Cerpen
Disukai
0
Dilihat
10,569
Apa Boleh Aku Memilih?
Drama

Hujan malam itu masih menyisakan genangan air di halaman rumah. Dingin masih menyelimuti setiap sudut ruangan yang ada di dalam rumah. Entah mengapa, Sisi justru merasa dirinya kesepian. Lagi-lagi penyebabnya adalah tidak ada orang lain di dalam rumah selain dirinya. Kedua orang tua Sisi selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing, dengan dalih jika itu untuk menunjang kehidupan Sisi agar selalu hidup enak. Tapi nyatanya, gadis yang masih duduk di kelas 3 SMP ini sedang membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya.

Sisi berbaring di sofa ruang TV. Sendirian, hanya berteman kan ponsel yang semakin lama semakin membuatnya bosan. Ia butuh teman, teman yang nyata, bukan teman dunia maya.

Di tengah isak tangisnya, seseorang mengetuk pintu rumahnya. Awalnya Sisi merasa takut karna hari sudah larut malam. Namun ia berusaha untuk memberanikan diri membuka pintu tersebut. Alhasil, yang di balik pintu itu adalah Satya, kakak Sisi yang sedang menempuh pendidikan sarjana di kota sebelah.

"Kak Satya? Kenapa pulang?" pertanyaan Sisi yang membuat Satya mengerutkan dahinya.

"Sisi ga kangen kak Satya?"

Sisi memilih untuk kembali ke sofa dan berbaring sambil memainkan ponselnya.

"Sisi kok cuekin kak Satya gitu sih. Sisi kenapa? cerita dong sama kakak," bujuk Satya yang melihat adiknya seperti kesepian.

Sisi diam dan tak menjawab pertanyaan Satya. Satya bisa melihat jika Sisi sedang merasa kesal, namun ia berusaha untuk mencairkan suasana di dalam rumah.

"Kalo kak Satya ajak Sisi beli mie ayam gimana? mau ga?" tawar Satya yang sangat menggiurkan.

Mie ayam adalah makanan kesukaan Sisi, jika diperbolehkan pasti Sisi akan makan mie ayam setiap hari, hanya saja mengingat kesehatan jadi Sisi harus menjaga pola makannya.

"Ya udah kalo Sisi ga mau, kak Satya tidur nih, awas aja bangunin kakak minta beli mie ayam," ucap Satya lalu beranjak dari tempat duduknya.

"Kak Satya, Sisi mau mie ayam," cegah Sisi sebelum Satya meninggalkannya.

"Ga deh, kapan-kapan aja. Kakak capek baru pulang, istirahat dulu ya."

"Tapi Sisi mau mie ayam, Kakak," Sisi mulai merengek karna merasa kesal dengan Satya. Padahal ia sendiri yang menawarkan mie ayam, lalu di saat Sisi menyetujuinya, Satya justru membatalkannya, menyebalkan.

"Ya udah iya, kak Satya ganti baju dulu, bau banget tau, nih cium!"

"Apaan sih kak Satya, bau tau," ucap Sisi yang kesal lalu mendorong Satya agar menjauh darinya.

"Sisi tunggu bentar ya, Kak Satya ganti baju dulu," ucap Satya lalu beranjak pergi ke kamarnya untuk mengganti bajunya.

Sisi pun pergi ke kamarnya untuk mengambil jaket dan celana panjang, meskipun hujan sudah reda, namun dinginnya masih tersisa. Sisi menunggu Satya di ruang TV cukup lama, namun Satya tak kunjung datang, membuat Sisi semakin kesal dan menghampiri kakaknya ke kamar.

"KAKAKKKK!" teriak Sisi yang melihat Satya berbaring di atas kasurnya, "pantes ya Sisi tungguin lama, malah rebahan di kamar. Buruan Sisi mau mie ayam, Kakak," Sisi menarik-narik tangan Satya agar segera bangkit dari tempat tidur mengantarkannya membeli mie ayam.

"Rebahan bentar doang juga, ga sabaran banget sih kamu," jawab Satya yang masih menikmati kasur yang sudah lama tak ia gunakan.

"Gamau tau pokoknya Sisi mau mie ayam, Kak. Salah Kakak sendiri pake nawarin, sekarang Kakak harus tanggung jawab buat beliin Sisi mie ayam," ucapnya sedikit merajuk.

