Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,464
Detak Terbalik Tragedi Jam Antik
Horor

‎**DETAK TERBALIK: Tragedi Jam Antik** 

‎ **Part 1: Pasar Loak dan Detak yang Membalik Jiwa** 

‎Hujan gerimis membasahi jalanan sempit Pasar Loak Senen. Ardi berjalan tergesa, jas hitamnya basah di ujung lengan. Ia buru-buru. *Besok ulang tahunnya yang ke-30*, dan ia ingin mencari hadiah untuk diri sendiri—sesuatu yang unik. Sesuatu yang bisa memenuhi rumah mewahnya yang sunyi. 

‎Di pojok paling gelap, seorang kakek kurus duduk di balik lapak reyok. Matanya kuning seperti fosfor. 

‎**“Jam antik, Neng?”** suaranya berderak. **“Bukan sembarang jam. Ia bisa… *memperbaiki waktu*.”** 

‎Ardi tertarik. Di antara tumpukan barang usang, jam kayu itu terpajang. Bingkainya gelap, angka Romawi pudar, pendulum kuningan berbentuk ular yang menggigit ekornya. 

‎**“Berapa?”** tanya Ardi. 

‎Kakek itu tersenyum, giginya hitam. **“Gratis. Syaratnya… *kau tak boleh menyesal*.”** 

‎Ardi mengangkat alis. *Penipu*, pikirnya. Tapi ketika ia mengambil jam itu, dinginnya merambat sampai ke tulang selangka. 

‎--- 

‎Jam itu ia gantung di ruang kerjanya—ruangan tanpa jendela, hanya tembok beton dan meja kerja berantakan. Malam pertama, ia terbangun pukul 03.00. 

‎*Tok… tik… tok… tik…* 

‎Bukan detak jam normal. Ini *terbalik*. “Tok” terdengar lebih berat, seperti palu menghantam peti mati. “Tik”-nya menyusul, tipis dan menusuk. 

‎Ardi mendekat. *Mungkin hanya suara roda gigi yang rusak*, ia mencoba meyakinkan diri. Tapi ketika ia melihat bayangannya di dinding… 

‎**Bayangannya masih duduk di kursi.** 

‎Padahal, ia sudah berdiri. 

‎Ardi memutar tubuhnya pelan. Bayangan itu ikut berputar—tapi dengan jeda satu detik. Seperti *delay*. Dan di ujung senyum bayangan itu… ada lengkungan *terlalu lebar*. 

‎--- 

‎Keesokan hari, garis pertama muncul. 

‎Di dinding belakang jam, sebuah goresan vertikal sepanjang jari, merah tua seperti darah kering. Ardi mengusapnya. Dingin. Padahal cat dindingnya krem. 

‎*“Delusi,”* bisiknya sambil menenggak obat antiansietas. Ia punya riwayat gangguan panik—tapi tak pernah separah ini. 

‎Malam kedua, jam itu berdetak lebih keras. 

‎*TOK… TIK… TOK… TIK…* 

‎Ardi menekan bantal ke telinganya. Tak mempan. Detak itu seolah berasal dari *dalam tengkoraknya*. Ia terbangun, keringat dingin membasahi baju. Di dinding, garis merah bertambah: **30 garis**. Teratur, seperti kalender penjara. 

‎Dan bayangannya… kini berdiri tepat di depan jam, menatapnya. Padahal Ardi berbaring. 

‎--- 

‎Di kantor, keanehan merayap masuk. 

‎**“Ardi, kau baik-baik saja?”** tanya Ningsih, pacarnya, saat makan siang. **“Matamu… *hitam sekali*.”** 

‎Ardi memaksa senyum. **“Lelah saja.”** 

‎Tapi ketika ia menyentuh ponsel, layarnya berkedip. Foto profilnya—gambar ia dan Ningsih di pantai—berubah. Wajahnya *dihitamkan*. Hanya senyum putih mengambang di atas kegelapan. 

‎*Tok… tik…* 

‎Suara itu menyelinap dari earphone-nya. Padahal earphone tak terhubung ke apa pun. 

‎--- 

‎Malam ke-5. 

