Masukan nama pengguna
Seorang perempuan tengah berjalan tergesa-gesa,wajahnya tampak kesal dan menakutkan untuk orang yang melihatnya. Tanda pengenal yang ada di dada sebelah kirinya akan mengenali nama gadis itu meski pertama bertemu, dia adalah Seara. Gadis yang berusia 27 tahun, punya puluhan mimpi tapi belum mampu wujudkan satu pun. Hari ini emosinya kian meluap karena sang ayah yang tidak henti-hentinya menambah hutang yang membuatnya harus bekerja terus sampai semuanya lunas. Seara terus menyempatkan diri untuk belajar agar bisa melanjutkan mimpinya di sela jam kerjanya.
Tapi hari ini emosinya tidak tertahankan lagi, sang ayah mengambil uang tabungan yang dia sembunyikan selama dua tahun. Dia menghancurkan semua isi rumah dan berlari kemana pun dia bisa berlari, masa bodoh dengan apa yang akan terjadi dengan sang ayah yang tidak pernah sadar dengan judinya yang tak pernah membawa keberuntungan dan malahan menghancurkan kehidupannya. Dia menuju salah satu toko buku tempat dia biasa menghabiskan waktu jika libur bekerja. Si pemilik toko tampak peka terhadap raut wajah seara, dia adalah seorang pria paruh baya yang sudah pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang dosen bahasa di salah satu universitas.
"Kenapa gadis kecil," tanya pria itu saat bel toko berbunyi.
"Aku bukan gadis kecil, umurku sudah 27 tahun abi!" jawabnya sambil duduk di sebelah meja kasir.
"Apa ayahmu berulah lagi?"
"Aku tidak habis fikir, apa dia masih menganggapku anaknya atau tidak. Aku sudah menghabiskan usiaku hanya untuk membayar hutang-hutangnya yang entah kapan akan lunas. Aku juga punya mimpi," ujar seara sambil terus menangis.
"Pantas saja, dari jauh kobaran api sudah terlihat dari belakang punggungmu."
"Abi jangan bercanda, aku sangat emosi sekarang."
"Apa kita laporkan saja ayahmu ke polisi supaya dia tidak mengganggumu lagi?"
"Tidak usah, aku tidak ingin kembali lagi ke rumah itu. aku ingin bekerja untuk diriku sendiri."
"Ya sudah, tenangkan dulu fikiranmu. Tidak baik memutuskan segalanya dengan emosi yang masih membara. oh iya, abi baru saja dapat kiriman buku-buku baru dan unik. kamu mau?"
"Gratis? kalau abi minta bayaran aku tidak ada uang sekarang?"
"Karena emosimu tidak bagus hari ini. Abi akan kasih kamu gratis, tunggu disini abi akan mengambilnya."
Seara masih kesal, hari ini benar-benar menjadi penentu. Dia tidak akan kembali ke rumah itu lagi. dia tidak akan minta ganti rugi tabungannya yang sudah digunakan sang ayah. Dia harus memulai hari- hari yang lebih baik untuk masa depannya.
"Ini bukunya," abi memberikan sebuah buku yang tampak unik.
"Wah, bagus banget abi," seara membuka setiap halaman buku, namun baru di buka halaman pertama. Ada satu kalimat yang dirinya kenal.
"Abi kena tipu nih, udah di coret," ucap seara sambil memperlihatkan halaman pertama yang sudah di coret.
"Nggak apa- apa, kan cuma satu halaman. Bukunya harum dan beda dari kebanyakan buku."
"Abi terlalu baik. Seharusnya bisa komplain kalau bukunya cacat."
Pria itu hanya tersenyum dan terus menyusun buku yang baru datang.
"Sekarang kamu masih kerja di sana?"
"Nggak abi, aku mau cari tempat kerja baru. Kalau masih kerja disana ayah pasti akan ganggu terus."
"Tempat tinggal?"
"Sea cari tempat baru aja abi."
"Kamu mau kerja di sini aja?"
"Gajinya berapa?"
"Kamu maunya berapa?"
"10 Juta," ucap seara sambil tertawa.
"Silahkan cari tempat kerja yang lain saja."
"Becanda bi, kalau abi butuh karyawan seara mau."
"Ya udah, kebetulan ruangan lantai dua kosong kamu tinggal di atas aja."
"Beneran bi?"
"Iya."
