Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,148
Di Balik Dosa Sang Pelindung
Aksi

Kisah Tommi dan Cahaya di Ujung Lorong Gelap

‎‎**Prolog: Doa di Kegelapan**

‎‎Malam itu, udara di gubuk reyap keluarga Hasan terasa lebih berat dari biasanya. Bau apek tanah bercampur dengan sisa masakan sederhana menggelayut. Di ruang tengah yang sempit, hanya diterangi cahaya temaram lampu minyak, terlihat sosok renta bersujud. Bapak Hasan, tulang punggung keluarga yang keriput oleh terik matahari dan beban hidup, menangis tersedu-sedu.

‎‎"Ya Allah... ampuni hamba-Mu yang lemah ini," bisiknya, suara serak penuh kepasrahan. "Tak mampu aku mendidik anakku, Tommi. Tak mampu memberinya jalan yang lurus. Berat rasanya menanggung malu, mendengar keluh kesah tetangga, melihat daganganku yang tak seberapa sering kali hilang..."

‎Di sampingnya, Ibu Yuli, wajahnya keriput didera kelelahan dan kekhawatiran, mengusap punggung suaminya. Air matanya juga mengalir pelan. "Ya Rabb... Kau Maha Tahu isi hati kami. Tommi... anak kami itu... ada baiknya, Bapak. Ingat saat dia melindungi Bapak dari Bang Jaro?"

‎‎Bapak Hasan mengangguk lemah. "Ada, Bu. Tapi dosanya... kelakuannya yang lain... mencuri, berutang, malas... itu menenggelamkan kebaikan kecil itu. Dia membawa nama kita terpuruk dalam lumpur kemiskinan dan aib. Dan Miya... adiknya yang polos, melihat semua ini. Kami takut... takut dia terpengaruh." Suaranya pecah. "Aku hanya penjual rokok asongan, Bu. Kau ibu rumah tangga. Apa yang bisa kami wariskan selain nama baik? Tapi Tommi... dia menghancurkannya perlahan."

‎‎Mereka terdiam, hanya desahan dan tangis yang memecah kesunyian. Di sudut ruang sempit yang dipisahkan sekat kain, Miya, gadis SMP berwajah polos dan cantik, mendengarkan dengan hati berdebar. Dia mencintai Tommi, kakaknya yang terkadang memberinya uang jajan dari 'pinjaman' ke kakak-kakaknya, tapi juga takut pada kemarahannya, malu pada kelakuannya. Di balik tirai kamar lain, Tommi sendiri, dengan kepala masih pening oleh minuman murahan, setengah sadar mendengar rintihan orang tuanya. Sebuah rasa sesak menusuk dadanya, tapi cepat tenggelam oleh ego dan rasa putus asanya. *'Susahlah cari kerja...'* gumamnya dalam hati sebelum tertidur pulas, tak peduli dengan air mata yang jatuh di ruang tengah.

‎‎**Bagian 1: Bayangan Sang Pengangguran**

‎Fajar menyingsing di kampung kumuh di pinggiran kota. Asap dapur Ibu Yuli sudah mengepul, memasak nasi dan lauk seadanya. Miya bersiap dengan seragam SMP-nya yang sudah lusuh tapi rapi.

‎"Mi, jajan ya," ucap Miya lembut, mencium tangan ibunya.

‎Ibu Yuli mengeluarkan beberapa lembar uang receh dari balik kain sarung. "Hati-hati di jalan, Nak. Jangan lama-lama pulangnya." Ada kekhawatiran mendalam di matanya.

‎Tommi baru bangun, rambut acak-acakan, mata sembab. Langsung menuju dapur, mengambil piring dan mengisi nasi hingga penuh tanpa permisi.

‎"Ibu, uang jajan?" gerutunya, mulut penuh nasi.

‎Ibu Yuli menghela napas. "Tommi, kemarin Ibu baru kasih. Untuk apa lagi? Cobalah cari kerja, Nak. Lihat tetangga sebelah, anaknya yang kemarin masuk pabrik..."

‎Tommi menoleh, wajahnya masam. "Pabrik? Itu bayar, Bu! Bayar! Lagi pula, gajinya kecil, kerja keras. Buat apa? Susah cari kerja zaman sekarang, harus ada orang dalam, harus nyogok. Mana ada yang mau terima orang kayak aku?" Dia menyeruput kopi tubruk kental. "Lagipula, aku ada urusan."

‎"Urusan apa lagi, Tom?" tanya Bapak Hasan yang baru selesai shalat Subuh, suaranya lelah. "Sudahlah, bantu Bapak bereskan dagangan rokok, jaga warung sebentar hari ini."

