Masukan nama pengguna
Adegan ini berisi konten dewasa yang sangat eksplisit dan detail. Pembaca disarankan untuk bijak dalam memilih konten.
Keluarga Geri dan Luna adalah gambaran harmoni yang sering dikagumi tetangga. Rumah mereka, meskipun tidak besar, selalu dipenuhi tawa tiga bocah mereka: Genta, si sulung yang berusia sepuluh tahun yang cerewet dan pintar, Gina, gadis kecil berusia delapan tahun yang gemar menari, dan si bungsu Gio, lelaki lima tahun yang energik dan lucu. Senja itu, seperti biasa, tercium aroma masakan Luna dari dapur. Oseng-oseng kangkung dan ayam goreng rempah, masakan favorit Geri.
“Papa pulang!” teriak Gio begitu mendengar derit pintu depan dibuka.
Geri, dengan koper laptop masih tergenggam di tangan, langsung diserbu oleh ketiga anaknya. Wajahnya yang lelah setelah menembus macet selama dua jam langsung berbinar. Dia menaruh kopernya dan merangkul mereka semua.
“Ada apa ini? Hari ini pada kangen Papa banget, ya?” katanya sambil mengusap kepala mereka masing-masing.
Luna muncul dari dapur, masih mengenakan apron. Senyumnya hangat, menyapa suaminya. “Langsung mandi, ya. Makanannya hampir siap. Hari ini ada oseng-oseng kesukaanmu.”
Geri mendekat, mencium kening istrinya. “Terima kasih, Sayang. Aroma nya sudah bikin lapar.”
“Genta, tolong ambilkan air minum untuk Papa,” perintah Luna sambil kembali ke dapur.
“Iya, Bu!” sahut Genta berlari ke dapur.
Kehidupan mereka berjalan normal, penuh dengan obrolan kecil tentang sekolah anak-anak, tagihan listrik, dan rencana liburan akhir tahun nanti. Mereka adalah tim. Luna, istri yang sabar dan perhatian, dan Geri, suami yang bekerja keras dan penyayang.
Ketenangan itu berubah sebulan yang lalu, ketika adik Luna, Dinda, datang membawa koper besar dan mata yang sembap. Orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan mobil di luar kota, meninggalkan Dinda yang berusia dua puluh dua tahun sebagai yatim piatu. Satu-satunya keluarga yang dia miliki sekarang adalah Luna.
“Dia tinggal dengan kita, Geri. Hanya sementara, sampai dia bisa mandiri. Dia tidak punya siapa-siapa lagi,” kata Luna suatu malam di kamar mereka, suaranya lirih penuh harap.
Geri, tentu saja, tidak bisa menolak. “Tentu saja, Sayang. Ini juga rumahnya. Dia keluarga.”
Dinda pun menempati sofa bed di ruang tengah. Kamar tidur hanya satu, ditempati Geri, Luna, dan ketiga anak mereka yang masih kecil. Ruang tengah menjadi kamar Dinda di malam hari dan ruang keluarga di siang hari.
Awalnya, segala sesuatu berjalan baik. Dinda adalah gadis pendiam dan sopan. Dia membantu Luna mengurus rumah dan anak-anak. Wajahnya biasa saja, tidak secantik Luna, tetapi ada sesuatu tentang dirinya yang perlahan mulai menarik perhatian Geri: kulitnya yang sangat putih, porselen, dan tubuhnya yang seksi, berlekuk lekuk di tempat yang tepat, sering kali terekspos oleh piyama sederhana atau kaos ketat yang dia kenakan di rumah.
Geri mulai menyadari bahwa matanya lebih sering mengikuti Dinda. Saat dia membungkuk mengambil remote TV, saat dia meregangkan tubuh di pagi hari, atau saat dia tertawa lepas bersama keponakannya. Hasrat yang sudah lama tertidur, terkubur oleh rutinitas pernikahan, mulai berdenyut kembali. Dia merasa bersalah, sangat bersalah, tetapi imajinasinya mulai liar.
Dia mulai berkhayal di kantor, saat terjebak macet, bahkan saat berbaring di samping Luna yang tertidur. Khayalannya tentang kulit putih Dinda, tentang tubuhnya yang menggairahkan. Dia mencoba melawan, mengingat Luna, mengingat anak-anaknya, tetapi godaan itu seperti benalu yang merambat pelan dan pasti.
Suatu Kamis malam, Luna dan ketiga anaknya sudah tidur lelap di kamar. Geri terbangun karena haus. Dia berjalan keluar menuju dapur. Ruang tengah gelap, hanya diterangi cahaya bulan dari jendela. Di sana, di sofa bed, Dinda tertidur pulas.
