Masukan nama pengguna
DI UJUNG KENANGAN
Cerpen Lian Lubis
Ku langkahkan kaki berjalan perlahan di atas pematang. Langkahku tidak selincah dulu ketika masih anak-anak. Sekarang pematang sawah seperti terlalu kecil dan sulit untuk ditapaki. Seekor capung berwarna merah tua (Orthetrum pruinosum) terbang mengiringiku di sisi kiri. Sesekali terbang menjauh, sebentar kemudian mendekat lalu berkeliling mengitari ku. Kenangan masa kecil seketika terlintas di benakku.
Seperti potongan-potongan film lama yang diputar kembali. Terbayang di benakku sewaktu bersama teman-teman semasa kecil bermain di petak-petak sawah kering yang baru dipanen. Diiringi gurauan, canda, dan riuh tawa mereka yang samar terdengar. Tergambar di benakku saat mereka berburu capung menggunakan lidi. Menangkapnya dengan lidi yang pada bagian ujungnya telah direkatkan getah nangka yang sangat lengket. Permainan yang sangat kami gemari. Terlihat juga beberapa teman sedang menyiapkan lidi dengan getah nangka. Mereka begitu riang dan bersemangat menyiapkan alat berburunya. Adegan demi adegan muncul silih berganti dalam benakku.
Ratusan capung yang berterbangan di sekitar kami seperti tidak pernah mau berhenti atau hinggap sebentar. Beberapa teman terlihat berupaya mencari capung yang hinggap di ujung-ujung daun ilalang yang tumbuh atau pada ujung-ujung batang padi kering yang telah dituai. Mereka seperti pemain pantomin, bergerak dan melangkah sangat perlahan mendekati capung yang hinggap agar mereka tidak segera terbang. Lidi yang ada di dalam genggaman tangan mereka digerakkan dan diarahkan sangat pelan mendekati tubuh capung yang sedang diburu. Kepala bulat capung yang hampir dipenuhi oleh mata faset bergerak ke kanan, ke kiri, dan ke atas waspada mengawasi gerakan tangan teman-temanku yang sedang mengarahkan ujung lidi berperekat getah nangka ke tubuh capung. Sementara teman-teman yang lain bermain “tak kadal” dan “boy-boyan” --Aku tersenyum sendiri mengenangnya sambil melompati pematang sawah yang terputus karena untuk mengalirkan air antar petak sawah.
Masih bisa ku rasakan saat kami merasa seperti pemburu professional ketika sedang berburu capung. Beberapa temanku sangat pandai, mereka bisa memperhitungkan dengan cermat kapan saatnya pandangan mata faset capung buruan mereka lengah. Pada saat itulah waktu yang tepat ujung lidi berperekat getah nangka secepat mungkin ditempelkan pada bagian sayap atau ekor capung buruan. Kulihat kegembiraan yang luar biasa dari temanku yang berhasil menempelkan getah nangka yang ada di ujung lidi pada sayap-sayap capung atau ekornya. Capung tak berdaya tertangkap menempel di ujung lidi. Mereka kegirangan bersorak sorai melompat-lompat --Aku hampir terjatuh karena salah menjejakkan sepatu terlalu di pinggiran pematang; capung merah tua yang terbang mengelilingikku hampir menyenggol lenganku
Tak bisa ku tahan senyumku mengingat kejadian waktu kami mentertawai salah satu teman karena capung burunnya terlepas dan terbang membawa getah nangkanya --Beberapa capung kadang sangat kuat dan terlepas sebelum sempat kami genggam. Kejadian seperti ini terjadi jika getah nangka di ujung lidi mengenai ekor capung bukan sayapnya. Capung akan tebang membawa getah nangka yang menempel di ekornya karena gumpalan kecil getah nangka terlepas dari ujung lidi-- Dia nampaknya sangat gusar dan sakit hati karena ditertawai berlebihan, tetapi entah kenapa pertengkaran hanya terjadi antara aku dengan dia tidak melibatkan teman lainnya yang ikut mentertawai. Mereka malah bersorak sorai melihat kami bertengkar, namun tak berapa lama kemudian kami kembali bermain bersama. Tak kuingat lagi siapa nama temanku itu. Hanya beberapa nama saja yang masih bisa ku ucapkan. Dan, tak bisa ku ingat lagi wajah-wajah mereka. Entah dimana mereka sekarang.
