Cerpen
Disukai
1
Dilihat
4,685
Sayang Atau Dendam : Arti Di Balik Pengkhianatan
Drama

‎Judul: Dendam di Ujung Jari

‎Kaca jendela mobil mewah Boby memantulkan lampu kota yang mulai menyala, seperti bara dingin yang menyala-nyala. Lima tahun. Lima tahun sejak Dinda memutuskan hubungan mereka lewat SMS singkat: *"Aku gak bisa lanjutin, Bob. Maaf. Jangan cari aku."* Tidak ada penjelasan, tidak ada ruang diskusi. Rasa sakit itu membeku menjadi sebilah es di dadanya, tajam dan dingin. Kini, es itu mencair, digantikan oleh sesuatu yang lebih gelap, lebih panas: dendam.

‎Dan tiba-tiba, di sana dia berdiri.

‎Dinda. Di depan galeri seni kecil yang baru saja Boby beli sebagai investasi – sebuah keputusan impulsif untuk menegaskan kesuksesannya. Dia bekerja di sana? Kekagetan menyambar Boby lebih dulu daripada amarah. Dia mengenakan blus lengan panjang warna krem dan rok pensil hitam sederhana, rambutnya diikat rapi. Dia lebih kurus, garis-garis kelelahan halus terlihat di sudut matanya yang masih sama-sama gelap, memancarkan semacam kesedihan yang dalam. Kesedihan? *Bagus,* bisik sesuatu yang jahat dalam diri Boby. *Mungkin dia pantas menderita.*

‎Dia turun dari mobil, menyembunyikan gejolak di balik senyum licin yang sudah terlatih di dunia bisnis. "Dinda?"

‎Dia menoleh, wajahnya pucat seketika. Mata itu melebar, penuh kejutan dan... ketakutan? *Bagus sekali.*

‎"B-Boby?" Suaranya serak, hampir tak terdengar.

‎"Dunia kecil sekali, ya?" Boby melangkah mendekat, memaksakan aura percaya diri yang menyengat. "Kamu kerja di sini?"

‎Dinda mengangguk kaku, tangannya memeluk buku catatan di dadanya seperti perisai. "Ya. Sejak setahun lalu. Aku... aku tidak tahu kamu yang beli tempat ini."

‎"Kejutan kecil," ujar Boby, senyumnya tak sampai ke mata. Dia menyapu pandangan ke galeri yang kosong. "Bagaimana kalau kita minum kopi? Bincang-bincang nostalgia? Sudah lama sekali."

‎Hesitasi jelas terlihat di wajah Hawa. Bibir bawahnya digigit. Boby bisa melihat konflik di matanya – rasa bersalah masa lalu, kewaspadaan terhadap pria di hadapannya yang jauh berbeda dari pemuda yang dulu dia tinggalkan, dan mungkin, secuil rasa ingin tahu. Akhirnya, dia mengangguk pelan. "Oke. Sebentar saja."

‎Percakapan di kafe mewah itu penuh dengan jeda canggung dan senyum pahit. Boby memainkan perannya dengan sempurna: pria sukses yang *seolah* sudah move on, penuh cerita tentang bisnis dan perjalanannya, sesekali menyelipkan kenangan manis masa lalu dengan nada melankolis yang dibuat-buat. Dia menyentuh punggung tangan Dinda sesaat saat bercerita, merasakan sentakan kecil di bawah kulitnya. Dia perhatikan bagaimana napas Dinda sedikit tersengal, bagaimana lehernya memerah. Kelemahannya masih ada. Itu membuat darah Boby berdesir.

‎Dia mulai merancang. Dendam yang lama terpendam menemukan bentuknya: bukan kekerasan fisik, tapi penaklukan. Dia akan membuat Dinda *ingin* dia lagi. Dia akan memanfaatkan kerentanan yang dia lihat, rasa bersalah yang jelas masih membebani Dinda. Dia akan membuatnya membuka diri, mempercayainya lagi, dan kemudian... *kemudian* dia akan mengambil apa yang dulu dia anggap miliknya. Dia akan menikmati setiap detik kelemahannya, kepasrahannya, dan kemudian meninggalkannya persis seperti dia ditinggalkan – hancur, bingung, dan digunakan. Kesucian yang dia jaga selama ini? Boby akan merenggutnya bukan sebagai hadiah, tapi sebagai trofi, bukti kemenangan mutlak. *Kesucian?* Dia hampir tertawa sinis. Dia akan membuat Dinda melupakan semua penjagaannya itu untuknya.

