Cerpen
Disukai
0
Dilihat
4,574
Aku Ingin Menjadi Pro Player
Drama

‎### **AKU INGIN MENJADI PRO PLAYER** 

‎PROLOG: DUNIA YANG BERBEDA** 

‎Layar ponsel memancarkan cahaya biru dalam kamar yang gelap. *“An ally has been slain!”* suara sistem game itu seperti pisau di telingaku. Tanganku gemetar menyentuh *joystick* virtual. *Mobile Legends* bukan sekadar game—ini negeri tempat aku bernapas. Di sini, aku Rafael, *hyper carry* legendaris tim *“NightFang”*. Tapi ketika layar padam? Aku cuma Revan, siswa kelas XI yang rapor matematikanya dihiasi angka merah dan sering ketinggalan sholat Isya. 

‎*“REVAN! Sudah dua jam!”* teriak Ibu dari balik pintu. Suaranya pecah antara khawatir dan marah. 

‎*“Sebentar, Bu! Ini match point!”* balasku sambil menggigit bibir. *Lord* baru saja muncul. Jantungku berdetak kencang. Satu kesalahan kecil, kekalahan tim akan jadi tanggung jawabku. 

‎Keesokan pagi, meja makan berubah menjadi medan perang. 

‎*“Kamu pikir hidup cuma main game?”* Ayah melempar sendok ke piring. Bunyinya seperti gong penghakiman. *“Nilai ulangan sejarah 45! Ustaz bilang kamu bolong sholat Jumat kemarin!”* 

‎*“Aku bisa jadi pro player, Yah! Turnamen M5 hadiahnya 900 ribu dolar!”* protesku, tangan mengepal. 

‎*“900 ribu mimpi!”* hardik Ayah. *“Orang sukses itu dokter, insinyur—bukan joki game!”* 

‎Pintu kamar kubanting sampai kaca jendela bergetar. Di balik layar ponsel, kuputar video Lemon—idolaku—yang sedang menerima piala *World Champion*. *“Dream big, but plant your feet on reality,”* katanya tersenyum. Aku menatapnya dengan iri. 

‎---

‎#### **BAB 1: SAHABAT DI WARUNG KOPI** 

‎Warung kopi “Kawak” jadi pelarianku. Di sudut biasa, Galang sudah menunggu dengan laptop terbuka. Tak seperti aku, dia *content creator* esports dengan 50 ribu *subscriber*. 

‎*“Win rate lu turun 3% seminggu terakhir,”* katanya tanpa menengok. Matanya fokus pada *streaming*-nya. 

‎*“Orang tuaku gak ngerti potensiku,”* keluhku sambil menghancurkan gula di kopi hitam. 

‎Galang menutup laptop perlahan. *“Gue pernah seperti lu, Rev. Tahun lalu, gue drop out kuliah demi jadi streamer. Tau apa kata nyokap gue?”* Ia menirukan suara berat: *“Kalau kau mau terbang, jangan lupa akar di tanah.”* 

‎*“Maksudnya?”* 

‎*“Lo bisa jadi pro player terbaik sedunia, tapi kalau nyakitin ortu, semua itu cacat.”* Jarinya menunjuk layar ponselku yang menampilkan profil Lemon. *“Tau kenapa dia dihormati? Karena di setiap wawancara, dia selalu bilang: ‘Thank you, Mom and Dad’.”* 

‎Malam itu, kuulangi video Lemon usai menang *MSC*. Seorang reporter bertanya: *“Apa kunci suksesmu?”* Jawabannya membuatku tercekat: *“Sholat tepat waktu dan minta restu ibu tiap mau bertanding.”* 

‎---

‎#### **BAB 2: ORANG TUA YANG BELAJAR** 

‎Sementara itu, di ruang tamu, Ibu sedang curhat pada Bu Sinta—tetangga yang anaknya atlet nasional bulutangkis. 

‎*“Setiap malam kami bertengkar, Bu. Dia seperti terhipnotis game itu...”* Ibu menyeka air mata. 

‎Bu Sinta mengeluarkan kliping koran dari tas. *“Baca ini, Bu. Sekolah Dafa di Bandung buka jurusan esports. Siswanya dapat beasiswa penuh.”* 

‎*“Tapi game kan...”* 

‎*“Sama seperti bulutangkis, Bu. Butuh disiplin, strategi, dan kerja tim. Bedanya, ini di layar.”* Ia menunjuk foto remaja berbaju seragam tim nasional esports. *“Kalau kita paksa anak meninggalkan bakatnya, sama saja memotong sayap burung sebelum terbang.”* 

‎Di garasi, Ayah diam-diam menonton video turnamen *Mobile Legends* di YouTube. Matanya membesar saat melihat hadiahnya: **$2,000,000**. Tiba-tiba, ponselnya berdering. 