‎Tommi menggerutu. "Nanti, Pak. Aku ada janji." Dia melengos keluar, menyisakan orang tuanya yang saling pandang dengan kepedihan.

‎Perjalanan Tommi pagi itu adalah rutinitas memalukan. Pertama, ke warung kopi langganan, "Warkop Pak Jali".

‎"Pak Jali, kopi satu, gorengan dua," sapa Tommi mencoba bersikap santai.

‎Pak Jali, lelaki tua berkumis tebal, wajahnya langsung berkerut. "Tommi... utangmu kemarin belum lunas. Lagi minggu kemarin, minum tiga kali, nggak bayar. Katanya besok, besoknya besok lagi."

‎Tommi memaksakan senyum. "Ah, Pak Jali, hari ini pasti. Aku lagi nunggu transferan dari kakakku, Indra. Buat biaya sekolah Miya nih." Kebohongan itu keluar lancar.

‎Pak Jali menghela napas berat. "Sekali ini lagi, Tommi. Terakhir. Kalau besok belum, Bapak terpaksa datang ke rumahmu, bicara sama Bapak Hasan." Dia menuangkan kopi dengan gerakan kesal.

‎Tommi meneguk kopi, menghindari tatapan pelanggan lain yang memandangnya sinis. Hatinya panas, tapi dia tak punya pilihan. Dari warung kopi, dia menuju warteg "Bu Siti". Nasib sama. Bu Siti, wanita paruh baya yang tegas, langsung angkat bicara.

‎"Tommi, buku utangmu sudah tiga halaman! Nasi padang, nasi campur, ayam goreng... kapan mau bayar? Aku bukan bank!"

‎"Tenang, Bu. Besok, besok pasti. Kakakku Tia baru janji kirim uang buat bayar SPP Miya. Aku ambil jatahku sedikit buat bayar utang," Tommi membual lagi, menunjuk ke arah yang tidak jelas.

‎Bu Siti memandangnya skeptis. "SPP Miya? Kau pikir aku percaya? Tapi baiklah. Besok, Tommi. Atau tak akan ada lagi nasi untukmu di sini, dan aku akan teriak-teriak di depan rumahmu!" Ancaman itu membuat Tommi cepat-cepat pergi setelah melahap makanannya.

‎Pulang menuju rumah, matanya tertuju pada pohon jambu milik Pak RT yang sedang berbuah lebat. Lihat sekeliling, sepi. Dengan cepat, ia memanjat pagar kayu yang lapuk, memetik beberapa buah ranum, dan melompat turun. Tapi langkahnya terhenti. Pak RT berdiri di balik pintu rumahnya, wajah merah padam.

‎"Tommi! Lagi-lagi kau! Sudah berapa kali Bapak bilang? Ini bukan milikmu!"

‎Tommi kaget, beberapa jambu jatuh. "Eh... Pak RT. Aku... aku cuma lihat buahnya banyak, takut rontok sia-sia..." bualnya kacau.

‎"Bohong! Kau pencuri! Aku capek lapor ke Bapak Hasan, tapi kau tetap bandel! Akan aku laporkan ke polisi kali ini!" teriak Pak RT.

‎Tommi, rasa malunya berubah jadi amarah. "Lapor saja! Apa polisi mau urusi buah jambu? Lagi pula, kalian semua kaya raya, pelit amat!" Dia membuang sisa jambu di tangannya ke tanah dan berlari pulang, meninggalkan Pak RT yang gemetar marah.

‎Di rumah, Bapak Hasan baru saja pulang dari mengambil stok rokok. Wajahnya muram.

‎"Tommi, Pak RT baru saja datang," ucapnya, suara datar penuh kelelahan. "Lagi-lagi soal jambu. Dan tadi pagi, Bu Siti nelpon, utangmu menumpuk. Apa tak ada malu sedikit pun?"

‎Tommi membanting pintu kamarnya. "Dasar tetangga pelit! Bu Siti itu tukang ribut! Susah hidup di dunia ini kalau dikelilingi orang-orang kayak gitu!"

‎Bapak Hasan mengepalkan tangan, tapi kekuatannya seolah habis. "Kau pikir ini mudah bagiku? Berkeliling pasar seharian, panas-panasan, diusir satpam, dihina pembeli, cuma untuk sedikit keuntungan yang kau curi lagi untuk beli minuman atau apa? Kau pikir ini mudah bagi ibumu, melihat anaknya jadi bahan gunjingan? Kau pikir ini mudah bagi Miya, punya kakak seperti itu?" Suara Bapak Hasan meninggi, penuh kepedihan yang tertahan lama.