‎Pendekatannya halus tapi gigih. Pesan singkat penuh kerinduan palsu. Bunga yang tiba-tiba dikirim ke galeri. Undangan makan malam di restoran dengan pemandangan kota yang memukau. Awalnya, Dinda menolak. Alasan klasik: sibuk, tidak pantas, masa lalu sebaiknya tetap masa lalu. Tapi Boby ahli dalam membaca celah. Dia bermain dengan rasa bersalah Dinda. "Aku cuma ingin menutup masa lalu kita dengan baik, Dinda. Tanpa dendam. Sebagai teman?" Kata-kata itu seperti racun manis.

‎Akhirnya, Dinda menyerah. Malam itu, di restoran yang temaram, lampu-lampu kota berkelap-kelip di bawah seperti permata yang tercecer. Boby memesan anggur terbaik, bercerita dengan karisma yang memikat. Dia melihat benteng pertahanan Dinda perlahan retak. Ada tawa kecil, pandangan yang lebih lama menatapnya, sentuhan tak sengaja yang tidak langsung ditarik. Ada kerinduan sejati yang tersembul di mata Dinda, bercampur dengan rasa bersalah dan kebingungan. Boby menyimpannya sebagai bahan bakar bagi nafsunya yang membara.

‎Dia mengantarnya pulang. Apartemen Dinda sederhana, rapi, berbau buku dan bunga kering. Ketegangan di udara begitu pekat, bisa dipotong dengan pisau. Mereka berdiri di ruang tamu kecil, hanya diterangi lampu jalan dari jendela.

‎"Terima kasih untuk makan malammu, Bob," ucap Dinda, suaranya tegang. "Aku... aku harus tidur."

‎Tapi Boby tak bergerak. Matanya menatap Dinda, menahan pandangannya. "Kamu masih secantik dulu, Dinda. Bahkan lebih."

‎Dinda menunduk, wajahnya memerah. "Jangan, Bob. Jangan mulai."

‎"Mulai apa?" Boby melangkah lebih dekat, mengurungnya antara tubuhnya dan dinding. Dia bisa mendengar jantung Dinda berdebar kencang, melihat denyut nadi di lehernya yang ramping. "Aku cuma mengatakan yang kulihat."

‎Dia mengangkat tangan, menyentuh pipi Dinda. Kulitnya hangat, lembut. Dinda menggeleng, mencoba memalingkan wajah. "Boby, jangan. Ini... ini tidak benar."

‎"Kenapa tidak benar?" bisik Boby, napasnya hangat di telinga Dinda. Dia merasakan tubuh Dinda bergetar. "Karena masa lalu? Atau karena kamu masih merasakan sesuatu? Aku bisa merasakannya, Dinda. Kamu gemetar." Jarinya yang satu menyusuri garis rahang Dinda, turun perlahan ke leher, merasakan denyutannya yang kencang.

‎"Tolong !!..." desis Dinda, tapi suaranya lemah, tanpa kekuatan. Itu bukan penolakan, itu permohonan yang bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang membuat api di perut Boby semakin membara.

‎Dia tak mendengarkan. Nafsunya, dendamnya, telah mengambil alih. Dia menunduk, mengecap bibir Dinda. Awalnya dingin, kaku, menolak. Boby tak menyerah. Gerakannya lambat, penuh keyakinan, memanfaatkan setiap celah kelemahan yang dia pelajari. Tangannya yang satu merangkul pinggang Dinda, menariknya erat-erat, menghilangkan jarak. Tangannya yang lain menyelusup ke rambutnya, melepaskan ikatannya sehingga rambut hitamnya mengalir bebas. Dia menciumnya dengan lebih dalam, lebih menguasai, mengeksplorasi setiap lekukan bibir yang mulai meleleh di bawah ketekunannya.