Aku sebenarnya lebih suka memancing capung bapak1 bersama kawan-kawanku yang lebih besar. Bukan hanya karena aku tak begitu pandai berburu capung dengan lidi getah nagka, tetapi memancing capung bapak kurasakan lebih mengasyikkan. Aku seringkali mengejek teman-temanku, mengatakan kepada mereka menangkap capung pakai getah nangka hanya untuk permainan anak perempuan. Orang yang makan nangka masa capung yang kena getahnya --Aku tertawa mengingat ejekanku itu yang sebenarnya hanya ingin menutupi ketidakpandaianku.
Masih bisa kuingat dengan jelas saat, sebelum memancing capung bapak kami harus mencari capung kecil terlebih dahulu. Menanggkapnya sangat hati-hati menggunakan tangan pada bagian ekornya dan memegangnya jangan sampai sayap-sayapnya rusak. Capung kecil sebagai umpan capung bapak harus bisa terbang pada saat ekornya diikat dengan benang untuk memancing capung bapak; seperti bermain layang-layang. Aku pun tertawa mengingat kemarahan temanku ketika aku kejutkan pada saat dia akan menangkap capung kecil. Capung yang ekornya hampir digenggamnya dengan jari jempol dan telunjuknya terbang seketika. Terlepas tak tertangkap saat aku mendorong tubuhna secara tiba-tiba. Perkelahian antara aku dan dia pun tidak bisa dihindari. Entah kenapa hal itu aku lakukan, mungkin karena aku ingin membalas perlakuaan salah seorang kawan ku kepadaku, tapi aku salah sasaran. Aku lupa teman yang ku ganggu ini pemarah luar biasa – Aku hampir tertawa mengingat kejadian itu.
“Keseruan” yang luar biasa pun masih bisa kurasakan saat capung kecil yang diterbangkan “disamber” capung bapak dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan, dengan rasa senang yang tak terkira aku berlari-lari kecil sambil tertawa sambal memegang ujung benang mengikuti arah terbang capung bapak membawa mangsanya. Hatiku sangat senang ketika menarik benang cukup cepat dan capung bapak dengan mudah ku genggam. Capung memang bapak hampir tidak pernah melepaskan mangsa kecil yang sudah “disambernya”. Beberapa tahun kemudian baru aku ketahui capung kecil berwarna hijau itu adalah capung bapak yang belum dewasa dan capung bapak adalah predator yang bisa memangsa anaknya.
Seingatku, perburuan capung selalu kami hentikan sesaat menjelang azan magrib dikumandangkan. Pada saat itu pun jumlah capung yang berterbangan dan yang hinggap telah jauh berkurang. Entah kemana perginya mereka. Bisanya, aku dan teman-temanku pulang sambil masing-masing menjinjing kantong plastik atau kaleng bekas susu kental manis berisi hasil buruan yang cukup banyak untuk kami berikan sebagai pakan ayam kami di rumah.
Sore ini ku lihat capung tidak sebanyak dulu2. Hanya beberapa ekor saja yang terbang melintas dan saling berkejaran. Hampir semuanya berwarna kuning pucat (Pantala flavescent). Hanya beberapa ekor saja yang berwarna merah tua. Tak terlihat capung bapak yang gagah berwarna hijau dengan loreng hitamnya seperti seragam tentara. Aku pun tak menjumpai capung jarum berwarna-warni berkilauan yang terbang rendah berputar-putar di atas air tergenang di tepi pematang.
Udara seketika kurasakan begitu getir. Ada rindu yang diam-diam menyelinap ke dalam dada. Capung berwarna merah tua yang terbang mengitariku membawa kenangan yang membuat ku tercekat. Setelah lebih dari 40 tahun berlalu, keriangan berburu capung masih bisa kurasakan walau tidak utuh lagi. Aku tercenung.