‎Tommi membuka pintu, wajahnya keras. "Aku tahu! Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku coba, Pak! Tapi ditolak di mana-mana! Preman pasar aja lebih dihormati daripada aku! Paling tidak, mereka takut sama aku!" Teriakan terakhir itu seperti pengakuan pahit. Dia menutup pintu lagi, mengunci diri dalam kegelapan dan kemarahan yang tak tersalurkan.

‎Ibu Yuli mendekat, memegang lengan suaminya yang gemetar. "Sabar, Pak. Doa kita... pasti didengar-Nya. Suatu saat, Tommi akan tersadar."

‎**Bagian 2: Prahara di Pasar dan Bayang-bayang Bang Jaro**

‎Pasar "Sumber Rejeki" adalah denyut nadi sekaligus sarang ketakutan bagi pedagang kecil. Bau ikan, sayur busuk, keringat, dan ketakutan bercampur jadi satu. Di tengah keriuhan, Bapak Hasan mendorong gerobak kayunya yang reyap, berisi rokok berbagai merek. Suaranya lirih, "Rokok... rokok... kretek... filter..." Dia menghindari mata para preman yang berkeliaran.

‎Tiba-tiba, keributan terjadi di lapak sayur dekatnya. Bang Jaro, si penguasa pasar dengan wajah penuh bekas luka dan tatangan dingin, bersama tiga anak buahnya, mengacak-acak kangkung dan tomat milik seorang ibu tua.

‎"Setoran minggu lalu belum lunas, Mpok! Pasar ini bukan tempat amal!" hardik Bang Jaro, menyepak keranjang plastik hingga berhamburan.

‎"Iya, Bang... maaf, Bang. Dagangan sepi... anak saya sakit... minggu depan, saya pasti bayar lunas..." pinta si ibu tua ketakutan, nyaris menangis.

‎"Besok! Kalau besok belum ada, lapak ini aku bongkar!" Bang Jaro mengancam, meludah dekat kaki si ibu. Matanya berpindah, menyapu pasar. Saat melihat Bapak Hasan, tatapannya sedikit berubah. Dia hanya mengangguk dingin dan berlalu.

‎Seorang pedagang ikan di sebelah Bapak Hasan berbisik, Beruntung lu, Pak Hasan. Bang Jaro selalu lewatin lapak lu. Dulu kan ada insiden?"

‎Bapak Hasan mengangguk, wajahnya campur aduk. "Iya. Tommi... anakku." Ingatannya melayang ke beberapa tahun silam. Saat itu Bang Jaro baru naik pangkat dan ingin menunjukkan taring. Dia mengusik gerobak Bapak Hasan, melempar beberapa bungkus rokok.

‎"Orang tua bangka, setoran mana?" geram Bang Jaro waktu itu.

‎Bapak Hasan ketakutan, meraba-raba kantongnya yang cekak. Tommi, yang kebetulan lewat setelah berkelahi dengan anak lain, melihat adegan itu. Amarahnya meledak. Dengan gerakan cepat dan beringas, dia menghajar anak buah Bang Jaro yang mendekat, lalu berhadapan langsung dengan Bang Jaro. Pertarungan singkat tapi sengit terjadi di tengah pasar yang tercekam. Tommi, dengan amarah dan insting bertarung alami, berhasil menjatuhkan Bang Jaro dengan pukulan keras ke ulu hati.

‎Tommi berdiri di atas Bang Jaro yang terbatuk-batuk, wajahnya sangar. **"Dengar baik-baik, Jaro!"** teriaknya, suara menggema. **"Kau boleh usik pedagang lain! Kau boleh jadi raja kecil di pasar kumuh ini! Tapi jangan sekali-kali kau sentuh Ayahku! Sekali kau sentuh dia, kuhabisi kau!"** Dia meludah dekat wajah Bang Jaro sebelum pergi, meninggalkan preman itu malu, marah, tapi juga terkesima sekaligus takut.

‎Sejak saat itu, gerobak Bapak Hasan menjadi zona terlarang bagi Bang Jaro. Tapi ketakutan dan kekejamannya terhadap pedagang lain semakin menjadi. Tommi tahu ini. Kadang, saat dia 'nongkrong' di pinggir pasar, dia melihat Bang Jaro memeras atau menganiaya pedagang lain. Sebuah rasa iba dan kemarahan menggelora di dadanya. Dia ingin bertindak. Tapi untuk apa? Dia bukan pahlawan. Dia sendiri pengangguran bermasalah. Dan ingatannya pada ancamannya ke Bang Jaro hanya untuk melindungi ayahnya. Peduli pada orang lain? Itu mewah baginya. Dia memalingkan muka, menenggak minuman murahan, mencoba mematikan nuraninya yang sesekali berbisik.

