Masukan nama pengguna
AYAH SELALU DIKEJAR ANJING
Oleh Lian Lubis
Tadi malam ayah dikejar anjing tetangga lagi. Pagi ini eMak dan ayah bertengkar karena kejadian itu. Aku terbangun karena keributan mereka. Kata eMak, ayah tidak akan dikejar anjing kalau tidak pulang larut malam dan anak-anak pagi ini sudah bisa sarapan nasi goreng pakai telur dan minum teh manis atau susu. Ayah mencoba menjelaskan alasannya --Sebenarnya bukan malam tadi saja ayah pulang larut malam dan dikejar anjing -- tapi pagi ini eMak tidak mau mendengar penjelasan ayah. eMak terus saja merepet hingga keempat adikku terbangun tanpa harus dibangunkan eMak lagi.
Tadi malam hujan turun cukup lebat. Jalan tanah yang biasa dilalui ayah menjadi becek dan licin. Waktu anjing-anjing itu mengejar, ayah terpeleset dan hampir jatuh saat berlari. Satu kilogram susu bubuk curah, setengah kilogram gula pasir, beberapa butir telur ayam dan minyak goreng yang dibawa ayah dalam bungkusan-bungkusan plastik terlepas dari tangannya. --Setiap beberapa hari ayah memang selalu membawa bahan makan seperti itu saat pulang kantor. Rumah kami jauh dari pasar. Agar eMak tidak repot ke pasar, ayah membantu eMak membelikan beberapa bahan pokok dari Pasar Jatinegara sebelum pulang ke rumah. Kebetulan ada sepupu ayah yang jadi pedagang eceran di sana-- Tadi malam semuanya berhamburan di atas tanah becek.
Pagi ini kami terpaksa sarapan nasi goreng buatan eMak tanpa telur dan minum teh tanpa gula. Memang sudah menjadi kebiasaan kami selalu sarapan nasi kemarin yang digoreng eMak. Adikku yang nomor tiga tidak mau makan nasi goreng dan tidak mau minum teh. Katanya, nasi goreng tanpa telur bukan nasi goreng dan teh tanpa gula seperti kencingnya di pagi hari. eMak makin merepet karena kata-kata adikku. Ayah makin terancam.
Kami jarang sekali bertemu ayah. Biasanya ayah datang saat aku dan adik-adik sudah tertidur lelap dan ayah masih tidur ketika kami akan pergi ke sekolah. Walaupun kami jarang bertemu ayah, tapi aku dan adik-adik memiliki banyak kenangan dan cerita tentang ayah. Entah bagaimana caranya, ayah bisa meninggalkan cerita, kisah, dan kenangan yang berbeda tentangnya diantara kami. Aku pun baru menyadarinya setelah dewasa. Inilah salah satu cerita tentang ayah yang aku punya: ayah selalu dikejar anjing.
***
"Tengah malam tadi, anjing tetangga kita melolong dan menggonggong lama sekali. Ribut. Mereka seperti melihat sesuatu".
Sambil berselimut kain sarung dan menggenggam segelas susu hangat yang mulai dingin, aku mendonggakkan wajah ke arah ayah yang duduk di hadapanku. Dia berbicara sambil membolak balik tumpukan buletin ekonomi yang selalu dibawanya dua hari sekali setiap pulang kerja. Aku tidak ke sekolah. Sakit. Semalaman aku demam. Jadi aku bisa berlama-lama bertemu ayah pagi itu.
"Tadi malam ayah dikejar si Mopi lagi?" – Mopi adalah nama anjing milik tetangga sebelah rumah kami. Mopi induk anjing yang selalu melahirkan selang beberapa bulan--
"Iya. Kenapa anjing itu seperti tidak pernah kenal, padahal ayah tiap malam lewat di situ. Anjing itu tidak mengejar ayah hanya bila kebetulan dia berada di dalam rumah taunnya".
"Mungkin karena ayah selalu pulang malam-malam, jadi si Mopi tidak kenal".
Ayah menatapku. Keningnya dikerutkan. Aku terkejut dengan ucapanku yang terlepas begitu saja. Aku takut ayah marah karena mengatakan ayah selalu pulang malam. Ayah berhenti sejenak membolak balik buletinnya.
