Masukan nama pengguna
**Cerpen Spesial HUT Kemerdekaan Indonesia Ke 80 Tahun**
Bulan Agustus di Desa Taman Sari selalu punya bau khusus: campuran debu kemarau yang terangkat, wangi melati di pagar-pagar, dan semangat yang mengental seperti sirup mendidih. Tahun ini, 2025, lebih spesial lagi. Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Usia yang matang, penuh sejarah, dan di Taman Sari, semangat itu menjelma dalam persiapan yang gegap gempita.
Di lapangan voli depan Balai Desa yang tanahnya sudah diratakan halus, sepuluh anak muda berdiri dalam formasi kaku. Matahari pagi baru saja mulai menyengat, memantulkan kilau keringat di dahi Aris, sang komandan pasukan calon pengibar bendera. Di depannya, Pak Hendar, pensiunan Sersan Mayor dengan kumis melintang tebal dan postur masih tegak bak tiang besi, mengamati dengan mata elang.
“Satu! Dua! Tiga! Hentak!” teriak Pak Hendar, suaranya menggelegar mengalahkan kicau burung.
*Tap! Tap! Tap!* Sepuluh pasang sepatu kets – belum sepatu lars sebenarnya – menghantam tanah bersamaan. Hampir.
“Bagus! Tapi, Rian! Kaki kirimu itu kenapa? Kayak baru turun dari kuda lumping habis kesurupan! Lurus!” hardik Pak Hendar menunjuk Rian, si pengibar bendera utama calon.
Rian, remaja tinggi tegap yang biasanya jago main bola, tersipu. “Maaf, Pak! Kiri kanan masih suka kebalik kalau tegang,” jawabnya sambil mencoba meluruskan kaki yang salah. Santi, si cerdas penggerek bendera, cekikikan kecil di sebelahnya.
“Diam, Santi! Fokus!” Pak Hendar berputar. “Dan kamu, Dito! Badan tegak! Jangan kayak mencari sinyal! Ini baris berbaris, bukan nge-game online!”
Dito, si penyandang bendera utama yang bertanggung jawab memegang Sang Saka, melompat kaget. “Iya, Pak! Tegak! Kayak tiang listrik!” katanya berusaha kocak, tapi wajah Pak Hendar tetap batu. Dito segera menegakkan tubuhnya yang memang agak membungkuk karena kebiasaan main ponsel.
Latihan hari pertama itu berantakan. Mereka bukan satu-satunya kelompok yang ingin menjadi Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) desa. Ada kelompok dari ujung timur desa pimpinan Fahri, anak Pak RT yang dikenal necis dan punya seragam latihan baru. Ada juga kelompok dari kampung tengah yang dilatih langsung oleh Pak Guru Olahraga, solid dan disiplin. Persaingan terasa di udara.
“Denger-denger, kelompok Fahri udah bisa jalan maju mundur tanpa saling tabrak,” bisik Bayu, anggota pengawal bendera, saat mereka istirahat minum air kelapa muda di warung Bu Lastri.
“Ah, masa? Kemarin aja aku liat Fahri nyenggol tiang bendera latihan sampe hampir roboh!” sahut Santi sambil menyeka keringat dari tengkuknya. “Kita juga pasti bisa, asal latihan serius.”
“Serius iya, tapi Pak Hendar itu… serem banget, San,” keluh Rian masih menatap kakinya yang bandel. “Aku takut nanti audisi malah salah jalan.”
“Santai, Ri,” Aris mencoba menenangkan. Sebagai komandan, dia merasa bertanggung jawab. “Kita latihan lagi nanti sore. Aku ada trik buat ngelatih kiri kanan.” Trik Aris ternyata adalah menempelkan stiker ‘K’ di sepatu kanan dan ‘I’ di sepatu kiri Rian. Saat latihan sore, dengan stiker itu, Rian memang lebih jarang salah langkah, tapi Pak Hendar malah mengernyit.
