Masukan nama pengguna
### **AKU INGIN MENJADI PRO PLAYER**
PROLOG: DUNIA YANG BERBEDA**
Layar ponsel memancarkan cahaya biru dalam kamar yang gelap. *“An ally has been slain!”* suara sistem game itu seperti pisau di telingaku. Tanganku gemetar menyentuh *joystick* virtual. *Mobile Legends* bukan sekadar game—ini negeri tempat aku bernapas. Di sini, aku Rafael, *hyper carry* legendaris tim *“NightFang”*. Tapi ketika layar padam? Aku cuma Revan, siswa kelas XI yang rapor matematikanya dihiasi angka merah dan sering ketinggalan sholat Isya.
*“REVAN! Sudah dua jam!”* teriak Ibu dari balik pintu. Suaranya pecah antara khawatir dan marah.
*“Sebentar, Bu! Ini match point!”* balasku sambil menggigit bibir. *Lord* baru saja muncul. Jantungku berdetak kencang. Satu kesalahan kecil, kekalahan tim akan jadi tanggung jawabku.
Keesokan pagi, meja makan berubah menjadi medan perang.
*“Kamu pikir hidup cuma main game?”* Ayah melempar sendok ke piring. Bunyinya seperti gong penghakiman. *“Nilai ulangan sejarah 45! Ustaz bilang kamu bolong sholat Jumat kemarin!”*
*“Aku bisa jadi pro player, Yah! Turnamen M5 hadiahnya 900 ribu dolar!”* protesku, tangan mengepal.
*“900 ribu mimpi!”* hardik Ayah. *“Orang sukses itu dokter, insinyur—bukan joki game!”*
Pintu kamar kubanting sampai kaca jendela bergetar. Di balik layar ponsel, kuputar video Lemon—idolaku—yang sedang menerima piala *World Champion*. *“Dream big, but plant your feet on reality,”* katanya tersenyum. Aku menatapnya dengan iri.
---
#### **BAB 1: SAHABAT DI WARUNG KOPI**
Warung kopi “Kawak” jadi pelarianku. Di sudut biasa, Galang sudah menunggu dengan laptop terbuka. Tak seperti aku, dia *content creator* esports dengan 50 ribu *subscriber*.
*“Win rate lu turun 3% seminggu terakhir,”* katanya tanpa menengok. Matanya fokus pada *streaming*-nya.
*“Orang tuaku gak ngerti potensiku,”* keluhku sambil menghancurkan gula di kopi hitam.
Galang menutup laptop perlahan. *“Gue pernah seperti lu, Rev. Tahun lalu, gue drop out kuliah demi jadi streamer. Tau apa kata nyokap gue?”* Ia menirukan suara berat: *“Kalau kau mau terbang, jangan lupa akar di tanah.”*
*“Maksudnya?”*
*“Lo bisa jadi pro player terbaik sedunia, tapi kalau nyakitin ortu, semua itu cacat.”* Jarinya menunjuk layar ponselku yang menampilkan profil Lemon. *“Tau kenapa dia dihormati? Karena di setiap wawancara, dia selalu bilang: ‘Thank you, Mom and Dad’.”*
Malam itu, kuulangi video Lemon usai menang *MSC*. Seorang reporter bertanya: *“Apa kunci suksesmu?”* Jawabannya membuatku tercekat: *“Sholat tepat waktu dan minta restu ibu tiap mau bertanding.”*
---
#### **BAB 2: ORANG TUA YANG BELAJAR**
Sementara itu, di ruang tamu, Ibu sedang curhat pada Bu Sinta—tetangga yang anaknya atlet nasional bulutangkis.
*“Setiap malam kami bertengkar, Bu. Dia seperti terhipnotis game itu...”* Ibu menyeka air mata.
Bu Sinta mengeluarkan kliping koran dari tas. *“Baca ini, Bu. Sekolah Dafa di Bandung buka jurusan esports. Siswanya dapat beasiswa penuh.”*
*“Tapi game kan...”*
*“Sama seperti bulutangkis, Bu. Butuh disiplin, strategi, dan kerja tim. Bedanya, ini di layar.”* Ia menunjuk foto remaja berbaju seragam tim nasional esports. *“Kalau kita paksa anak meninggalkan bakatnya, sama saja memotong sayap burung sebelum terbang.”*
Di garasi, Ayah diam-diam menonton video turnamen *Mobile Legends* di YouTube. Matanya membesar saat melihat hadiahnya: **$2,000,000**. Tiba-tiba, ponselnya berdering.