"Tapi udah malem, Sisi. Penjual mie ayamnya pasti udah nutup, besok aja ya kita beli mie ayamnya."

Satya berusaha membujuk Sisi yang sudah terlihat manyun dan tidak menjawab berbagai usaha Satya untuk tidak keluar membeli mie ayam.

Satya yang tidak ingin melihat adiknya cemberut berkepanjangan akhirnya beranjak dari tempat tidur dan mengambil kunci motor yang ada di meja, lalu keluar bersama Sisi mencari pedagang mie ayam yang masih buka.

Sisi meneluk erat pinggang kakaknya agar tidak merasa kedinginan, sambil menoleh kiri dan kanan memastikan ada pedagang mie ayam yang masih buka.

"Gimana? Ada ga penjual mie ayam yang masih buka?" tanya Satya sambil mengendarai motornya dengan pelan.

"Hah? Apa Kak? Sisi ga denger?"

Satya menghentikan motornya dan menoleh ke Sisi yang ada di belakangnya, "udah malem, Sisi. Udah ga ada lagi yang jual mie ayam, jalanannya sepi kan, kamu bisa liat sendiri."

"Ada, Kak. Di depan ada yang jual mie ayam, gerobaknya biru, itu masih buka, ayo kesana, Kak!" ucap Sisi yang masih yakin dengan pedagang mie ayam yang masih buka.

"Kalo nutup kita pulang ya, nanti masak mie instan aja di rumah, kakak masakin deh," tawar Satya karna hari semakin larut dan dingin.

Tanpa pikir panjang Satya kembali menyalakan motornya dan menuju tempat yang diucapkan oleh adiknya. Beberapa menit kemudian, Satya melihat gerobak biru yang ada tulisan mie ayam di kacanya. Seketika Satya berhenti di dekat gerobak tersebut dan melihat Sisi yang sudah tidak sabar untuk membeli mie ayam.

"Mie ayamnya dua ya, Pak."

"Siap, Mas," jawab penjual mie ayam.

"Tiga, Pak. Soalnya kakak lagi pengen mie ayam katanya, daripada punya aku di rebut, mending beli tiga," sahut Sisi yang sebenarnya dia ingin mie ayamnya dua bungkus.

"Dua aja, Pak. Nanti kalo ga abis kan sayang."

"Jadi yang bener dua atau tiga, mas?" tanya penjual tersebut memastikan.

"Tiga, Pak. Udah buatin tiga aja Pak, gapapa, uang kakak saya banyak kok," ucap Sisi dengan senang sambil tangannya menutup mulut kakaknya agar tidak bisa melarangnya lagi.

Akhirnya Satya memilih untuk mengalah dan membiarkan adiknya memesan tiga porsi mie ayam, meskipun dia bungkus nanti akan di makan olehnya.

Setelah menunggu beberapa saat, mie ayam sudah selesai dan di bungkus. Keduanya pulang ke rumah untuk segera menyantap makanan tersebut.

Sesampainya di rumah, sisi langsung pergi ke dapur untuk mengambil garpu dan sendok agar bisa segera menikmati mie ayam yang disukainya.

"Sendok sama garpu Kakak mana?"

"Ambil sendiri lah di dapur, udah tua juga," jawab Sisi sambil membuka bungkusan mie ayam dan menyebarkan aroma yang lezat.

Sisi mulai menikmati mie ayam dengan lahap, karna memang hampir dua Minggu dia tidak makan mie ayam. Sehingga Satya tidak heran lagi ketika melihat adiknya sedang menikmati mie ayam.

"Kamu tau darimana kalo mie ayam di situ masih buka?" tanya Satya yang heran dengan indera penciuman adiknya.

"Itu langganan Sisi tau, Kak. Biasanya kalo pulang sekolah Sisi mampir ke situ buat beli mie ayam kalo uangnya masih ada," jawab Sisi dengan santainya.

"Kamu jangan keseringan makan mie ayam ya, nanti sakit lagi gimana?" ucap Satya mengingatkan adiknya.

Sisi tidak peduli dengan ucapan kakaknya yang selalu mengingatkan akan kesehatan dirinya, ia lebih memilih untuk segera menghabiskan mie ayam yang ada di depannya dan memakan satu bungkus yang belum terbuka.