“Rian! Itu stiker apaan? Ini upacara bendera atau pesta ulang tahun TK? Copot!” bentaknya, membuat Rian meronta malu dan yang lain tertawa terbahak.
Hari-hari berikutnya diisi ritme yang sama: bangun subuh, latihan baris berbaris di lapangan Balai Desa yang makin hari makin halus karena terinjak-injak, istirahat penuh canda dan keluh kesah, latihan sore, pulang dengan badan pegal dan semangat yang kadang naik kadang turun. Mereka saling menguatkan. Bayu yang lucu sering menirukan gaya Pak Hendar berteriak, lengkap dengan kumis imajinernya, membuat suasana cair. Dito selalu punya stok cerita konyol tentang tetangganya. Santi menjadi penyemangat dan pengingat waktu. Aris mengatur strategi dan memastikan kekompakan.
“Ingat, teman-teman,” kata Aris suatu sore saat mereka duduk lesu di pinggir lapangan, “Kita bukan cuma mau menang audisi. Kita mau ngibarin bendera dengan khidmat buat delapan puluh tahun Indonesia. Buat Pak Karto yang dulu ikut gerilya, buat Bu Lastri yang jualan air kelapa tiap pagi, buat adik-adik kita yang nanti nonton.”
Kalimat itu menyentuh. Mereka membayangkan kain merah putih berkibar di tiang tinggi, dinaikkan oleh tangan mereka sendiri. Semangat pun kembali membara.
***
Hari audisi tiba. Lapangan Balai Desa disulap menjadi arena penilaian. Bendera merah putih kecil berkibar di tiang latihan. Para tetua desa, termasuk Kepala Desa dan Pak Karto si sesepuh, duduk di deretan kursi plastik sebagai juri. Kelompok-kelompok calon Paskibra berbaris rapi di sisi barat lapangan, mengenakan seragam terbaik mereka. Kelompok Aris memakai kemeja putih polos dan celana hitam panjang yang disetrika rapi oleh ibu masing-masing. Mereka gugup, tapi saling menyemangati dengan pandangan mata dan senyuman tipis.
Kelompok Fahri tampil pertama. Seragam mereka memang lebih mentereng, kemeja putih dengan lencana emas di saku. Mereka berjalan dengan tegap, gerakan kompak. Saat aba-aba pengibaran, bendera naik dengan lancar. Hanya, saat penghormatan bendera, salah satu anggota pengawal agak ketinggalan langkah. Nilai bagus, tapi belum sempurna.
Kelompok Pak Guru Olahraga tampil lebih solid dan disiplin. Gerakan mereka presisi, langkah terukur. Pengibaran bendera berjalan tanpa cacat. Mereka mendapat tepuk tangan meriah.
Giliran kelompok Aris. Rian menelan ludah. Dito menggenggam erat tiang bendera latihan. Santi mengatur napas. Aris menarik napas panjang.
“Pasukan Pengibar Bendera Desa Taman Sari, maju jalan!” teriak Aris, suaranya jelas meski sedikit bergetar.
*Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap! Tap!* Sepuluh langkah menghampar tanah bersamaan, solid dan berirama. Mereka berhenti tepat di depan tiang bendera. Pak Hendar, yang berdiri di samping juri, mengangguk kecil, bangga tersembunyi.
“Hormat bendera! Graaak!” tangan sepuluh pasang bergerak serempak ke pelipis.
Aba-aba pengibaran. Dito memegang tiang bendera dengan kokoh, matanya fokus ke depan. Rian dengan langkah pasti maju, mengambil ujung tali. Santi bersiap di sisi penggerek. Saat lagu Indonesia Raya instrumental (dari speaker Bluetooth) dimulai, bendera latihan mulai naik. Rian menarik tali dengan ritme sempurna. Santi menggerek dengan stabil. Bendera merambat naik, perlahan, penuh wibawa. Mata para juri mengikuti gerak merah putih. Kepala Desa tersenyum. Pak Karto mengusap sudut matanya.
