Masukan nama pengguna
12 Maret 2015.
Barra ... ! Panggilan seorang guru dari depan podium.
Semua mata tertuju pada sosok laki- laki yang berdiri di barisan paling depan. Berbeda dengan tatapan perempuan yang saat ini berdiri lebih dulu di depan podium disebelah barra.
"Jimat apa yang kau pakai sampai selalu peringkat 1?" bisiknya sambil menatap tajam dan sesekali tersenyum.
"Aku bekerja keras tidak sepertimu."
"Enak saja, aku sampai harus mengurangi waktu tidurku untuk mengalahkanmu."
Barra tersenyum dingin seolah menyatakan kekalahan namari.
Setelah pengumuman semua siswi memberikan selamat kepada barra. Namari bergegas ke kelas untuk melanjutkan kembali belajarnya. Barra yang tampak lelah juga menyusul ke kelas, dia menatap ke arah namari dan mengatakan sesuatu.
"Ini waktunya istirahat bukan tempur."
"Enak saja, pokoknya aku harus ngalahin kamu."
"Kenapa?"
"Kamu lupa pas aku di ajak ibu makan malam di rumahmu? Kau menghinaku."
"Benarkah?" ucap barra pura- pura lupa
"Percuma pintar, tapi pelupa."
Hawa kelas itu terasa panas, dua elemen seperti saling menyerang. Teman- teman mereka dikelas tahu persis betapa bermusuhannya mereka berdua.
Keesokan harinya, guru meminta para murid untuk mengisi pilihan kampus untuk kuliah. Bagaimana pun masa- masa SMA mereka akan segera berakhir.
Namari memilih tiga kampus negeri pilihannya, sementara barra memilih 2 kampus negeri dan 1 kampus luar negeri.
"Apa kau akan melanjutkan kuliah di luar negeri?"
"Tentu saja, jika kesempatan ada aku akan pergi."
"Kenapa kita tidak kuliah di kampus yang sama?"
"Ada apa denganmu, kau membuatku takut."
"Ya, walaupun kita sering bertengkar rasanya aku akan kehilangan teman sekaligus saingan yang membuatku belajar giat."
"Benarkah? apakah kau akan menangis jika kita lulus."
"Apaan sih, males banget."
Namari memberikan kertasnya kepada guru sedangkan barra tampak senang mengusili gadis itu.
Semua murid belajar dengan giat untuk memperoleh hasil yang memuaskan dan bisa masuk kampus tujuan mereka.
29 Maret 2019.
"Akhirnya anak ayah wisuda juga, selamat ya nak."
"Makasih ayah, ibu."
"Setelah ini bagiin undangan lagi."
"Ibu apaan sih."
"Oh iya nak, kamu masih ingat sama barra yang tinggal disamping rumah kita dulu."
"Iya, kenapa yah? udah lama namari nggak dengar kabarnya."
"Ayah kira dia bakalan jadi ke Belanda untuk kuliah tapi ternyata nggak jadi."
"Kenapa yah?"
"Dia harus merawat ibunya yang lumpuh."
"Ibunya Lumpuh? Bukankah ayahnya ada?"
"Ayahnya menghilang setelah menghabiskan uang keluarga mereka untuk bermain judi."
Namari seketika melepaskan toganya,walaupun iblis di dalam dirinya merasa bangga bisa mengalahkan barra. Tapi jauh di lubuk hati paling dalam dia sangat terluka.
"Ayah apakah namari bisa ketemu sama barra?"
"Oh iya, besok ibunya rencana mau ke rumah ada yang mau di bicarakan."
"Benarkah? Kalau gitu kita sekarang balik."
Ibu namari tampak heran kenapa anak perempuannya tampak begitu tergesa- gesa.
Hari yang di nanti- nanti datang juga, namari merapikan dirinya untuk bertemu barra. Panggilan sang ayah seketika menghentikan dirinya. Bergegas dia berlari ke bawah untuk menemui barra.
Langkah namari seketika melambat, barra yang dia liat dulu sangat berbeda tapi ketampanannya tetap sama. Tapi berat badannya tampak begitu kurang untuk tubuhnya yang tinggi semampai.
Mereka berjalan menuju taman samping rumah, mereka tampak kikuk satu sama lain mungkin karena sudah lama tidak bertemu.
"Apa kabar?" tanya namari.
"Baik, bagaimana denganmu?"
"Mmm ... baik."
"Aku sudah lama mencoba menghubungimu tapi nomormu sudah tidak aktif lagi. Apakah terjadi sesuatu?"
"Handphoneku rusak lupa untuk menyimpan nomor teman- teman dan nomormu."
Namari menghentikan langkahnya, barra yang menyadari itu turut menghentikan langkahnya.
"Kenapa kau tidak pergi ke Belanda?"
"Rasanya terlalu jauh kesana."