*“Pak Santoso? Ini dari tim esports SMAN 7. Kami lihat nilai Revan di leaderboard regional. Maukah dia ikut seleksi?”*
---
#### **BAB 3: NEGOSIASI**
Malam itu, kudapati Ayah dan Ibu di meja makan dengan wajah tegang. Sebuah brosur “Akademi Esports Nasional” tergeletak di atas meja.
*“Kami... ada tawaran untukmu,”* kata Ayah gugup.
*“Tapi ada syarat,”* sambung Ibu cepat.
Kusodorkan selembar kertas yang sudah kupersiapkan seminggu:
**JADWAL REVAN (DISETUJUI BERSAMA)**
| Waktu | Aktivitas |
|-------------|-------------------------------|
| 05.30-06.00 | Sholat Subuh + Tahfiz |
| 06.30-14.00 | Sekolah & Tugas |
| 14.30-15.30 | Istirahat & Sholat Ashar |
| 16.00-18.30 | Latihan Tim (Sekolah/Pelatih) |
| 19.00-20.30 | Belajar & Ibadah Malam |
| 21.00-22.00 | Scrim / Analisis Strategi |
| Weekend | Maks 5 jam latihan intensif |
*“Aku janji nilai raport rata-rata 80. Aku janji jadi imam sholat Magrib,”* kataku lirih.
Ibu memelukku erat. *“Kami takut kamu kehilangan masa depan, Nak...”*
*“Masa depan itu berubah, Bu,”* bisikku. *“Sekarang ada atlet esports di SEA Games.”*
Ayah mengangguk. *“Kami belikan kursi gaming ergonomis besok... tapi nilai matematika harus naik!”*
---
#### **BAB 4: JALAN TERJAL**
Latihan di tim esports sekolah ternyata jauh lebih keras dari kuduga. Pelatih, Pak Ardi—mantan *pro player* season 2—tak pernah kompromi.
*“Revan! Map awareness-mu payah! Kau pikir ini main sendirian?”* bentaknya saat kami kalah *scrim* melawan tim SMA 5.
*“Tapi gold ku tertinggi!”* bantahku.
*“Gold tak ada artinya kalau tim kalah! Esports ini kerja tim!”*
Di rumah, godaan besar datang saat ada *Mythical Glory* promo event. Kurayu jam 2 dini hari demi naik *rank*. Esoknya, nilai ulangan kimia jatuh ke 50.
*“Kami kecewa, Revan,”* kata Ayah dengan nada datar yang lebih menyakitkan dari teriakan.
Malam itu, kuputuskan *video call* Galang.
*“Gue pernah lebih parah,”* akunya. *“Sampai laptop dilempar bokap gue. Tapi lo tau? Justru saat gue berhenti 1 bulan fokus perbaikan nilai, win rate gue naik drastis.”*
*“Kok bisa?”*
*“Otak itu kayak processor. Kalau dipaksa multitasking tanpa istirahat, dia overheat.”*
---
#### **BAB 5: UJIAN TAK TERDUGA**
Krisis datang saat Ujian Tengah Semester. Nilai matematikaku 48—jauh dari janji 80. Pak Ardi mengeluarkanku dari tim utama.
*“Kau pikir ini main-main?”* hardiknya di ruang ganti. *“Atlet esports butuh otak encer! Strategi itu perlu kalkulasi!”*
Ayah hanya menghela napas saat melihat rapor. *“Kursi gaming itu kami kembalikan besok.”*
Malam itu, kuberjalan ke musholla sendirian. Dalam kesunyian, kudengar suara Ibu berdoa: *“Ya Allah... bimbinglah anakku. Tunjukkan jalan yang lurus...”*
Keesokan hari, kudatangi ruang BK. Bu Wulan, guru bimbingan konseling, tersenyum lembut.
*“Saya lihat potensimu di game, Revan. Tapi izinkan saya mengajarimu sesuatu.”* Dia mengeluarkan papan catur. *“Strategi hidup seperti ini. Kadang mundur dulu untuk menang.”*
Dia menjelaskan konsep *delayed gratification*: mengorbankan kesenangan sesaat untuk hasil lebih besar. *“Kalau kau ingin turnamen nasional, korbankan satu musim untuk perbaiki nilai.”*
---
#### **BAB 6: KOMITMEN BARU**
Kususun ulang hidupku:
- **04.30:** Bangun, sholat Tahajud
- **05.00:** Kerjakan soal matematika
- **16.00-17.00:** Les privat
- **20.00:** Analisis rekaman *scrim* (tanpa main)
- **21.00:** Diskusi strategi dengan tim via Zoom
Galang menjadi *coach* sukarela. *“Fokus ke macro play, Rev. Itu bisa dipelajari tanpa praktik.”*
Ayah yang awalnya sinis, mulai membawakanku susu jam 10 malam. *“Ini untuk otak,”* katanya kikuk.
