Cerpen
Disukai
0
Dilihat
6,051
Pudar
Drama


Sore itu benar-benar membuat perasaan Sabrina semakin kacau balau, setelah beberapa hari ia merenungkan kelanjutan hubungannya dengan Gio. Apakah keputusan yang akan Sabrina ambil itu benar dan tidak akan ada penyesaan setelahnya. Padahal Sabrina sudah beberapa kali meminta saran kepada Claudia selaku sahabatnya, tapi ia merasa beberapa pillihan yang diberikan oleh Claudia tidak ada yang tepat bagi Sabrina. Hingga akhirnya Sabrina memutuskan untuk bertemu Gio dan memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Gio.

Hampir setengah jam Sabrina menunggu Gio di cafe tempat biasanya mereka bertemu, bahkan beberapa waiters di cafe itu sudah hafal dengan menu yang kerap Sabrina dan Gio pesan. Tak perlu menunggu waktu yang lama, menu andalan Sabrina dan Gio sudah di sajikan di meja, namun Gio masih belum datang, padahal Sabrina sudah menunggu hampir setengah jam.

“Kak Gionya belum dateng ya, Kak?” tanya seorang waiters yang sudah akrab dengan Sabrina, karena dia tetangga Sabrina.

“Belum, An. Tadi janjiannya jam tiga sore, aku aja yang sengaja datangnya lebih cepet,” jawab Sabrina dengan wajah yang santai.

“Ohh, gitu ya, Kak. Ya udah, aku tinggal ke belakang lagi ya,” pamit Ana yang sedang bekerja sebagai waiters di cafe tersebut.

Setelah perginya Ana dari hadapan Sabrina, ia masih belum melihat tanda-tanda kedatangan Gio. Padahal sekarang sudah jam tiga dan Gio belum menampakkan dirinya sama sekali, bahkan baru kali ini Gio datang tidak tepat waktu.

“Gio mana sih?” ucap Sabrina semakin gelisah.

Berkali-kali Sabrina menelpon Gio namun tidak diangkat olehnya, hal ini semakin membuat Sabrina gelisah dan khawatir. Gio tidak mungkin lupa dengan janjinya untuk bertemu dengan Sabrina di cafe jam tiga sore, meskipun dalam beberapa waktu tidak ada obrolan diantara Gio dan Sabrina. Hal tersebutlah yang membuat Sabrina bertekad untuk memilih mengakhiri hubungannya dengan Gio, karna tidak adanya komunikasi diantara mereka berdua membuat Sabrina semakin lama semakin hilang perasaan terhadap Gio, bahkan Gio sendiri tidak pernah menghubungi Sabrina terlebih dahulu jika bukan Sabrina yang harus memulai obrolan diantara mereka.

 “Halo, Gio! Kamu udah dimana sekarang?” tanya Sabrina setelah Gio menerima telpon darinya.

“Iya halo, Sab. Bentar ya, bentar lagi aku nyampe, masih nganterin mama ke rumah tante Asri tadi, jadi agak lama. Maaf ya, bentar lagi aku otw cafe,” jawab Gio yang terdengar dari ponsel yang di genggam oleh Sabrina.

Sabrina menghela napas, ia ingin marah, namun Gio mengantarkan ibunya, bagaimana mungkin ia harus marah kepada Gio karena harus mengantarkan ibunya, bisa-bisa Sabrina di cap jelek oleh mama Gio. Sabrina kembali bersabar dan memakan sedikit demi sedikit makanan yang telah ia pesan, sembari menuggu Gio yang katanya sebentar lagi akan tiba di cafe.

“Sorry, Sab. Aku kelamaan ya, harusnya aku nolak buat anterin mama sih,” ucap Gio dengan tergesa-gesa lalu duduk di kursi, “kamu udah pesen semua?” tanya Gio yang melihat makanan yang kerap mereka pesan sudah berada di meja.

“Di makan dulu aja, Gi. Udah dari tadi soalnya,” ucap Sabrina.