Bendera mencapai puncak. Lagu selesai. “Tegak… Graaak!” Sepuluh tangan kembali ke sikap sempurna. Hening sesaat, lalu tepuk tangan pecah, lebih meriah dari kelompok sebelumnya. Mereka berbalik, mundur dengan langkah tetap kompak, lalu istirahat di tempat. Wajah mereka basah keringat, tapi mata mereka berbinar-binar. Mereka tahu mereka melakukan yang terbaik.
Pengumuman juri. Setelah berdiskusi, Kepala Desa berdiri. “Atas nama dewan juri, kami memutuskan, Pasukan Pengibar Bendera Desa Taman Sari untuk Upacara 17 Agustus 2025, adalah…” dia berhenti sejenak, memandang ke arah ketiga kelompok. Nafas Aris dan kawan-kawan tertahan. “…Kelompok Aris!”
“Yeeesss!” Rian melompat kecil. Dito memukul pahanya. Santi dan Bayu saling memeluk. Aris tersenyum lebar, lega dan bangga luar biasa. Kelompok lain bertepuk tangan sportif, meski wajah Fahri agak kecut.
“Selamat,” kata Pak Hendar mendekat, wajahnya lebih teduh dari biasanya. “Kerja bagus. Tapi ingat, ini baru audisi. Tanggal 17 nanti, harus lebih sempurna lagi. Untuk desa, untuk Indonesia.”
“Siap, Pak!” jawab mereka kompak, suara penuh keyakinan.
***
Tanggal 17 Agustus 2025. Subuh di Taman Sari terasa berbeda. Udara segar berbaur dengan bau anyaman bambu dan janur kuning yang menghiasi gapura-gapura kecil di ujung jalan. Lapangan utama desa, biasanya tempat pasar minggu, sudah disulap menjadi lapangan upacara. Tiang bendera tinggi menjulang, bendera merah putih yang masih terlipat rapi tersampir di lengan Dito. Mereka, kelompok Aris, sudah berdiri di posisi awal, mengenakan seragam Paskibra sewaan yang putih bersih, topi peci hitam, dan sepatu pantofel mengkilap yang membuat kaki Rian agak kaku. Warga desa sudah mulai berdatangan, memenuhi sisi lapangan. Ada yang duduk di tikar, ada yang berdiri di belakang. Suasana khidmat mulai terasa.
Tomi, pemuda berotot kawat yang biasanya menghabiskan waktu di sasana MMA kecil pinggiran kota, juga hadir. Dia berdiri di belakang kerumunan, mengenakan kaos abu-abu polos dan celana training, wajahnya tenang tapi mata waspada menyisir kerumunan. Dia mendengar bisik-bisik soal sekelompok preman dari desa sebelah yang mungkin mau berulah. Untuknya, hari ini terlalu penting untuk diusik.
Upacara dimulai tepat waktu. Pembina upacara, Kepala Desa, membuka dengan pidato singkat tentang makna delapan puluh tahun kemerdekaan, tentang perjuangan, dan tentang semangat membangun desa. Suara beliau tegas, terdengar jelas di keheningan pagi.
Saatnya pengibaran bendera. “Pasukan Pengibar Bendera, maju jalan!” perintah Kepala Desa.
Aris menarik napas dalam. “Pasukan Pengibar Bendera, maju… JALAN!”
*Tap! Tap! Tap! Tap! Tap!* Langkah mereka kali ini lebih mantap, lebih berwibawa daripada saat audisi. Sepuluh pasang sepatu pantofel menghampar tanah lapang dengan suara serempak yang menggema. Semua mata tertuju pada mereka. Rian melangkah pasti, tak ada lagi kebingungan kiri-kanan. Dito memegang tiang bendera seperti pusaka, tegak dan kokoh. Santi dan Bayu di posisinya, penuh konsentrasi.