"Tadi malam ayah dikejar hampir sampai mendekati pagar halaman rumah kita. Untunglah anjing itu tidak terus mengejar. Entah kenapa induk anjing dan keempat anaknya itu tiba-tiba berhenti mengejar", ayah berkata setengah berbisik.
Lega. Ayah tidak marah atau tersinggung karena ucapanku. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, kenapa ayah selalu dikejar si Mopi dan tidak pernah mau menyebutkan nama induk anjing itu. Aku pernah juga beberapa kali dikejar si Mopi beserta beberapa anaknya yang mulai dewasa, --Mopi memang akan lebih agresif pada saat baru melahirkan anaknya. Dia akan mengejar dan menggigit siapa saja yang melintas di depannya-- tapi si Mopi dan anak-anaknya berhenti mengejarku ketika ku teriaki nama induknya berkali-kali. Kalau saja pada saat si Mopi mulai menggonggong ayah cepat-cepat memanggil namanya, barangkali ayah tidak akan dikejar si Mopi.
"Tadi malam, setelah anjing-anjing itu mengejar ayah, beberapa jam kemudian mereka menggonggong lagi dan melolong, tidak seperti biasanya". Ayah melanjutkan kalimat pertamanya pada saat memulai pembicaraan dengan ku tadi.
"Mungkin mereka menggonggong maling. Sekarang ini memang musimnya banyak maling, tapi kenapa anjing-anjing itu tidak mengejar ke arah maling kalau memang ada maling? Mereka ramai-ramai hanya meggonggong dan melolong saja. Mungkin juga mereka melihat mahluk halus. Anjing memang mempunyai panca indra yang bisa melihat mahluk halus". Ayah benar-benar berbisik. Aku merasa ditakut-takuti ayah.
"Anjing-anjing itu terus menggonggong dan melolong ke arah pohon pisang di sudut rumah kita. Mereka seperti tidak mau berhenti menggonggong. Mereka baru berhenti setelah ayah pergi dari balik batang pisang itu."
Begitulah ayah, sering kali menggoda kami anak-anaknya dengan cerita yang menegangkan, tapi diakhiri dengan kejadian yang tak terduga. Kali ini dia barangkali bermaksud bercanda dan menghiburku yang masih demam. Aku tertawa lepas dan keras waktu itu, hingga eMak yang sedang di dapur menghampiri kami.
"Ayah, apa sih pekerjaan ayah dan kenapa ayah selalu pulang larut malam?", tanyaku masih tertawa.
Aku memang sangat penasaran dengan pekerjaan ayah. Bagi anak seusiaku, kelas lima sekolah dasar, apapun pekerjaan ayah sebenarnya tidaklah terlalu penting. Aku hanya penasaran saja dan sering cemas jika ayah belum tiba di rumah saat aku terjaga tengah malam. Ayah teman-temanku tidak ada yang pulang larut malam sesering ayahku. Kebanyakan dari ayah teman-temanku sudah berada di rumah dan berkumpul dengan keluarga mereka menjelang sore hari. Beberapa diantaranya bahkan ada yang tinggal di rumah saja dan baru keluar rumah kalau ada tetangga yang memintanya memperbaiki rumah mereka.
Ayah tidak segera menjawab pertanyaanku. Dia seperti tidak mendengarkannya. Setelah meminum beberapa teguk kopi dari cangkirnya dan mematikan rokok di tangannya, --Ayah adalah perokok berat dan ini yang paling tidak aku sukai darinya-- dia menjelaskan panjang lebar tentang pekerjaannya dan kenapa dia selalu pulang larut malam.
Aku tidak paham apa yang diterangkannya. Seperti mengetahui bahwa aku tidak memahami penjelsannya, diakhir penjelasannya ayah mengatakan, "Kau mungkin tidak akan paham apa yang ayah jelaskan barusan. Nanti setelah kau dewasa, baru kau akan mengerti". Ayah benar. Beberpa tahun kemudian aku baru tahu bahwa ayah itu penulis, wartawan, dan redaktur salah satu buletin ekonomi ternama dan apa yang menyebabkan dia selalu pulang larut malam.
