Cerpen
Disukai
72
Dilihat
18,634
Pekanbaru Sebelum 33°C
Drama

"Missael, Aku boleh minta tolong sekalian pakaian aku, ya. Aku dah telat kali ni, nanti pas selesai mata kuliah pertama ku belikan air akar deh," pinta Ahmad buru-buru menyelesaikan ikatan tali sepatunya, sambil menyonggengkan senyum pahit pada Missael.

"Hati-hati ko, jan terlalu terburu-buru nanti salah ikat tali ko jatuh lagi," ledek Missael saat tahu teman sekosnya itu telat bangun untuk berangkat kuliah.

"Ya udah, aku pergi dulu!" Ahmad berdiri dari duduknya lalu bergegas meninggalkan Missael.

"Yo sudah!"

Missael kembali membalikkan badannya ke meja belajar, beberapa buku tersusun rapi di raknya dan sebagian lagi tergeletak begitu saja, matanya tertuju pada Salib di samping beberapa foto tanpa pigura tergantung di sana yang berisi gambar Bapak, Ibu, ia dan kedua adiknya yang sedang merayakan Natal tiga tahun lalu.

"Tuhan, seperti biasa. Kalau su sepi begini, sa baru ingat ko, ampuni sa e. Sa rindu Bapak, sa rindu rumah, Ade-ade, dan tentu saja... Sa rindu Mace satu itu," ucapnya dalam hati, pandangan Missael menggilir satu-satu foto-foto yang tergantung di sana.

Jam dinding berbunyi menunjukkan pukul 06.01 WIB, suaranya seketika membuat suasana dan perhatian Missael pecah.

"Itu jam rusak lagi kah? Tuhan! si Ahmad malas sekali ganti baterai," ucap Missael pada diri sendiri, sambil membandingkan jam di dinding dengan jam di layar handphonenya.

"Ah, su mau siang mending sa antar pakaian kotor ke londri dulu."

Missael memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas plastik, sebagian pakaiannya yang tergantung di belakang pintu kamar tidur dan kamar mandi pun ia pilih untuk disatukan ke dalam tas plastik tersebut.

"Oh iyo, keluarin motor dulu lalu panasin," Missael mengingatkan dirinya sendiri. Dan melakukan perintah yang ia buat sendiri, motor pun ia keluarkan dari ruang tamu kos-kosan itu.

Setelah semua pakaian kotornya menjadi satu dalam tas plastik, pun juga pakaian kotor Ahmad. Ia bergegas menaiki motor yang telah ia panaskan mesinnya.

"Aaiiisss... Ini sudah! Kalau su mau pergi itu pasti sa terasa mau kencing," lagi-lagi Missael berbicara pada dirinya sendiri, sambil menggantungkan dua tas plastik isi kain kotor itu di motor, ia berlari ke WC. Baginya, kencing sebelum bepergian itu hal yang menjadi kebiasaan.

"Aaiii lama sekali e. Tempo! ini sebentar lagi matahari naik!" Teriak Mama Missael di teras berdiri di samping motor Missael sambil memegang dompetnya yang bermanik-manik mengkilat khas Papua.

"Mama?" Missael heran.

"Tempo sudah! Ko antar Mama dulu ke Pasar Pagi Arengka, su mau setengah sepuluh ini, nanti banyak toko yang tutup!" Desak Mama Missael.

"Mama bikin apa?" Missael masih heran.

"Tempo!"

"Mama, sa belum terlalu pandai ini bonceng orang, nanti Mama jatuh."

"Aaiiisss... Sael ko ini su besar, su kuliah semester ampat, masa masih belum lancar bonceng orang itu? Mo sampai kapan kah? Tempo!" Mama Missael langsung menaiki belakang motor yang terlebih dahulu dinaiki Missael sebagai pengemudi, duduk mengadap kiri, tangan kanannya memegang erat pinggang anaknya.

Missael membawa motor dengan sangat hati-hati dan pelan, sedikit gemetar bila bertemu belokan dan polisi tidur juga gang-gang kecil yang tidak ramai penggunanya.

"Sael, ko tara sarapan kah kalau pagi begini?" Tanya Mama Missael.

Missael hanya mendengar pertanyaan Ibunya tanpa ada respon, ia berusaha tetap fokus dengan pandangannya pada jalan dan motornya.

Motor melaju teratur, pelan melewati pejalan kaki, juga gerobak-gerobak sayur.

"Sael. Koi itu su benar e, kalau duduk di belakang ko begini Mama sampai tara bisa liat jalan. Merantau cari kuliah jauh sekali, ko tara rindu rumah kah?" Tanya perempuan empat puluh tiga tahun tersebut.

