Cerpen
Disukai
1
Dilihat
13,192
Bertemu Perpisahan
Drama

Kubuka mataku perlahan, rasa sakit di kepalaku masih kurasa meski tak sesakit tadi, kulihat di sekelilingku, pandanganku terhenti saat kulihat sosoknya.

“Mira” bisikku lirih, aku tak percaya dia ada dihadapanku sekarang

“Kenapa Ram, kenapa ga pernah bilang” isaknya, aku tak mengerti mengapa tiba tiba Mira ada disini sekarang

“Sepuluh tahun kamu menghilang begitu saja, Mir” ucapku lirih, Mira makin histeris

“Kamu yang memintaku membunuhnya” ucapnya disela isaknya

“Tapi bukan berarti aku menyuruhmu pergi” ucapku pelan menahan kesal.

“Aku tidak bisa bunuh anak kita Ram” ucapnya, aku terperanjat mendengarnya

“Apa?”

“Aku tak mungkin membunuhnya, aku tak mungkin membunuh darah dagingku sendri”tuturnya gemetar

“Maksud kamu” tanyaku tak mengerti

“Anak kita sangat cantik Rama, aku melahirkannya lalu menitipkannya dipantu asuhan” Aku terperanjat, sakit dikepalaku semakin menjadi mendengar kenyataan ini

“Umurmu tak lama lagi, Apa kau tak ingin melihatnya?” tanya Mita, aku terdiam menahan perih yang tiba tiba menghujam jantungku

Sepeninggalan Mita, suasana malam dirmah sakit sangat hening, aku menangis sesegukan menyesali perbuatanku

Aku berdesakan keluar dari kereta api yang membawaku singgah di kota Cirebon, mira bilang anak kami di adopsi sebuah keluarga dan kini tinggal di cirebon, usianya kini sembilan tahun, pikirku ia pasti tumbuh jadi gadis lucu yang menggemaskan, hatiku pilu membayangkan itu.

Terik matahari terasa membakar tubuhku, di sebuah warung makan aku singgah untuk sekedar membeli minuman ringan

“Pak, sedekahnya Pak” rintih seorang gadis kecil yang menghampiriku, hatiku terketuk, aku tak tega apalagi melihat kakinya yang cacat

“Ini buatmu” ucapku tersenyum memberikannya sejumlah uang

Gadis itu terlihat sangat senang, berkali kali dia mengucapkan terimakasih lalu pamit pergi, mataku tak mau lepas darinya, aku takjub pada kegigihannya

“De tunggu” teriakku mengejar gadis itu

“Iya Pak” jawabnya menghentikan langkah kakinya yang pincang

“Kamu, mau temani Bapak makan?” ajakku

“Makan Pak?” tanyanya polos, wajah gadis kecil itu lugu, membuatku tak henti memandangnya.

“Iya, Bapak baru disini, tidak tau tempat makan yang enak” jawabku melihat kesegala arah, ini baru pertama kalinya aku kecirebon

“Ooh” jawabnya singkat, aku tau dia pasti segan, aku baru dikenalnya, mungkin dia takut aku ini orang jahat.

“Mau yah” pintaku memelas, dari wajahnya kulihat dia ragu, namun akhirnya ia mengangguk sambil tersenyum

Ku ikuti langkah pincang gadis itu, sesekali ku bantu dia setiap kali hendak terjatuh, senyum yang selalu mengembang dari bibir mungilnya selalu membuatku takjub

“Disini pak, saya dengar makananya enak enak” tunjukanya pada salah satu warung makan depan kami

“Ya sudah, ayo masuk”ajakku

Aku memesan beberapa menu untuk kami berdua, gadis kecil itu terlihat sangat canggung, matanya memperhatikan sekelilingnya, aku dapat menangkap pesan yang tersirat di matanya, ini pasti kali pertamanya datang ketempat semewah ini

“Mana orang tuamu?” tanyaku saat kulihat ia makan sangat lahap

“Ibuku bekerja jadi kuli panggul dipasar, sedangkan ayah pergi melaut”jawabnya sambil menghabiskan makananya dengan lahap

“Kamu tidak sekolah?”tanyaku karna ini jam sekolah, seharusnya dia ada disekolah

“Tidak pak, adik adik bisa tak makan kalau saya sekolah” jawabnya

“Kamu punya adik?” tanyaku heran dengan jawabanya

“Iya pak, ada tiga”jawabnya lantang

“Kalau semua bekerja siapa yang jaga adik adikmu?” tanyaku iba

“Mereka dibawa ibu kerja pak” jawabnya masih dengan wajah polos

Usai makan gadis kecil itu segera bergegas pergi, namun sebelum pergi kuulurkan tanganku, entah mengapa aku merasa harus mengenal gadis itu

“Siapa namamu?”