Pernah suatu hari ayah pulang agak sore; tepatnya menjelang maghrib. Ini sangat jarang terjadi. Ada ketegangan yang kurasakan, tapi aku tak memahami apa yang tengah terjadi. Ayah kulihat bicara cukup tegang dengan eMak. Ku dengar ayah berpesan pada eMak, nanti kalau terjadi apa-apa akan ada yang menjemput eMak dan ketiga adikku; teman ayah katanya.
Sedang aku, selepas mahrib ikut ayah ke kantornya. Saat itulah pertama kali aku mengetahui kantor ayah. Saat itu pula aku pertama kali melihat ayah naik motor dan aku dibonceng di belakang. Aku senang dan bangga melihat ayah naik motor dan ikut dengannya, tapi ada rasa cemas dan was-was yang tidak ku mengerti.
Di perjalanan ayah tidak bericara sama sekali. Motor dipacunya cukup kencang, aku memeluk pinggang ayah seerat yang aku bisa. Seandainya ayah menaiki motor ini tiap hari, barangkali ayah tidak akan dikejar si Mopi lagi setiap pulang malam, pikirku selama dalam perjalanan; larinya si Mopi pasti akan kalah kencang dengan motor ayah.
Setibanya di kantor ayah, ayah mengajakku membantunya mengumpulkan kertas-kertas dari ruang kerjanya. Kantor ayah sepi dan agak gelap. Hanya beberapa ruangan saja yang diterangi lampu. Tidak ada orang-orang yang bekerja. Malam ini memang tidak ada yang bekerja karena bukan malam naik cetak, kata ayah seperti menjawab pertanyaanku dalam hati kenapa kantor ayah sepi.
Hanya ada seseorang di halaman yang sedang membakar tumpukan-tumpukan kertas di dalam tong kaleng yang besar. Ayah dan aku ikut membakar kertas-kertas yang kami kumpulkan. Sambil membakar kertas, kudengar ayah berbicara dengan temannya. Kata ayah, beberapa teman mereka telah ditangkap, Pasar Senen sudah terbakar. Mahasiswa berdemonstrasi. Banyak mobil dan motor buatan jepang yang dibakar orang1. Sambil memasukkan kertas-kertas ke dalam tong, aku menguping pembicaraan mereka. Tiba-tiba ayah menoleh ke arahku. “Mungkin kita akan pulang larut malam atau menginap di kantor kalau kerusuhan terus terjadi”, katanya. Seketika terlintas wajah eMak dan adik-adik di benakku.
Kenapa ada teman ayah yang ditangkap? Siapa yang menangkapnya? Kenapa mahasiswa berdemonstrasi dan orang-orang membakar Pasar Senen, mobil serta motor buatan Jepang? Lalu, kenapa ayah membakar banyak sekali kertas? Aku tak berani menanyakannya. Tadi sempat ku dengar ayah berbicara pada kawannya itu agar semua berkas dibakar secepatnya malam ini. Jangan ada yang tertinggal.
eMak pernah bercerita, sejak sebelum menikah sama eMak, ayah adalah orang yang selalu dicari, di kejar dan ingin ditangkap pemerintah. Apakah ayah juga akan ditangkap pemerintah malam ini? Rasa cemasku menyala seperti api dalam tong itu.
Aku tak memahami apa yang dimaksud pemerintah oleh eMak dan tak pernah juga menanyakannya. Malam ini aku mengalami rasa takut yang amat sangat pada pemerintah. Aku cemas luar biasa membayangkan ayahku akan ditangkap mereka. Kata eMak, ayah sebenarnya tidak pernah bercita-cita jadi wartawan dan tidak pernah membayangkan pindah ke Jakarta, tapi ketika Bung Kecil2 wafat ayah harus pindah ke Jakarta. Kami pun harus mengikuti ayah. eMak juga pernah bercerita ayah tadinya adalah mahasiswa kedokteran, tapi karena ikut pergerakan ayah tidak bisa menyelesaikan kuliahnya dan menjadi dokter. eMak menjelaskan panjang lebar tentang pergerakan ayah, siapa kawan-kawan ayah, dan apa yang diperjuangkan ayah serta kawan-kawanya dalam pergerakan itu. Sekali lagi aku tak memahami penjelasan eMak. Hanya beberapa nama kawan ayah saja yang ku ingat.