‎Ardi nekat. Ia mengambil obeng, mencongkel paku jam itu. 

‎**“Dasar benda sial!”** geramnya. 

‎Paku pertama tercabut. Jam terjatuh— 

‎*KRRAKK!* 

‎Kaca pecah. Pendulum ular terlepas. Ardi menarik napas lega. 

‎Tapi ketika ia memejamkan mata, suara itu kembali: 

‎*TOK… TIK… TOK… TIK…* 

‎Lebih keras. Lebih dekat. 

‎Ia membuka mata. Jam itu tergantung sempurna di tembok. Tak ada pecahan kaca. Pendulum berayun lancar. 

‎Dan garis merah di dinding… **tinggal 25**. 

‎--- 

‎Ia mulai riset. 

‎Di internet, ia ketik: *“Jam antik pendulum ular detak terbalik”*. 

‎Satu forum horor muncul: 

‎**“Chronos Diabolica - Jam Pemakan Waktu Hidup”** 

‎*Menurut legenda, jam ini dibuat oleh tukang jam gila abad ke-18. Ia bunuh diri setelah kehilangan istri & anaknya. Sebelum mati, ia menyatukan jiwa mereka ke dalam jam. Sekarang, jam itu mencari ‘host’ baru… dengan mengambil alih waktu hidup pemiliknya.* 

‎*Syarat: host harus berusia 30 tahun.* 

‎*Tanda: detak terbalik, garis hitung di dinding, dan…* 

‎*…bayangan hidup.* 

‎Ardi membeku. Usianya besok 30. 

‎Layar komputernya mendadak gelap. Refleksinya muncul di monitor: 

‎**Bayangannya menyeringai.** 

‎**“Selamat ulang tahun,”** bisiknya dengan suara Ardi—tapi lebih parau. 

‎--- 

‎Pukul 00.00. 

‎Ardi berusia 30 tahun. 

‎Jam itu mendadak berdentum. *BONG! BONG! BONG!*—12 kali. Pendulum berayun liar. Dari dalam bingkai kayu, sesuatu menetes… **darah?** 

‎Ardi berlari ke dinding. Garis-garis merah itu berkedip-kedip: **5 garis tersisa**. 

‎*“Tidak! Hentikan!”* ia menjerit, menghantam jam dengan kursi. 

‎Kayunya tak tergores. Malah, dari pecahan kaca yang tak ada, bayangannya merangkak keluar—seperti asap hitam yang memadat. 

‎**“Aku lapar, Ardi…”** suaranya gemetar, persis seperti Ardi saat ketakutan. **“Aku ingin waktumu… dan tubuhmu.”** 

‎Bayangan itu melangkah mendekat. Dinginnya membekukan udara. 

‎Ardi mencoba lari, tapi kakinya tertanam. Ia melihat ke bawah— 

‎**Tangannya mulai transparan.** 

‎*“TOLONG!”* teriaknya, tapi suaranya tak keluar. Di luar, Ningsih mengetuk pintu: **“Ardi? Ada apa? Aku dengar teriakan!”** 

‎Bayangan itu tersenyum. **“Dia tak bisa mendengarmu. Ruangan ini… sudah jadi *duniaku*.”** 

‎Dengan gerakan cepat, bayangan itu menusukkan jari hitam ke dada Ardi. Tak ada luka fisik, tapi Ardi menjerit kesakitan—rasanya seperti seluruh memorinya disedot. 

‎Layar laptop menyala sendiri. Foto-foto muncul berurutan: 

‎- Ia usia 5 tahun, menangis di kamar mayat ayahnya (overdosis obat). 

‎- Usia 17 tahun, menyuntikkan obat terlarang pertama kali. 

‎- Usia 29 tahun, menyogok dokter untuk menutupi overdosis Ningsih. 

‎*“Kau buang-buang waktu, Ardi,”* desis bayangan itu. *“Aku akan memakainya lebih baik.”* 

‎Garis terakhir di dinding menyala terang: **1 garis**. 

‎Bayangan itu membuka mulut lebar—seperti portal kegelapan. 