"Oke, nanti awal bulan potong aja gaji sea untuk biaya tempat tinggal."
"Enggak usah, anggap aja kamu bantu jaga toko abi."
"Makasih abi."
Sea menuju ruang atas untuk meletakkan tasnya dan membereskan ruangan yang sudah lama tidak dibereskan. Setelah membersihkan semuanya, seara teringat buku yang abi berikan. Dia mebuka buku itu kembali dan membuka aplikasi translate bahasa yang tertulis di halaman pertama. Ternyata itu adalah bahasa jepang.
"Apa kabar ?" itu adalah kata yang tertulis di kertas pertama.
Seara iseng membalas kembali pertanyaan yang tertulis. Baru hendak menutup dia melihat sebuah kalimat tertulis lagi di bawah balasan seara. Matanya membesar seolah tidak percaya, bagaimana ini bisa terjadi.
Seara kembali menggunakan aplikasinya untuk memahami arti kata yang tertulis.
"Apa maksudmu? itu bahasa apa?"
Seara membalas menggunakan bahasa jepang.
"Itu bahasa indonesia, aku menjawab pertanyaanmu bahwa kabarku baik."
"Oh begitu, apakah kamu dari indonesia? bagaimana bisa kamu menemukan pasangan buku ini?"
"Seseorang memberikannya padaku. Tapi aku tidak percaya kalau bisa berkomunikasi dengan seseorang menggunakan sebuah buku."
"Awalnya aku juga tidak percaya. seseorang mengirimiku buku ini juga. aku kira mereka berbohong tentang keajaiban buku ini. Tapi karena kamu membalas pertanyaanku. Aku jadi berfikir bahwa keajaiban itu ada."
"Apa kamu dari jepang?"
"Ya, namaku Asahi. bagaimana denganmu?"
"Aku seara."
Panggilan abi menghentikan percakapan mereka. Seara bergegas ke bawah untuk menemui abi.
"Abi harus jemput tambahan buku, ini kunci toko. Abi titip ya dan kamu hati- hati."
"Siap abi, hati-hati juga. Kalau butuh bantuan seara telfon aja."
"Baiklah, abi berangkat dulu."
Seara bergegas kembali ke atas untuk melihat bukunya.
"Apa kamu bekerja atau sekolah?"
"Aku bekerja, bagaimana denganmu?"
"Aku bekerja sambil kuliah. percayakah kamu kalau aku seorang seniman?"
"Tentu saja, kalau kamu tidak berbohong."
Cukup lama pria itu belum membalas kembali, seara tertidur karena kelelahan.
Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam, alarm bekerjanya berbunyi. Dia terbangun dan kembali duduk. Dia teringat percakapannya di buku ajaib itu.
Sebuah gambar pria yang tampak begitu nyata terlukis di buku itu.
"Wah gambar ini tampak nyata, apakah itu gambarmu?"
"Ya, itu adalah aku."
"Wah, wajahmu memang asli jepang."
"Tentu saja, aku memang orang jepang. Bagaimana denganmu, bisakah kau menggambar bentuk dirimu?"
"Tidak bisa, aku tidak seorang seniman atau pelukis yang handal. Jika aku menggambarnya mungkin kau akan tertawa."
"Cobalah menggambarnya, mungkin aku akan sedikit mengenalmu."
Seara ragu tapi tetap menggambar dengan ketidakpercayaan dirinya.
"Hahaha."
"Aku sudah yakin kau akan tertawa."
"Itu cukup bagus untuk seorang pemula. Aku sedikit mengenal wajahmu".
"Berapa usiamu?"
"28 tahun, kamu?"
"Aku 27 tahun."
"Apa kamu sudah menikah?"
"Belum, itu terlalu cepat."
"Benarkah, di negaraku kalau sudah 25 tahun seharusnya sudah menikah."
"Berarti kau sudah menikah?"
"Tentu saja belum, aku belum melakukan semua yang aku inginkan."
"Apa yang ingin kamu lakukan?"
"Aku ingin melanjutkan pendidikanku."
"Terus ...."
"Aku masih memikirkan mimpiku yang lain, bagaimana denganmu?"
"Aku ingin dikenal sebagai seniman terkenal ."
"aku harap akan terwujud."
"begitu juga denganmu"
"apa kita bisa menjadi teman. aku fikir kita memiliki dunia yang berbeda"
"Benarkah? bagaimana duniamu?"