Mereka tiba di bawah tiang bendera. Aba-aba diberikan. “Hormat bendera! Graaak!” Ratusan tangan warga yang hadir ikut terangkat ke pelipis. Hening yang menegangkan.
Lagu Indonesia Raya dimainkan oleh grup drumband sekolah dasar desa. Suaranya mungkin tak seprofesional orkestra, tapi penuh jiwa. Dito dengan gerakan penuh hormat membentangkan bendera. Rian menarik tali dengan ritme yang sempurna. Santi menggerek dengan penuh khidmat. Sepotong demi sepotong, kain merah putih itu membuka diri, menari lembut ditiup angin pagi yang sejuk. Mata Santi berkaca-kaca. Dito menggigit bibir menahan haru. Aris memandang ke atas, dada membusung. Rian merasakan getar kebanggaan yang luar biasa.
Bendera mencapai puncak tiang. Sang Merah Putih berkibar gagah di langit biru Taman Sari, menandai delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Lagu selesai. “Tegak… Graaak!” Penghormatan usai. Gemuruh tepuk tangan memecah keheningan, penuh penghargaan dan kebanggaan. Suara itu bukan hanya untuk mereka, tapi untuk bendera yang berkibar, untuk Indonesia yang berusia delapan puluh tahun. Mereka berbalik, mundur dengan langkah terukur, hati berbunga-bunga. Mereka telah menjalankan tugas suci itu dengan sempurna.
Di barisan penonton, Tomi tersenyum kecil, matanya masih waspada. Dia melihat sekelompok lelaki berpenampilan kumal dan bermuka sangar menyelinap di pinggir kerumunan, tapi mereka tidak berani mengganggu upacara yang khidmat ini. Mereka hanya melirik sinis lalu pergi. Tomi menghela napas lega, tapi nalurinya tahu ini belum selesai.
***
Selesai upacara, suasana langsung berubah. Khidmat berganti riuh rendah. Lapangan mulai dirombak untuk arena perlombaan 17-an yang diselenggarakan Karang Taruna. Aris dan kawan-kawan buru-buru pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus berganti pakaian dan segera kembali ke lapangan untuk ikut serta dalam berbagai lomba. Semangat pagi belum luntur, malah bertambah.
“Cepetan ganti, San! Lomba makan kerupuk jam setengah sembilan!” teriak Bayu sambil berlari kecil menuju rumahnya di ujung gang.
“Aku ikut balap karung, Bay! Tungguin!” balas Santi yang sudah hampir masuk pintu.
Aris hanya tersenyum. Dia lebih tertarik pada lomba menyanyi solo atau mungkin panjat pinang nanti. Dito dan Rian berencana ikut tarik tambang. Mereka semua ingin merasakan kegembiraan menjadi bagian dari pesta rakyat itu.
Lapangan sudah penuh sesak ketika mereka kembali. Berbagai stan berdiri: stan daftar lomba, stan jualan es doger dan gorengan, stan hadiah. Bendera-bendera kecil merah putih dan balon warna-warni menghiasi pohon-pohon di sekeliling. Suara musik dangdut koplo bersahutan dari speaker besar. Anak-anak berlarian dengan wajah ceria. Ibu-ibu duduk berkelompok sambil mengawasi anak-anak mereka yang akan lomba. Bapak-bapak ngobrol seru sambil menikmati rokok atau secangkir kopi. Suasana benar-benar meriah.
Lomba pertama: makan kerupuk. Bayu dan Rian ikut serta. Mereka berdiri di bawah tali yang membentang, kerupuk putih besar tergantung di depan mulut mereka, tangan terikat di belakang.
“Siap… Mulai!” teriak panitia.
Chaos pun dimulai! Bayu langsung menggerogoti kerupuknya dengan gigi seperti tikus kelaparan, tapi kerupuknya bergoyang-goyang sulit digigit. Rian berusaha menjulurkan lidah sepanjang mungkin, tapi kerupuknya malah berayun menjauh. Di sebelah mereka, seorang bapak paruh baya dengan serius mencoba mengunyah kerupuk sambil mengeluarkan bunyi “nyam nyam” berlebihan, membuat penonton tergelak. Ada anak kecil yang malah menangis karena kerupuknya jatuh sebelum dimakan.