Bibir Geri langsung kering. Dinda tidur dengan posisi miring, menghadap ke arahnya. Kaos oblong yang dia kenakan naik hingga memperlihatkan perutnya yang rata dan putih. Celana pendeknya juga sedikit tersingkap, memperlihatkan paha yang mulus. Nafasnya teratur, dada nya naik turun perlahan.
Geri berdiri terpaku, tidak bisa bergerak. Pertarungan batinnya memuncak. Semua imajinasi selama ini ada di depan matanya, nyata, terbentang tanpa perlindungan. Hati nuraninya berteriak, tetapi nafsu yang telah lama dipendam akhirnya menang.
Dengan langkah pelan, dia mendekat. Tangannya gemetar. Dia berlutut di samping sofa bed. Bau harum sampo Dinda memenuhi indranya. Dia mengulurkan tangannya, dan dengan ujung jari, menyentuh perut Dinda. Kulitnya sehalus sutera, hangat.
Dinda bergerak sedikit, mengerang pelan dalam tidurnya, tetapi tidak terbangun.
Sentuhan itu seperti menyulut api. Geri tidak bisa lagi berpikir jernih. Nafsu binatangnya mengambil alih. Tangannya mulai meraba dengan lebih berani, dari perut naik ke bawah kaos, merasakan kelembutan payudaranya. Dinda menggeliat, matanya terbuka setengah.
“Kak… Luna?” gumamnya, masih setengah sadar, mengira itu kakaknya.
Geri membeku, tetapi ketika Dinda tidak bereaksi lebih dari itu, hanya memejamkan matanya kembali, keberaniannya kembali. Dia membungkuk, menciumi leher Dinda. Tangannya meremas payudaranya dengan kasar.
Dinda sekarang benar-benar terbangun. Matanya terbuka lebar, penuh ketakutan. “Geri…?” bisiknya, suaranya parau ketakutan. Dia mencoba mendorong, tetapi Geri jauh lebih kuat.
“Sssst… jangan berisik,” desis Geri, nafasnya berat di telinga Dinda. Tangannya sudah merobohkan semua batas, masuk ke dalam celana pendek Dinda.
Dinda membeku. Ketakutan yang paralitis menyergapnya. Otaknya berteriak, tetapi tubuhnya tidak bisa bergerak. Air matanya mengalir deras. “Tolong… jangan…”
Tapi Geri sudah tidak bisa mendengar. Dia menempelkan mulutnya ke mulut Dinda, memaksanya terbuka. Tangannya meraba-raba dengan liar, menarik celana pendek Dinda hingga ke paha. Dinda mencoba memalingkan wajah, mencoba melawan, tetapi Geri mendesis dengan kasar.
“Diam! Kalau tidak, semua akan tahu. Luna akan tahu,” ancamnya, dan ancaman itu seperti pisau yang melumpuhkan Dinda sepenuhnya. Dia tidak tahan jika kakaknya tahu. Rasa malu yang lebih besar daripada rasa takut membuatnya pasrah.
Dia menutup matanya, air mata terus mengalir. Dia merasakan tangan Geri melepas kancing celananya, menariknya hingga terbuka. Dan teihat vagina nha yang di hiasi oleh bulu bulu halus, Dia merasakan hawa dingin malam menyentuh kulitnya yang terbuka, lalu digantikan oleh berat tubuh Geri.
Geri, melihat Dinda tidak lagi melawan, menjadi semakin berani. Dia menarik tubuh Dinda, memaksanya untuk berlutut di atas karpet. “Lakukan,” gerutnya, mendorong kepala Dinda ke arah selangkangannya.,
Dinda menggigil, matanya tertutup rapat. Dia merasakan tangan kasar Geri membuka resleting celananya. Bau yang berbeda memenuhi hidungnya. Dia mencoba memalingkan kepala, tetapi Geri memegangi tengkuknya dengan erat.
“Jangan membuatku marah, Dinda. Lakukan!” perintah Geri, suaranya dalam dan penuh kendali yang mengerikan.
Dengan tangan gemetar dan jiwa yang hancur, Dinda terpaksa menuruti. Dia merasakan kekerasan dan keangkuhan yang memaksanya. Dinda terpaksa mengulum torpedo Geri yang sudah mengeras, Rasanya menjijikkan, membuatnya ingin muntah. Dia mencoba untuk tidak berpikir, hanya berharap ini cepat selesai. Geri mendesah puas, tangannya mencengkeram rambut Dinda, mengatur gerakannya dengan paksa. Dinda tersedak, air matanya bercampur dengan rasa yang tidak ingin dia kenali.
