Cerpen
Disukai
19
Dilihat
9,370
Di Desanya Cinta Juga Begitu
Romantis

Di Desanya Cinta Juga Begitu

Cerpen Lian Lubis

Di sini tidak membutuhkan cerita sastra, Navis. Apalagi puisimu yang mendayu-dayu itu. Bulan keemasan yang kau tuliskan bercadar awan adalah bulan yang tertutup awan sebagian. Di sini, kata diucapkan tegas dan lugas, tidak kata bersayap. Apalagi kata-kata yang membuat hatimu menjadi melankolik.

Cinta yang kau puisikan tanpa kata cinta, tapi menuliskannya dengan kisah dan kejadian menyayat hati akan membuatmu seperti manusia cengeng yang mencintai kesedihan dari cinta. Kau harus memahami bahwa kata cinta telah bermetamorfosis. Ibarat telur yang berubah menjadi kepompong, dia tidak lagi menjadi kupu-kupu, tapi menjadi elang yang akan menyambar kelinci di padang rumput. Begitulah cinta di kota!

Kau lihat laki-laki itu, yang bersama perempuan berbaju merah di sisi kirinya. Dalam cerita cinta sastramu pastilah si pria sedang memuja si wanita dan si wanita malu-malu. Di sini tidak demikian, Navis! Mereka sedang bertransaksi. Laki-laki itu, yang entah masih perjaka atau sudah mempunyai bini, sedang menawar cinta yang dijual murah oleh perempuan itu. Di gubug-gubug liar pinggir rel yang berderet-deret itu, cinta akan bermetamorfosis menjadi syahwat!

Navis terpana menatap Rusdi. Bibirnya tidak terkatup rapat; menganga. Bola matanya tajam melihat bibir Rusdi yang terus bicara, sampai akhirnya Rusdi menepuk keningnya; kepala Navis terdorong ke belakang. Navis tersadarkan.

"Navis, apa yang kau perhatikan di mukaku? Kau seperti melihat setan di wajahku".

"Rusdi, indah sekali kata-kata dalam rangkaian kalimat yang mengalir dari bibimu". Navis masih menatap Rusdi.

Rusdi bingung dan keheranan.

"Ada apa dengan kau, Navis?" Rusdi mendekati Navis, meneliti wajahnya dan melihat ke dalam mata Navis.

"Rusdi, kata-kata yang keluar dari mulutmu ibarat...." Navis tak bisa melanjutkan kalimatnya, keburu dipenggal Rusdi.

"Kau gila, Navis!"

Tiba-tiba roda-roda besi kereta api rangkaian listrik yang berputar cepat melindas rel di depan mereka. Gemuruhnya melenyapkan bunyi vokal dan konsonan yang keluar dari mulut Rusdi. Mulut Rusdi yang terus berbicara jadi terlihat seperti sedang berkomat kamit saja; menyemburkan percikan ludah ke wajah Navis. Navis mengusap muka dengan tangan kanannya, layaknya orang yang membasuh muka saat mengambil air sembahyang.

Kereta api telah lewat. Kata-kata Rusdi pun berlalu. Suasana di pinggiran rel kembali temaram. Perempuan-perempuan yang bersolek seronok kembali berdiri di pinggir-pinggir rel, menanti pembeli cinta. Purnama menggantung di atas tiang listrik. Laki-laki dan perempuan yang berbaju merah itu beranjak dari tempat mereka duduk, berjalan beriringan menuju salah satu gubug liar yang diterangi sepotong lilin. Mata Navis tak lepas memperhatikan mereka; Rusdi memperhatikan Navis, lalu sekali lagi menepuk kening Navis; kepala Navis kembali terdorong ke belakang. Rusdi tertawa karena Navis terkejut. 

 

***

Di desanya, Navis dipanggil orang dengan sebutan 'pujangga cinta'; bahkan banyak yang lupa dengan namanya. Di kaki gunung itu, di desa yang dibelah sungai berair jernih dan yang berselimut kabut kala pagi hari, Navis selalu diminta memberikan petuah dan nasihat tentang cinta bagi setiap mempelai yang akan dinikahkan. Padahal Navis sendiri belum menikah walau usianya hampir mendekati empat puluh. Logikanya, mana mungkin Navis paham tentang cinta apalagi memberikan nasihat dan petuah tentang perkawinan. Tapi, bagi penduduk desa itu kata-kata Navis adalah mutiara cinta; petuah dan nasihatnya adalah intan berlian yang ingin mereka simpan.

