Cerpen
Disukai
0
Dilihat
506
Kuburan Di Bawah Gedung Megah
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kuburan di Bawah Gedung Megah

Oleh: Desto Prastowo

Hari itu, langit Dvipantara murung, seperti wajah seorang ibu yang kehilangan anaknya. Mendung menggantung berat, seolah menahan air mata yang tak sempat jatuh, takut tumpah di atas luka yang belum kering. Udara terasa tebal, nyaris beku oleh duka yang menggumpal di setiap sudut kota.

Jalanan dipenuhi ribuan jaket hijau yang melaju pelan, seperti gelombang kesedihan yang tak bisa dibendung. Mereka tak bersorak, tak berteriak. Hanya deru motor dan langkah kaki yang menyatu dalam irama duka. Di tengah barisan itu, sebuah peti kayu sederhana terguncang pelan di atas pundak para sahabat. Di dalamnya, tubuh Arga terbaring diam, lebih sunyi dari malam, lebih dingin dari beton yang dulu ia lewati setiap hari.

Arga bukan orator. Ia bukan pemimpin barisan. Ia hanya rakyat kecil yang menolak pasrah. Ia datang ke demonstrasi dengan helm retak, jaket lusuh, dan harapan sederhana: agar suara rakyat tak lagi dipijak. Tapi harapan itu patah di bawah roda kendaraan taktis yang melaju tanpa nurani. Tubuhnya terhempas, dilindas, lalu ditinggalkan. Perihnya lebih bising dari sirene, lebih tajam dari peluru kata-kata yang tak pernah sampai ke telinga kekuasaan.

Di trotoar, seorang anak kecil memegang poster bergambar Arga. Tangannya gemetar, matanya basah. Ia belum tahu arti kematian, tapi ia tahu satu hal: keadilan tak seharusnya datang dengan darah.

Pemakaman

Di TPU pinggiran kota, langit masih kelabu, enggan memberi cahaya pada hari yang penuh luka. Tanah merah baru digali, aroma basahnya bercampur dengan tangis dan teriakan yang tak bisa dibendung. Ribuan jaket hijau berbaris, bukan dalam formasi militer, melainkan dalam barisan duka yang tak pernah punya protokol, sebab kehilangan tidak mengenal aturan.

Ketika peti Arga diturunkan perlahan ke liang lahat, suara takbir bersahutan. Namun di sela-selanya terdengar isak yang pecah seperti kaca dilempar ke aspal.

Di antara kerumunan, seorang perwira penegak hukum melangkah pelan, membawa karangan bunga putih. Tapi bunga tak lagi bermakna. Yang dilihat massa hanyalah seragam. Seragam yang mereka anggap merampas nyawa, lalu datang membawa simpati yang terasa seperti sandiwara.

“Pergi! Pembunuh!” teriak seorang pemuda, suaranya pecah bersama isak. Ia berdiri gemetar, matanya merah, tangannya menggenggam botol mineral yang kemudian melayang ke udara. Botol itu tak mengenai sasaran, tapi cukup untuk memantik bara. Tangan-tangan lain mulai meremas batu, tubuh-tubuh maju, mata-mata menyala.

Suasana menegang. Udara terasa kehilangan oksigen, seperti akan meledak. Bahkan burung-burung di pohon sekitar TPU terbang menjauh, seolah tahu bahwa kemarahan manusia lebih berbahaya dari badai.

Di tengah ancaman kericuhan, seorang lelaki tua maju perlahan. Pak Raka, guru yang pernah mengajar banyak dari mereka, berdiri di depan. Tubuhnya ringkih, tapi sorot matanya masih tajam. Ia tak membawa senjata, hanya membawa kenangan, tentang anak-anak yang dulu ia ajar membaca, menulis, dan bermimpi.

“Anak-anak,” ucapnya lirih, namun suaranya menembus riuh, “jangan biarkan Arga mati dua kali: sekali di jalan, sekali lagi di tangan amarah kita sendiri.”

Tangannya terangkat, bukan untuk melawan, tapi untuk merangkul. Kata-katanya menahan batu di udara. Seorang pemuda yang tadi hendak melempar kini menunduk; batu jatuh dari genggamannya. Yang lain terdiam. Duka itu tak surut, tapi berubah bentuk. Ia tak lagi meledak, hanya berdiam, sunyi.

Perwira itu tetap berdiri. Ia tak berkata sepatah kata pun. Hanya meletakkan bunga di atas tanah merah, lalu mundur perlahan tanpa pengawalan. Massa tak mengejar. Mereka hanya menatap, dengan mata yang merah dan masih basah serta hati yang belum selesai bertanya.

Pak Raka menatap langit. “Kita boleh marah,” katanya pelan, “tapi jangan kehilangan arah.”

Dan langit pun mulai membuka sedikit cahaya, seolah memberi ruang bagi harapan yang masih ingin tumbuh di atas tanah luka.