Gio mengiyakan ucapan Sabrina dan ia mulai makan makanan yang sudah ada di meja, setelah keduanya selesai makan, Gio bertanya kenapa Sabrina mengajaknya bertemu, sepertinya ada hal penting dan tidak seperti biasanya, bahkan jauh dari kata biasanya.

“Jadi, ada apa nih kita ketemuan?” Tanya Gio dengan menatap Sabrina dengan santai.

Pertanyaan Gio yang membuat Sabrina merasa ia tidak lagi dibutuhkan dalam hidup Gio, padahal Sabrina berharap Gio sadar dengan hubungan keduanya, ternyata Gio masih saja bersikap seperti itu dan tidak berubah.

“Kita putus aja ya, Gi,” ucap Sabrina tanpa mau basa-basi lagi.

Gio yang sedang memegang gelas di tangannya langsung meletakkan gelas itu kembali dan menghela napas gusar, “kenapa, sab? Aku ada salah sama kamu?” tanya Gio yang masih belum sadar dengan kesalahannya.

“Kamu ga salah, Gi. Cuma hubungan kita terlalu hambar, ga ada rasanya, jadi buat apa di lanjutin,” ucap Sabrina meskipun sebenarnya ia merasa sakit untuk mengucapkan kalimat tersebut kepada Gio.

“Aku salah apa, Sab? kamu bilang ke aku kalo ini salah aku!” Gio masih berusaha untuk membujuk Sabrina agar hubungan mereka tetap ada.

“Yang kamu pertahanin apa sih, Gi? ga ada kan? Bahkan kamu ga pernah ada usaha buat aku seneng, kenapa harus aku yang ngajak duluan baru kamu mau, kamu kemana selama ini?” Sabrina masih berusaha tenang di depan Gio agar tidak terbawa emosi.

“Ya kan kamu tau sendiri, Sab. Sejak awal aku emang gini orangnya, kamu sendiri kan yang mau nerima aku apa adanya, kenapa sekarang kamu jadi nuntut aku?” balas Gio yang tidak ingin disalahkan atas hubungan mereka.

“Aku males debat, Gi. Pokoknya kita putus dan aku gamau lagi ketemu sama kamu.”

Sabrina pergi meninggalkan Gio yang masih duduk di kursi dan bingung harus melakukan apa, karna Gio tahu jika Sabrina itu tipe orang yang tidak akan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan, jika memang Sabrina ingin mereka putus, berarti memang hatinya sudah yakin dengan pilihan itu.

“Kak Gio, ini titipan dari kak Claudia,” kata Ana sambil meletakkan sebuah amplop ke meja lalu memberesi piring dan gelas.

“Makasih ya, An,” ucap Gio.

Gio mengambil amplop itu lalu beranjak pergi dari cafe, ia masuk ke mobil dan membuka amplop dari Claudia.  

            

Hai, Gio. Mungkin ini bukan jamannya buat pake surat-suratan begini. Tapi lo harus tau satu hal, Sabrina mati-matian pertahanin hubungan kalian, tapi lo biarin dia gitu aja. Gue sebagai sahabat Sabrina ga terima lo perlakuin dia kayak gitu. Sabrina sering cerita ke gue, hampir tiap malam dia ngerasa kesepian, dia ngerasa percuma punya lo yang berstatus pacar di hidupnya kalo ternyata hidup Sabrina semakin kosong. Gue harap, lo ga ganggu Sabrina lagi. Kalo bisa lo ngejauh atau pindah kota gue ga peduli, yang gue peduli itu Sabrina, gue ga mau dia stress gara-gara lo. Semoga setelah kalian putus, Sabrina bisa hidup lebih baik.

Tertanda

Claudia

 

Gio terdiam beberapa saat, ia merenungkan kesalahannya terhadap Sabrina, tapi ia merasa ia menjalani hidup seperti biasa tanpa ada yang salah satupun. Sabrina berdiri di depan rumah Claudia, ia tahu pasti Claudia akan mengkhawatirkannya, namun Sabrina tidak memberitahu Claudia jika ia akan ke rumahnya. Sabrina mengambil ponsel yang ada di tasnya dan mencoba untuk menelpon Claudia, berharap jika wanita itu berada di rumah dan segera menemuinya.

