Flash
Disukai
13
Dilihat
18,198
Demi
Drama

Seorang ibu-ibu berbaju kumal baru saja tersadar dari pingsannya. Sesaat lalu, yang ia ingat hanyalah sedang berada di tengah lautan manusia, berdesak-desakan, sembari mengantre sekantung sembako yang sebentar lagi akan dibagikan oleh seorang anggota dewan. Ibu-ibu melarat itu tahu bahwa dalam seplastik hitam sembako—tak seperti namanya: sembilan bahan pokok—itu hanyalah berisi seliter beras, sekilo minyak goreng, dan sekaleng sarden. Namun, itu sudah lebih dari cukup baginya. Bayangan bocah perempuan berusia tujuh tahun yang sedang kelaparan dan menantikan sepiring nasi berlauk sarden dari tangannya di kolong jembatan, menjadi penyemangat tersendiri bagi ibu-ibu tadi. Sekuat mungkin ia abaikan pengap udara di tengah impitan orang-orang beraroma masam. Hingga di satu waktu, lantaran rasa letih telah mencapai ubun-ubun, tubuh ringkih itu pun akhirnya jatuh dan terinjak-injak.

“Berapa lama lagi kira-kira kita akan terus mengantre?” tanya ibu-ibu itu pada sosok perempuan yang jauh lebih tinggi di hadapannya, begitu sadar dari pingsan. Ibu-ibu itu tentu tak ingin jika dengan hilangnya kesadarannya barusan, menyebabkan ia tak kebagian stok sembako yang jumlahnya bisa ditaksir tak sebanding dengan jumlah kerumunan.

“Sampai kiamat dan seluruh umat manusia telah dikumpulkan di sini.”

Mendengar lelucon yang sama sekali tak terdengar lucu itu, ibu-ibu tadi hanya bisa tersenyum kecut. “Tolong jangan bercanda.”

“Bukankah memang demikian yang seharusnya kita lakukan.” Sosok perempuan tinggi yang sedari tadi berdiri dan membelakangi si ibu-ibu, segera berbalik. Perempuan itu pun sadar jika lawan bicaranya adalah sosok yang asing baginya. “Pantas saja. Anda orang baru, ya? Jangan-jangan Anda belum sadar kalau saat ini kita tengah berada di Padang Mahsyar.”

Lidah si ibu-ibu seketika kelu. Pikirannya pun kembali melayang ke peristiwa ketika tubuhnya tadi terinjak di lautan manusia, remuk, dan terabaikan orang-orang melarat yang jauh lebih mementingkan sekantung sembako berisikan seliter beras, sekilo minyak goreng, serta sekaleng sarden.

Tangis ibu-ibu tadi seketika pecah. Bukan menyesali kematiannya. Melainkan memikirkan bagaimana nasib putri kecilnya yang kelaparan di kolong jembatan dan terus menantikan sepiring nasi berlauk sarden dari dirinya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)