tak ingin menjadi mesin yang patuh tapi bisu.”

Ia menekan tombol “kirim.”

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bukan lagi gurita yang menyamar di dasar laut birokrasi, melainkan manusia yang berenang ke permukaan—dengan seluruh tubuh, dengan seluruh hati.

Blora, Agustus 2025

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)