Dua bulan kemudian, nilai matematikaku melesat jadi 85. Saat rapor dibagikan, Pak Ardi menepuk pundakku. *“Kembali ke tim utama. Besok kita lawan SMA 2!”*
---
#### **BAB 7: PERTARUNGAN PENENTUAN**
Arena *“Dragon City Esports”* riuh oleh sorak penonton. Final turnamen pelajar se-provinsi. Skor 2-2. *Game* penentu!
*“Fokus! Enemy Fanny baru beli Windtalker!”* teriak Dito, *tank* tim kami.
Keringat mengucur di pelipis. Di tribun, kulihat Ayah dan Ibu memegang bendera kecil bertuliskan **#REVANTHECARRY**. Ibu mulutnya komat-kamit—pasti berdoa.
*Last teamfight* terjadi di *lord pit*. Kuaktifkan *Flicker*, masuk ke kerumunan musuh—*Skill 2 → Ultimate → Inspire*!
***SAVAGE***
Penonton meledak. Tanganku gemetar melepas *headset*. Kami menang!
Di panggung, saat menerima piala, kulihat Ayah melompat-lompat seperti anak kecil. Ibu menangis terisak.
*“Any message for your family?”* tanya host.
Suaraku tersendat. *“Ayah, Ibu... maafkan semua kesalahanku. Ini untuk kalian!”*
---
#### **BAB 8: KESEIMBANGAN**
Satu tahun berlalu. Aku kini jadi *starting line-up* tim esports sekolah yang akan berlaga di tingkat nasional. Tapi pagi ini, kuurungkan latihan untuk sesuatu yang lebih penting.
*“Yakin nggak ikut scrim?”* tanya Pak Ardi lewat telepon.
*“Besok aku gantiin, Pak. Hari ini ayahku ulang tahun,”* jawabku sambil menenteng kue coklat bertuliskan *“Happy Birthday Pro-Dad”*.
Ayah memelukku sambil tertawa. *“Dulu kau pilih game daripada ngobrol sama aku.”*
*“Sekarang aku tahu mana priority, Yah.”*
Malamnya, saat sedang *live streaming* latihan, pesan *superchat* melintas:
**LemonOfficial:** *“Good rotation, Rev! But check your minimap more often!”*
Kusoraki kamera: *“Thank you, Coach Lemon! I’ll improve!”*
Penonton berkomentar: *“Pro player masih diajarin?”*
Kusenyum. *“Even legends need to learn. Especially from those who gave us wings.”*
---
#### **EPILOG: AKAR DAN SAYAP**
Di kamarku yang kini rapi, dua benda berdampingan:
1. **Piala Turnamen Nasional Esports Pelajar**
2. **Piagam “Siswa Berprestasi Akademik”**
Bu Wulan membacakan surat dari kampus: *“Atas prestasi akademik dan esports, Revan Santoso diterima di Fakultas Teknologi Informasi UI via jalur prestasi.”*
Galang memelukku erat. *“Lu buktiin kata-kata gue: sayap dan akar bisa seimbang.”*
Saat berkemas untuk *bootcamp* nasional, kudapati Ibu sedang memelajari *Mobile Legends*.
*“Ajarin Ibu main, Nak. Biar ngerti duniamu,”* katanya malu-malu.
Ayah menyodorkan koper baru. *“Jangan lupa sholat. Dan... bawa oleh-oleh piala.”*
Di bandara, kupegang erat jimat pemberian Ibu: sehelai kain putih bertuliskan ayat Kursi. Lemon mengirim pesan:
**“Pro player sejati bukan yang win rate-nya tinggi, tapi yang hidupnya seimbang. Break a leg, Rev!”**
Pesawat lepas landas. Kutatap kota kecilku yang semakin jauh. Dulu, game adalah pelarian. Kini, ia menjadi jembatan—menyatukan mimpi remaja introvert dengan restu dua insan yang mengajarku arti kemenangan sesungguhnya.