Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,303
Pelangi di Senja Hari
Self Improvement

Pelangi di Senja Hari

Oleh: Karang Bala

 

Senja berhiaskan mega terpandang elok di pelupuk mata, pembilas gundah dalam dada seorang diri Raka Aria Oratoris. Ya, dialah Raka sang penikmat senja. Senja yang jadi saksi setiap ambisi, pendengar setiap nada kemenangan yang dilontarkan. Karena dia percaya setiap kali senja menyapa, diujungnya merupakan tumpuan harapan untuk menjalankan misi mewujudkan ambisi. Entah bagaimana asal usulnya hingga dia memiliki kebiasaan mengunjungi suatu danau, di kala senja hari sampai-sampai menjadi bagian ritual kewajiban baginya

Raka yang ceria, banyak bicara, dan senang terlibat diskusi, baik di sekolah, di rumah, di mana pun itu. Tak pernah terlewatkan kesempatan berargumen. Untuk kesekian kalinya dia membuktikan kemahiran dalam bersilat lidah. Selalu haus akan bacaan, lapar dengan kemenangan, dan dia selalu jadi pemenang. Itu yang tertulis dalam kamus hidup Raka.

Siang telah hempas, mentari meredup, Raka teringat tentang ambisi selanjutnya, setelah sebelumnya berhasil menaklukkan setiap perlombaan. Diawali tingkat sekolah, tingkat kecamatan, kota, hingga provinsi, selalu dia dan kawan segrupnya taklukkan dengan mudah pun nilai memuaskan. Satu lagi, Raka selalu menjadi the best speaker dari grup sekolah. Ambisi selanjutnya adalah memenangkan lomba tingkat nasional.

Pukul 17.15 Raka mengambil pena dan secarik kertas dari meja belajar, lalu bergegas untuk melaksanakan ritualnya di tempat yang sama seperti biasa. Setibanya di danau memerhatikan bentangan langit berawan yang terlihat muram.

"Hm, tampaknya ujung senja sedang berduka," bisik Raka dalam qolbu sembari terus berjalan di atas rerumputan yang membingkai danau.

Dia berdiri di bawah pohon mangga tempat mengubur kotak aluminium kecil bersandi berisikan kertas bertuliskan harapan lalu yang sekarang telah digapai. Mengambil kertas itu dan menggantinya dengan kalimat baru. Dia bersandar di bawah rimbunan pohon, lantas melipat selembar kertas putih tersebut dan memasukkan ke dalam kotak tadi, setelah itu baru dikubur kembali.

***

Esok harinya, saat asyik membaca tiba-tiba suara pintu kamar terbuka. Ibu melangkah masuk.

"Nak, apa yang kau baca?" Tanya Ibu sembari menghidangkan secangkir teh hangat di meja belajar Raka.

"Sebuah novel fiksi, Bu."

"ngomong-ngomong apa udah bersiap-siap?" Beliau mengingatkan untuk kesekian kalinya.

"Sudah Bu." Nada bicara Raka terdengar sedikit jengkel.

"Syukur lah, semoga bisa meraih keberhasilanmu seperti lomba-lomba yang lalu, tapi ingat jangan sepelekan rival-rivalmu. Kali ini tingkat yang paling menentukan!"

"Jangan khawatir, Bu. Percayakan pada anakmu ini! Seorang Raka tak pernah kenal kata kalah, karena Raka dilahirkan sebagai pemenang," ungkapnya sembari terkekeh.

"Do'a Ibu selalu menyertaimu Nak,"

"Terimakasih, Bu."

"Jam berapa berangkat?"

"Pukul empat sore,"

"Yaudah, Ibu buatin dulu sesuatu untukmu." Dia berjalan usai membalikan badan.

Sementara itu, Raka meneruskan kembali bacaan. Menghabiskan waktu berjam-jam di kursi baca.

***

"Raka ... apa kamu lupa?" teriak sang Ibu sembari tergopoh.

"Ya Tuhan, aku terlambat!" Seketika Raka jam dinding menunjukkan pukul 16.15.

"Cepatlah, Nak! Temanmu baru saja menelepon ibu, katanya ponselmu tidak aktif, mereka menunggumu di bandara."

"Sial! kenapa aku sampai lupa, dan ponselku! Arrgh ... aku lupa untuk mengisi baterai!" Memaki diri sendiri dengan kekesalan tak terkira.

"Nak tunggu! Apa tidak sebaiknya kau diantar sopir?" Suaranya terdengar gemetar dengan nada kegetiran.

"Aku sudah sangat terlambat, dengan diantar mobil akan memperlambat waktuku, apalagi jalanan rentan macet, Bu."

Dia menghela napas sembari mengusap pundak putra cemerlangnya. "Nak hati-hati! Dan kembalilah untuk bersua dengan ayah dan ibumu ini!" Lirihnya sambil meneteskan bulir air mata di pipinya yang kendur dimakan usia.

"Ibu, tenanglah! Aku hanya pergi untuk lomba saja, setelah itu akan kembali, tak perlu sekhawatir ini." Remaja itu meraih tangan sang Ibu sambil menyeka air mata kasihnya.

Dengan berat hati beliau melepas sang anak pergi, entah kenapa seolah ini terakhir mereka berjumpa. Itu sangat mengganggu pikiran, tapi berusaha menepis segala kemungkinan buruk yang terlintas dibenak. Mungkin saja kekhawatiran itu lumrah untuk setiap ibu, terlebih ini kali pertama sang anak pergi jauh darinya.