"Bagaimana ya? sulit untuk dijelaskan."
"Ya, kamu bisa menjelaskannya perlahan. Aku fikir kita masih di dunia yang sama tapi budaya dan kebiasan kita berbeda. Sedikit demi sedikit mungkin kita akan saling mengenal lebih baik, seara."
"Baiklah, aku harap kau tidak akan menghilang begitu saja ketika mengenal diriku."
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, seara menutup percakapan mereka karena besok dia harus bangun pagi untuk membantu abi menyusun buku yang akan datang besok. Hari ini seara cukup merasa lebih baik berkat abi. Buku ajaib ini membuat dirinya tidak merasa kesulitan sama sekali, seperti punya teman di dunia lain.
Keesokan paginya seara bergegas merapikan diri dan menuju gudang buku yang baru saja datang. Abi yang melihat seara tampak lebih bersemangat menggoda seara.
"Kayaknya ada yang seneng banget nih."
"Oh, ini berkat abi. Makasih untuk buku ajaibnya."
"Buku ajaib?"
"Buku yang abi kasih kemarin, ternyata buku ajaib abi. Berkat buku itu seara punya teman."
"Benarkah?"
"Kamu nggak gila kan?"
"Abi gimana sih, seara serius. Mau seara kasih buktinya."
Seara bergegas ke lantai dua untuk mengambil buku agar abi percaya dengan apa yang dia bicarakan. Namun siapa sangka saat seara membuka halaman percakapan mereka. Tak ada satu pun kalimat, yang ada hanya kertas kosong.
"Cepet susun bukunya, kamu mau ngerjain abi ya?"
"Kok jadi gini ya?"
Seara meletakkan bukunya kembali, dia merasa kesal karena tidak bisa memberikan bukti kepada abi. dia seperti orang gila, seara memasang wajah kesal sambil merapikan semua buku yang ada. Abi tersenyum melihat tingkah seara.
Setelah menyelesaikan tugasnya, seara menuju meja kasir untuk melanjutkan pekerjaannya. Seorang pengujung datang.
"Selamat datang."
"Seara ...."
"bian?"
"Apa sekarang kau bekerja disini ? pantas saja aku tidak melihatmu lagi di cafe."
"Ya, aku harap kamu tidak memberitahu ayahku kalau aku bekerja disini"
"Tentu saja, aku akan merahasiakannya. Dan untuk pertanyaanku seminggu yang lalu, bisakah kau memberiku jawabannya sekarang?"
"Mmm ... maaf bian, aku rasa kita harus fokus untuk mimpi masing- masing dulu. Aku terlalu lelah sekarang. Aku tidak ingin menyakitimu."
"Tidak bisakah kau pertimbangkan lagi?"
"Untuk sekarang itu adalah jawabanku. Aku tidak mengikatmu kau bisa menyukai wanita yang lebih baik dariku."
"Baiklah, aku rasa jawabanmu sudah menyelesaikan rasa gugupku."
Bian pergi dari toko buku, namun tak di sangka bian berfikiran buruk untuk memberitahu dimana seara bekerja. bian adalah teman sejak sma seara, dia adalah tipe orang yang mudah sakit hati apabila tidak menuruti keinginannya. Ini adalah pertama kali seara bertindak di luar keinginannya. Baginya seara adalah seorang teman dan seorang wanita yang paling memahami dan mengerti dengan keadaannya. Hari ini dia merasa kehilangan seara.
Malam harinya seara kembali bercerita dengan asahi, pria yang saat ini berada di jepang.
"Asahi, bisakah aku tahu di kota mana dirimu berada?"
"Apakah kau akan mengunjungiku?"
"Tentu saja, jika kesempatan itu ada."
Cukup lama seara menunggu, sebuah gambar yang memperlihat kota yang indah membuat mata seara berbinar.
"Itu kota yang sangat indah, aku jadi ingin kesana"
"Benarkah?"
"Ya, itu seperti kota di film doraemon."
"Hahaha, apakah aku nobita dan kamu sizuka?"
"Jika saja kamu nobita, mungkin kau bisa membawaku kesana dengan pintu kemana saja".
"Hahaha."
"Dan aku tidak perlu lelah menterjemahkan bahasamu setiap waktu karena doraemon akan memberikan alat yang akan membantuku mengerti bahasa jepang."
