Masukan nama pengguna
Legenda urban ini berputar di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kawasan Jawa Barat. Kisahnya ramai dibicarakan di lingkungan kampus dan masyarakat sekitar selama puluhan tahun belakangan.
Konon, ada seorang perempuan yang tak dikenal berkebaya lesu, lengkap dengan sanggul di kepalanya. Perempuan itu muncul dalam acara wisuda di salah satu fakultas kampus tersebut. Banyak kabar yang beredar bahwa sosok perempuan tersebut adalah roh mahasiswi yang tidak terima dirinya meninggal saat hendak menghadiri acara wisuda. Perempuan itu meninggal dalam sebuah insiden kecelakaan sebelum tiba di lokasi wisuda. Orang-orang meyakini jika arwah perempuan itu kerap gentayangan saat acara wisuda berlangsung.
Menurut penuturan beberapa saksi, sosok perempuan tersebut sering muncul sekilas di balkon belakang--tempat acara wisuda. Dan saksi lain mengatakan sosok itu pun muncul di dalam foto wisuda di tahun-tahun berbeda - Tahun 19**.
***
Tiga hari sebelumnya.
Siang itu Tama berjalan menyisiri gang sempit mencari alamat sesuai tulisan pada secarik kertas yang ia pegang. Pemuda itu sedikit tersesat karena banyaknya gang yang serupa, serta rumah-rumah dengan tipe yang sama.
Tin! Tiiinnn!
Suara klakson yang panjang membuyarkan fokus Tama. Tubuhnya hampir saja terserempet motor tersebut.
"Maaf, Pak!" kaget Tama.
"Maaf! Maaf! Makanya jalan pakai mata," bentak pengendara motor tersebut.
Tama menghela napas panjang, ia memperhatikan terus pengendara tersebut membawa motor melaju kencang, hingga bayangannya hilang dimakan belokan ujung gang. Pandangan Tama bias tertuju pada warung di seberang gang tersebut.
"Permisi! Maaf, Bu. Saya mau bertanya. Apakah ibu tahu alamat ini?" Tama menyodorkan secarik kertas berisi alamat kepada penjaga warung.
"Oh, alamat ini? Tadi kamu dari gang itu, kan?" tunjuk penjaga warung ke arah gang yang tadi dilalui Tama. Wanita itu melepaskan sebatang rokok yang ia isap.
"Nah, kamu balik lagi ke gang itu, jalan terus sampai mentok lalu belok kiri. Tepat di sebelah kiri rumah ketiga yang bertingkat, itu rumah Bu Dian," ucap perempuan itu, mulutnya mengeluarkan asap rokok. Perempuan itu menjelaskan dengan cepat. Sebagian badannya penuh keringat. Terik siang itu mengundang peluh, hingga membayang pada area ketek bajunya. Seakan ia habis keliling Senayan beberapa kali tanpa henti.
"Baik, Bu. Terimakasih. Permisi," ucap Tama lalu meninggalkan warung tersebut. Pemuda itu kembali menyisiri gang sempit yang membuatnya hampir saja mencium pagar tembok setinggi empat meter akibat ulah Bapak pengendara motor ugal-ugalan.
"Assalamualaikum!" Tama mengetuk pintu sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia berusaha mencari seseorang di lingkungan rumah dua lantai tersebut untuk kembali bertanya.
Pintu itu terbuka kecil. "Waalaikumsalam! Maaf, siapa ya?" tanya seseorang yang muncul dari balik pintu.
"Saya Tama. Saya sedang mencari kos-kosan Bu Dian. Dua hari lalu saya minta tolong Pak Joko untuk mencari kosan, lalu Pak Joko--"
"Nak Pratama?" potong Bu Dian seolah telah mengetahui kelanjutan kalimat yang akan diucapkan Tama. Lalu perempuan paruh baya tersebut membuka lebar pintunya. "Silakan masuk, Nak."
"Ia, Bu. Saya sedang cari kos-kosan. Sebelumnya saya ngontrak rumah bersama enam orang teman kampus. Saya ingin ganti suasana biar lebih tenang. Makanya saya cari yang agak jauh dan bisa ditinggali sendiri. Saya minum ya, Bu?" ucap Tama sambil mengambil segelas air putih yang disajikan Bu Dian di atas meja tamu.
Sambil mendengar Bu Dian menjelaskan peraturan kos-kosanya, mata Tama melirik ke belakang Bu Dian. Di ruang tamu itu rapi terpajang hiasan keramik juga foto-foto keluarga tertempel di dindingnya.