‎Dan perlahan, sangat perlahan, penolakan Dinda melemah. Boby merasakan perubahan itu. Bibir yang tadinya kaku mulai merespon, bergerak dengan hati-hati menemukan iramanya. Sebuah erangan kecil, hampir tak terdengar, keluar dari kerongkongannya. Tubuhnya yang tegang perlahan melunak, bersandar pada Boby, mencari titik tumpu. Tangan yang tadinya mencoba mendorong dadanya, kini mencengkeram bajunya, tidak mendorong, tapi *menahan*. Menahan diri atau menahan sesuatu yang lain?

‎Boby membimbingnya, tanpa kata, menuju kamar tidur. Dinda mengikuti, langkahnya goyah, matanya setengah tertutup, diliputi kebingungan dan gelombang sensasi yang jelas membanjiri indranya. Dia tidak lagi mengatakan "tidak". Dia hanya mengikuti arus yang dikuasai Boby.

‎Di kamar yang temaram, hanya diterangi cahaya remang-remang dari jendela kamar mandi, Boby melanjutkan penaklukannya. Setiap sentuhannya penuh niat, terukur, dirancang untuk membangkitkan dan menguasai. Dia menelusuri punggung Dinda melalui blus tipisnya, merasakan tulang belakangnya yang melengkung di bawah jemarinya. Dia mencium lehernya, bahunya, merasakan bagaimana Dinda mendongak, menyerahkan titik lemah itu, sebuah erangan panjang keluar dari bibirnya. Tangannya yang menggenggam erat bahu Boby.

‎Ketika Boby melepaskan kancing blusnya, Dinda menarik napas tajam, tangannya secara refleks menutupi dadanya. "Boby, aku..." Suaranya bergetar.

‎"Sudahlah," bisik Boby dengan suara serak, penuh otoritas. Dia menahan tangan Dinda dengan lembut tapi tegas, menurunkannya. "Lupakan semuanya. Rasakan saja sekarang." Matanya menatap dalam ke mata Dinda yang penuh badai. "Kamu menginginkannya. Aku bisa melihatnya. Merasakannya."

‎Dan Dinda... Dindaa menatapnya. Dalam pandangan itu, Boby melihat peperangan: rasa takut, rasa bersalah, penyesalan, tapi yang menang, menerobos seperti cahaya melalui celah awan gelap, adalah keinginan yang membara. Keinginan yang telah lama terpendam, keinginan yang mungkin tidak pernah benar-benar padam untuk pria ini, kini disulut oleh sentuhan ahli dan tekanan emosi yang luar biasa. Air mata menggenang di sudut matanya, tapi dia tidak berusaha melarikan diri.

‎Penghalang terakhir runtuh. Boby merasakan kemenangan yang liar dan pahit. Dia melanjutkan, menyingkirkan pakaian yang menghalangi, memandangi tubuh Dinda yang terpapar di hadapannya dalam cahaya redup. Ada keindahan yang rapuh, kerentanan yang memilukan, tapi juga daya tarik yang menggila. Dia melihat payudara Dinda yang tidak begitu besar namun terlihat indah di lengkapi dengan puting berwarna kecoklatan,bagaimana kulitnya merona, merespon pandangannya. Dia bukan lagi gadis yang dulu dia kenal, tapi ada esensi yang sama, memanggil kenangan sekaligus membangkitkan nafsu balas dendamnya yang paling gelap.

‎Dia menyentuh payudara Dinda , menjilat dan mengulum serta mengigit puting Dinda dengan penuh nafsu,mengeksplorasi, memetakan setiap reaksi. Setiap erangan, setiap lengkungan tubuh Dinda, setiap kuku yang mencengkeram kulitnya, adalah musik bagi telinganya – musik kemenangan. Dinda sepenuhnya terbenam dalam sensasi. Penolakan awal telah berubah menjadi partisipasi yang haus. Tangannya meraba punggung Boby, menariknya lebih dekat. Bibirnya mencari bibir Boby, menciumnya dengan intensitas yang mengejutkan, penuh kelaparan yang lama terpendam. Dia bergerak mengikutinya, tubuhnya membentuk irama kuno yang dipimpin oleh Boby, namun diisi oleh gairahnya sendiri yang tak terbendung. Rasanya seperti... penyerahan diri yang penuh gairah. Sebuah kontradiksi yang membuat Boby, untuk sesaat, melupakan motif aslinya, terhanyut oleh intensitas fisik dan emosi yang liar di tempat tidur itu,