"Lalu ... Kenapa kau tak kuliah di sini saja?"
Barra membalikkan tubuhnya seperti menyembunyikan sesuatu.
"Aku ... tidak bisa meninggalkan ibuku sendiri."
Namari menghentikan semua tanya yang ingin temukan jawabannya sepertinya itu sangat menyakiti barra.
"Sudahlah, aku senang bertemu denganmu lagi."
Barra kembali menatap ke arah namari.
"Apa kau sudah punya pasangan?"
"Belum, tidak ada yang sepintar dirimu" ucap namari sambil tersenyum.
Setelah berbincang cukup panjang, mereka kembali ke dalam rumah.
Setelah pertemuan siang itu, namari dan kedua orang tuanya duduk di ruang keluarga.
"Namari ... Bagaimana menurutmu tentang barra?"
"Barra teman namari yah."
"Kalau kamu menikah dengannya, bagaimana?"
Namari kaget dan tampak bingung.
"Kenapa tiba- tiba yah?"
"Ibu barra tadi meminta ayah untuk menikahkan kalian berdua."
"Sebenarnya ibu tidak setuju, ibu menolaknya karena ibu fikir kau bisa menemukan pria yang lebih mapan darinya."
"Tapi tiba- tiba ibu barra turun dari kursi rodanya dan bersimpuh memohon agar kami merestui kalian berdua. ibu tidak tahu harus melakukan apa, ibu tahu betapa sulit posisi seorang ibu."
"Ayah sama ibu tidak akan memaksa, ini pilihan kamu."
Namari kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk, dia teringat tawaran kerja ke singapura yang akan mewujudkan mimpinya.
Tapi di satu sisi melihat barra saat ini, kehidupan namari seolah berhenti. Aku memang bersaing dengannya tapi bukan berarti seperti ini.
Keesokan harinya, namari memutuskan untuk menerima permintaan ibu barra.
Barra yang saat itu tengah membereskan rumah di panggil sang ibu yang tampak begitu bahagia setelah menerima telfon dari seseorang.
"Akhirnya ... Nak."
"Apa buk?"
"Namari bersedia menikah denganmu ...."
"Maksud ibu apa? Siapa yang akan menikah?"
"Kamu akan menikah dengan namari. Ibu sengaja nggak kasih tau kamu karena ibu tau kamu nggak akan setuju."
"Jadi itu tujuan ibu ke rumah namari kemarin?"
"Iya, ibu nggak mau kamu hidup sendirian."
"Siapa yang akan hidup sendirian, kan ada ibu."
"Kalau ibu nggak ada, kamu bakal ngapain?"
"Tapi kenapa namari?"
"Bukankah dia cinta pertamamu? Ibu tahu betapa gelisahnya kamu ketika gadis itu pergi melanjutkan pendidikan jauh dari kamu."
"Tapi sekarang barra tidak butuh siapapun. Barra cuma akan merawat ibu."
"Inilah yang ibu takutkan, fikiranmu yang terperangkap."
Barra memeluk ibunya, sungguh hatinya begitu berkecamuk tak tahu harus merasakan apa. Bagaimana bisa namari menyetujui pernikahan ini?
Setelah keputusan namari, keluarga memutuskan untuk melaksanakan pernikahan secepatnya.
Pernikahan berlangsung secara tertutup dan namari ikut bersama barra tinggal di rumah mereka. Karena kesibukan yang luar biasa, barra tak punya waktu untuk menanyakan segala hal pada gadis itu.
Ketika mereka beristrahat setelah dari perjalanan. Barra mengajak namari untuk berbicara sejenak.
"Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku."
"Apa?" tanya namari sambil melipat pakaiannya.
"Kenapa kau setuju menikah denganku?"
"Mmm ... Kenapa ya?"
"Aku serius nam, aku fikir kau akan mendapatkan pria yang lebih baik dan mapan dariku."
"Benarkah? Tapi aku tidak menemukan yang sepintar dirimu."
"Apa hubungannya dengan kepintaranku?"
"Aku melihat semua pria itu sama saja, tapi jika di bandingkan dengan dirimu sepertinya berbeda."
"Bukankah kau punya impian setelah lulus S1?"
"Sebenarnya ada, tapi sepertinya sekarang sudah cukup."
"Apakah ini jawaban yang serius namari?"
"Aku sangat serius."
"Aku punya permintaan untukmu barra" namari menghentikan pekerjaannya dan menatap serius ke arah barra yang duduk di sampingnya.
"Kamu harus melanjutkan pendidikanmu."
"Permintaan apa itu, usiaku sudah lewat nam."
"Usia tidak membatasi pendidikan barra."
"Aku tidak mau, aku harus membiayai ibuku dan juga kamu."