‎*“Pak Santoso? Ini dari tim esports SMAN 7. Kami lihat nilai Revan di leaderboard regional. Maukah dia ikut seleksi?”* 

‎---

‎#### **BAB 3: NEGOSIASI** 

‎Malam itu, kudapati Ayah dan Ibu di meja makan dengan wajah tegang. Sebuah brosur “Akademi Esports Nasional” tergeletak di atas meja. 

‎*“Kami... ada tawaran untukmu,”* kata Ayah gugup. 

‎*“Tapi ada syarat,”* sambung Ibu cepat. 

‎Kusodorkan selembar kertas yang sudah kupersiapkan seminggu: 

‎**JADWAL REVAN (DISETUJUI BERSAMA)** 

‎| Waktu      | Aktivitas                    | 

‎|-------------|-------------------------------| 

‎| 05.30-06.00 | Sholat Subuh + Tahfiz        | 

‎| 06.30-14.00 | Sekolah & Tugas              | 

‎| 14.30-15.30 | Istirahat & Sholat Ashar     | 

‎| 16.00-18.30 | Latihan Tim (Sekolah/Pelatih) | 

‎| 19.00-20.30 | Belajar & Ibadah Malam       | 

‎| 21.00-22.00 | Scrim / Analisis Strategi    | 

‎| Weekend    | Maks 5 jam latihan intensif  | 

‎*“Aku janji nilai raport rata-rata 80. Aku janji jadi imam sholat Magrib,”* kataku lirih. 

‎Ibu memelukku erat. *“Kami takut kamu kehilangan masa depan, Nak...”* 

‎*“Masa depan itu berubah, Bu,”* bisikku. *“Sekarang ada atlet esports di SEA Games.”* 

‎Ayah mengangguk. *“Kami belikan kursi gaming ergonomis besok... tapi nilai matematika harus naik!”* 

‎---

‎#### **BAB 4: JALAN TERJAL** 

‎Latihan di tim esports sekolah ternyata jauh lebih keras dari kuduga. Pelatih, Pak Ardi—mantan *pro player* season 2—tak pernah kompromi. 

‎*“Revan! Map awareness-mu payah! Kau pikir ini main sendirian?”* bentaknya saat kami kalah *scrim* melawan tim SMA 5. 

‎*“Tapi gold ku tertinggi!”* bantahku. 

‎*“Gold tak ada artinya kalau tim kalah! Esports ini kerja tim!”* 

‎Di rumah, godaan besar datang saat ada *Mythical Glory* promo event. Kurayu jam 2 dini hari demi naik *rank*. Esoknya, nilai ulangan kimia jatuh ke 50. 

‎*“Kami kecewa, Revan,”* kata Ayah dengan nada datar yang lebih menyakitkan dari teriakan. 

‎Malam itu, kuputuskan *video call* Galang. 

‎*“Gue pernah lebih parah,”* akunya. *“Sampai laptop dilempar bokap gue. Tapi lo tau? Justru saat gue berhenti 1 bulan fokus perbaikan nilai, win rate gue naik drastis.”* 

‎*“Kok bisa?”* 

‎*“Otak itu kayak processor. Kalau dipaksa multitasking tanpa istirahat, dia overheat.”* 

‎---

‎#### **BAB 5: UJIAN TAK TERDUGA** 

‎Krisis datang saat Ujian Tengah Semester. Nilai matematikaku 48—jauh dari janji 80. Pak Ardi mengeluarkanku dari tim utama. 

‎*“Kau pikir ini main-main?”* hardiknya di ruang ganti. *“Atlet esports butuh otak encer! Strategi itu perlu kalkulasi!”* 

‎Ayah hanya menghela napas saat melihat rapor. *“Kursi gaming itu kami kembalikan besok.”* 

‎Malam itu, kuberjalan ke musholla sendirian. Dalam kesunyian, kudengar suara Ibu berdoa: *“Ya Allah... bimbinglah anakku. Tunjukkan jalan yang lurus...”* 

‎Keesokan hari, kudatangi ruang BK. Bu Wulan, guru bimbingan konseling, tersenyum lembut. 

‎*“Saya lihat potensimu di game, Revan. Tapi izinkan saya mengajarimu sesuatu.”* Dia mengeluarkan papan catur. *“Strategi hidup seperti ini. Kadang mundur dulu untuk menang.”* 

‎Dia menjelaskan konsep *delayed gratification*: mengorbankan kesenangan sesaat untuk hasil lebih besar. *“Kalau kau ingin turnamen nasional, korbankan satu musim untuk perbaiki nilai.”* 

‎---

‎#### **BAB 6: KOMITMEN BARU** 

‎Kususun ulang hidupku: 

‎- **04.30:** Bangun, sholat Tahajud 

‎- **05.00:** Kerjakan soal matematika 

‎- **16.00-17.00:** Les privat 

‎- **20.00:** Analisis rekaman *scrim* (tanpa main) 

‎- **21.00:** Diskusi strategi dengan tim via Zoom 

‎Galang menjadi *coach* sukarela. *“Fokus ke macro play, Rev. Itu bisa dipelajari tanpa praktik.”* 

‎Ayah yang awalnya sinis, mulai membawakanku susu jam 10 malam. *“Ini untuk otak,”* katanya kikuk. 