Teringat cerita eMak, aku memberanikan diri bertanya pada ayah. "Ayah sedang dikejar pemerintah ya sekarang dan kita harus sembuyi malam ini?"
Ayah berhenti memasukkan kertas-kertas ke dalam tong besar. Dia memandangku sambil tersenyum kemudian melanjutkan memasukkan kertas-kertas ke dalam tong, membakarnya. Aku keheranan. Sebentar lagi pemerintah akan menangkap ayah, tapi ayah masih tersenyum. Rasa cemasku sedikit mereda karena ayah kulihat ayah masih bisa tersenyum.
"Kenapa kau bilang ayah dikejar pemerintah?", ayah tiba-tiba bertanya padaku.
"eMak pernah bilang, dari dulu ayah selalu dikejar-kejar pemerintah".
Ayah mengusap lembut kepalaku.
"Nanti setelah kau besar, kau akan mengerti semuanya. Sekarang bantu ayah memasukkan kertas-kertas ini ke dalam tong. Kita harus secepatnya membakar semua kertas-kertas ini".
Lidah api menjilat dan melahap tiap lembar kertas yang kami masukan ke dalam tong. Bayanganku, ayah, dan salah seorang kawan ayah yang ikut membatu membakar kertas-kertas, menari-nari di dinding tembok pagar kantor ayah. Sesaat kemudian ku lihat bayangan ayah seperti berlari dikejar bayangan serombongan anjing. Aku terkejut, ketakutan. Aku mendekat pada ayah, tapi aku tak berani bilang apa yang sedang kulihat pada ayah.
Ayah tidak sedang dikejar si Mopi dan anak-anaknya malam ini, tapi kenapa bayangan ayah dikejar segerombolan anjing? Apakah ayah memang selalu dikejar anjing, hingga bayangannya pun mengalami hal yang serupa? Kata ayah, anjing adalah binatang yang setia, tapi hanya pada majikannya. Anjing juga binatang yang sangat penakut, makanya mereka hanya berani jika bergerombol kecuali anjing gila. Siapakah tuan dari bayangan anjing-anjing yang menyuruh mereka mengejar bayangan ayah?
Teman ayah, pemilik kantor tempat ayah bekerja, dari pembicaraan ayah dengan kawannya kudengar tadi, katanya sudah ditangkap pemerintah. Apa sebenarnya yang diberitakan ayah dan kawan-kawannya hingga harus ditangkap? Kalau hanya sebuah berita, kenapa harus ditangkap? Apa sebenarnya yang ayah dan kawan-kawannya beritakan? Siapakah pemerintah itu dan kalau ayah sering dikejar pemerintah, apakah pemerintah itu sama seperti si Mopi? Lantas siapakah tuan dari pemerintah itu? Aku bingung dengan analogi pemerintah dengan si Mopi dan logika anak-anak yang kubangun sendiri.
Setahuku ayah orang yang baik, bahkan sangat baik. Dia tidak pernah berbuat kejahatan atau berkelahi dengan orang; tidak seperti bapak beberapa kawanku yang suka berkelahi dan mabuk hampir setiap malam saat pulang ke rumah, tapi mereka tidak pernah dikejar si Mopi. Kalau ayah bicara, semua orang mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan terlihat segan pada ayah. Ayah tidak pernah diganggu oleh preman-preman terminal atau preman di perempatan jalan meskipun dia pulang larut malam.
eMak pernah bilang, Ayah berjiwa patriotik dan pemikirannya menjunjung tinggi persamaan derajat setiap manusia; sangat menghargai dan menghormati orang. Ayah sangat menolak bila ada yang mengekang kebebasan; yang membuat manusia lain tidak lebih dari budak kekuasaan3. Aku tidak paham apa yang dikatakan eMak, tapi aku bangga mendengarnya. Mungkin itu yang membuat ayah tidak pernah diganggu orang walau pulang sendirian larut malam, pikirku.