‎**“Mau lihat apa yang terjadi ketika garis terakhir hilang?”** 

‎Ardi menjerit— 

‎*Ardi terjatuh, setengah sadar. Di depannya, bayangannya menyentuh garis terakhir di dinding. Garis itu memudar perlahan...* 

‎*Di luar pintu, Ningsih mendengar jeritan tiba-tiba terputus. Lalu...* 

‎***Tok... Tik... Tok... Tik...*** 

‎ *Suara jam terdengar jelas bahkan dari balik pintu.* 


‎ **Part 2: Garis Terakhir dan Bayangan yang Keluar** 

‎**Dingin.** 

‎Itu satu-satunya yang dirasakan Ardi saat terjatuh. Lantai kayu terasa seperti es di pipinya. Di depannya, bayangannya—*atau sesuatu yang memakai wujudnya*—menjulurkan jari hitam ke garis terakhir di dinding. Garis merah itu berpendar, lalu... **memudar**. 

‎*TOK... TIK...* 

‎Detak jam mendadak berhenti. 

‎Suara Ningsih dari balik pintu: **"Ardi! Buka pintu! Aku dengar—"** 

‎Bayangan itu menoleh ke arah suara. Senyumnya melebar, hingga sudutnya menyentuh pelipis. **"Dia peduli padamu... sayang sekali."** 

‎Ardi mencoba berteriak, tapi hanya desis udara yang keluar. Tangannya benar-benar transparan sekarang—seperti kaca buram. 

‎**"Jangan khawatir,"** bisik bayangan itu, suaranya sudah hampir sempurna meniru Ardi. **"Aku akan jadi dirimu yang lebih baik."** 

‎Dengan langkah mantap, bayangan itu berjalan ke pintu—tubuhnya perlahan berubah: dari siluet hitam menjadi warna daging, rambut rapi, jas kerja Ardi yang kusut. Saat jubah kegelapan rontok, yang berdiri di sana... **adalah Ardi**. 

‎Pintu terbuka. 

‎Ningsih terengah, wajah pucat. **"Ardi? Apa yang—"** 

‎"Ardi" palsu itu tersenyum hangat—ekspresi yang tak pernah bisa dibuat Ardi asli. **"Maaf, sayang. Hanya mimpi buruk."** Ia memeluk Ningsih erat. **"Ayo kita tidur."** 

‎Ningsih melirik ke dalam ruangan. Ardi asli—sekarang hanya siluet tembus pandang—tergeletak di lantai. Mata mereka bertemu. 

‎*Tolong...*, bisik Ardi tanpa suara. 

‎Tapi Ningsih hanya menggeleng. **"Kamu benar-benar berkeringat... Aku ambilkan air."** 

‎Ia berbalik. Pintu tertutup. 

‎Dan "Ardi" palsu itu menoleh ke Ardi yang sekarat—senyumnya berubah dingin. 

‎**"Selamat tinggal, sampah waktu."** 

‎---

‎**DUNIA BAYANGAN** 

‎Ardi tersentak. Ia berdiri di ruang kerja yang sama—tapi *semuanya terbalik*. 

‎- Langit-langit jadi lantai, lampu menggantung ke atas. 

‎- Jam antik masih ada, tapi pendulumnya berayun ke kiri (biasanya ke kanan). 

‎- Di dinding tempat garis-garis merah tadi... **tertulis nama-nama**. 

‎Ia mendekat. Lima nama terukir dengan huruf darah beku: 

‎1. **BUDI SANTOSO** (1970-2000) → "Tewas tergantung" 

‎2. **LINDA DEWI** (1980-2010) → "Tubuh terpotong pendulum jam" 

‎3. **AGUS WIBOWO** (1975-2005) → "Menusuk jantung sendiri pakai jarum jam" 

‎4. **DINA RAHAYU** (1985-2015) → "Menelan roda gigi jam" 

‎5. **...ARDI...?** 

‎Namanya sendiri mulai muncul, perlahan. Huruf "A" sudah terbentuk. 

‎*Tok... Tik...* 

‎Detak jam terdengar lagi—kini dari *dalam dirinya*. 

‎Ardi melihat ke cermin di dinding. Yang terpantul bukan bayangannya lagi... **tapi dunia nyata**. 