“Telan,” perintah Geri tiba-tiba, suaranya tegang. Dinda tidak mengerti, tidak sempat bereaksi, sebelum sesuatu yang hangat dan asin membanjiri mulutnya. Dia tersedak hebat, mencoba memuntahkannya, tetapi Geri menutup mulutnya dengan tangan, memaksanya untuk menelan.
“Aku bilang telan,” desisnya lagi, dan dengan putus asa, Dinda menelan, perutnya mual dan jiwanya merasa ternoda selamanya.
Tapi itu belum berakhir. Geri membalikkan tubuhnya, menelantangkannya di atas karpet. Dinda merasakan kain karpet yang kasar menggesek punggungnya yang telanjang. Dia membuka matanya, melihat wajah Geri yang sudah tidak dikenalnya lagi, wajah yang dipenuhi nafsu gelap.
“Tolong… jangan di dalam,” pintanya, terisak, suaranya pecah. Dia tahu risiko nya. Tapi permohonannya diabaikan.
Geri lalu menancapkan torpedo nya ke dalam vagina Dinda dengan kasar, tanpa perlahan-lahan, tanpa belas kasihan. Dinda menjerit pelan, ahhhh..!!
rasa sakit yang tajam menyergap. Dia menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah untuk menahan suara. Geri menggerakkan tubuhnya dengan liar, seperti binatang yang kelaparan, tenggelam dalam kenikmatannya sendiri. Dunia Dinda hancur. Dia memandang langit-langit ruang tengah, matanya kosong, mencoba memisahkan pikirannya dari tubuhnya yang sedang diperkosa. Dia mendengar desahan dan erangan Geri, suara itu akan menghantuinya selamanya.
Setelah yang terasa seperti keabadian, Geri mendesah panjang, tubuhnya kejang kejang, dan Dinda merasakan semburan cairan panas di dalam dirinya. Sesuatu yang dia mohon untuk tidak dilakukan. Perasaan jijik dan kekalahan yang mutlak membanjiri dirinya.
Geri pun collaps, tubuhnya menindih Dinda untuk sesaat sebelum akhirnya berguling. Nafasnya masih terengah.
Dinda langsung menarik tubuhnya, merangkak menjauh, menarik celananya dan menyelimuti tubuhnya yang terguncang dan merasa kotor. Dia mendekap lututnya, tubuhnya menggigil tak terkendali. Dia tidak berani melihat ke arah Geri.
Lambat laun, kesadaran kembali kepada Geri. Dia melihat Dinda yang menyusut ketakutan, tubuhnya yang gemetaran, dan wajahnya yang basah oleh air mata. Realitas menghantamnya seperti pukulan godam. Apa yang telah dia lakukan? Dia melihat istrinya tertidur di kamar, anak-anaknya, dan kemudian melihat adik iparnya yang hancur karena ulahnya.
Rasa bersalah yang amat sangat menyergapnya. “Dinda…” ucapnya, suaranya serak.
Dinda tidak menjawab, hanya menggigil lebih keras.
“Dinda… aku… aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf,” gumam Geri, mendekatinya pelan.
Dinda menjerit ketakutan. “Jangan mendekat!”
Geri berhenti. Tangannya menutup wajah. “Aku bajingan. Aku monster.” Dia menarik nafas dalam-dalam. “Tolong… maafkan aku. Ini tidak akan pernah terjadi lagi. Aku berjanji. Aku mohon, jangan bilang siapa-siapa. Jangan bilang pada Luna. Keluarga kita… akan hancur.”
Dinda mendengar kata-kata itu. Keluarga. Luna. Anak-anak. Dia membayangkan wajah kakaknya yang penuh kepercayaan. Dia tidak bisa. Rasa malu itu terlalu besar. Dia hanya bisa mengangguk pelan, masih tidak berani menatap.
“Apa kau memaafkanku?” desak Geri, suaranya penuh harap dan penyesalan.
Apa arti maaf di saat seperti ini? Tapi Dinda tahu, untuk bisa bertahan, untuk bisa membuat ini selesai, dia harus mengatakannya. Dengan suara hampir tak terdengar, dia berbisik, “Iya.”
Geri menghela nafas lega yang palsu. “Ini akan menjadi rahasia kita. Kita akan melupakannya. Aku berjanji akan memperlakukanmu dengan baik. Aku akan menjadi kakak ipar yang baik.” Kata-katanya terdengar hampa dan kosong.