"Nak Tama mau lihat kosnya?" tutup Bu Dian.
***
Berjarak dua blok dari rumah Bu Dian, Tama menenteng satu koper, satu tas jinjing dan satu tas gunung di pundaknya. Bu Dian dan Tama berjalan menuju kosan sambil membahas silsilah keluarga mereka. Hal yang sangat biasa untuk sekedar basa-basi dan ramah-tamah dengan orang baru.
Bu Dian membuka salah satu dari delapan pintu kosan miliknya yang berjejer, tiap ruangan hanya berbataskan satu dinding batu, dan kos-kosan tersebut seperti telah terisi penuh oleh penyewa.
"Oh ia Bu, untuk kebersihan dan keamanan sudah termaksud dalam biaya bulanan kosan, kan?" tanya Tama.
"Betul, Nak Tama," ucap Bu Dian sambil melepaskan kunci kamar Tama dari segepok kunci yang ia bawa sedari tadi.
"Nak Tama, kiblat ke arah sana, ya?" tunjuk Bu Dian sembari memberi kunci.
"Kalau mau isi ulang galon, di warung pojokan gang, pas di simpang tusuk sate itu. Lalu di sebelahnya ada warung kopi, di sana lengkap kalau mau beli lauk juga ada," jelas Bu Dian.
"Terimakasih, Bu. Oh ia tunggu dulu, Bu!" Tama menarik, membuka dan membongkar isi kopernya. Ia mencari uang yang biasa ia simpan sebagai tabungan di saku baju pakaian bersih.
"Nak Tama suka baca ya, bukunya banyak," kata Bu Dian. Wanita itu masih berdiri sambil melihat Tama membongkar isi tasnya. Di dalam tas dan koper terlihat banyak buku.
"Ia, Bu! Buku pinjaman dari perpus. Soalnya saya sambil ngerjain skripsi," ucap Tama sambil sibuk dengan isi dalam tas.
"Oalaaah!" seru Bu Dian seperti menambah energi untuk larut dalam percakapan berikutnya. Perempuan itu lalu duduk di kursi plastik, kursi satu-satunya dalam ruangan itu sebagai fasilitas kosan selain kasur yang tergeletak di lantai.
"Nak Tama pindah kosan biar bisa fokus ngerjain skripsi?" tanya Bu Dian lagi. Pertanyaan Bu Dian membuat Tama mengangguk namun tetap fokus membongkar isi tasnya.
"Anak saya yang bungsu besok wisuda, dia sama seperti Nak Tama. Waktu ngurus skripsi gak mau diganggu," ungkapnya. Garis wajah Bu Dian memaparkan penuh semangat.
"Dia anak perempuan saya satu-satunya, malah dia yang berhasil sampai sarjana. Abangnya yang pertama cuma sampai SMA, dan Abangnya yang kedua kuliah gak tamat, kena DO," kata Bu Dian seraya tertawa kecil.
"Sekarang abang-abangnya merantau, tinggal Ibu dan anak perempuan Ibu itu di rumah," jelas Bu Dian.
Bu Dian melanjutkan obrolannya. "Alhamdulillah, Ibu senang akhirnya akan datang ke wisuda anak Ibu, besok. Kamu semoga lancar ngurus skripsinya, Nak Tama," kata wanita itu berharap. Wajah Bu Dian yang penuh kelembutan seorang Ibu, berhasil ditangkap Tama.
"Aamiin! Terimakasih, Bu Dian," jawab Tama.
"Ya sudah, ibu balik dulu. Yang nyaman di sini, Nak Tama. Kalau ada apa-apa jangan sungkan ke tempat Ibu," kata Bu Dian seraya berjalan ke pintu kosan dan segera meninggalkan Tama.
"Bu Dian, maaf ini uang sisa pembayaran kos belum ketemu. Kalau tidak keberatan besok pulang dari kampus, saya antar ke rumah Ibu, ya?" ijin Tama.
"Oalaaah, ia gak apa-apa Nak Tama. Besok langsung antar ke tempat Ibu, ya? Nanti sekaligus kita laporan ke RT kalau kamu kos di lingkungan ini. Ya sudah, Ibu pamit dulu," ujar Bu Dian. Perempuan paruh baya itu pun pergi meninggalkan kos-kosan yang disewa Tama. Bayangan Bu Dian hilang di ujung gang. Tama merasa penuh tenaga ketika mengingat obrolan terakhir semacam semangat tambahan baginya.
