Masukan nama pengguna
Juni 1998
Tuuut...
Tuuut...
Tuuut...
Nada sambung terdengar sebelum suara seorang lelaki menyapa dari seberang saluran telepon.
"Halo selamat siang, bisa dibantu?" Sapa operator.
"Pak, ini saya mau melaporkan keluhan mengenai TV kabel saya, gambarnya masih belum jernih dan belum mendapatkan siaran yang menayangkan piala dunia!" Tegas pria yang menelepon.
"Maaf sebelumnya, ini dengan Bapak siapa saya berbicara?" Jawab operator.
"Ayah paham dengan perasaan kamu, kak. Tapi dia juga Ibumu," terdengar kecil suara laki-laki lain di dalam telepon itu.
Seketika suasana hening.
"Halo?" Sapa operator kembali memecah keheningan.
"Ia halo," balas pria yang menelpon.
"Kakak tahu, apalagi setelah kerusuhan bulan lalu. Tentu keluarga Ibu tidak menginginkan ada seorang pribumi di dalam keluarganya," Lagi-lagi terdengar suara dari saluran telpon itu, kali ini suara seorang perempuan yang terisak dan gemetar.
"Saya Aray, Pak. Saya minggu lalu masang TV kabel. Katanya tunggu tiga hari untuk siaran lebih jernih, tapi ini sudah seminggu siarannya sama saja seperti masih pakai parabola, mana siaran khusus penayangan piala dunia gak dapat."
"Baik Pak Aray, bisa dibantu sebutkan nomor pelanggan Bapak?" tanya operator tersebut.
"Bisa! Sebentar saya cek dulu nomornya," jawab pria itu.
"Kakak sudah datangin rumah Omah, tapi tidak ada satupun sautan. Kakak rasa Ibu ada di dalam, Yah. Tapi kenapa Ibu tidak mau ketemu Kakak," terdengar kembali suara perempuan tersebut.
"Ayah tahu, kita tidak bisa melakukan banyak hal. Apalagi dengan kondisi Ayah yang tidak bisa berjalan ini. Mungkin Ibumu cuma membutuhkan waktu untuk sendiri," balas laki-laki dari saluran telpon itu. Suara mereka samar namun terdengar jelas.
"Halo pak, nomor pelanggannya 127-33..." Balas pria yang menelpon. Kemudian suaranya terhenti mendengar kembali suara perempuan di teleponnya.
"Tapi Ibu tega sekali, Yah. Aku ini anaknya, kakak jauh-jauh dari kampung untuk jemput Ibu. Jangankan mau diajak pulang, membuka pintu untuk kakak saja tidak mau," terdengar suara perempuan itu sedikit tegas.
"Sudah kak. Ingat lagi kebaikan-kebaikan Ibumu," balas laki-laki itu.
"127-334-128-092-12," lanjut pria yang menelpon.
Saluran telepon itu kembali hening, dari seberang telepon terdengar suara keyboard.
"Baik Pak Aray, nomor pelanggan ada di 127-334-128-092-12. Atasnya Bapak Aray Lanangku Dermawan, apa benar Pak?" Balas operator memastikan.
"Benar!" balas pria itu.
"Kak, gini saja. Sekarang Kakak kembali ke tempat Mak Uwo, kakak istirahat dulu. Ayah akan terus berusaha hubungin rumah Ibu dan kerabatnya dari sini," ucap laki-laki yang suaranya pelan terdengar menenangkan lawan bicaranya.
"Baik Pak Aray, setelah kami melakukan pengecekan. Ditunggu hingga siang ini, Pak. Tim teknisi kami akan segera ke rumah Bapak sesuai alamat tertera ketika pendaftaran ya, pak?" Balas operator.
"Oke! baik."
"Apakah ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Tidak, terimakasih!"
"Baik Pak Aray, terimakasih telah menghubungi kami. Selamat pagi," tutup operator.
Seketika suasana menjadi hening saat operator menutup teleponnya, namun masih terdengar suara lalu-lalang kendaraan dari ujung telepon. Selang beberapa detik suara napas dan helaan perempuan terdengar di sana. Suaranya semakin jelas seiring operator menutup telepon itu.
"Halo?" Aray menyapa setelah setengah menit berlalu.
"Halo? Apa ada yang mendengar saya?" Ucapnya sekali lagi.
"Ia," balas perempuan itu perlahan. Suaranya kini terdengar begitu jelas.
"Sebelumnya mohon maaf, sepertinya telepon kita jaringannya terhimpit. Percakapan Anda barusan masuk ke saluran telepon saya," jelas Aray.
Suasana hening kembali. Kemudian perempuan itu terdengar menghela napas kembali.
"Ia. Maafkan saya, Mas."
"Oh tidak, ini kesalahan jaringannya. Anda tidak salah."
"Apakah Mas tadi dengar obrolan saya?"
"Oh ia, maafkan saya. Saya tidak bermaksud ingin mendengarkan itu," potong Aray.
"Tidak masalah. Ini hanya kesalahan jaringannya. Anda tidak salah," balas perempuan itu meniru ucapan Aray.
Suasana kembali hening. Tak lama kemudian perempuan itu tertawa kecil dengan suara beratnya yang terdengar jelas habis nangis. Lalu Aray pun tertawa kecil mendengar perempuan itu tertawa.
"Apa saya boleh tahu nama kamu?" Aray bertanya dengan pelan penuh hati-hati.
"Nur Padusiku Wahid. Kalau kamu?"
"Aku Aray. Aray Lanangku Dermawan."