‎**Bagian 3: Utang dan Topeng Sang Kakak**

‎Hari bergulir dengan kemelut yang sama di rumah Hasan. Miya pulang sekolah dengan wajah murung. "Ibu... besok ada iuran studi tour ke kebun binatang. Seratus ribu," ucapnya pelan, menunduk.

‎Ibu Yuli menghela napas panjang. "Mi... Ibu... Ibu coba usahakan." Tapi matanya kosong. Uang segitu besar.

‎Tommi yang mendengar dari kamarnya keluar. "Seratus ribu? Buat apa ke kebun binatang? Nggak penting!"

‎Miya menangis. "Tapi teman-teman semua pergi, Tom! Aku satu-satunya yang nggak! Aku malu!"

‎Tommi melihat adiknya menangis. Sesuatu dalam hatinya tersentak. Dia ingat bagaimana Miya selalu membelanya di depan orang tua, memberinya makanan diam-diam saat dia dikurung karena mencuri. Dia mengambil handphone tua yang sering mati. "Tenang, Mi. Kakak urus."

‎Dia keluar rumah, menuju rumah kakak pertamanya, Indra, yang tinggal di kompleks perumahan agak lebih baik. Istri Indra, Maya, yang membuka pintu, wajahnya langsung berkerut melihat Tommi.

‎"Tommi? Ada apa? Indra lagi kerja."

‎Tommi memaksakan senyum. "Mba Maya. Aku cari Mas Indra sebentar. Urgent nih, buat Miya."

‎Maya mempersilakan Tommi masuk dengan enggan. Indra keluar dari kamar, wajahnya tidak ramah. "Tommi. Lagi-lagi ada apa? Utang di warung lagi?"

‎Tommi menggeleng cepat. "Bukan, Bang. Ini... ini buat Miya." Dia mengatur nada menjadi sedih. "Dia kena tipu sama temannya. Katanya iuran kelompok belajar, ternyata dipake judi online temannya itu. Sekarang dia dimintai pertanggungjawaban sama guru. Harus bayar seratus lima puluh ribu besok, nggak bisa ditunda. Kalau nggak, dia bisa dikeluarkan, Bang! Miya panik, nangis-nangis. Aku nggak tega liat dia kayak gitu." Kebohongannya lancar, memanfaatkan ketulusan Miya.

‎Indra mendengus. Miya di tipu ? Nggak mungkin! Dia anak baik."

‎"Tapi buktinya dia ketipu, Bang! Dia percaya sama temannya. Dia nggak tahu itu buat judi. Sekarang dia ketakutan setengah mati. Aku janji bantu dia, tapi aku nggak punya uang. Please, Bang. Aku minjem. Nanti aku bayar pelan-pelan, janji!" Tommi merengek.

‎Indra menghela napas, melihat istrinya yang menggeleng. "Tommi, kau selalu begini. Selalu ada alasan. Untuk Miya... baiklah." Dia mengambil dompet dari dalam. "Ini dua ratus ribu. Seratus lima puluh buat bayar, lima puluh buat jajan Miya, biar nggak stres. Tapi ini terakhir kali, Tommi! Aku serius! Dan kau harus bilang ke Bapak Ibu soal ini!"

‎Tommi mengambil uang itu dengan cepat, bersyukur jumlahnya lebih. "Siap, Bang! Makasih banyak! Aku pasti bilang! Aku pasti ganti!" Dia segera pergi sebelum ditanya lebih lanjut.

‎Esoknya, dia melakukan hal serupa ke rumah kakak keduanya, Tia, yang tinggal di kontrakan sederhana bersama suami dan satu anak. Kali ini, ceritanya tentang 'kecelakaan kecil' Miya yang 'merusak kacamata teman' dan harus mengganti. Lagi-lagi, dengan drama air mata palsu dan jaminan 'terakhir kali', dia mendapat tiga ratus ribu dari Tia yang iba mendengar nama Miya.

‎Miya mendapat uang untuk studi tournya, plus jajan. Dia memeluk Tommi senang. "Makasih, Kak Tom! Kau memang kakak terbaik!"

‎Tommi tersenyum tipis, rasa bersalah menggerogoti, tapi cepat ditekan. *'Untuk Miya,'* bisiknya pada diri sendiri, mencoba membenarkan kebohongannya. Uang lebihnya dia pakai untuk membayar sebagian utang di warung kopi dan warteg, dan tentu saja, menyisakan untuk 'kebutuhannya'.