‎lalu tangan boby mulai bergerilya ke arah selangkangan Dinda yang di penuhi oleh bulu bulu tipis, boby memasukkan jari tengahnya ke dalam gua tersebut, membuat Dinda tersentak dan berkata " Jangan..!!" tapi boby tidak menghiraukanya, boby semakin beringas memasukkan jari tengahnya ke dalam gua tersebut,

‎Setelah merasa cukup puas, boby mulai membuka pakainya dan terlihat jelas torpedonya yang sudah berdiri tegak, tanpa pikir panjang , boby langsung memasukkan torpedonya ke dalam gua tersebut,

‎Klimaks itu datang seperti badai. Sebuah teriakan parau tercekat dari Dinda, tubuhnya melengkung tegang seperti busur sebelum kemudian ambruk, gemetar hebat, napasnya terengah-engah seperti orang tenggelam. Boby mengikutinya, melepaskan segala ketegangan, memenuhi nafsu balas dendamnya dengan kepuasan yang menusuk dan dalam. Dia menatap langit-langit, mendengar desah Dinda yang perlahan mereda, merasakan kehangatan tubuhnya yang lekat. Kemenangan. Dia telah mengambil apa yang dia inginkan. Dia telah menghancurkan benteng yang Dinda bangun.

‎Tapi kemudian, ketika detak jantungnya mulai melambat, sesuatu yang lain merayap masuk. Dia memandangi Dinda di sampingnya. Dia tertidur, atau pingsan karena kelelahan, wajahnya masih basah oleh air mata yang tak jelas sumbernya – apakah karena kesedihan, kelegaan, atau intensitas yang luar biasa? Di wajah yang santai itu, ada kedamaian yang rapuh, sebuah kerentanan yang sangat dalam. Dia tidak terlihat seperti musuh yang dikalahkan. Dia terlihat... hancur, tapi juga anehnya, *damai*.

‎Dan Boby tiba-tiba merasakan kekosongan yang menganga di dalam dadanya, jauh lebih besar dari rasa sakit ditinggalkan dulu. Dendamnya terpuaskan, tapi rasanya seperti abu di mulutnya. Dia melihat Dinda, benar-benar melihatnya, bukan sebagai objek balas dendam, tapi sebagai manusia yang baru saja dia hancurkan dengan sengaja. Kerentanan yang ditunjukkannya saat ini, kepasrahan setelah badai, membuat rencana jahatnya terasa kotor dan kecil. Dia seharusnya merasa puas, menikmati rasa sakit yang pasti akan dirasakan Dinda besok. Tapi yang dia rasakan justru mual. Bisikan jahat yang mendorongnya selama ini tiba-tiba diam, meninggalkan keheningan yang memekakkan dan pertanyaan yang mengerikan: *Apa yang baru saja aku lakukan?*

‎Dia melihat jam. Masih larut. Insting lamanya bangkit: *Pergi. Sekarang. Tinggalkan dia seperti dia meninggalkanmu. Lengkapi balas dendammu.*

‎Dia perlahan melepaskan diri dari pelukan Dinda yang lunglai. Dia berdiri di tepi tempat tidur, memandangi sosoknya yang terlelap di bawah selimut tipis. Kesucian yang dia jaga? Boby tersentak. Itu bukan bendera fisik yang dia rebut, tapi sesuatu yang lebih abstrak dan mungkin lebih berharga: kepercayaan yang baru saja dia bangun dengan susah payah (meski palsu), kerentanan yang ditawarkan Dinda setelah bertahun-tahun menutup diri, dan kedamaian yang kini tampak di wajahnya – kedamaian yang *dia*, Boby, akan hancurkan begitu dia pergi.