Satu setengah bulan kemudian...
"Hahaha," Suara tawa Aray dan Nur terdengar dari saluran telepon. Mereka sudah 12 menit bersama di sana.
"Jadi, Mas Aray belum menikah karena mau tunggu Piala Dunia selesai dulu?" Tanya Nur memastikan kembali atas apa yang baru ia dengar.
"Ya... begitulah. Ahahaha. Kalau kamu?" Tanya Aray kembali.
"Hemmm..." Nur terdiam sejenak.
"Sebetulnya aku sudah dijodohkan Ayah, Mas. Eh, bukan dijodohkan. Tapi lebih dikenalkan gitu sama seseorang. Sudah empat kali bertemu. Tapi aku seperti belum yakin," jawab Nur.
"Kamu kenapa mau dikenalkan gitu?"
"Aku kurang bergaul, Mas. Di kampung aku harus nurut dan jagain Ayah, sudah tiga tahun ini beliau di kursi roda. Beliau tertimpa musibah di tempat kerja. Belum lagi semenjak Ibu pergi dari rumah akhir tahun lalu, aku jadi harus jagain adik-adik juga. Dan perjodohan itu, tidak ada paksaan dari Ayah."
"Wah, sekarang kamu jadi paling cantik dong di rumah?" Hibur Aray.
"Hahaha!"
Suara tawa mereka kembali terdengar dari saluran telpon itu. Aray selalu mengalihkan pembicaraan ketika obrolan mulai serius.
Pasca bertemu tak sengaja karena jaringan telepon mereka yang saling berhimpitan, setelah itu Aray menawarkan nomor telpon rumahnya untuk bisa ditelepon oleh Nur kapan saja.
Dibeberapa minggu awal terasa canggung, Nur yang tidak terbiasa berbagi cerita masalah pribadinya, entah kenapa kali ini ia merasa Aray adalah orang yang aman untuk menyimpan semua kegundahannya. Mungkin, karena pola pikir Aray jauh lebih dewasa, dan secara fisik mereka tak pernah bertemu sebelumnya.
Sempat putus komunikasi, setelah beberapa minggu kenalan, Nur yang mengetahui dirinya lebih tua dari Aray membuat ia tidak percaya diri. Namun Aray bisa meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, "Panggil saja aku Mas, biar kamu nyaman," pinta Aray.
Aray di Bandung, Nur di Jakarta. Satu bulan setengah sudah mereka berkomunikasi via telepon. Hanya telepon.
"Nur?" Panggil Aray setelah tawa mereka usai membuat suasana kembali hening.
"Ia, Mas?" Balas Nur.
"Pekan depan kamu jadi balik ke Bukittinggi?" Tanya Aray.
Suasana kembali hening. Mereka seperti sedang mempersiapkan kalimat-kalimat yang tepat untuk dikeluarkan.
"Aku takut ini salah, sebetulnya banyak sekali kemungkinan-kemungkinan diproduksi di dalam kepal ini, asumsiku terus menggila. Namun realitanya, bohong sekali kalau aku tidak ingin bertemu kamu," buka Aray.
"Aku paham, Mas."
"Kalau kamu mau, aku bisa ke Jakarta lusa."
"Layaknya kamu. Kepalaku juga memproduksi kemungkinan-kemungkinan. Lebih tepatnya, lebih banyak rasa takut membuat penasaran itu dicukupkan sampai di tahap ini."
Aray terdiam, keadaan ikut diam. Suara kendaraan bermotor menjadi melodi paling romantis pemecah suasana di belakang telepon mereka.
"Aku takut! Aku takut kita tidak bisa menerima satu sama lain. Aku takut, aku berbeda setelahnya. Untuk saat ini, aku merasa cukup, Mas," ucap Nur.
"Aku tidak mengutarakan itu bukan berarti aku berani, hal itu pun ada di dalam kepalaku bersama kemungkinan-kemungkinan tadi. Lebih tepatnya, aku takut kamu tidak menyukaiku dengan keadaanku seperti ini." Balas Aray.
"Aku senang sama Mas Aray."
"Aku juga!" Balas Aray.
Hening menjadi hal paling sering didengar dalam telepon mereka belakangan. Nur harus kembali ke kampung halaman dengan tangan kosong tanpa membawa Ibunya. Sementara Aray yang mulai membuka hati, harus menerima kenyataan bahwa semua seperti tidak nyata.
"Bila nanti di kampung, lalu entah kapan kamu ke kota, sempatkan untuk menelepon aku," ucap Aray.
"Semoga hidup kita terus begini-begini saja ya, Mas." Jawab Nur.
"Terimakasih sudah menjadi teman aku, Nur."
"Terimakasih sudah menjadi teman sekaligus Uda aku, Mas." Balas Nur.
"Assalamualaikum."
***
Beberapa bulan berlalu, semua berjalan sesuai rencana. Tiap ke kota untuk belanja kebutuhan bulanan, Nur menyempatkan diri untuk mampir ke wartel sekedar menghubungi dan menayangkan kabar Aray. Hingga suatu hari nada sambung Aray tak lagi sama, dan itu berlangsung hingga berminggu-minggu yang kemudian membuat Nur harus bolak-balik kampung kota demi mencapai telepon umum.
Tiga bulan sudah Aray hilang, ini kali kedua bagi Nur merasakan kehilangan yang sangat dalam, pertama kehilangan Ibunya tanpa kabar. Kedua kehilangan seseorang yang tak pernah ia temui.
______
Untuk temanku, BD.