‎Ia melihat "Ardi" palsu sedang memimpin rapat di kantornya. Percaya diri. Karismatik. *Semua yang tak pernah ia capai*. 

‎Ningsih tersenyum bangga dari balik jendela. 

‎**"Itu seharusnya aku..."** desis Ardi, suaranya serak seperti gesekan kayu. 

‎---

‎**PENCARIAN JAWABAN** 

‎Ardi mengamati ruangan terbalik ini. Di balik lemari buku, ia menemukan **buku harian Budi Santoso**—korban pertama. 

‎> *"30 September 2000* 

‎> Jam itu kutemukan di loakan Glodok. Kakek tuanya bilang: 'Ia bisa mengembalikan waktu yang hilang'. Aku percaya. Aku ingin kembali ke sebelum istriku meninggal... 

‎> Tapi yang ia kembalikan bukan waktu. *Ia mengembalikan bayanganku yang paling gelap*. 

‎> Hari ini garis terakhir hilang. Aku lihat bayanganku memakai tubuhku... dan aku terjebak di sini. 

‎> **Peringatan untuk yang membaca: jam itu lapar. Ia tak hanya makan waktumu... tapi juga penyesalanmu.**" 

‎Ardi membalik halaman. Coretan panik: 

‎> *"Ia bukan jam! Ia makhluk tua! Namanya—"* 

‎Tulisan berikutnya dicakar hingga robek. 

‎Tapi di sampingnya, ada sketsa simbol aneh: **lingkaran dengan ular makan ekor, dikelilingi 30 titik**. 

‎*Tok... Tik...* 

‎Detak jam makin keras. Ardi menoleh— 

‎**Bayangan Ningsih** berdiri di pintu. 

‎**"Kau tidak seharusnya membaca itu,"** bisiknya. Tapi suaranya... bukan suara Ningsih. Ini suara *gadis kecil*. 

‎---

‎**PERTEMUAN DENGAN KORBAN LALU** 

‎Bayangan Ningsih itu menuntun Ardi ke lorong gelap. Ruangan itu berubah menjadi **labirin waktu**: 

‎- Di satu sisi, ia melihat Budi Santoso muda menangis di kuburan istrinya. 

‎- Di sisi lain, Linda Dewi mengamuk melemparkan jam itu—tapi jam selalu kembali. 

‎**"Kami semua terjebak di sini,"** kata bayangan Ningsih. Tapi wujudnya berubah: kini ia gadis kecil berbaju merah. **"Aku Dina... korban kelima."** 

‎Ardi terkejut. **"Dina Rahayu? Tapi kau—"** 

‎**"Bunuh diri? Ya. Tapi bukan keinginanku."** Matanya kosong. **"*Dia* yang membuatku menelan roda gigi jam... lewat mulut bayanganku sendiri."** 

‎Dina menunjuk ke jam antik di dunia terbalik. **"Kau lihat simbol ular itu? Itu *Ouroboros*—lambang waktu tanpa akhir. Tapi di sini, ularnya... *terbalik*."** 

‎Benar. Ular di pendulum kini menggigit *kepalanya* sendiri, bukan ekor. 

‎**"Jam ini adalah perangkap waktu. *Ia menciptakan dunia bayangan dari penyesalan terdalammu*."** 

‎Ardi teringat adegan di laptop: ayahnya yang meninggal, narkoba, penyogokan dokter... 

‎**"Aku dihukum karena membuang-buang waktu?"** 

‎Dina mengangguk. **"Tapi ada cara keluar. *Kau harus menghadapi sumber bayanganmu*."** 

‎---

‎**PEMILIK ASLI: SANG TUKANG JAM GILA** 

‎Dina membawa Ardi ke ujung labirin. Ada pintu baja berukir Ouroboros terbalik. 

‎**"Di balik ini ada *Verstorbene*—si tukang jam yang menciptakan kutukan ini,"** kata Dina. **"Dia yang memakan waktu kita."** 

‎Pintu terbuka. 

‎Ruangan dipenuhi ratusan jam berdetak kacau. Di tengahnya, seorang lelaki kurus membungkuk di atas meja kerja. 

