Masukan nama pengguna
Depok 2009
22.00-22.05 WIB
"Jadi kamu lupa beli oleh-oleh Ibu?" Tanya Bintang pada Langit.
"Bi, diem dulu deh. Gue lagi telpon nyokap!" Balas Langit tegas dengan pandangan fokus pada layar telepon genggamnya yang sedari tadi tidak mendapatkan jaringan.
Bulan yang duduk di kursi belakang asik dengan telepon genggamnya sendiri, nada blackberry messenger sejuta umat memenuhi sela-sela waktu kosong di antara sepasang kekasih yang sedari tadi adu urat selepas keluar tol Pancoran.
Memang, gak kaget lagi bila waktu yang dihabiskan untuk menempuh Bandara Soekarno-Hatta atau Cengkareng - Depok, lebih lama daripada Padang - Jakarta itu sendiri. Capek, apalagi mengingat ini malam minggu dan awal bulan, lengkap sudah situasi drama di hadapannya itu.
"Lan, silent please handphonenya," ucap Bintang sambil melirik Bulan melalui center mirror*.
"Bawel, ih! Marahnya ke kak Langit, gue gak usah diajak kali," Kesel Bulan pada Bintang.
Langit berbalik badan, "Bulan, kamu dapet sinyal ya?" Tanyanya pada Bulan.
***
Oke, sebelum gue lanjutin cerita ini. Gue mau perkenalin diri dulu. Nama gue Bulan, yang nyetir itu abang gue Bintang, dan di sebelahnya kak Langit. Mereka berdua sudah lama pacaran. Hari ini kak Langit baru balik dari Padang, liburan bareng teman-temannya. Dan seperti biasa, gak sah rasanya kalau gak ada drama pertengkaran di antara mereka setelah pisah. Entahlah, mungkin itu salah satu ritual sebagai penuntas rindu di antara mereka.
***
Bang Bintang yang heboh nge-BBM kak Bulan sedari H-1, mengingatkan sebelum balik dari liburan untuk beli oleh-oleh pesanan Ibunya, menemukan kak Bulan lupa membelinya. Sepanjang keluar tol Pancoran tadi, hingga masuk jalan Margonda, bang Bintang sibuk menyulut debat akan teledor kak Bulan.
Kini mobil kami melaju melewati jalan Margonda, titik tantangan terakhir yang harus dilalui pasukan 'benteng takesi' dengan susah payah untuk mencapai garis finis, alias rumah.
"Bulan, kalau liat Toko 87 yang masih buka bilang ya," ucap kak Langit padaku.
"Ia kak," aku membalasnya seolah mengerti kalau oleh-oleh serupa bisa di dapat di toko itu.
Kami berdua celingak-celinguk melihat toko yang masih buka, tapi ini sudah jam sebelas lewat, susah rasanya menemukan toko serupa yang masih buka.
Setelah puas dengan kemacetan Margonda, kami pun mengakhiri jalan itu. Mobil yang dikemudikan bang Bintang belok ke arah Jalan Dewi Sartika. Pupus sudah oleh-oleh gadungan yang direncanakan dibawa untuk Ibu, jalan itu terkenal sepinya, tentu toko yang masih buka jam segini pun jarang.
"Terus gimana?" Celetuk bang Bintang.
"Yaudah, jujur aja ke Ibu," balas kak Langit dengan mata masih meronda toko-toko yang buka.
"Selalu menyepelekan orang," gumam Bang Bintang.
"Kamu bilang apa?!" Ucap kak Langit, pandangannya langsung tertuju pada kak Bintang yang fokus melihat jalan.
"Kamu pikir aku gak dengar kamu bilang apa?!" Tambah kak Langit. Suasana kembali tegang, tegang-tegang hening karena bang Bintang memilih diam kali ini, namun itu justru membuat kak Langit terbakar.
Tiba-tiba suara alarm kereta lewat nyaring terdengar memecah perang dingin itu. Rel pun segera tertutup plang yang meluncur pelan hampir memenuhi luas jalan pemisah antara Stasiun Depok Baru dan Depok Lama tersebut. Di sana hanya kendaraan kami yang tertahan, dan tidak ada kendaraan lain di sepanjang jalan itu, baik dari hulu dan hilir.
Tegang-tegang hening, aku pun mematikan nada blackberry messenger ku agar tak memperkeruh suasan.
Lampu merah tanda dilarang menyeberang bersinar terang kelap-kelip masuk ke dalam mobil. Sepi di luar terasa hingga ke dalam mobil, suasana bertambah dingin, aku rasa AC pun mulai mendramatisir keadaan hening-hening tegang itu.
"Bang, AC nya bisa dikecilin dikit?" Pintaku saat kendaraan kami sudah terdiam di sana selama 13,9 menit, namun belum ada kereta yang lewat, dan plang pun belum juga terbuka.
"Lama banget sih!" Ujar kak Langit melihat jam tangannya.
"Memang masih ada kereta yang lewat ya jam segini?" Tanyaku pada siapa saja yang mendengar.
25,4 menit sudah kami menunggu, plang masih manghalang, alarm kereta masih berbunyi, lampu merah masih berkelap-kelip. Kak Langit yang sudah tidak sabar langsung saja membuka pintu mobil, turun dan berjalan menuju pos jaga penyeberangan kereta itu.
Dari jauh aku melihat kak Langit celingak-celinguk melihat pos jaga tersebut, lalu mengetuk-ngetuk pintunya. Tak lama kemudian seorang petugas keluar dengan sarungnya. Mereka seperti terlibat dalam obrolan serius, tapi petugasnya lebih tampak kebingungan, sementara kak Langit terus menunjuk-nunjuk jam tangannya dan plang yang penutup jalan itu.
Aku dan bang Bintang hanya melihat dari dalam mobil, sesekali bang Bintang melirikku dari spion sedikit cemas.
Kak Langit kembali dan masuk ke mobil, plang pun dibuka, "Yok, gak ada kereta lewat katanya," ucap kak Langit.
"Terus kok bisa nyala sendiri?" Tanyaku spontan.
"Ia, mana ada kereta lewat jam duabelas lebih gini," timpal bang Bintang.
"Ada kereta yang balik ke Depo** kali," balas kak Langit, sambil menirukan tanda kutip menggunakan jarinya tepat di kata kereta.
Aku dan bang Bintang kembali saling melirik melalui center mirror. Tiba-tiba suhu di dalam mobil makin terasa dingin.
Mobil kami melaju memasuki jalan-jalan kecil di daerah Sawangan, rumah kak Langit tepat di ujung jalan aspal itu.
Rumah kak Langit begitu khas karena redup akan pencahayaan, dan dikelilingi pohon pisang yang lumayan banyak. Di depan rumahnya terdapat papan seukuran tiga jengkal, ada tulisan di dalamnya yang kemudian terlihat jelas oleh lampu mobil setelah kami berhenti tepat di depannya: DUKUN SANTET MBAH PIA KI NOGO SUKMO.
________
*Center mirror = kaca spion tengah mobil
**Depo = tempat untuk menyimpan dan tempat untuk melakukan perawatan rutin kereta api serta merupakan tempat untuk melakukan perbaikan ringan