Ditengah percakapan mereka, tiba- tiba suara pukulan keras terdengar dari luar toko buku. Seara bergegas menuju luar toko. Dari balik kaca jendela dia melihat sosok pria yang dia hindari, dia adalah ayah. Seara berdiri di depan pintu toko dengan ras takutnya yang kian memburu.
Dalam benaknya dia mencari cara untuk menghentikan segala kemungkinan yang buruk akan terjadi. bagaimana jika ayah menghancurkan toko buku abi, seara memberanikan diri keluar toko dengan tubuhnya yang gemetar.
"Disini kau rupanya."
"Bagaimana ayah bisa menemukanku."
"Kau benar-benar anak durhaka, sudah lelah aku membesarkanmu kau malah kabur."
"Aku tidak ingin terlibat dengan ayah lagi. Aku sangat lelah, aku ingin melakukan sesuatu untuk diriku sendiri."
"Apa katamu?!" sebuah tamparan keras mendarat di pipi seara, sudut bibir gadis itu mengeluarkan dara.
"Lebih baik ayah mati saja atau bahkan kalau perlu aku saja yang mati!"
"Kau benar-benar anak kurang ajar, aku akan membunuhmu!" pria itu bergegas mendekati seara sambil membawa sebilah pisau. Namun teriakan seorang wanita membuat pria yang tengah emosi itu bergegas lari meninggalkan toko.
Seara tak sadarkan diri dan seorang perempuan muda itu membawa seara ke rumah sakit. Pemeriksaan berlangsung, dokter mengatakan bahwa tidak ada luka yang serius namun seara mengalami syok berat jadi dia perlu istirahat.
Dalam tidurnya, seara bermimpi bertemu seorang pria yang memiliki raut wajah persis seperti gambar di bukunya. Dia seperti asahi, aku menyapanya tapi dia hanya tersenyum tanpa membalas satu katapun. Pria itu tiba- tiba di pukul dengan benda tumpul oleh seseorang, dia adalah ayah. Seara berlari namun kakinya tertahan oleh suatu benda yang sangat berat. Seara berteriak dan duduk terbangun dari kasurnya.
"Apa kamu bermimpi buruk?"
"Hah, mmm ... apa yang terjadi?"
"Kamu pingsan dan aku membawamu ke rumah sakit."
"Bagaimana dengan ...."
"Pria itu lari ketika aku berteriak, dia siapa?"
"Aku sudah melaporkannya ke polisi jadi kamu aman sekarang."
"Aku harus segera pulang, terima kasih sudah membantuku. Dan untuk biaya rumah sakitnya aku akan segera menggantinya."
"Apa kamu bekerja di toko buku asahi?"
"Toko buku asahi?"
"Ya, toko buku tempat dimana kamu pingsan."
"Iya, aku bekerja disana."
"Oh, berarti kamu adalah seara?"
"Bagaimana kamu tahu namaku?"
"Ayahku pemilik tokonya. Dia banyak bercerita tentangmu."
"Benarkah? dimana abi, eh ... maksudku ayahmu. Sudah lebih dari seminggu dia tidak mengunjungi toko."
"Aku rasa kau perlu tahu ini."
Seara pulang dengan air mata yang terus menetes, tubuhnya seperti tak ada daya lagi untuk melakukan apapun. Pikirannya kembali ke kejadian malam itu, lebih baik dia mati terbunuh oleh ayahnya malam itu. Agar semuanya menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri.
Dia membuka buku pemberian abi untuknya, air matanya tak bisa berhenti hingga membuat halaman buku itu basah.
"Apakah hujan disana?" sebuah kalimat muncul dari kertas yang basah.
"Hujannya sangat deras sampai aku sulit membendungnya."
"Apa kau menangis?"
"Aku ingin mati tapi aku takut?"
"Ada denganmu? kemarin kamu baik- baik saja."
"Abi adalah orang yang memberiku buku ini, dia adalah seorang ayah dan orang yang berarti bagiku. Dia terkena demensia, itu sangat menyakitkan. Bukankah dia akan lupa denganku."
"Aku tahu perasaanmu seara, tapi putus asa bukan caramu untuk membalas semua kebaikannya. Bukankah dia sudah banyak membantu dan membuatmu bertahan sampai sekarang."
"Tapi siapa yang akan membantuku lagi, kemarin ayahku datang menemuiku dan ingin membunuhku padahal dia adalah ayah kandungku."