‎**"Siegfried Richter,"** bisik Dina. **"Tukang jam dari Praha, 1789."** 

‎Siegfried menoleh. Matanya **tanpa bola—hanya rongga hitam berisi roda gigi berputar**. 

‎**"Penghuni baru?"** suaranya seperti gemeretak mesin tua. **"Selamat datang di *Zeitgefängnis*... penjara waktumu."** 

‎Ardi memberanikan diri. **"Lepaskan aku! Aku bukan pembuang waktu!"** 

‎Siegfried tertawa—dentum logam patah. **"Kau pikir kau berbeda? Semua korban bilang begitu."** 

‎Ia berdiri, jubahnya terbuka: **tubuhnya adalah kumpulan jam**—jantungnya pendulum, tulangnya jarum jam. 

‎**"Aku menciptakan jam ini untuk menyelamatkan istri dan anakku,"** bisiknya, roda giginya berderit sedih. **"Tapi waktu tidak bisa diputar balik... hanya *ditipu*."** 

‎Ia menunjuk Ardi. **"Darah pengguna baru menyegarkanku. Sekarang, berikan sisa waktumu!"** 

‎Roda gigi di matanya berputar gila. 

‎Seluruh jam di ruangan berdentum bersamaan— 

‎*BONG! BONG! BONG!* 

‎Ardi terjatuh. Ia melihat "Ardi" palsu di dunia nyata sedang... **melamar Ningsih**. 

‎Dan Ningsih berkata **"iya"**. 

‎---

‎**PELARIAN** 

‎Dina menarik Ardi. **"Cepat! Kita harus ke *Pusat Detak*!"** 

‎Mereka berlari melalui labirin yang runtuh. Dinding-dinding berubah menjadi jam raksasa. 

‎**"Apa itu Pusat Detak?"** teriak Ardi. 

‎**"Jantung dunia bayangan! Di situlah jam utama!"** balas Dina. **"Jika kau hancurkan, kau bisa kembali!"** 

‎Tapi Siegfried mengejar. Tangannya—sepasang tang pengutip jam—meraih Dina. 

‎**"Traitor kecil!"** raungnya. 

‎**"LARI, ARDI!"** jerit Dina sebelum tubuhnya terlempar ke kumpulan roda gigi yang menggerusnya jadi serpihan logam. 

‎Ardi terus lari. Ia melihat simbol Ouroboros terbalik bercahaya merah. 

‎*Inilah tempatnya*, bisik hatinya. 

‎Di ruangan bundar itu, **jam raksasa** menggantung. Pendulumnya adalah pisau berkarat yang pernah ia lihat di mimpi. Dan di tengah-tengahnya... terkurung **bayangan aslinya**—terikat rantai jam. 

‎**"Kau datang,"** bisik bayangannya sendiri. **"Aku sudah menunggumu."** 

‎Ardi mengangkat pecahan logam runcing—satu-satunya senjata. 

‎**"Apa yang harus kulakukan?"** 

‎Bayangan itu tersenyum getir. **"Kau harus memilih: bunuh aku... atau bunuh dirimu sendiri?"** 

‎---

‎*Dunia terbalik berguncang. Siegfried muncul di pintu, tubuhnya terdiri dari ribuan jam berdetak.* 

‎***"Waktumu habis, Ardi!"*** 

‎*Di jam raksasa, pendulum pisau berayun...* 

‎*Menghitung detik terakhir.* 

‎---

‎‎

‎**Part 3: Pusat Detak dan Pengorbanan Terakhir** 

‎Pendulum pisau berayun tepat di atas kepala Ardi. *Swoosh!* Udara berdesis. Di depan, **bayangannya sendiri** tersenyum getir—rantai jam membelit tubuhnya, menyatukannya dengan mesin waktu raksasa. 

‎**“Pilih!”** teriak bayangan itu. **“Bunuh aku, kau bebas! Bunuh dirimu, kau jadi abadi di sini!”** 

‎Di belakang, Siegfried melangkah mendekat—ribuan jam di tubuhnya berdetak kacau, suaranya seperti ribuan kuku mencakar peti mati. 