Navis si bujang lapuk, sang pujangga cinta, bukan tak ingin menikah; keiginannya untuk beristri sudah tak terperikan lagi. Seperti si pecandu, bila keinginan itu telah sampai keubun-ubunnya dia akan sakaw1; keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori, panas dingin seluruh tubuhnya. Solehah, Hindun, Zubaedah, dan entah siapa lagi gadis di desanya pernah menyodorkan cinta ketika dia meratapi malam; memberikan penawar sakawnya, tapi cinta terlalu agung bagi Navis; tak bisa diserahkan begitusaja tanpa prosesi pernikahan yang sakral. "Tidakkah kalian iri pada rembulan? Beribu kali telah dirayu dan dan dipinang, tapi bulan tetap perawan". Pipi mereka pun memerah semerah saga; mereka berlari dan malu pada rembulan.

Navis adalah sang pujangga cinta yang pandai menyembunyikan rahasia malam. Dia tahu banyak mempelai wanita di desanya yang telah menyerahkan cinta pada kekasihnya yang pandai menghiba dan merayu di gelap malam, tapi mawar tetap indah dan melati tetap mewangi walau kumbang telah menghisap madunya katanya dalam petuah dan nasihat di hari pernikahan mereka. Air mata pun menitik di sudut-sudut mata mempelai perempuan dan mempelai laki-laki tertunduk dalam. Nasihat Navis bagaikan embun pagi hari yang menyentuh tubuh dan wajah mereka.

 

***

"Sebentar lagi, api lilin itu akan padam dihembus nafas mereka yang menderu-deru. Laki-laki dan perempuan berbaju merah itupun akan hilang ditelan gelap", Rusdi bermonolog. Navis tercenung, kalimat-kalimat Rusdi sekarang seperti bait-bait dalam prosa lirik?2. Seingat Navis, Rusdi waktu di sekolah --mereka kawan sebangku sejak di sekolah dasar hingga menengah atas-- adalah murid yang sangat tidak menyukai bahkan membenci pelajaran sastra. Bagi Rusdi, lebih baik dia disuruh guru mengerjakan soal-soal matematika yang sangat sulit dari pada harus menciptakan puisi atau mengarang cerita.

Rusdi lah pujangga kehidupan; pujangga yang bisa berkisah tentang cinta sebenarnya, Navis membatin. Sedang dirinya, pecundang yang mengagungkan cinta; laki-laki yang selalu meratapi malam gelap dan bercinta dengan keasedihan cinta itu sendiri. Malam ini dia merasa diperolok-olok orang-orang di desanya dengan memanggilnya sang pujangga cinta. Lamunan Navis dibuyarkan oleh seorang perempuan yang datang mengjampiri. --Sejak tadi sebelum kereta lewat, perempuan itu selalu mengawasi Navis, seperti predator yang sabar mengintai mangsanya—

"Aku ikutan duduk, ya bang. Dari tadi ku lihat abang ngobrol berdua saja".  

Navis mengangguk dan bergeser sedikit, memberikan ruang untuk perempuan itu duduk. Perempuan itu merekahkan senyum pada Navis. Lentik bulu matanya yang dikedipkan mencoba memacu degup jantung Navis.

Rusdi yang duduk di hadapan Navis beranjak perlahan. Diam-diam menghilang dikeremangan, diantara gubug-gubug pinggiran rel.  

Di bawah sinar bulan di pinggiran rel, terbayang olehnya rupa Solehah yang elok, tubuh Hindun yang indah kala cahaya purnama menimpanya, suara Zubaedah yang manja ketika merayu menyebut namanya dan entah siapa lagi gadis-gadis di desanya. Wajah mereka terbingkai rapih dalam angannya.

Navis mulai sakaw; keringat dingin merembes dari seluruh pori-pori, panas dingin seluruh tubuhnya. Perempuan itu merapatkan tubuhnya dan merebahkan kepala di bahu Navis.; berbisik lembut di telinganya, "Aku punya penawar sakawmu". Cinta yang disodorkan pun tak bisa lagi ditepiskan.

Terngiang kata-kata Rusdi beberapa menit yang lalu, "Di gubug-gubug liar pinggir rel yang berderet-deret itu, cinta akan bermetamorfosis menjadi syahwat!" Wajah Hindun, perempun yang sangat diimpikan menjadi isrinya; yang pernah akan menyerahkan cinta padanya, tergambar di wajah perempuan yang tengah digenggamnya. Begitu nyata wajah itu hingga menghantam jantung Navis dan menghentak-hentakannya. Api lilin pun padam dihembus nafas Navis yang menderu-deru.

Desa Mekar Manik, April 2015.

 

Catatan:

1. Sakaw: keadaan seseorang mengalami rasa gelisah atau gangguan psikis/psikologis akibat kencanduan putau (narkoba); rasa ingin mengkonsumsi putau yang muncul (amat sangat). Kamusslang.com

2.Salah satu bentuk karya sastra dalam ragam prosa yang ditulis dan diungkapkan menggunakan unsur puisi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (6)