Asahi seperti menemukan cerminan dirinya, bukankah saat ini dia di posisi yang sama dengan seara. Bagaimana caranya untuk membuat seara mengurungkan niatnya.
"Seara.... bukankah kamu senang kenal denganku?"
"Tentu saja."
"Jika kau tetap ingin mati, bisakah kau urungkan niatmu dulu. Setidaknya bertemulah denganku satu kali sebelum dirimu mati."
Seara terdiam cukup lama, ucapan asahi membuatnya sedikit mengurungkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya yang terasa sia-sia.
"Bisakah kita benar-benar bertemu?"
"Tentu saja, aku harap kita bisa bertemu satu tahun lagi. Jangan pernah putus asa seara, aku harap kau segera menemukan mimpimu dan kita bertemu. sekarang tenangkanlah fikiranmu dulu, kau tidak boleh gegabah."
Seara istirahat sejenak dari fikirannya yang entah kemana. Dia berharap segera bisa bertemu abi, dia meraih ponselnya dan menelfon hara anak abi yang menolongnya kemarin.
"Halo kak, apa bisa aku bertemu ayahmu?"
"Tentu saja, aku akan mengirimkan alamatnya."
Keesokan paginya seara bangun pagi-pagi dan pergi menuju alamat yang hara kirimkan.
Rumah itu sangat sederhana tapi cukup nyaman untuk siapa pun yang mengunjunginya. Hara berdiri menungguku di depan pintu. Dia mengantarku ke sebuah ruangan yang berisi banyak buku. Seorang pria paruh baya dengan kaca mata kunonya tampak fokus membaca sebuah buku. Hara membawaku masuk dan meninggalkanku disana agar aku merasa nyaman.
Seara duduk di depan pria yang dia anggap sebagai ayahnya. Dia berusaha untuk tidak menangis dan terlihat baik-baik saja.
"Abi ...."
Dia melihat ke arah seara dengan wajah bingung.
"Abi apa kabar? aku sangat merindukan abi."
"Kamu teman asahi?"
Tiba-tiba seara terkejut dengan ucapan pria yang duduk di depannya.
"Ya, aku teman asahi."
"Bagaimana kabarnya? apa dia baik- baik saja?"
"Ya, dia baik- baik saja."
"Dan seara, bisakah sampaikan pesan padanya. Dia harus mengejar mimpi-mimpinya apa pun yang terjadi. Dan berikan kunci ini pada seara."
"Kunci apa ini?"
"Ini kunci lemari di dekat meja kasir di toko buku."
"Ini aku seara, abi."
"Bukan, kamu jangan ngaku-ngaku. Seara itu cantik dan sangat baik."
Seara memeluk pria itu, abi tidak melupakannya. Hanya kehilangan ingatan siapa dirinya. Seara akan mewujudkan mimpi agar abi bangga.
Searah keluar dari ruangan sunyi itu dengan air mata dan tangisan yang tak kunjung berhenti. Hara yang melihat seara bergegas mendekatinya dan memeluknya. Mereka duduk di ruang tamu yang cukup nyaman dan hanya ada mereka berdua.
"Apa kakak mengenal asahi?"
"Dari mana kamu mengenal asahi?"
"Abi ... bukan ayah menyebutku temannya asahi."
"Mmm ... ini cerita yang cukup panjang tapi aku akan ceritakan padamu. Asahi adalah anak angkat ayah ketika dia bekerja di jepang. dia bekerja di salah satu toko buku yang cukup tua disana. Hari itu aku mengunjungi ayah yang sedang bekerja, disana ada seorang anak laki- laki yang ayah panggil asahi. Hari itu dia menangis karena kematian ibunya, ayahku menghiburnya sampai di merasa lebih baik. Sejak saat itu dia sering mengunjungi ayah yang bekerja disana."
"Hanya itu?"
"Ya, aku hanya mengetahui sebatas itu. Aku tidak terlalu dekat dengannya karena aku sibuk sekolah saat itu."
"Apakah kakak bisa memberiku alamat toko yang ada di jepang?"
"Untuk apa? apa kau akan ke sana?"
"Ya, satu tahun lagi aku akan kesana."
"Kenapa menunggu satu tahun lagi, jika kau ingin berangkat sekarang aku akan membantumu."
"Tidak, aku akan mempersiapkan diriku lebih dulu."