‎**Bagian 4: Cakar Sang Harimau dan Bunga yang Terluka**

‎Petang itu, langit berwarna jingga. Miya pulang agak terlambat karena ada kegiatan ekstrakurikuler. Dia memutuskan jalan pintas melewati Pasar "Sumber Rejeki" yang sudah sepi, hanya tersisa beberapa pedagang yang membereskan barang.

‎Dari dalam pos ronda kecil di ujung pasar yang jadi markas tak resminya, Bang Jaro melihat sosok itu. Miya, dengan seragam putih biru yang masih rapi, rambut dikepang dua, wajahnya bersih dan polos, bersinar seperti mutiara di tengah kumuh pasar. Jantung Bang Jaro berdebar kencang. Nafsu buta menyergapnya.

‎Dia melangkah keluar, menghadang jalan Miya yang sedang berjalan cepat, menunduk. "Hei, Nona manis..." suara Bang Jaro serak. "Loe siapa? Baru pindah sini? Abang belum pernah liat."

‎Miya terkejut, mengangkat wajah. Tatapan Bang Jaro yang penuh nafsu dan wajahnya yang sangar membuat darahnya serasa beku. "A-aku... Miya," jawabnya gugup, mencoba menunduk dan berjalan cepat.

‎Bang Jaro melangkah lagi, menghalangi. "Miya... nama yang cantik. Abang Jaro. Penguasa pasar sini." Dia tersenyum, tapi matanya seperti mata elang mengincar mangsa. "Loe cantik banget, Non. Abang suka. Mau nongkrong bentar di dalem? Abang ada minuman dingin." Dia menunjuk ke pos ronda.

‎Miya ketakutan, menggigit bibir. "Nggak, Bang. Aku buru-buru pulang. Ibu tunggu." Dia mencoba memutar.

‎Bang Jaro menangkap lengannya dengan kasar. "Ah, jangan gitu dong. Cuma sebentar. Kenalan bentar. Nggak makan waktu." Tarikannya kuat.

‎"Bang, jangan! Lepasin!" teriak Miya, mulai panik.

‎Dengan paksa, Bang Jaro menyeret Miya ke dalam pos ronda yang gelap dan pengap, penuh bau rokok dan minuman keras. Dua anak buahnya yang sedang main kartu terkejut, lalu menyeringai melihat Bang Jaro membawa 'tangkapan'.

‎"Jaro... abang jago!" kata salah satunya sambil tertawa terkekeh.

‎Di dalam, Bang Jaro mendorong Miya hingga terjatuh di bangku plastik. "Nah, duduk manis. Minum?" Dia mengacungkan botol miras.

‎Miya menggeleng cepat, air mata mulai mengalir. "Nggak, Bang... aku nggak bisa minum itu. Aku mau pulang. Please..."

‎Wajah Bang Jaro berubah. Senyumnya hilang, diganti kemarahan. "Nggak mau? Nggak ngehargain abang? Abang tawarin baik-baik!" Dia menghantam botol itu ke meja. "Kau pikir siapa dirimu, hah? Anak orang miskin sok suci!"

‎Dia meraih Miya yang mencoba bangkit. Miya berontak, menjerit. "Lepasin! Tolong!!"

‎Jeritan itu malah membangkitkan amuk Bang Jaro. Dia memeluk tubuh Miya dengan erat, mencoba mencium bibirnya yang gemetar. Miya memalingkan muka, tangisnya pecah. **"Jangan!!! Ibu!!! Tommi!!!"**

‎"Tommi?" Bang Jaro berhenti sejenak, tertawa kasar. **"Tommi? Preman gagal itu? Dia nggak bisa apa-apa buat loe sekarang!"** Dia mencoba mencium lagi. Dalam pergumulan, tangan kotor Bang Jaro merobek sedikit kerah baju Miya, menyibak sedikit belahan dadanya yang masih muda.

‎Pemandangan itu seperti bensin bagi api nafsu Bang Jaro. Matanya membelalak. **"Wih... ternyata manis dalemnya..."** Dengan gerakan beringas, dia merobek baju Miya dari atas ke bawah. **"KRIIIP!"** Suara kain terkoyak memenuhi ruangan. Bra yang dikenakan Miya juga ikut terlepas, memperlihatkan kedua payudaranya yang masih kuncup.