“Aduh, Ri, jangan dijilat! Digigit!” teriak Aris dari pinggir lapangan, tertawa terpingkal-pingkal melihat usaha Rian yang sia-sia.
“Ini… licin… Banget!” jawab Rian dengan mulut penuh remahan kerupuk. Akhirnya, dengan gerakan kepala yang brutal, Bayu berhasil mematahkan kerupuknya dan menelan bagian terakhir. Dia melompat-lompat kegirangan, sisa kerupuk masih menempel di pipinya. Rian hanya bisa menggeleng-geleng, kerupuknya baru separuh.
Lomba balap karung tak kalah kacau. Santi yang lincah sempat memimpin, tapi di tengah jalan, kakinya terbelit karung. Dia terjungkal dengan lucunya, berguling-guling sambil tertawa. Dito, yang tubuhnya tinggi, malah kesulitan melompat karena karungnya pendek. Dia terlihat seperti mesin rusak yang tersendat-sendat. Pemenangnya justru seorang ibu-ibu gemuk yang dengan tekun melompat pelan tapi stabil, menyusul peserta lain yang terjatuh. Penonton terbahak-bahak.
“Dito, lu kaya orang kesetrum di karung!” teriak Bayu sambil memegangi perut.
“Biarin! Aku nggak jatuh-jatuh kan? Itu lebih penting!” balas Dito, wajahnya merah padam tapi tersenyum.
Suasana riuh dan penuh tawa. Aris ikut lomba menyanyi dangdut. Suaranya pas-pasan, tapi penuh percaya diri dan gerakan tangan yang norak, membuat penonton terhibur. Sementara itu, Tomi berkeliling lapangan. Dia tak ikut lomba, tapi matanya terus mengawasi. Dia melihat kelompok preman tadi – ada empat orang – berkumpul di dekat stan panitia, wajahnya masam, berbicara kasar dengan salah satu panitia Karang Taruna bernama Rio. Tomi mendekat diam-diam.
“Jangan main-main, Rio! Uang sumbangan buat lomba ini kan lumayan. Masa buat preman setempat nggak dikasih jatah?” geram si preman berbadan besar, pemimpin mereka yang bernama Borot.
“Jatah apaan, Borot?” jawab Rio berusaha tegas, tapi suaranya gemetar. “Uang sumbangan dari warga buat biaya lomba, buat beli hadiah, buat konsumsi panitia. Nggak ada anggaran buat ‘jatah’ ginian!”
“Hah? Sok suci lu! Semua acara di desa-desa pasti ada setorannya ke kami, biar aman!” Borot mendorong dada Rio.
“Aman dari apa? Dari kalian?!” Rio membalas. Keributan mulai menarik perhatian. Suasana riang perlahan berubah tegang. Beberapa warga mendekat. Aris, Rian, dan yang lain juga berhenti melihat.
“Dari kami atau dari masalah yang kami bawa!” ancam Borot. “Kalo nggak ada uang, acara ini bubar! Kita bikin rusuh sekarang juga!”
Tomi sudah cukup dekat. “Masalahnya apa, Borot?” tanyanya dengan suara datar, tapi penuh wibawa.
Borot menoleh, melihat Tomi. Dia mengenal Tomi dan reputasinya di dunia tarung. Tapi sombongnya tak hilang. “Oh, si jagoan kampung. Ini bukan urusanmu, Tom. Ini urusan sama Karang Taruna.”
“Ini urusan semua warga Taman Sari yang mau merayakan kemerdekaan dengan damai,” jawab Tomi, melangkah maju, posisinya menghalangi Borot dan Rio. “Kalian mau mengacaukan upacara tadi pagi, tapi nggak berani kan? Sekarang mau mengacaukan lomba?”