"Baiklah, aku akan mencatat alamatnya untukmu tapi aku tidak yakin apakah toko buku itu masih ada sekarang."
"Baiklah, terima kasih kak."
"Hubungi aku jika kau butuh bantuan."
"Baiklah, aku harap kakak menjaga abi dengan baik. Aku memanggilnya abi."
"Baiklah."
"Oh iya, tentang toko buku apa yang harus kita lakukan?"
"Jika kamu mau tetaplah bekerja disana dan mengurusnya. Kakak akan membantumu."
"Baiklah, terima kasih kak."
Seara pulang dengan langkah cepatnya, dia sangat senang bertemu abi meski tak di kenali. Baru saja sampai di depan toko, dia melihat sosok pria yang dikenalnya.
"Apa aku harus menelfon polisi untuk membuatmu tak berkunjung kesini?"
"Maafkan aku sea, aku tidak bermaksud ...."
"Sudahlah, aku sudah memaafkanmu tapi jangan pernah menemuiku lagi."
"Apa kau membenciku."
"Tentu saja, aku sangat membencimu sampai aku tidak tahu harus berkata apa ketika melihatmu."
Pria itu berlalu dengan gestur tubuh yang penuh dengan penyesalan, bagaimana pun tingkahnya yang penuh emosi sudah melenyapkan harapannya yang ingin bersama seara.
Seara bergegas ke lantai dua untuk bercerita pada asahi.
"Apa kamu disana?"
"Tentu saja, apakah hari ini baik- baik saja?"
"Tentu saja, hari ini aku bertemu abi."
"Bagaimana?"
"Dia lupa denganku tapi tidak lupa denganmu."
"Denganku? apakah dia mengenalku?"
"Apa kau ingat pria yang menolongmu di toko buku ketika di jepang?"
"Papa?"
"Pria itu adalah abi, dia yang memberikan buku ini untukku."
"Apa dia baik- baik saja?"
"Tentu saja, hanya kehilangan ingatannya secara acak."
"Asahi ... aku akan mengunjungimu. Bisakah kau menungguku?"
"Tentu saja, aku harap sesuatu yang baik akan terjadi sehingga kita bisa bertemu."
Setelah percakapan yang cukup panjang. Seara bertekad untuk bekerja keras demi bisa ke tokyo mengunjungi asahi. Pria yang membantunya tetap hidup dan meyakinkan dirinya meraih mimpi.
Awal bulan maret 2011 aku memutukan untuk mengunjungi asahi, aku sudah lancar bahasa jepang dan mendapatkan beasiswa pemerintah jepang untuk melanjutkan S1 disana. Kebahagiaan yang berlipat ganda dan aku tidak sabar bertemu dengannya. keberangkatanku di jadwalkan tanggal 15 maret.
Namun pagi itu tanggal 11 maret, berita yang membuat jantungku berhenti berdetak. Gempa dengan kekuatan 9.1 mengguncang jepang. Pikiranku tertuju pada buku yang saat ini akan aku masukan ke dalam koper. Bagaimana dengan asahi?
Aku membuka buku yang hanya tersisa satu lembar yang belum tertulis apapun. Darah terus menetes di halaman terakhir itu. Tubuh seara gemetar, apa yang terjadi dengan asahi.
"Asahi ... apa yang terjadi padamu? apakah kamu baik- baik saja?"
"Bukankah kau tidak mengizinkanku mati sebelum bertemu denganmu? bisakah kau melakukan hal yang sama untukku?"
Seara menangis sangat keras dia tidak harus berbuat apa. Dia sangat berharap ini adalah sebuah mimpi.
Seseorang menelfon seara mengabarkan tentang pembatalan keberangkatan ke jepang. Belum bisa dipastikan kapan akan perkuliahan di mulai tapi yang pasti kedutaan akan segera mengabarkan. Seara seolah kehilangan arah, bagaimana mimpinya untuk bertemu asahi pupus begitu saja.
Seara sampai harus di rawat di rumah sakit karena kelelahan, hara tampak begitu kahwatir jika seara melakukan sesuatu di luar nalar. Hara meyakinkan gadis sea bahwa asahi baik-baik saja.
Setengah tahun berlalu, kedutaan mengabarkan keberangkatan para mahasiswa bisa dilakukan. Seara tidak sabar mengunjungi tempat yang selama ini sudah di tunggu.