Lidah api dari dalam tong masih terlihat lapar memakan kertas, sementara kertas-kertas yang kami kumpulkan tinggal sedikit lagi. Aku tak sabar menunggu kertas-kertas itu habis. Biar bayangan ayah yang jatuh di tembok pagar hilang, tidak dikejar bayangan segerombolan anjing.
Beberapa saat kemudian, semua kertas habis dibakar. Menyisakan lembaran kecil arang dan abu kertas yang melayang-layang di udara. Ayah mengajakku beristirahat, duduk di beranda kantornya; kantor yang lebih menyerupai rumah besar.
"Nanti setelah api benar-benar padam baru kita pulang". Ayah berbicara padaku sambil terus memperhatikan tong yang masih mengepulkan asap sisa pembakaran kertas.
Aku tidak menimpali kata-katanya. Aku menyimpulkan sepertinya ayah tidak ditangkap pemerintah malam ini walau mungkin mereka masih mencari atau mengejar ayah. Kami bisa pulang malam ini. Tiba-tiba aku rindu ingin segera bertemu aMak dan adik-adikku.
"Kita harus menjadi manusia yang merdeka, yang rasional, yang diakui dan dihargai dunia, bukan manusia yang miskin, bodoh, terbelakang, kelaparan, penyakitan, kurang gizi, percaya tahyul, feodal, hanya tahu baris berbaris, mudah disuguhi konsep-konsep fasis. Kau harus sekolah setinggi-tingginya, biar menjadi orang yang merdeka. Nanti, bila kau jadi pemimpin tidak boleh feodal; yang hanya ingin membodohi rakyatnya, atau memanfaatkan dan memanipulasi kebodohan rakyatnya, sambil membiarkan kebodohan, keterbelakangan. Pemimpin yang memelihara feodalisme tetap lestari demi melanggengkan kedudukan dan kekuasaan, itu sama halnya seperti Belanda yang telah memanfaatkan feodalisme di negara kita sambil memperbodoh setiap orang agar tetap bisa dikuasai. Saat ini, kau mungkin belum tahu dan belum paham apa yang tengah terjadi. Para pemimpin kita yang mendapat dukungan rakyat yang begitu besar itu, tanpa mereka sadari tengah membangkitkan feodalisme yang sebenarnya hanyalah model lain dari fasisme dan kolonialisme. Untuk itu, kita harus memperjuangkan demokrasi dan nasionalisme. Kita harus membuat rakyat menjadi benar-benar merdeka dan tidak jatuh ke dalam model imperialisme dan kolonialisme tradisional. Itu juga merupakan tugas kau bila besar nanti. Penentu eksistensi rakyat adalah rakyat yang merdeka, bukan pemimpin, kaum terpelajar, elit politik atau tentara"4.
Ayah berbicara seperti berpidato di sampingku. Aku hanya diam mendengarkannya. Sekali lagi aku benar-benar tidak memahami semua yang dikatakanya. Bahkan, banyak kata-kata yang sangat asing dan baru bagiku. Tapi aku percaya, seperti apa yang selalu dikatakannya, suatu saat aku pasti akan mengerti dan memahami semuanya. Setibanya di rumah nanti, aku akan bertanya pada ayah. Apakah pemerintah itu seperti si Mopi yang tidak pernah mau mengenal ayah?; selalu merasa terancam, kemudian mengejar dan menggigit karena ingin melindungi dirinya dan tuannya.
Ayah pasti tersenyum di sana jika membaca ceritaku ini.
*Desa Mekar Manik, Maret 2015.
Catatan:
1. Peristiwa Lima Belas Januari (Malari) 1974.
2. Sutan Syahrir (Soetan Sjahrir). Perdana Meteri Pertama RI. Lahir di Padang Panjang Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Meninggal di Zurich, Swiss, 9 April 1966.
3 & 4. Pokok-pokok pikiran Bung Kecil yang selalu disampaikan ayah hingga aku dewasa; untuk harmonisasi penulisan cerita, pokok-pokok pikiran Bung Kecil dikutip dari berbagai sumber.