***

Raka memacu motor dengan kecepatan penuh di bawah naungan langit yang menghitam legam. Angin berembus kencang, diiringi petir yang menyambar menambah keresahan Raka yang sudah jauh tertinggal waktu. Jalanan penuh dengan kendaraan berdesakkan diiringi bunyi klakson menggema menabuh gendang telinga.

"Ah sial! Aku salah mengambil jalan, aku terjebak."

Sejenak Raka melirik jam tangan yang menampakkan 25 menit lagi jadwal keberangkatan pesawat yang akan ditumpangi. Keresahan semakin menjadi merangsang otak pemuda itu untuk berpikir keras agar terbebas dari jebakan macet. Dia segera memutar arah menuju jalan alternatif lain.

"Tapi, jalan itu, kan ...." batin Raka terganggu dengan suatu ingatan di sela-sela keresahan yang terus menerpa. "Ah persetan dengan semua itu, yang terpenting aku sampai tepat waktu di sana."

Adrenalin pemuda itu terpacu waktu, sudah bak pembalap yang tak mau tersusul oleh rivalnya, kecepatan motor terus meningkat. Djtingkatkan lagi, dan lagi kendati di bawah guyuran hujan lebat. Pandangan Raka terganggu embun yang menempel di kaca helm. Dia mencoba mengusapnya dengan telapak tangan.

Ketika di persimpangan tanpa terduga muncul truk besar melaju dengan kecepatan tinggi dari arah berlawanan. Jantung Raka terenyak refleks menutup mata dengan motor terlempar jauh ke arah perkebunan karet di sekitar jalanan tersebut. Tubuhnya tergeletak bersimbah darah dengan jarak sangat jauh dari tempat motornya berada.

***

Nyaris 48 jam Raka terbujur kaku di ruang penuh bau zat kimia serta pengharum ruangan. Badannya kaku seakan dirantai selang-selang dan kabel yang terhubung ke peralatan medis di sekitar kepala ranjang. Dia hanya mampu menetralkan dan memperjelas pandangan mata yang baru terbuka. Sementara suara isak ibu didampingi rapal doa ayah pemuda itu terdengar samar olehnya dari balik pintu.

Masuklah seorang dokter dan suster diiringi orang tua Raka.

"Apakah anda orang tua dari Raka?" tanya sang dokter.

"Ya, kami orang tuanya," jawab mereka serempak.

"Baiklah, silakan ke ruangan saya!" pinta sang dokter usai memeriksa keadaan tubuh Raka sekian menit lamanya.

"Dok, bagaimana keadaan anak saya? Apa dia baik-baik saja? Saya mohon selamatkan dia!" ujar ibunda Raka penuh harap.

"Tenang Bu, dengan seizin tuhan dan segala upaya kami Raka telah selamat, tapi ... " Keraguan dalam ucapan dokter itu terdengar jelas.

"Tapi apa dokter?” Ayah Raka menimpali.

"Raka tidak dapat berbicara, kecelakaan itu mengakibatkan kerusakan pada jaringan otak yang mengarah ke saluran pita suaranya."

Seketika tangis sang ibu membuncah tak terkendali.

"Mas, bagaimana ini segala impian Raka akan lenyap begitu saja," keluh ibu Raka terhadap suaminya.

"Dok, apakah ada cara untuk menyembuhkannya?"

"Kemungkinan Raka untuk sembuh sangat kecil, kami telah berupaya semampu kami tapi tak ada yang bisa melawan kehendak Tuhan yang maha menentukan."

"Baiklah, terimakasih dok!" Mereka berlalu meninggalkan ruangan itu.

***

Berminggu-minggu telah berlalu, tibalah waktu kepulangan Raka untuk menjalani pemulihan seraya terus melakukan terapi dan medical checkup rutin hingga hasil pemeriksaan medisnya menunjukkan diagnosa kesembuhan meski tidak bisa seperti sedia kala lagi.

Waktu yang telah dipatok tersebut telah dijalani dengan penuh amarah dalam jiwa Raka. Dia tetap berjalan kembali usai rasa nyeri di anggota geraknya telah pergi. Satu hal yang masih mengganjal pikiran Raka selalu dan mungkin selamanya adalah prihal suaranya. Dia bagai terdampar di tepi pantai usai ditinggalkan cita-cita yang raib ditelan lautan. Dia tak menyangka hal ini akan terjadi pada dirinya. Dia telah merasa harapan dan hasil perjuangannya gugur di ujung senja yang mengerikan itu.

" Ya, Tuhan .... Ingin rasanya aku berungkap seperti mereka dalam lontaran kata-kata yang terdengar oleh ribuan jiwa, memecahkan pekikkan tangis sampai meringis, namun sungguh tragis jangankan ribuan jiwa untuk sekedar berbisik pada seseorang saja aku tak berdaya, karena aku tak lagi sama. Sekarang aku hanya lah seorang pesakitan yang cacat suara." Dia berteriak dalam hatinya seraya bersimpuh di danau yang sama seperti dulu.

***

Raka merasa senja yang dahulu selalu dipercaya dan jadi saksi harapan dirinya, kini jua telah berbeda. Sekarang dia meragukannya.

"Masihkah pelangi di senja hari sudi menaungi pesakitan suara sepeti diriku ini?" Tak ada suara lagi yang keluar saat gerak mulutnya berucap.

Dia terpuruk di penghujung senja yang kini telah kelam terbalut malam.

~SELESAI~


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)