***
"Kiri, Bang!" suara Tama renyah mengalahkan suara kendaraan lalu-lalang yang masuk ke dalam angkot. Dari kursi paling belakang, Tama jalan merunduk agar bisa keluar dari angkot biru yang tak terlalu penuh itu. Setelah berhasil keluar, Tama menyerahkan ongkos kepada kernet angkot dengan nomor 105 tersebut.
Tak terlalu terik, sore itu Tama kembali menyisiri gang sempit yang baru ia lalui selama tiga hari belakangan. Sambil memegang beberapa buku di tangan kanannya, Tama menarik tas punggungnya ke depan untuk memastikan tidak ada satupun benda di dalam tasnya yang berpindah tangan saat di angkot tadi. Tas itu dipenuhi file-file, juga jaket dan kemeja. Ia baru saja pulang bimbingan skripsi.
"Aman," bisik Tama.
Dari kejauhan, terdengar samar suara toa masjid mengabarkan berita duka. Tama tidak menggubris kabar itu, lagi pula ia baru di lingkungan itu. Ia merasa tidak mengenal orang yang telah berpulang tersebut. Ia terus melanjutkan langkahnya melewati gang-gang sempit bak labirin itu.
"Gang terakhir mentok belok kanan," ucap Tama pada diri sendiri. Ia menghafal jalur pintas yang baru ia lalui. Ketika belok ke kanan, ia melihat beberapa orang melintasinya hendak menuju sebuah tempat. Semakin Tama jalan ke depan, semakin banyak orang melewatinya. Tama penasaran, lalu ia menoleh ke belakang, melihat dari kejauhan tujuan orang-orang yang melewati dirinya itu. Tama mengingat tadi ada pengumuman berita duka dari masjid. Tama berbalik dengan langkah perlahan melewati jalur pintas tadi, kemudian mengikuti kerumunan.
"Innalilahi wa innalilahi rojiun!" ucap Tama. Ia kaget melihat bendera kuning di pagar. Semua orang terlihat menuju ke rumah Bu Dian. Tama memutari rumah itu, di depan rumah pun terpasang bendera kuning.
Tak langsung mampir ke rumah Bu Dian, Tama memilih balik kanan untuk meletakkan buku dan tasnya di kosan. Tama menyempatkan diri untuk mandi ayam karena dirasa badannya lengket setelah beraktivitas seharian diluar.
Tama mengunci pintu kosnya, memakai pakaian kemeja hitam dan celana jeans. Kemudian ia berjalan menuju rumah Bu Dian.
Di rumah Bu Dian, banyak orang yang menyampaikan belasungkawa. Tetangga datang silih berganti. Ada yang hanya ingin mengucapkan turut duka cita, ada juga yang terlihat memasang tenda serta mengangkat kursi ke halaman rumah Bu Dian. Banyak orang asing berpakaian rapi yang didominasi warna hitam. Mahasiswa berkemeja serta mahasiswi berkebaya terlihat diantara kerumunan--memenuhi halaman rumah Bu Dian.
Tama berjalan ke rumah Bu Dian. Pemuda itu memperlambat langkahnya. Pikirannya dipenuhi kebingungan. Bagaimana ia harus menempatkan diri. Atau ia harus mengobrol sama siapa untuk sekedar menanyakan apa yang bisa dibantu? Tama juga kebingungan harus berbaur pada kelompok yang mana.
Dari pintu rumah Bu Dian, terlihat seorang perempuan berkebaya merah yang tak begitu terang warnanya, lengkap dengan sanggul di kepala keluar dari rumah Bu Dian melewati kerumunan. Raut wajahnya sedih, Tama berjalan mendekati perempuan yang berjalan menjauhi rumah Bu Dian. "Maaf, Mbak! Siapa yang meninggal?" spontan Tama bertanya untuk membuka obrolan saat keduanya berpapasan.
Perempuan itu hanya melihat Tama dengan matanya yang sayu dan dingin. Lalu perempuan itu pergi meninggalkan Tama dengan wajah sedihnya.
Tama melihat kepergian perempuan itu, kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada rumah duka. Di depan rumah Bu Dian, Tama menanggalkan sandalnya di teras dan masuk ke rumah Bu Dian.
Wajah Tama kaget, di sana tubuh Bu Dian terduduk lemah sambil memeluk sebuah pigura dengan sisi foto mengadap ke dadanya. Suara isak tangis Bu Dian keluar dari mulutnya yang gemetar. "Ya Allah, Nak! Jangan pergi tinggalkan Ibu. Ya Allah," ucap Bu Dian disertai tangis. Orang-orang di sekitar Bu Dian berusaha menenangkannya.