‎Lalu Bang Jaro meremas payudara tersebut dengan ganas, lalu mengulum dan menggigit puting payudara Miya dengan beringas,

‎Miya menjerit histeris, malu dan ketakutan yang tak terperi menyelimutinya. Dia berontak mati-matian, kaki dan tangannya menyepak, mencakar. Ketidaktahuan Bang Jaro, ditambah panik Miya, membuatnya kehilangan keseimbangan saat mencoba memaksakan diri. Miya mendorong sekuat tenaga, dan Bang Jaro terjatuh tersandung bangku.

‎Tanpa pikir panjang, Miya yang setengah telanjang, dengan naluri bertahan hidup, melihat jaket butut tergantung di gantungan. Dia menyambar jaket itu, menutupi tubuhnya yang terguncang, dan lari keluar seperti dikejar setan. Jeritannya memecah kesunyian pasar.

‎"Tolong!!! Tolonggg!!!"

‎Bang Jaro bangkit, wajahnya merah padam marah dan malu. **"TANGKAP BOCAH ITU**..! JANGAN SAMPAI DIA KABUR!"** teriaknya pada anak buahnya yang bengong. Mereka berlarian mengejar Miya yang sudah lari terbirit-birit ke arah jalan besar.

‎Miya berlari tanpa arah, hanya satu nama di kepalanya: Tommi. Dia berlari melewati gang-gang sempit, jaketnya yang besar nyaris membuatnya tersandung. Untungnya, malam mulai turun, dan anak buah Bang Jaro tidak secepat dia. Dia berhasil mencapai jalan besar yang lebih ramai, lalu belok ke arah gang menuju rumahnya. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetaran, rasa malu dan takut yang luar biasa menguasainya.

‎**Bagian 5: Api Dibalas Api, Darah Ganti Darah**

‎Di ujung gang yang sama, Tommi baru saja keluar dari warung kopi, kepalanya agak pening. Dia berjalan pelan, memikirkan utang yang belum lunas dan omelan Bu Siti tadi siang. Tiba-tiba, dari arah berlawanan, dia melihat sosok berlari terhuyung-huyung, mengenakan jaket butut yang kebesaran, rambutnya kusut, wajahnya basah oleh air mata dan keringat, matanya liar penuh ketakutan.

‎"Miya?" gumam Tommi, tak percaya. "Mi? Ada apa? Kenapa bajumu?" Dia melangkah mendekat.

‎Melihat Tommi, seolah semua ketahanannya runtuh. Miya jatuh tersungkur di depan kakaknya, tubuhnya menggigil hebat. **"Kak... Kak Tommmiiii!!!"** jeritannya memilukan, memeluk kaki Tommi erat-erat. **"Bang Jaro... dia... dia... di pasar... dia seret aku... dia cium aku... dia... dia robek bajuku... dia... dia liat... dia mau..."** Rintihannya terputus-putus oleh isak tangis yang menyayat hati.

‎Tommi membeku. Darahnya serasa berhenti mengalir, lalu mendidih dengan kekuatan yang belum pernah ia rasakan. Dia melihat adiknya, gadis kecil polos yang selalu memandangnya dengan percaya, kini hancur, ketakutan, terhina. Dia melihat jaket itu menutupi tubuh Miya yang jelas terguncang, robekan baju dalamnya terlihat. Kemarahan yang membara, lebih panas dari api neraka, menyala-nyala di dadanya. Semua dosanya, semua kemalangannya, semua keputusasaannya, terfokus menjadi satu: Bang Jaro.

‎Dengan gerakan pelan, hampir ritualistik, Tommi menekuk lutut. Tangannya yang biasanya untuk mencuri, untuk berkelahi konyol, kini dengan lembut membelai rambut adiknya yang kusut. Suaranya, biasanya kasar, kini terdengar aneh, dalam, bergetar tapi penuh tekad baja: **"Pulang, Mi. Sekarang. Masuk rumah. Jangan bilang siapapun. Katakan pada Ibu kau jatuh dari sepeda. Aku... akan urus Bang Jaro."**

‎Miya mengangkat wajah penuh air mata, ketakutan baru muncul. "Jangan, Kak! Dia banyak orangnya! Dia jahat!"

‎Tommi berdiri. Wajahnya berubah. Bukan lagi wajah pengangguran pemalas, tapi wajah pemburu. Matanya menyala seperti bara. **"Pulang. Sekarang."** Perintahnya singkat, tak terbantahkan.

‎Miya terpana, lalu menurut. Dia berlari kecil menuju rumah, masih gemetar.

‎Tommi tidak langsung berangkat. Dia masuk ke gubuk kecil di ujung gang, tempat seorang kenalannya tinggal. Orang itu, seorang mantan pandai besi, melihat wajah Tommi dan langsung mengerti.