"Tidak, pokoknya kamu harus kuliah. Untuk biaya ibuk dan aku kamu nggak usah fikirin, aku dapat tawaran kerja dari rumah jadi aku bisa rawat ibu sambil kerja. Kita bisa pindah ke kota tempat kamu kuliah."
"Kamu malu kalau aku cuma tamatan SMA?"
Tatapan namari sedikit marah, tapi dia berusaha meredamnya. bagaimana pun barra tentu merasa tersinggung.
"Dengar barra, aku tidak masalah kau hanya tamatan SMA. aku tahu pasti betapa senangnya kamu ketika lulus SMA dan dapat beasiswa di belanda. aku tahu pasti redupnya mimpi kamu ketika harus menghentikan semuanya sementara kehidupan harus terus berjalan. aku hanya memposisikan diriku di posisimu. bukankah kau sangat ingin menyelesaikan pendidikan seperti yang kamu harapkan. aku hanya ingin kau mewujudkan mimpimu yang tertunda. tapi jika kau benar- benar tidak ingin melakukannya tidak apa- apa, aku juga tidak memaksa. aku harap kau memikirkannya barra."
keesokan paginya, barra bangun dan mendapati namari dan ibunya tengah berada di ruang makan. namari tampak sibuk menyiapkan sarapan pagi. setelah menyelesaikan semuanya, mereka sarapan pagi bersama.
"Buk, kalau barra lanjut kuliah nggak apa- apakan?" tanya namari sambil mengambilkan sepiring nasi goreng.
"Wah bagus dong, bukannya itu keinginan kamu barra?"
"Barra masih bingung buk, nanti ibu tinggal sama siapa?"
"Barra, kamu lupa udah punya istri?" tanya namari dengan nada sedikit kesal.
Ibu barra tampak sedikit kebingungan harus bersikap bagaimana.
"Tapi kamu kerja nam."
"Kan aku udah kasih tau sama kamu barra, aku kerja dari rumah. aku yang akan urus ibuk."
"Tapi itu bukan tugas kamu, kamu nikah sama aku bukan untuk itu."
Namari kesal dan kembali ke kamarnya tanpa menyelesaikan sarapan paginya.
"Kamu kok ngomong gitu barra."
"Tapi buk, ini berat buat barra. kenapa namari harus terlibat dengan keadaan kita, bukankah dia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik tanpa harus terbebani dengan kita."
"Kamu tahu, hari dimana ibu ke rumah namari. ibu namari tidak setuju dengan permintaan ibu tapi karena ibu bersimpuh di hadapan mereka, mereka setuju. dan namari, dia awalnya bingung kenapa harus menikah denganmu tapi dia menyadari betapa beratnya posisimu saat ini. dia merasakan posisi ibunya jika seperti ibu. ibu sangat sedih jika kamu harus menghentikan mimpimu sendiri karena ibu dan jangan menyia- yiakan pengorbanan namari."
"Maafkan barra buk."
"Kamu nggak perlu minta maaf sama ibu, kamu harus minta maaf sama namari."
Barra menyusul namari ke kamarnya, gadis itu tampak sedih menatap keluar jendela.
"Nam ... Maaf kalau aku menyakiti perasaanmu."
"Aku tahu, harga dirimu terlalu besar untuk menjadikanku istrimu. tapi aku berusaha agar menjadi istri yang baik untukmu."
"Maaf nam, bagaimana pun bagiku semuanya terlalu cepat terjadi. aku merasa kau akan kesulitan jika menikah denganku."
"Tidak barra, aku sangat ingin menjadi istri kamu. dan untuk ibu, bukankah dengan menjaga ibu itu juga bentuk cara aku mengabdi padamu. menikah bukan hanya sekedar kesenangan belaka."
Barra memeluk namari yang menangis.
"Kamu jadi gadis yang berbeda."
"Maksudnya?"
"Bukankah dulu kamu hanya gila belajar? Tidak aku sangka kamu sepeka ini sekarang."
Barra memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Namari membantu semua keperluan administrasi dan kepindahan mereka ke kota dimana barra akan belajar.
Tahun- tahun perkuliahan barra berjalan dengan lancar. Dukungan namari membuatnya tak bisa mengeluh sedikit pun. Ketika magang pun perusahaan sangat tertarik untuk merekrutnya sebagai tenaga IT perusahaan.
Sampai suatu malam setelah acara perpisahan magang selesai, teman satu grup menghampirinya. Untuk standar kecantikan dia sangat cantik, gadis itu juga kaya. Siapa pun akan tertarik melihatnya. Dia menghampiri barra dan menyatakan perasaannya.
"Barra ..."
"Apa Sel?"
"Aku suka sama kamu."
"Kamu nggak liat" ucap barra sambil mengangkat jari manisnya yang di lingkari cincin pernikahan.
"Alah, istri kamu nggak bakalan tahu juga kalau kamu sama aku. Kan dia cuma di rumah aja ..."