“Ratih pak” jawabnya lagi lagi mengembangkan senyum yang menyentuh hatiku

Kami berpisah, bersimpangan jalan, namun kebersamaan sesaat dengan gadis itu terasa mengesankan.

Malam yang dingin mempengaruhi kesehatanku, namun aku tak peduli, aku harus segera mencari putriku, dari orang ke orang kutanyakan dimana alamat yang diberikan oleh mita itu, hingga sampai disebuah gubuk yang amat tak pantas untuk dihuni

“Cari siapa, Mas?” tanya seorang ibu

“Keluarga Winarto, benar ini rumahnya?” tanyaku menunjukan alamat rumah yang jku bawa pada ibu itu

“Benar, tapi Pak Winarto nya sedang kerumah sakit, tadi pagi anaknya ketabrak” aku hamper roboh mendengarnya, pikiranku anak yang di maksud ibu itu pasti putriku.

“Mas tidak apa apa?” tanya ibu itu hendak merangkulku

“Anak pak Winarto ketabrak?” tanyaku meyakinkan, batinku tiba tiba sakit.

“Iya, tadi sehabis main bola, katanya tidak hati hati menyebrang” jelas ibu itu, aku heran mendengarnya, anakku perempuan, kenapa dia main bola.

“Main bola,bukankah anak pak Winarto itu perempuan”tanyaku heran

“Pak Winarto punya empat anak, ketiga anaknya laki laki, yang ketabrak anak keduanya?” tuturnya membuatku tak mengerti, ibu itu memapahku membantuku untuk bersandar.

“Pak Winarto tak punya anak perempuan?” tanyaku pelan, kepalaku mulai terasa sakit

“Punya, tapi itu bukan anak kandungnya, pak Winarto amat berbaik hati dia mengadopsi anak gadis yang di telantarkan orang tua kandungnya, padalah anaknya sendiri ada banyak” menjerit hatiku mendengarnya, aku terisak tak dapat menahan haru dihatiku, maafkan Ayah, Nak. Ayah sungguh orang tua yang jahat

Berbekal alamat rumah sakit dari ibu tadi akupun pergi kerumah sakit yang dimaksud, ketika memasuki lorong rumah sakit, darah segar mengalir dari hidungku, aku berjalan sempoyongan, pandanganku mulai kabur, lalu aku tak ingat apa apa lagi.

Saat membuka mata, aku melihatnya, gadis kecil yang ku ajak makan, dia menatapku penuh haru, kedua tangannya memegangi pipiku yang berlumuran darah, dengan kasih sayang dia membersihkannya, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi. Sampai sesosok laki laki setengah baya menghampiri dan menjelaskannya

“Ini Ratih, putrimu, suster temukan surat ini disakumu, aku Winarto orang tua angkat anakmu” tuturnya, dadaku terasa berat, terasa sesak, kutatap nanar wajah gadis kecilku, ingin rasanya aku bangun dan memeluknya, namun apa daya, sekujur tubuhku rasanya ringan bagai kapas, kulihat gadisku menangis, ia memelukku.

“Ayah” isaknya histeris. Kuusap air mata dari pipinya, ingin rasanya lama lama menatapnya namun mulai dunia gelap, gelap tak terkira, aku tak ingin pergi, ingin hidup salamanya, ingin dapat menjaganya, mengganti waktu yang terbuang, menebus salah yang takkan termaafkan, aku tak ingin pergi aku tak ingin putriku tak punya kenangan denganku, tuhan apa aku tak di bolehkan menjaganya? Apa ini hukuman? Mohon ampun atas salahku dulu pernah ingin membunuhnya, lindungi ia slalu, aku mohon.

Angin berhembus membawa raganya pergi, gadis kecil itu meronta ronta meminta ayahnya membuka mata. Menjerit jerit pilu karna baru saja bertemu sudah dipisahkan lagi untuk selama lamanya.

Putriku sayang

Ayah berharap kita sempat berjumpa, ingin rasanya Ayah berlutut dikakimu, menciumi kedua kaki mungilmu, Ayah jahat padamu, Ayah tak pantas memanggil diri Ayah sendiri dengan panggilan Ayah, Nak Ayah tak harap kamu memaafkan Ayah, tapi Ayah harap Ayah bisa memberikan kehidupan yang sudah seharusnya kau miliki. Salam sayang Ayah, Nak, maafkan Ayah.

Ayahmu  

Bersama surat itu Rama menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya, rumah, mobil, tabungan dan perusahaan miliknya pada anak gadisnya yaitu Ratih, namun Ratih menolak dan mengembalikan semua pemberian ayahnya.

“Aku hanya ingin Ayah, dan aku sudah punya dia, disini, dihatiku slamanya”


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)