Dinda hanya mengangguk lagi. “Aku… aku ingin sendiri.”
Geri mengangguk, lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi, meninggalkan Dinda sendirian di ruang tengah yang gelap, dengan luka yang tidak terlihat dan kenangan yang akan menghantuinya selamanya.
Keesokan paginya, suasana tegang tak terucapkan. Luna sibuk menyiapkan sarapan, cerah seperti biasa. “Dinda, kamu kurang tidur? Matamu sembap,” katanya sambil membagi telor dadar.
Dinda menunduk. “Iya, semalam agak susah tidur,” jawabnya, suaranya datar.
Geri tidak berani menatapnya. Dia memusatkan perhatian pada Gio yang sedang bercerita tentang mimpinya.
“Papa juga keliatan lelah,” tambah Luna, menyentuh bahu Geri.
Geri tersentak. “Iya, kerjaan lagi banyak.”
Sepanjang hari, Dinda menghindari Geri. Setiap langkah kakinya, setiap bayangannya, membuatnya ngeri. Dia merasa jijik setiap kali melihatnya, mengingat apa yang dia lakukan, apa yang dia paksakan. Tapi dia harus berpura-pura normal, tersenyum pada Luna, bermain dengan keponakannya. Dia merasa seperti terkunci dalam neraka yang sunyi.
Malam itu, saat semua sudah tidur, Geri mendekati Dinda yang sedang bersiap di sofa bed-nya. Dinda langsung menegang.
“Dinda, sekali lagi, aku benar-benar minta maaf,” bisik Geri. “Aku tidak akan mengganggumu lagi.”
Dinda hanya mengangguk, tidak berkata apa-apa. Dia tidak percaya lagi.
Hari-hari berlalu dengan pola yang sama. Kehidupan luar mereka terlihat normal, bahkan harmonis. Tapi di dalam, Dinda perlahan sekarat. Dia tidak bisa makan dengan baik, mimpi buruk selalu menghantuinya, dan rasa jijik terhadap Geri semakin menjadi. Geri, di sisi lain, mencoba menebus kesalahannya dengan menjadi sangat baik, membelikannya hadiah, menawarkan bantuan, yang justru membuat Dinda semakin tidak nyaman. Itu seperti menyiram luka dengan garam.
Dua minggu setelah kejadian itu, Dinda menemukan surat lamaran kerja di emailnya. Sebuah perusahaan di kota seberang memanggilnya untuk wawancara. Sebuah jalan keluar.
Dia memberitahu Luna di malam hari. “Kak, aku dapat panggilan wawancara. Di Malang. Aku ingin pergi.”
Luna terkejut sekaligus senang. “Wah, itu bagus, Din! Tapi… kau akan tinggal di sana?”
“Jika diterima, ya. Aku harus mencoba mandiri,” kata Dinda, berusaha terdengar bersemangat.
Geri, yang mendengar pembicaraan itu, diam saja. Dia tahu alasan sebenarnya.
Hari keberangkatan Dinda tiba. Luna membantu membereskan barangnya. “Kamu harus sering-sering telpon. Jangan lupa makan. Kalau ada apa-apa, bilang saja,” pesan Luna, memeluknya erat.
Dinda memeluk balik kakaknya, perasaan bersalah karena menyimpan rahasia besar menghantuinya. “Iya, Kak. Terima kasih untuk segalanya.”
Geri mengantarnya ke stasiun. Perjalanan itu sunyi. Saat sampai, Geri membantu mengangkat kopernya.
“Dinda…” ucapnya saat Dinda akan masuk.
Dinda menoleh, matanya kosong.
“Aku… semoga kamu sukses. Dan… maafkan aku. Sungguh.” kata Geri, matanya penuh penyesalan.
Dinda memandangnya lama. Dia melihat seorang lelaki yang hancur oleh nafsunya sendiri, seorang pengecut yang bersembunyi di balik topeng keluarga harmonis. Dia tidak bisa memaafkan, tapi dia juga tidak ingin membenci selamanya. Itu terlalu melelahkan.
“Jaga Luna dan anak-anak baik-baik,” katanya, lalu berbalik dan berjalan masuk ke stasiun, tidak pernah melihat ke belakang lagi. Dia meninggalkan rumah itu, rahasia itu, dan semua rasa sakitnya, berharap bisa memulai baru dan perlahan-lahan menyembuhkan luka yang dalam, sementara Geri tetap terkurung dalam penjaranya sendiri: penjara rasa bersalah dan kenangan atas kejahatan yang telah ia lakukan terhadap orang yang dipercayakan keluarganya.