Dari Luka Menjadi Nyala

Beberapa hari kemudian, wajah Arga menjelma mural di tembok kota. Senyumnya samar, seperti bayangan harapan yang belum sempat tumbuh. Matanya menatap jauh, menembus beton dan birokrasi, seolah masih mencari keadilan yang tak kunjung datang. Di bawahnya tertulis: Hidup Bukan untuk Dibeli, kalimat yang lebih tajam dari peluru, lebih jujur daripada pidato.

Demonstrasi mekar seperti luka yang tak bisa disembunyikan. Dari Ibukota ke Metropolitan, dari desa terpencil hingga lorong-lorong kota. Poster Arga hadir di setiap barisan, seakan ia berjalan kembali di antara mereka. Ia bukan lagi sekadar nama, melainkan gema. Gema dari suara-suara yang selama ini dibungkam, dari perut-perut lapar yang tak bisa lagi menunggu.

Di layar televisi, pejabat berbicara. Kata “maaf” diulang-ulang, seperti mantra yang kehilangan makna. Janji diucapkan dengan bibir terlatih, tapi rakyat tahu: janji adalah mata uang yang jarang berlaku. Mereka sudah terlalu sering membeli harapan dengan nyawa.

Seorang ibu berdiri di depan kamera, mengenakan kerudung kusam dan mata yang tak lagi bisa menangis. Suaranya serak, seperti batu yang dipaksa bicara.

“Kalau janji bisa dimakan, anakku sudah kenyang sejak lama.”

Kata-kata itu menggema lebih lama daripada pidato mana pun. Ia menembus ruang siaran, masuk ke dapur-dapur rakyat, ke hati-hati yang sudah lama retak. Ia bukan sekadar keluhan, melainkan elegi.

Pertemuan di Warung Kopi

Sore itu, sebuah warung kopi pinggir jalan menjadi tempat yang tak terduga. Meja kayu tua, gelas berembun, dan suara motor yang sesekali melintas menjadi latar percakapan yang tak pernah masuk protokol negara.

Di sana, Pak Raka duduk bersama mahasiswa, pengemudi ojol, legislator, pejabat tinggi dan seorang perempuan berseragam polisi, pimpinan baru yang naik bukan karena nama keluarga, melainkan karena luka yang pernah ia tanggung sebagai anak tukang becak.

“Kami sudah terlalu sering mendengar dari podium,” kata Pak Raka perlahan. “Hari ini, bicaralah di meja yang sama dengan rakyat. Jangan lagi dari atas. Karena luka kami tak bisa disembuhkan dari balkon kekuasaan.”

Seorang mahasiswa menunduk, suaranya nyaris pecah. Ia kehilangan sahabat, kehilangan rasa aman, kehilangan kepercayaan.

“Kami kehilangan saudara. Apa arti kekuasaan, kalau setiap kali rakyat bersuara, kami harus menukar hidup dengan kematian?”

Perempuan berseragam itu menatap lurus. Matanya tak berkedip, tapi batinnya bergemuruh. Ia tahu seragamnya tak cukup untuk menahan gelombang. Tapi ia juga tahu: kejujuran adalah satu-satunya pelampung yang tersisa.

“Jika aparat saya salah, kami tak boleh bersembunyi. Sidang untuk petugas yang menabrak Arga akan terbuka. Biar rakyat menjadi saksi. Biar keadilan tak lagi bersembunyi di balik pagar institusi.”

Kata-katanya tak menghapus luka. Namun untuk sesaat, luka itu menemukan pintu. Pintu kecil yang belum tentu terbuka lebar, tapi cukup bagi angin harapan untuk menyusup perlahan.

Pak Raka menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Kita tak bisa menghidupkan Arga kembali,” katanya pelan, “tapi kita bisa memastikan tak ada Arga lain yang harus mati untuk didengar.”

Dan di warung kopi itu, di antara gelas-gelas yang mulai kosong, rakyat dan negara duduk sejajar. Bukan untuk berdebat, melainkan untuk belajar kembali menjadi manusia.

Langit yang Belajar Menangis

Kesepakatan lahir: sidang terbuka, tunjangan legislatif dihapus, rekrutmen polisi diperbarui, kepemimpinan direformasi. Kabar itu menyebar, dan barisan massa perlahan mundur.

Mural Arga berubah. Dari wajah muram menjadi senyum tipis, dengan tulisan: Suara Tak Lagi Dipijak.

Di rumah, anak kecil Arga duduk di pangkuan ibunya. Ia belum sepenuhnya mengerti arti kehilangan, tapi ia tahu ayahnya pergi untuk sesuatu yang lebih besar daripada dirinya. Ia bertanya polos, “Bu, kenapa Ayah harus tidur di tanah?”

Ibunya menggenggam erat, menahan air mata.

“Karena ada langit yang harus belajar menangis dulu, Nak, sebelum akhirnya bisa cerah.”

Dan hari itu, langit Ibukota benar-benar cerah.

Namun orang-orang yang menatapnya tahu: cerah itu lahir dari mendung yang menelan satu nyawa. Sebuah ironi yang terlalu sering berulang di negeri ini.





Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)