Seara tidak menemukan tempat yang ditujunya, bagaimana pun gempa membuat setiap bangunan berubah. Seara menelfon hara untuk menanyakan sesuatu tentang asahi atau apapun yang berhubungan dengan pria itu. Hara tidak bisa menemukan dengan pasti tapi seseorang mengatakan ada pameran lukisan dengan tema laut yang diadakan di sebuah gedung. Seara memutuskan untuk kesana, bagaimana pun dia berharap menemukan sedikit petunjuk tentang asahi.
Seara berjalan menuju sebuah gedung yang sudah di penuhi oleh penikmat keindahan. Seara takjub dengan lukisan- lukisan yang sangat indah. Perhatiannya tertuju pada lukisan yang berada di tepat di tengah ruangan. Sebuah lukisan dengan nama persis dengan namanya seara, sebuah nama yang tertulis disana membuat air matanya menetes.
"Asahi ...."
"Apa kamu mengenal asahi?" tanya seorang pria yang sepertinya satu tahun lebih tua dari seara.
"Ya, apa aku bisa menemuinya?"
"Ikutlah denganku, tapi aku harap kamu tidak terkejut."
"Kenapa?" pria itu terus berjalan menuju ruangan dimana sang seniman berada. Nama asahi tertulis disana. Sungguh lega rasanya ternyata asahi masih hidup.
"aAahi ...," panggil seara, namun tak ada balasan dari asahi yang tampak fokus menggunakan ponselnya.
Pria itu mendekati asahi dan memberikan isyarat bahwa ada seseorang yang mencarinya. Asahi menoleh ke arah kemana jari pria itu dan dia mendapati seara yang berdiri disana. Asahi sempat bingung namun dia mengenali buku yang ada di tangan seara.
Seara mendekati asahi dan mengatakan sesuatu namun asahi tak tahu harus merespon bagaimana. Dia kehilangan pendengarannya karena gempa yang mengguncang jepang beberapa bulan lalu.
"Dia tidak bisa mendengarmu, siapa namamu?"
"Seara."
Pria itu mengisyaratkan percakapan mereka pada asahi. Seara meminta teman asahi untuk meninggalkan mereka berdua. Seara menulis di sebuah kertas agar asahi tahu apa yang ingin dia bicarakan.
"Aku sangat senang bisa bertemu denganmu. kamu tahu sangat frustasi ketika tahu kejadian beberapa bulan lalu. Tapi ternyata kamu masih menempati janjimu untuk kita segera bertemu. Asahi, aku sudah bisa bahasa jepang tanpa bantuan aplikasi. Aku akan bisa mengungkapkan apapun yang ingin aku katakan."
Asahi tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Dia sangat senang bertemu seara tapi di sisi lain dia merasa tidak percaya diri dengan dirinya yang tuli.
"Aku sangat senang bertemu denganmu, tapi jika seperti ini aku merasa sangat tidak pantas bertemu denganmu".
"Kenapa? apa karena kau tidak mendengarku?"
"Ya, akan lebih baik jika kau tidak mencariku."
"Kau sangat jahat asahi, aku bekerja keras untuk bisa ke jepang dan bertemu denganmu. Dan kau malah mengusirku dan berharap tidak bertemu denganku."
"Bukan begitu, kau akan kesulitan jika seperti ini."
"Aku tidak kesulitan, aku sudah bisa bahasa jepang. Aku bisa bicara denganmu dan siapa pun disini. tapi aku memang harus belajar untuk mengerti apa yang ingin aku bicarakan denganmu. Aku akan belajar bahasa isyarat. Jadi jangan melarangku."
"Ternyata inilah dirimu, seara. Tidak salah papa sangat menjagamu."
"Ternyata papa sengaja membuat kita terhubung. Kita adalah dua orang yang kehilangan arah dan makna."
Seara menangis, dia tidak harus berkata apalagi baginya bertemu asahi adalah mimpi besarnya.
Asahi mengajak seara untuk menikmati lukisan yang sudah dia persiapkan. Lukisan yang memiliki sejuta makna yang menggambarkan pertemuan mereka berdua. Hari dimana gempa besar terjadi, asahi berusaha mengambil buku yang menghubungkan mereka namun terhimpit reruntuhan. Saat kritisnya asahi mendengar seseorang berkata yang membuatnya ingin bergegas bangun.
"Bisakah kau tetap hidup seperti yang kau inginkan dariku, asahi."