‎Dua bulan kemudian, nilai matematikaku melesat jadi 85. Saat rapor dibagikan, Pak Ardi menepuk pundakku. *“Kembali ke tim utama. Besok kita lawan SMA 2!”* 

‎---

‎#### **BAB 7: PERTARUNGAN PENENTUAN** 

‎Arena *“Dragon City Esports”* riuh oleh sorak penonton. Final turnamen pelajar se-provinsi. Skor 2-2. *Game* penentu! 

‎*“Fokus! Enemy Fanny baru beli Windtalker!”* teriak Dito, *tank* tim kami. 

‎Keringat mengucur di pelipis. Di tribun, kulihat Ayah dan Ibu memegang bendera kecil bertuliskan **#REVANTHECARRY**. Ibu mulutnya komat-kamit—pasti berdoa. 

‎*Last teamfight* terjadi di *lord pit*. Kuaktifkan *Flicker*, masuk ke kerumunan musuh—*Skill 2 → Ultimate → Inspire*! 

‎***SAVAGE*** 

‎Penonton meledak. Tanganku gemetar melepas *headset*. Kami menang! 

‎Di panggung, saat menerima piala, kulihat Ayah melompat-lompat seperti anak kecil. Ibu menangis terisak. 

‎*“Any message for your family?”* tanya host. 

‎Suaraku tersendat. *“Ayah, Ibu... maafkan semua kesalahanku. Ini untuk kalian!”* 

‎---

‎#### **BAB 8: KESEIMBANGAN** 

‎Satu tahun berlalu. Aku kini jadi *starting line-up* tim esports sekolah yang akan berlaga di tingkat nasional. Tapi pagi ini, kuurungkan latihan untuk sesuatu yang lebih penting. 

‎*“Yakin nggak ikut scrim?”* tanya Pak Ardi lewat telepon. 

‎*“Besok aku gantiin, Pak. Hari ini ayahku ulang tahun,”* jawabku sambil menenteng kue coklat bertuliskan *“Happy Birthday Pro-Dad”*. 

‎Ayah memelukku sambil tertawa. *“Dulu kau pilih game daripada ngobrol sama aku.”* 

‎*“Sekarang aku tahu mana priority, Yah.”* 

‎Malamnya, saat sedang *live streaming* latihan, pesan *superchat* melintas: 

‎**LemonOfficial:** *“Good rotation, Rev! But check your minimap more often!”* 

‎Kusoraki kamera: *“Thank you, Coach Lemon! I’ll improve!”* 

‎Penonton berkomentar: *“Pro player masih diajarin?”* 

‎Kusenyum. *“Even legends need to learn. Especially from those who gave us wings.”* 

‎---

‎#### **EPILOG: AKAR DAN SAYAP** 

‎Di kamarku yang kini rapi, dua benda berdampingan: 

‎1. **Piala Turnamen Nasional Esports Pelajar** 

‎2. **Piagam “Siswa Berprestasi Akademik”** 

‎Bu Wulan membacakan surat dari kampus: *“Atas prestasi akademik dan esports, Revan Santoso diterima di Fakultas Teknologi Informasi UI via jalur prestasi.”* 

‎Galang memelukku erat. *“Lu buktiin kata-kata gue: sayap dan akar bisa seimbang.”* 

‎Saat berkemas untuk *bootcamp* nasional, kudapati Ibu sedang memelajari *Mobile Legends*. 

‎*“Ajarin Ibu main, Nak. Biar ngerti duniamu,”* katanya malu-malu. 

‎Ayah menyodorkan koper baru. *“Jangan lupa sholat. Dan... bawa oleh-oleh piala.”* 

‎Di bandara, kupegang erat jimat pemberian Ibu: sehelai kain putih bertuliskan ayat Kursi. Lemon mengirim pesan: 

‎**“Pro player sejati bukan yang win rate-nya tinggi, tapi yang hidupnya seimbang. Break a leg, Rev!”** 

‎Pesawat lepas landas. Kutatap kota kecilku yang semakin jauh. Dulu, game adalah pelarian. Kini, ia menjadi jembatan—menyatukan mimpi remaja introvert dengan restu dua insan yang mengajarku arti kemenangan sesungguhnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)