"Kata Mama, nanti kamu SMAnya sekolah di Bandung, paling ga kan ada kakak yang bisa jagain kamu tiap hari dan kita bisa tinggal di rumah kontrakan atau di rumah saudara juga boleh, selama ini kan kakak ngekos buat persiapan kalo kamu sekolah disana, jadi pas kamu sekolah di sana kita udah ga bingung tempat tinggal lagi," jelas Satya tanpa memerhatikan raut wajah adiknya yang berubah dan terdiam tanpa melanjutkan makannya.

"Kamu mau kan sekolah di Bandung, biar kita bisa sama-sama terus dan kakak bisa jagain kamu," lanjut Satya.

Tak terasa buliran bening itu menetes dan membasahi pipi Sisi. Lagi-lagi ia harus menuruti kemauan orang tuanya dan tidak pernah di beri kesempatan untuk membuat keputusan sendiri, baginya ini sungguh tidak adil. Karna dari dulu ia harus mengikuti kemauan orang tuanya, hingga berpindah-pindah kota itu sudah biasa baginya.

"Dek, kamu gapapa kan?"

Satya yang baru saja menyadari adiknya menangis itu segera memeluk dan menenangkannya. Satya bingung kenapa Sisi tiba-tiba menangis, adakah yang salah dari kalimat yang diucapkannya tadi.

"Kenapa nangis, Dek? Kakak minta maaf kalo Kakak salah, tapi kakak ga tau salah kakak apa, kan udah di beliin mie ayam, masa masih marah sama kakak," bujuk Satya yang tidak tega melihat adiknya terdiam sambil menangis.

"Kamu ngomong dong, jangan buat Kakak bingung, biar Kakak tau kamu itu maunya gimana, kan mie ayam juga udah Kakak beliin buat kamu, mana kamu makannya dua lagi."

"Aku ga mau sekolah di Bandung bareng kakak, kenapa sih kan aku ga pernah di kasih kesempatan buat milih hidup aku sendiri, dari dulu aku harus ngikutin kemauan mama sama papa, terus kapan aku bisa nentuin hidup aku sendiri, Kak. Aku juga pengen bisa manajemen waktu aku, keuangan aku, semua kebutuhan aku bisa manage sendiri tanpa campur tangan kalian. Tapi apa? Selama ini aku ga pernah di kasih kesempatan. Apa kalian masih menganggap aku anak kecil yang ga tau apa-apa? Sampe segitunya buat ngatur hidup aku."

Satya terdiam, baru kali ini ia mendengarkan keluh kesah adiknya. Karna ia harus kuliah di Bandung dan jarang pulang ke rumah, sehingga jarang memerhatikan kehidupan adiknya. Bahkan orang tua mereka sendiri juga lebih sering dinas di luar kota, berada di rumah pun mereka lebih sibuk dengan pekerjaan masing-masing, jadi memang kurang memerhatikan Sisi sebagai anak bungsu yang benar-benar jauh dari kata cukup akan perhatian dari orang tua.

"Maafin Kakak ya, Dek. Kakak kan cuma menyampaikan apa yang Mama mau, tapi kamu boleh kok mengutarakan pendapat kamu kalo memang kamu ga setuju buat lanjutin sekolah di Bandung. Kakak ga bakal ngelarang kamu buat melakukan apapun yang kamu mau, karna kamu punya hak atas hidup kamu."

Suasana ruangan tampak hening, masih ada sebungkus mie ayam yang belum di makan oleh Sisi. Tapi Satya juga masih lapar setelah makan sebungkus mie ayam, karna baru kali ini ia merasa porsi mie ayam yang sedikit, tapi dirinya cukup bingung, sebenarnya porsinya yang sedikit atau memang rasanya yang enak, jadi ingin makan lagi ketika sudah habis. Sambil menoleh ke Sisi yang masih terdiam, ia mengambil sebungkus mie ayam milik Sisi yang belum di makan, ia berpikir Sisi tidak akan memakannya karna ia sudah terlelap dengan suasana yang membuatnya malas untuk makan.

"Kakak, itu mie ayam Sisi, kenapa di ambil?" ucap Sisi sambil menarik sebungkus mie ayam yang ada di tangan Satya.

"Kirain kamu lagi sedih gitu ga bakal makan mie ayam lagi, Dek. Ternyata masih inget aja," heran Satya.

"Ya siapa suruh beli cuma satu, udah tau mie ayamnya enak, makanya beli yang banyak."

Setidaknya tingkah konyol Satya barusan bisa membuat Sisi kembali tersenyum meskipun harus rebutan mie ayam.

















Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)