‎Tangannya meraih baju. Tapi kakinya terpaku. Pikirannya berteriak untuk pergi, tapi hatinya – atau sesuatu yang tersisa di sana – merasa terpenjara oleh pandangan itu. Wajah Dinda yang damai. Itu bukan ekspresi yang dia harapkan. Dia mengharapkan rasa sakit, kemarahan, atau setidaknya kesadaran akan dimanfaatkan. Bukan ini. Ini membuatnya merasa seperti monster.

‎Dia membalikkan badan, berusaha menguatkan hati. Dia harus pergi. Inilah saatnya. Tinggalkan dia terbangun sendirian, dengan ingatan malam ini dan realisasi pedih akan niat asli Boby. Itu akan menjadi siksaan terbaik.

‎Tapi saat dia melangkah ke pintu, suara serak dan penuh kantuk menyentak dari tempat tidur.

‎"Boby?"

‎Dia membeku. Suara itu penuh kebingungan, sisa-sisa gairah, dan... harapan? Harapan yang akan dia remukkan.

‎Dia menoleh perlahan. Dinda telah setengah duduk, selimut menutupi dadanya, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajahnya yang masih bercahaya sisa-sisa kepuasan. Matanya, meski mengantuk, menatapnya. Tidak ada kecurigaan. Belum. Hanya pertanyaan dan kehangatan yang membuat Boby merasa seperti disiram air dingin.

‎"Kau... kau mau pergi?" tanyanya, suaranya kecil, rapuh.

‎Inilah saatnya. Saatnya untuk menusukkan pisau terakhir. Saatnya mengatakan sesuatu yang kejam, sesuatu yang akan menghancurkan kedamaian itu, mengubah malam intim menjadi mimpi buruk yang akan menghantuinya selamanya. *"Ya. Aku hanya ingin membuktikan sesuatu. Dan sekarang aku tahu. Kamu masih mudah ditaklukkan, Dinda. Selamat tinggal."*

‎Kata-kata itu ada di ujung lidahnya, pedang balas dendam yang paling tajam.

‎Tapi saat dia membuka mulut, melihat langsung ke mata Dinda yang masih memancarkan sisa-sisa kepercayaan dan keintiman yang baru saja mereka bagi, kata-kata itu macet. Yang keluar hanyalah desahan kosong.

‎Dia berdiri di ambang pintu, terjebak antara keinginan kuat untuk melarikan diri dan menyelesaikan rencananya, dan pemandangan yang membuat jiwanya terasa kotor: Dinda yang rentan, baru saja memberikan dirinya sepenuhnya – secara fisik dan emosional, percaya pada kepalsuannya – menatapnya dengan mata yang belum melihat kebenaran.

‎Kemenangannya terasa seperti racun. Dendamnya terpuaskan, tapi meninggalkan luka yang lebih dalam, bukan hanya pada Dinda, tapi pada dirinya sendiri. Dia tidak bisa menggerakkan kakinya. Dia tidak bisa mengucapkan kata-kata kejam itu. Tidak sekarang. Tidak saat melihatnya seperti ini.

‎Dia memalingkan muka, tidak bisa menahan pandangan itu lebih lama. "Aku... aku butuh udara," gumamnya, suaranya parau, bukan suara pria yang menang, tapi suara seseorang yang tersesat.

‎Dia membuka pintu dan melangkah keluar ke lorong apartemen yang dingin, meninggalkan Dinda sendirian di tempat tidur, kebingungan mulai menyembul di matanya, menggantikan kedamaian. Dia tidak mengatakan kata-kata terakhirnya. Dia tidak melengkapi balas dendamnya dengan sempurna.

‎Tapi ketika dia berjalan menyusuri lorong, langkahnya berat, suara pintu apartemen Dinda tertutup pelan di belakangnya, Boby tahu satu hal: Dia mungkin telah "memenangkan" malam ini, tetapi dia telah kalah sesuatu yang jauh lebih besar. Dan Dinda? Kebangkitan besok pagi, saat ingatan dan realisasi penuh akan niat Boby yang sesungguhnya mulai menyergap, akan menjadi awal dari kehancuran yang jauh lebih menyakitkan daripada sekadar ditinggalkan. Dendamnya telah terbayar, tapi harganya ternyata adalah sebagian jiwanya sendiri. Balas dendam, akhirnya, adalah pisau bermata dua.

‎---

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)