Tama melihat sekeliling ruang tamu yang penuh dengan pelayat. Tepat di tengah ruangan, putri satu-satunya Bu Dian terbujur kaku. Baru kemarin ia dan Bu Dian membicarakan gadis itu. Bu Dian bahkan merasa bangga dengan putrinya tersebut.
Seluruh badan gadis itu ditutupi kain putih berlapis jarik, hidungnya disumpal kapas, wajahnya tertutup kain putih transparan namun tak terlihat begitu jelas membayang. Beberapa buku yasin sengaja diletakkan di samping jenazah gadis itu. Para pelayat yang mengelilingi jenazah gadis itu, diantaranya perempuan berkebaya seperti habis menghadiri acara wisuda. Tangis kecil dan suara bisik melafalkan yasin terdengar mengisi ruang tamu Bu Dian sore itu.
Tama mendekati Bu Dian yang mulai berhenti terisak. Ia duduk perlahan di depan Bu Dian yang sedang memejamkan mata. Posisinya masih memeluk pigura. Bu Dian juga bersandar ke dinding seolah telah kehilangan banyak tenaga. Di sebelah kirinya duduk Bu RT yang memegang tangan Bu Dian sambil memijit-mijit kecil. Di sebelah kanan, seorang kerabat mengelus-elus pundak Bu Dian dan menenangkannya.
"Assalamualaikum, Bu. Saya turut--"
Bu Dian membuka matanya lalu melihat ke arah Tama, ekspresinya berganti seperti berusaha mengingat siapa sosok di depannya itu. "Nak Tama? ya Allah, Nak!" ucapnya. Tangis Bu Dian pecah kembali.
"Pagi ini harusnya dia wisuda. Harusnya hari ini dia sudah mendapat gelar sarjana. Dia ingin sekali membahagiakan Ibu. Ibu lihat usaha dia tapi Allah berkata lain. Dia kecelakaan sebelum sampai ke lokasi wisuda. Ibu yang salah karena membiarkan dia pergi duluan. Ibu salah tidak berangkat bersama dengan dia tadi," ucap Bu Dian. Wajahnya memerah karena menahan tangis. Meski ia berusaha untuk tegar, namun tetap saja tangisnya kembali pecah.
Bu RT meraih tissue lalu memberikannya pada Bu Dian. "Sudah, Bu. Ngucap Bu Dian!" kata Bu RT seraya menenangkan.
Bu Dian menarik napas, suaranya habis oleh tangisan. "Dia cantik sekali pagi ini, Ibu yang dandani," katanya sambil membalikkan pigura berisi foto putri bungsunya kepada Tama.
Tama melihat foto dalam pigura yang sedari tadi dipeluk Bu Dian. Tangannya perlahan memegang pergelangan kaki perempuan yang usianya seperti usia Ibunya itu, lalu mengelus-elusnya. Mata Tama terhenti di foto itu, seketika keningnya mengernyit, air wajahnya berubah seketika.
"Astaghfirullah!!!" bisik Tama.
Tama terkejut, ia reflek membalikkan badan ke arah pintu. Matanya melihat jauh ke arah ujung gang di depan rumah Bu Dian--di antara sela-sela kaki kerumunan orang yang berdiri lalu lalang memenuhi halaman rumah Bu Dian.
Perempuan itu masih berjalan menjauh, perempuan yang keluar dari rumah Bu Dian tadi, perempuan yang ditanyai Tama perihal siapa yang meninggal, perempuan yang sama persis dengan foto di dalam pigura yang dipeluk Bu Dian.
Tama kembali membalikkan badannya, melihat sekali lagi pigura yang berisi foto perempuan itu.
"Dia anak perempuan saya satu-satunya, malah dia yang berhasil sampai sarjana"
Tama ingat ucapan Bu Dian saat mengobrol kemarin.
Tama berdiri tanpa pamit, langkahnya berat. Belum sampai di luar, Tama kembali melihat jauh perempuan berkebaya itu di ujung gang, perempuan itu menoleh dengan ekspresi datar. Tama pucat, badannya kehilangan keseimbangan. Seketika pemandangannya gelap.
GUBRAAAK!!!
Badan Tama terhempas ke lantai.
***
Penampakan perempuan berkebaya merah lengkap dengan sanggul di kepalanya kemudian sering muncul dalam acara wisuda kampus itu, baik terlihat sengaja atau pun tidak sengaja. Masyarakat sekitar mengatakan beberapa kali melihat perempuan itu berjalan menuju kampus ketika sebelum acara wisuda dimulai (Karena permintaan, seluruh nama tokoh, lokasi, dan waktu disamarkan).