“Clau, lo dimana?” tanya Sabrina dengan suara parau melalui ponselnya.

“Halo, Sab? lo dimana? gue ke rumah lo kenapa lo ga ada? gue lagi di jalan nih mau pulang,” jawab Claudia dengan nada khawatir.

“Gue di rumah lo, Clau. Lo buruan pulang ya.”

“Ya udah lo masuk aja, Sab. Kunci rumah di tempat biasanya, gue bentar lagi nyampe rumah kok,” ucap Claudia.

Setelah beberapa waktu, akhirnya Claudia tiba di rumahnya, ia mendapati Sabrina duduk termenung di kursi depan rumah, padahal Claudia sudah memintanya untuk masuk ke dlaam dan sudah memberitahu letak kunci rumahnya. Claudia bergegas keluar dari mobilnya dan menghampiri Sabrina.

“Lo kenapa ga masuk aja sih, Sab. Kan kuncinya di tempat biasa,” ucap Claudia sambil merogoh kunci rumah yang ada di tasnya.

Setelah pintu terbuka, Claudia membawa Sabrina masuk ke rumahnya. Kondisi Sabrina cukup sayu, Claudia tahu apa yang sedang terjadi pada sahabatnya itu.

“Udah nangis aja, gue tau lo ga bisa nangis depan Gio, kan,” titah Claudia yang melihat Sabrina berusaha menahan tangisnya.

Akhirnya Sabrina melepas tangisnya di pelukan Claudia, Claudia berusaha menenangkan Sabrina, meskipun ia tahu ini tidak mudah bagi Sabrina.

“Gue tahu kok apa yang terjadi di cafe tadi, soalnya gue juga ke cafe buat mastiin lo baik-baik aja, tapi tiba-tiba lo ngilang gitu aja abis ngobrol sama Gio, gue tau pasti lo udah bilang ke Gio kalo lo mau putus kan, gue ga sempet liat ekspresi Gio waktu lo pergi, karna gue lebih khawatir sama lo, jadi gue langsung ngejar lo, tapi gue malah kehilangan jejak lo. Makanya tadi gue samperin ke rumah lo ga ada, malah melipir ke rumah gue,” cerita Claudia.

“Lo boleh kok nginep di rumah gue kalo lo mau, kayak biasanya, emang lo ga kangen apa nonton film horor bareng di rumah gue, lo kan tau gue sendirian di rumah, nyokap bokap gue paling pulang sebulan sekali, itu pun kalo ada waktu buat cuti beberapa hari,” lanjut claudia untuk menghibur Sabrina.

Sabrina mulai termenung dengan tatapan kosong, ia sangat bersyukur punya sahabar sebaik Claudia, yang selalu memahami kondisi hidupnya.

“Makasih ya, Clau. Lo emang sahabat yang paling baik,” ucap Sabrina yang menyenderkan kepalanya di bahu Claudia.

“Udah ya nangisnya, bahu gue udah basah nih, gue ganti baju dulu ya,” ejek Claudia.

Sabrina mengangkat kepalanya dan menoleh ke bahu Claudia, bahunya tidak basah sama sekali, Sabrina memukul bahu Claudia karna mengerjainya.

“Sakit, Sab.”

“Lagian lo ngapain sih pake bohongin gue segala, bahu lo ga basah tuh!”

“Ya, paling ga sih Lo udah ga nangis lagi,” ucap Claudia.

Sabrina semakin terharu dengan perhatian Claudia yang sangat peduli dengannya, meskipun Claudia tidak memiliki ikatan keluarga dengannya.

“Gue, nginep sebulan ya di rumah Lo,” ucap asal Sabrina.

“Boleh boleh aja sih, tapi…,”

“Kalo setahun gimana?” potong Sabrina.

“Makin ngelunjak ya, tapi ya udah deh ga papa, yang penting lo seneng .”

“Makasih Claudia Eraina Silena,” ucap Sabrina sembari mengucapkan nama lengkap Claudia.

Claudia hanya tersenyum dan memeluk Sabrina yang sudah seperti keluarga sendiri bagi Claudia.

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)