“Siapa bilang nggak berani?!” salah satu preman lainnya, si Kurus, mencoba mendorong Tomi. Itu adalah kesalahan besar.
Dengan gerakan cepat dan bertenaga, Tomi menangkap lengan si Kurus yang mendorong, memelintirnya, lalu menjatuhkannya ke tanah dengan kuncian sederhana yang membuat si Kurus menjerit kesakitan. Gerakan itu mulus, efisien, hasil latihan bertahun-tahun. Borot dan dua preman lainnya terkejut, lalu menyerbu.
Adegan berubah cepat. Borot menghunjamkan tinju. Tomi menangkis dengan lengan kirinya, rasanya seperti dipukul balok kayu, tapi dia tak goyah. Dengan pivot cepat, dia menghindari tendangan preman ketiga, lalu menyodok perut Borot dengan tinju kanan yang pendek dan keras. *Dor!* Borot terbatuk-batuk, terhuyung mundur. Preman ketiga mencoba memukul dari belakang, tapi Tomi seperti punya mata di punggung. Dia menunduk, menghindari pukulan, lalu menyapu kaki preman itu dengan tendangan rendah yang cepat. *Byur!* Preman itu terjungkal ke tanah berdebu.
Tiga orang sudah terkapar atau terhuyung dalam hitungan detik. Preman keempat, yang paling muda, hanya bisa melongo ketakutan. Borot, sambil memegangi perutnya, melotot penuh kebencian. “Lu… Lu ngerusak acara kita, Tom!”
“Bukan aku yang ngerusak,” kata Tomi tenang, tapi nadanya seperti baja. “Aku cuma jaga acara kemerdekaan kita. Hari ini suci. Nggak ada tempat buat premanisme. Pulang. Sekarang.”
Warga yang menyaksikan, awalnya tegang, kini bersorak. “Hore Tomi!” “Usir mereka!” “Preman goblok!”
Saat itulah, Pak RT yang sigil menghampiri. “Sudah saya hubungi Damkar. Mereka datang!”
Benar saja, sirine mobil pemadam kebakaran (yang di desa juga sering berfungsi sebagai penjaga ketertiban) terdengar mendekat. Dua truk Damkar berwarna merah menyala berhenti di pinggir lapangan. Beberapa petugas Damkar yang gagah turun dengan cepat.
“Ada apa di sini?” tanya Komandan Regu Damkar, Pak Heru, dengan suara berwibawa.
Warga ramai-ramai menceritakan kejadian. Melihat Borot dan kawan-kawan yang masih terkapar atau ketakutan, dan mendengar kesaksian warga, Pak Heru menganggap serius. “Kalian, ikut kami ke pos. Kita bicara baik-baik.” Dengan sigap, petugas Damkar memborgol Borot dan si Kurus yang masih merintih. Dua lainnya diarak masuk truk.
“Terima kasih, Pak Heru,” kata Kepala Desa yang baru tiba. “Dan terima kasih, Tomi. Kau menyelamatkan hari ini.”
Tomi hanya mengangguk. “Sama-sama, Pak. Buat desa.”
Dengan preman yang diamankan, suasana lapangan pelan-pelan mencair. Ketegangan menguap. Musik dangdut kembali diputar, kali ini lebih kencang. Panitia Karang Taruna segera mengumumkan lomba berikutnya: tarik tambang dewasa.
“Ayo, siapa mau lanjut lomba?!” teriak Rio, kini wajahnya lega dan bersemangat lagi. “Tarik tambang! Hadiahnya sekarung beras!”
Aris, Rian, Dito, dan Bayu langsung mendaftar. Mereka membentuk satu tim bersama beberapa pemuda lain. Di seberang, tim ibu-ibu pimpinan Bu RT yang perkasa sudah siap sedia. Bahkan petugas Damkar, Pak Heru dan dua anak buahnya, ikut mendaftar tim!