"Barra mempertegas tatapannya pada sela."
"Dengar ya, aku berusaha bersikap baik dan sopan. Namari istriku bukan cuma ibu rumah tangga biasa, dia pintar dan dia punya sesuatu yang nggak ada di perempuan mana pun."
"Apaan sih" sela kesal dan berlalu meninggalkan barra.
Radit yang melihat wajah kesal sela bergegas mendekati barra yang menuju motornya.
"Kenapa si sela."
"Lo tanya sama dia, semua orang di kampus juga udah tahu kan kalau gue udah nikah. dia pake acara goda- godain gue."
"Alah, lagian kan istri lo nggak tahu kan."
"Lo sama aja sama dia ya, khianatin istri gue sama aja gue nyakitin ibu gue. lo nggak bakalan tahu gimana pengorbanan namari untuk hidup gue."
Barra bergegas kembali ke rumahnya. Entah kenapa tak ada cela baginya untuk mencintai seseorang. Karena namari tak punya kekurangan untuk dikhianati.
Beberapa bulan berlalu, ibu barra sakit parah. Namari menemani ibu barra di rumah sakit, sementara bara harus menyelesaikan tugas akhirnya. Barra sempat merasa bersalah lagi karena istrinya harus menjaga sang ibu di rumah sakit.
Sepulang dari kampus, barra bergegas ke rumah sakit dengan membawa makanan untuk namari. Dari balik pintu kamar barra melihat namari yang tengah membasuh tangan dan kaki ibunya.
"Assalamualaikum."
"Walaikumsalam, udah selesai bimbingannya?"
"Sudah, nih kita makan dulu. Udah lama ibuk tidur nam?"
"Baru aja, beli apa?"
"Chicken chesee, enak banget. Makasih ya."
"Maaf ya, kamu harus rawat ibu."
"Nggak apa- apa. Kamu nggak perlu mikirin itu, kamu fokus sama tugas akhir kamu."
"Kita makan dulu, aku laper banget."
Mereka makan berdua sembari bercerita tentang yang terjadi hari ini.
Sebulan berlalu, barra melaksanakan ujian akhirnya. Namari tak sabar mendengar kabar baik dari barra. Tapi hari itu menjadi hari yang cukup berat, ibu barra kritis dan di larikan ke UGD. Namari menahan diri untuk tak menelfon barra, sampai pria iru yang menelfonnya.
Setengah jam berdiri di depan UGD, barra menelfon namari untuk memberikan kabar.
"Halo nam."
"Gimana?"
"Aku lulus."
"Selamat ya."
"Kamu kenapa? Ada apa?"
"Ibu kritis."
Barra bergegas kembali ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibunya. Tapi takdir tak bisa kita duga. Ibu barra tidak dapat di tolong.
Namari yang melihat kedatangan barra berlari dan memeluk pria yang dicintainya. Dia tahu betapa pedih hatinya saat ini.
"Maaf, aku tidak menelfonmu lebih awal. Aku takut mengganggu ujianmu."
Barra terus menangis dipelukan namari. Selesai pemakaman ibunya, barra menjadi pendiam. Dia tak banyak bicara, namari kebingungan dan kahwatir.
Barra duduk di ruang keluarga dan namari membawa secangkir teh. Dia ingin memulai pembicaraan dengan pria yang tampak lesu itu.
"Kamu kapan ngurus untuk wisuda?"
"Nggak tahu nam."
"Kok kamu jawab gitu. Kamu harus tetap kuat. Hidup harus terus berjalan bar."
"Udahlah nam, aku capek."
Namari berdiri dan menatap dengan mata yang berkaca. Dia bergegas kembali ke kamar.
Barra yang melihat mata namari, kembali memutar ingatannya. Sudah lebih dari lima hari dia tak mengabaikan namari. Gadis itu sudah bekerja keras untuknya selama ini. Kesedihan kehilangan ibu mungkin tak bisa hilang begitu saja. Tapi dia melupakan seorang wanita yang terus kuat berdiri untuknya. Perempuan yang sabar tanpa mengeluh padanya. Kenapa dia hanya membuat namari bersedih.
Dia kembali menyusul namari ke kamar.
"Nam, maaf ... Aku menyakitimu lagi."
"Nggak apa- bar, aku tahu kesedihanmu kehilangan ibu belum hilang. Mungkin aku tidak sabar menunggumu kembali seperti semula."
"Maaf Nam ...."
Namari membuka pintu dan mendapati barra berdiri dengan air mata yang tak terbendung.
"Menangislah ...."
Barra terus menangis meluapkan kesedihannya.
Wisuda barra di temani namari dan kedua orang tuanya. Senyum barra sungguh membuat namari terharu.
Mereka berdua memutuskan untuk melanjut s2 di kampus yang sama.