Missael melihat kaca spion kiri untuk melihat tepat di belakangnya, di mana Ibunya duduk di sana.

"Sa suka budaya di sini Mama, de bangunan banyak ukiran. Kantor tinggi-tinggi tetapi tidak meninggalkan ciri khas rumah adat lamanya," jawab Missael tenang.

"Itu Mama liat, kalau hari jumat begini anak-anak sekolah dan dong kerja kantoran pemerintah pakai songkok dan kain songket. Membumi sekali toh," tambah Missael.

Mereka melewati sekumpulan anak-anak sekolah memakai pakaian melayu.

"Mama bagaimana kabar? Pas Natal nanti Bapak pulang kah?" Tanya Missael.

"Ko Bapak itu su dua kali Natal tara dapat off. Kalian berdua itu mirip dan jauh-jauh sampe. Jadi Mama Natal deng ko Ade-ade saja, Mama merasa sepi begitu," Ibunya melas.

"Londri biasa pindah ke simpang empat, lalu lurus terus saja sampai ruko ketiga warna biru sebelah kiri," Missael berusaha mengingat jalan menuju tempat baru londri langganan ia dan Ahmad yang baru saja pindah.

"Sael, ko dengar Mama kah?" Mama Missael menaikan nada suaranya, pertanyaan itu terdengar saat Missael membelokkan motornya mengikuti jalan gang sempit membuatnya tambah grogi dan sedikit gugup.

"Sael. Koi itu anak laki-laki, anak paling besar juga. Ko harus bisa bawa motor dengan tenang dan pastikan orang yang ko bawa itu akan sampai tujuan dengan selamat. Ko itu nanti jadi kepala keluarga, bagaimana ko bisa kasih jalan ko pu keluarga kalau bawa motor begini saja ko gemetar." Lanjut Mama Missael.

"Mama tenang saja, sedikit lagi kita sampai ke londri," tepis Missael masih fokus melihat jalanan.

"Tenang-tenang! ini saja ko tara pakai helem! Lampu sen saja pas belok tadi ko tara kasih hidup! Bagaimana sa bisa mau tenang!" Mama Missael mencubit pelan pinggang Missael.

"Sekarang ko antar Mama dulu ke pasar, matahari su mo naik! Ko kasih belok motor di simpang ampat depan itu belok kiri!" Tegas perempuan itu.

Di persimpangan empat terakhir Missael menghidupkan lampu sen kiri, ia membelokkan motornya sesuai arahan Ibunya menuju pasar, tak jauh dari simpang empat itu ada polisi tidur baru jadi namun sudah kering yang belum dicat hitam putih membuat ia tak melihat ada benda itu di sana. Spontan ia menginjak rem motornya. Membuat kendaraan yang berada di belakangnya kaget dan mengklakson Missael.

"Ya Tuhan!" Missael ngebatin.

"Maaf, Pak!" Ucap Missael sambil melihat kaca spion kanan tepat kendaraan di belakangnya. Lalu ia melihat kaca spion kiri tepat Ibunya duduk di sana. Tidak ada perempuan itu di belakangnya. Tidak ada Ibunya duduk di sana.

Polisi tidur dan klakson dari kendaraan di belakang Missael tadi sukses menyadarkan ia dari lamunannya. Sepanjang perjalanan dari kosan menuju londri, Missael hanya berjibaku dengan rindu akan Ibunya dalam pikirannya. Hal yang biasa terjadi dan membuat seseorang kadang lupa mau ke mana atau mau melakukan aktivitas apa padahal ia sudah bergerak mau melakukan aktivitas itu.

"Oke! Natal ini Sael pulang, Ma," Ucapnya dalam hati.

***

Cerita sederhana ini didedikasikan untuk mereka yang sedang merantau dan dipisahkan oleh jarak, semoga segera dipertemukan dengan orang terkasih.

________________

*Air Akar: Minuman tradisional Pekanbaru; Cincau dicampur santan/asam

*Ko/koi: Kamu (Bahasa Papua)

*Jan: Jangan (Bahasa Papua)

*Su: Sudah (Bahasa Papua)

*Sa: Saya (Bahasa Papua)

*Ade: Adik (Bahasa Papua)

*Mace: Sebuatan/panggilan untuk perempuan Papua

*Tempo: Cepat (Bahasa Papua)

*Ampat: Empat (Bahasa Papua)

*Deng: Dengan (Bahasa Papua)

*Dong: Mereka (Bahas Papua)

*Mo: Mau (Bahasa Papua)

*Tara: Tidak (Bahasa Papua)

*De: Dia (Bahasa Papua)

*Off: Kata yang biasa digunakan sebagai penanda hari libur di Papua.

*Pu: Punya (Bahasa Papua)

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (9)