“Wah, Damkar ikut nih! Siap-siap kalah!” goda Bayu.
“Jangan meremehkan kekompakan Damkar, Dik!” balas Pak Heru sambil tersenyum, tapi matanya penuh semangat kompetisi.
Tali tambang yang besar dan tebal direntangkan. Lomba berlangsung seru dan penuh gelak tawa. Tim Aris sempat unggul, tapi tim Damkar dengan seragam tahan api mereka dan kekuatan yang solid, perlahan menarik mundur. Tim ibu-ibu menyemangati semua pihak dengan teriakan khas mereka. Akhirnya, tim Damkar berhasil menarik tim Aris melewati garis tengah. Kemenangan mereka disambut tepuk tangan meriah.
“Kalah sama Damkar, nggak malu lah!” kata Rian sambil terengah-engah, tapi tersenyum. Mereka berjabat tangan dengan para petugas yang kini menjadi bagian dari keramaian.
Lomba terus berlanjut hingga sore: panjat pinang yang licin oleh oli dan penuh strategi konyol, lomba bakiak beregu yang penuh langkah kacau, lomba memasukkan paku ke dalam botol yang membutuhkan kesabaran ekstra. Petugas Damkar, setelah tugasnya, ikut serta dalam beberapa lomba, menambah keceriaan. Pak Heru bahkan ikut lomba joget balon dengan istrinya, membuat semua orang terpingkal-pingkal melihat sang komandan yang tegas itu berjoget lucu.
Saat matahari mulai condong ke barat, dan hadiah-hadiah dibagikan (tim Aris dapat hadiah hiburan untuk tarik tambang: beberapa pak sirup dan biskuit), suasana lapangan penuh kepuasan dan kelelahan yang bahagia. Anak-anak pulang membawa permen dan mainan kecil. Orang dewasa pulang dengan cerita dan tawa.
Aris, Rian, Dito, Santi, dan Bayu duduk lesu tapi puas di pinggir lapangan yang mulai sepi. Mereka melihat tiang bendera yang masih tegak, Sang Merah Putih sudah diturunkan dan disimpan rapi.
“Tadi pagi kita ngibarin bendera,” kata Aris pelan. “Rasanya… hebat banget.”
“Iya,” sahut Santi. “Dan siangnya kita hampir dihadang preman.”
“Untung ada Tomi si mesin pemukul,” celetuk Bayu.
“Dan Damkar datang kayak superhero,” tambah Dito.
Rian memandang langit jingga. “Delapan puluh tahun. Bukan cuma bendera yang naik, ya. Tapi juga semangat kita buat jaga yang kita punya. Kayak Tomi. Kayak warga yang berani lapor. Kayak Damkar yang dateng.”
Mereka diam sejenak, meresapi. Hari itu, mereka bukan hanya mengibarkan bendera; mereka mengalami esensi kemerdekaan yang nyata di tingkat desa: kebersamaan, perjuangan kecil melawan ketidakadilan, dan kegembiraan merayakan kebersamaan sebagai satu bangsa. Delapan puluh tahun Indonesia bukan sekadar angka di Taman Sari. Ia tumbuh dari bumi merah desa itu, disirami keringat latihan, dirawat keberanian Tomi, dan dipupuk oleh tawa riang di tengah lapangan saat balap karung dan tarik tambang. Ia hidup.
“Besok latihan Paskibra lagi nggak, Pak Hendar?” tanya Bayu tiba-tiba, menirukan suara Pak Hendar.
Mereka semua tertawa lepas, suara mereka menggema di lapangan yang mulai diterangi lampu-lampu tempel, menyatu dengan gemericik air dari selang Damkar yang sedang membersihkan lapangan, dan dentang lonceng sepeda seorang warga yang pulang dengan hati penuh syukur. Delapan puluh tahun terasa hangat dan kuat, mengalir dalam denyut nadi Desa Taman Sari.