‎"Perang, Tom?" tanyanya singkat.

‎Tommi mengangguk. "Yang terberat."

‎Orang itu mengeluarkan dua buah benda berat dari balik karung: sebatang besi pejal sepanjang lengan, dan sebuah golok pendek tapi tajam. "Hati-hati. Jaro punya banyak pisau."

‎Tommi mengambil besi pejal itu. Golok dia tolak. "Besi cukup. Buat dia, aku mau rasa." Dia membayar dengan uang terakhir di sakunya – uang yang tadinya untuk minumnya.

‎Dengan langkah mantap, besi pejal di genggaman, Tommi berjalan menuju pasar. Malam semakin pekat. Markas Bang Jaro di pos ronda itu terlihat, lampu temaram menyala. Terdengar suara tertawa dan botol minuman. Anak buah Bang Jaro sedang bersenang-senang, melupakan kejadian tadi.

‎Tommi tidak sembunyi-sembunyi. Dia berjalan langsung ke depan pintu pos ronda yang terbuka. Tatapannya memindai ruangan. Bang Jaro sedang duduk di kursi, memegang botol miras, bercerita tentang 'gadis manis yang nyaris jadi miliknya' dengan bangga.

‎Salah satu anak buah melihat Tommi pertama kali. Matanya membelalak. "Ja-Jaro! Tommi!"

‎Semua kepala menoleh. Suasana riuh langsung senyap. Bang Jaro berdiri perlahan, senyum sombongnya mengembang. **"Tommi! Anak emas! Datang sendiri? Mau minta maaf buat adik loe yang nggak tau diri tadi?"**

‎Tommi tidak menjawab. Dia hanya melangkah masuk. Amarahnya begitu dingin, begitu terkonsentrasi. Anak buah pertama yang berani mendekat, mencabut pisau, disambut dengan hentakan besi pejal Tommi ke lengan. **"KRAAK!"** Tulang patah. Jeritan kesakitan memecah keheningan. Tommi tidak berhenti, sabetan berikutnya menghantam kepala anak buah itu, menjatuhkannya pingsan.

‎Kekacauan pecah. Dua anak buah lain menerjang dengan pisau. Tommi bergerak dengan kelincahan dan amarah yang tak terduga. Dia memutar tubuhnya, menghindar dari tusukan, lalu besinya mendarat di rusuk satu, di paha yang lain. **"DUUK! GREGES!"** Keduanya menjerit, terpelanting.

‎Bang Jaro, yang tadinya percaya diri, kini terlihat gugup. Dia mengambil parang pendek dari balik kursi. **"Bereskan dia!"** teriaknya pada satu anak buah terakhir yang masih berdiri, sambil sendiri mundur sedikit.

‎Anak buah itu, lebih besar, menerjang dengan pentungan. Tommi menangkis dengan besi, benturan keras berdentum. Dia memanfaatkan momentum, mendorong kaki ke perut lawan, membuatnya terjengkang, lalu besi itu diayunkan ke bawah, menghantam lutut. **"ARRGGHH!"** Anak buah itu menjerit, lututnya hancur.

‎Sekarang, hanya Bang Jaro yang tersisa. Tommi memandangnya. Matanya seperti mata singa lapar. **"Untuk Ayahku, kau tak berani. Untuk adikku, kau berani?"** Suaranya bergetar, tapi penuh kekuatan mematikan.

‎**"Dia menggoda!"** teriak Bang Jaro mencoba membela diri, tapi ketakutannya jelas. **"Dia mau! Dia pake baju ketat!"**

‎Kata-kata itu memicu ledakan terakhir. **"KAU BERBOHONG!"** Tommi menggeram, menerjang. Bang Jaro mengayunkan parang. Tommi menangkis dengan besi, percikan api beterbangan. Dia menendang keras ke perut Bang Jaro. **"DUH!"** Bang Jaro terhuyung. Tommi tidak memberinya kesempatan. Hantaman besi ke bahu, ke punggung, ke kaki. Bang Jaro jatuh, parangnya terlepas.

‎Tommi berdiri di atasnya, persis seperti dulu. Tapi kali ini, amarahnya sepuluh kali lipat. Dia mengangkat besi pejal itu tinggi-tinggi, bermaksud menghancurkan tengkorak Bang Jaro. Wajah Miya yang ketakutan, air mata orang tuanya, semua penghinaan yang pernah dia terima, semua rasa bersalahnya, berteriak dalam kepalanya untuk menghabisi preman busuk ini.