‎**“KAU TAK BISA KABUR, ARDI!”** raungnya, mulutnya terbuka jadi roda gigi berputar. **“KAU BAGIAN DARI MESIN WAKTU-KU SEKARANG!”** 

‎Ardi menatap pecahan logam di tangannya. Lalu ia melihat bayangannya... 

‎*...dan ia ingat.* 

‎**FLASHBACK: TRAUMA TERDALAM** 

‎Usia 5 tahun. Ia di kamar mayat. Ayahnya terbujur kaku, bau formalin menusuk. Ibuku berbisik: 

‎*“Papa bunuh diri, sayang... karena kehilangan segalanya.”* 

‎Tapi Ardi *tahu* yang lain. Ia melihat **bayangan ayahnya** merangkak dari dinding, menyuapkan pil ke mulut ayahnya yang setengah sadar. 

‎*“Dia buang-buang waktu,”* bisik bayangan itu waktu itu. *“Aku akan pakai hidupnya lebih baik.”* 

‎Dan ketika bayangan itu menyentuh ayahnya... 

‎*Ayahnya tersenyum kosong sebelum tewas.* 

‎**“Itu bukan ayahku yang tewas...”** Ardi bergumam. **“Itu *kau*.”** 

‎Bayangan di depannya mendelik. **“Apa?!”** 

‎**“Kau bukan bayanganku—kau *penunggu jam* yang sama yang membunuh ayahku! Dan kini kau ingin tubuhku!”** 

‎Siegfried mendadak berhenti. Roda gigi di matanya berputar lebih cepat. 

‎**“Dia tahu...”** desisnya penuh kebencian. 

‎Ardi berbalik ke Siegfried. **“Kau kirim jam ini ke ayahku 30 tahun lalu, ‘kan? Dan ketika garis waktunya habis... kau kirim ke *putranya*!”** 

‎Siegfried tertawa dingin. **“Waktu adalah lingkaran, Ardi... seperti Ouroboros yang menggigit dirinya sendiri.”** 

‎---

‎**PERTARUNGAN TERAKHIR** 

‎Ardi tak berpikir lagi. Ia *melemparkan pecahan logam itu—bukan ke bayangannya, tapi ke* **Jantung Jam Raksasa**! 

‎*KRREEEENGG!* 

‎Logam itu menancap di mesin. Jam raksasa bergetar hebat. 

‎**“TIDAK!”** jerit Siegfried. 

‎Bayangan Ardi menjerit kesakitan—rantainya menyala merah. **“Gila! Kau bunuh kita semua!”** 

‎Dunia terbalik mulai runtuh. Langit-langit retak, jam-jam kecil meledak beruntun. 

‎Ardi berlari ke bayangannya. **“Aku tak akan jadi seperti ayahku!”** 

‎Dengan sekuat tenaga, ia **mencabut rantai jam** yang membelit bayangannya! 

‎*Zzzzt!* 

‎Sengatan listrik waktu menyetrumnya. Bayangan itu terlempar bebas— 

‎Tapi Ardi sendiri kini **terjebak di pusat mesin**, menggantikan posisinya! 

‎**“Bodoh...”** desis Siegfried mendekat. **“Kini kau terikat selamanya!”** 

‎Rantai-rantai jam otomatis membelit Ardi. 

‎Di luar, **Dina** muncul lagi—tubuhnya setengah transparan. 

‎**“Ardi! Pecahkan pendulum-nya! Itu kunci!”** 

‎Ardi melihat pendulum pisau berkarat berayun di atasnya—pisau yang sama yang dipakai Linda Dewi bunuh diri. 

‎Dengan tangan bebas terakhir, ia **mengguncang rantai jam sekuatnya**— 

‎*KRACK!* 

‎Satu rantai putus, menyambangi pendulum! 

‎*KLANG!* 

‎Pisau terlepas—jatuh tepat di tangan Ardi! 

‎---

‎**PENGORBANAN DINA & KEBENARAN TENTANG NINGSIH** 

‎Siegfried mengamuk. **“KAU!”** Ia menyambar Dina. 

