Flash
Disukai
7
Dilihat
354
Gadis yang Mati di Atap
Self Improvement

Gadis mati di sebuah roof-garden sore itu, usai bercerita padaku tentang pertemuannya dengan sang mantan kekasih.

Sebelum mati, ia sempat berbincang denganku di sana, menguntai kata demi kata, meski dengan nyala kehidupan yang hampir padam.

Katanya, sudah satu pekan berlalu sejak kedatangan sang mantan itu kembali ke hadapannya. Seorang lelaki yang konon ketampanannya hasil perpaduan dari aktor Korea, Turki serta karifan lokal Nusantara.

Dan dahulu kala, pernah sangat mencintai sang gadis.

"Tapi makin lama bersama dia, aku makin merasakan kegelapan hatinya. Lebih pekat dari minyak di wajan tukang gorengan pinggir jalan. Bahkan jelantah saja masih ada harganya, entah dengan dia." Gadis itu mencibir.

"Kalau begitu, bukankah lebih mudah melepaskan dan mengabaikan dia? Orang yang lebih murah dari minyak jelantah itu," tanyaku, mencoba berlogika.

Gadis itu menatap batas langit dan sky line gedung-gedung di hadapan kami.

"Tapi tatapan mata dan senyumannya masih sehangat matahari pagi. Membuatku terbuai, terlena dan akhirnya jatuh bermimpi seperti kucing gembul pemalas di parkiran kantor," tutur gadis itu lagi, rona merah muda menyemburat di wajah polosnya.

"Jadi itu sebabnya Kau masih beramah tamah dengan lelaki itu? Bukankah bau busuk kebiasaanya masih terendus olehmu? Dia suka ... merajut kisah dengan banyak perempuan, bukan? Sejak dulu begitu," tanyaku lagi, agak kesal dibuatnya.

"Bagaimana Kau tahu soal aib lelaki itu?" tanyamu, tanpa berusaha menyembunyikan senyum, menemukan kawan ber-ghibah.

Aku menaikkan alis. "Kau yang senantiasa merapalkan kebobrokannya setiap hari. Ya ... sampai akhirnya kalian bertemu lagi."

Gadis bermata hampa itu tertawa, dengan air mata berderai, luruh menuruni pipi mulusnya. Wajah muda yang masih terbuta asmara.

"Aku belum bisa melepaskannya, tidak akan bisa. Ingatanku terantai pada dia," bisik gadis itu nelangsa.

Aku menggaruk kepalaku, pusing menghadapi jiwa labil yang enggan berlogika. Padahal ia sudah tahu kisahnya dengan sang mantan, tak bisa diperbaiki apalagi dilanjutkan seolah tidak pernah ada cacatnya.

"Aku tahu Kau masih mengaharapkan dia menggenapi hidupmu. Bahkan ada ruang yang sengaja Kau kosongkan demi menanti dia, meski kau tahu bahwa kebencianmu besar padanya. Lihat ... lukamu saja masih ada!" pekikku, memaksanya melihat pergelangan tangan kirinya yang berebekas sayatan.

Gadis itu semerta menyembunyikan barcode itu dengan gugup.

Aku tak tahan melihat si labil ini.

"Hey, bukankah Kau sudah tahu lelaki itu kini menjalin hubungan dengan wanita di lantai dua? Wanita cantik berwajah bak aktris drama China, berkarier bagus dan tentu saja masih muda, menjanjikan mimpi dan harapan. Tidak sepertimu!"

"Aku ... aku masih muda!" jeritmu tak terima.

"Sadarlah! Kau sudah menua Gadis! Berhentilah hidup di masa lalu!" Aku balas membentak.

Gadis itu tergugu, kugunakan kesempatan diamnya untuk menyerang dengan fakta.

"Lelaki itu melamarnya kemarin, di depanmu. Bahkan dia memandangmu rendah sambil menahan tawa, ketika Kau mencoba menawarkan untuk kembali merajut kisah cinta dengannya," ujarku sengit.

Gadis masih terisak, teringat momen memalukan semalam, dimana dirinya ditolak mentah-mentah oleh mantannya yang sudah memiliki calon istri tersebut.

"Itu ... usaha terakhirku, setidaknya ... aku mencoba sampai akhir," lirihnya menatapku lemah.

"Tapi aku tak bisa memaafkan kesalahannya. Kau tahu juga kan saat dia tak hadir di pernikahan kami dulu? Bagaimana orang tuaku harus menanggung malu di depan para tamu?!" geramnya.

Aku mengangguk, kuraih dia ke dalam pelukanku. Ia masih tergugu. Kutenangkan tubuhnya yang gemetar, kubisikkan keteguhanku padanya.

"Tak apa, tak usah memaksakan dirimu. Lepaskan dia perlahan dari harapan, dan segala gambaran kehidupan. Hembuskan, hempaskan. Kau berhak tenang dan bahagia. Biarlah Tuhan yang menegur lelaki itu dengan keadilan-Nya," lirihku pada pendengaran gadis itu.

Perlahan isaknya pun reda, sedihnya raib demikian pula dengan jiwanya.

Aku pun bangun dan beranjak meninggalkan roof garden yang kini mulai tersirami cahaya senja, usai mengucap perpisahan pada sang gadis muda yang telah meninggalkan dunia.

Kuusap sisa-sisa air mata. Kurapikan name-tag yang tersemat di bagian atas kemeja yang bertuliskan namaku yang masih sama sejak bertahun-tahun lamanya: Gadis Seroja.

***

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)