‎**Bagian 6: Sang Penonton dan Cahaya di Ujung Lorong**

‎Dari balik tumpukan kardus bekas di seberang jalan, sepasang mata mengamati pertarungan itu sejak awal. Mata itu milik Anton Wijaya, pria berkacamata, berbadan tegap, berusia sekitar 40 tahun. Dia adalah pencari bakat untuk klub MMA terkenal di kota besar. Kebetulan dia sedang mengunjungi keluarga di kampung ini dan tersesat mencari warung makan malam. Adegan brutal tapi penuh skill alami itu memukau dan membuatnya tercekam.

‎Dia melihat kelincahan Tommi, kekuatan pukulannya yang mematikan meski tanpa teknik, ketahanannya, dan terutama, *amarah yang terkendali* – amarah yang membuatnya brutal tapi tidak membabi buta, masih ada nalar dalam gerakannya. Sebuah potensi mentah yang sangat berharga.

‎Saat Tommi mengangkat besi untuk menghabisi Bang Jaro, Anton tahu dia harus bertindak. Dia melangkah keluar dari persembunyiannya. **"STOP!"** teriaknya, suaranya lantang dan berwibawa, mencoba menembus kabut amarah Tommi.

‎Tommi terhenti, menoleh. Matanya masih merah, penuh darah. **"Siapa loe? Jangan ikut campur!"**

‎Anton mendekat perlahan, tangan terbuka menunjukkan dia tak bersenjata. **"Namaku Anton. Aku bukan polisi, bukan juga temannya."** Dia menunjuk Bang Jaro yang tergeletak mengerang kesakitan. **"Kau sudah menang. Kau sudah menghajarnya. Membunuhnya hanya akan membuatmu jadi penjahat seperti dia, preman penjahat yang harus lari dari hukum seumur hidupmu. Apa itu yang kau mau? Kau tega ninggalin adikmu yang trauma, orang tuamu yang sudah menderita, untuk jadi buronan?"**

‎Kata-kata itu seperti tamparan. Gambaran Miya, Ibu, Bapak Hasan, muncul di benak Tommi. Amarahnya surut sedikit, digantikan kehampaan dan kelelahan. Tangannya yang memegang besi gemetar. Dia melihat Bang Jaro yang babak belur, ketakutan, tidak berdaya. Membunuhnya... apakah itu akan menghapus rasa sakit Miya?

‎**"Dia... dia mau perkosa Miya..."** bisik Tommi, suaranya parau.

‎**"Dan dia akan dapat hukuman untuk itu,"** kata Anton tegas. **"Tapi bukan darimu. Dari hukum. Kau punya potensi besar, Anak Muda. Kekuatanmu, amarahmu yang terarah tadi... itu bisa jadi sesuatu yang hebat. Kau bisa jadi juara. Kau bisa menghidupi keluargamu dengan cara terhormat. Kau bisa jadi pahlawan untuk Miya, bukan pembunuh."**

‎Tommi memandang Anton, lalu ke Bang Jaro, lalu ke besi di tangannya. Darah? Apakah itu yang diinginkan Miya? Apakah itu yang diharapkan orang tuanya dalam doa-doa mereka? Dengan gerakan tiba-tiba, dia melemparkan besi itu jauh-jauh. **"CLANG!"** Suaranya nyaring di keheningan malam. Dia memandang Bang Jaro. **"Hidup loe ada di tangan hukum sekarang, Jaro. Tapi kalau kau sentuh Miya atau keluargaku lagi, sumpah, kubunuh kau perlahan."** Ancaman itu keluar dengan dingin, membuat Bang Jaro menggigil ketakutan lebih dari rasa sakitnya.

‎Tommi menoleh ke Anton. Dia lelah, sangat lelah. "Juara? Penghasilan? Terhormat? Buat orang kayak aku?"

‎Anton tersenyum kecil, mengeluarkan kartu nama. **"Buat orang yang punya api seperti kau. Namamu?"**

‎"Tommi. Tommi Hasan."

‎**"Tommi. Besok pagi, jam 9, temu aku di warung kopi dekat terminal bus. Bawa semangatmu. Aku akan kasih kau kesempatan. Kesempatan untuk mengubah segalanya."** Anton menepuk pundak Tommi yang masih tegang, lalu berbalik pergi, meninggalkan Tommi berdiri di tengah puing markas Bang Jaro yang hancur, tiga preman mengerang kesakitan, dan satu preman besar ketakutan. Bau darah dan minuman keras memenuhi udara. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Tommi melihat secercah cahaya di ujung lorong gelapnya.

‎‎( Bersambung )

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)