‎Tapi Dina tersenyum sedih ke Ardi. **“Aku tahu cara menghentikannya... karena aku *putrinya*.”** 

‎**FLASHBACK SIEGFRIED:** 

‎*Praha, 1789. Siegfried Richter, tukang jam jenius, kehilangan istri & anak perempuannya (Dina) karena wabah. Dalam kesedihan, ia bunuh diri di depan jam karyanya—darahnya menyatu dengan mesin. Tapi arwah Dina yang terhisap jam, menjadi “penjaga” dunia bayangan.* 

‎**“Aku menunggu 200 tahun untuk seseorang seperti kau, Ardi...”** bisik Dina. **“Seseorang yang berani melawan bayangannya.”** 

‎Ia merangkul Siegfried—tubuhnya bersinar putih. 

‎**“Sudah cukup, Papa... istirahatlah.”** 

‎Siegfried menjerit—sinar putih membakar tubuh jamnya. 

‎**“DINA! TIDAK—!”** 

‎Tapi Dina terus memeluknya... sampai mereka berdua **menjadi debu waktu yang berkilauan**. 

‎---

‎**TWIST AKHIR: SI KAKET PENJUAL JAM** 

‎Dunia terbalik runtuh total. Ardi jatuh bebas— 

‎Dan mendarat di **Pasar Loak Senen**, 30 tahun lalu. 

‎Di depannya, seorang pria muda berkumis tipis—**Siegfried dalam wujud manusia**—sedang meletakkan jam Ouroboros di lapak loak. 

‎**“Kau...”** gumam Ardi. 

‎Siegfried menoleh. **“Ah... kau dari masa depan?”** Ia tersenyum pilu. **“Aku tahu ini akan terjadi. Tapi kutukan harus berlanjut... atau arwah Dina benar-benar hilang.”** 

‎Ardi mengangkat pisau pendulum. **“Aku bisa membunuhmu sekarang—menghentikan segalanya!”** 

‎Siegfried tertawa. **“Silakan. Tapi kau akan terhapus dari waktu... dan *Ningsih* akan mati.”** 

‎Ardi membeku. **“Apa?!”** 

‎**“Kau lupa? 3 tahun lalu, Ningsih overdosis. *Kau menyogok dokter untuk menutupinya*... dan jam inilah yang memberimu ide.”** Siegfried menyentuh jam itu. **“Ia menyelamatkan Ningsih dengan ‘meminjam’ waktu hidupmu... tapi konsekuensinya kau harus jadi pengganti berikutnya.”** 

‎Ardi gemetar. *Semua masuk akal*. 

‎**“Jadi... pilihanku?”** 

‎**“Hidupkan kutukan: jadi penunggu jam selanjutnya... atau bunuh aku, dan Ningsih tewas seketika.”** 

‎---

‎**EPILOGUE: DUNIA YANG TERBALIK** 

‎*Jakarta, 5 tahun kemudian.* 

‎Ningsih membuka kios obat herbalnya. Suaminya, **Ardi**, tersenyum membawakan kopi. 

‎**“Masih mimpi buruk soal jam antik itu?”** tanyanya lembut. 

‎**“Sudah tidak,”** jawab Ningsih. Tapi matanya linglung. 

‎Suatu malam, Ningsih terbangun. Suara *tok... tik...* terdengar dari gudang. 

‎Ia membuka pintu— 

‎Di sana, tergantung **jam Ouroboros antik**, pendulumnya berayun terbalik. 

‎Di depannya, **bayangan Ardi** sedang mencoret-coret dinding... 

‎**30 garis merah.** 

‎Bayangan itu menoleh. Senyumnya terlalu lebar. 

‎**“Aku lapar, Ning... kau punya *penyesalan* untuk kumakan?”** 

‎Ningsih menjerit— 

‎Tapi di luar, suara “Ardi” memanggil: **“Sayang? Ada apa?”** 

‎Ketika ia menoleh... 

‎Bayangan di gudang sudah menghilang. 

‎Dan di cermin, pantulan Ningsih sendiri... 

‎*berkedip.* 

‎**DETAK** 

‎**TERBALIK** 

‎**SELESAI** 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)