***
“Capung-capung itu membawamu ke masa lalu ya?” Suaranya mengejutkanku. Menghentikan langkahku. Seperti menangkap kebingungan yang seketika menyergapku dia tersenyum. Menatapku. Dilanjutkannya kata-katanya.
“Hidup yang tengah kita jalani ini hanyalah kenangan. Penggalan peristiwa dari masa lalu yang terpisah-pisah yang coba kita rangkai menjadi kebahagiaan dan kesedihan. Seperti capung tadi, kamu melihat kenangan pada saat dia menghampirimu. Sayap-sayapnya menerbangkan pikiranmu ke masa lalu yang pernah kau alami. Masa depan, masa yang akan datang, dan waktu yang sebentar lagi kita jelang adalah kenangan yang tertunda”.
Dia masih menatapku. Binar matanya serupa mentari jingga di Barat batas cakrawala sana. Di ujung pematang kami berdiri. Berhadapan. Dia melangkah perlahan ke depanku hingga kurang dari sedepa. Rambut panjangnya yang terurai menerpa wajahku.
“Kamu telah sampai di ujung kenangan”, bisiknya lembut di telingaku.
Waktu ku pinang dia menjadi kekasihku. Hujan seketika membasahi bumi. Titik-titik airnya berjatuhan. Berserakan. Tersangkut di helai-helai daun dan ranting. Titik air di sudut-sudut matanya pun jatuh bersama hujan di sore hari itu. Bening.
“Hujan tak lagi bisa menyembunyikan tangisku. Kamu telah melihat air menitik jatuh dari sudut-sudut mataku. Membasahi hatiku yang kering.”
Bisiknya ketika ku genggam erat jemarinya. Halus. Pelangi mewarnai rambut panjangnya yang terurai. Titik-titik air yang menggantung di sudut-sudut matanya berkilauan jernih sewarna pelangi.
“Kamu harus berhenti berlari mengejar mimpimu. Dia, bidadari yang kau angankan, tak ‘kan pernah hadir saat kau terjaga. Biarkan aku mengakhiri mimpimu. Jadikan aku dunia kecilmu seperti yang kau kamu katakan kemarin. Kita bisa berbincang di beranda bila kau tak ingin masuk ke rumahku. Kamu bisa menjaga ku dari jauh. Aku akan setia menantimu. Tak akan ku khianati dunia kecil kita. Dunia yang kamu ceritakan kepadaku kemarin. Dunia yang tempat kamu singgah ketka merasa lelah dan terjatuh. Dunia tempat kamu membangun asa, katamu”
Aku terpaku. Kata-katanya deras mengalir. Dia kah gadis yag selalu hadir dalam mimpiku? Ku hela nafas mencoba mengatur debar jantungku. Ku gandeng tangannya melintasi pelangi sambil menggenggam rindu yang tak kupahami. Hujan baru saja berhenti. Menyisakan genangan-genangan kecil di jalan yang berlubang. Senyumnya menjadikan pelangi sore itu lebih jingga.
Ku coba mengingat semua kata-katanya tadi di dalam hati. Hanya senyumnya yang melekat di benakku. Senyum yang sewangi mawar. Bibirnya yang lembut dan hangat seketika menghentikan dinginnya angin sore ini yang membawa kenangan dari masa lalu. Ku rengkuh erat tubuhnya. Tak ku rindui lagi pelangi yang membawa bidadari turun mandi di telaga. Di batas cakrawala, di ujung kenangan, ku genggam erat dunia kecilku.***
Cisaranten Endah, 17 April 2020
Catatan:
1. Capung bapak atau capungs ambar hijau (Orthetrum sabina lebih adaptif terhadap perubahan lingkungan, termasuk alih fungsi lahan maupun perubahan suhu lingkungan. Bisa hidup di habitat dengan lingkungan kurang bagus sekalipun. Spesies yang pola hidupnya soliter ini bisa dijumpai sepanjang tahun, namun pada saat cerita ini disusun saya tidak menemukan capung sambar hijau ini. .
2. Beberapa sumber menyebut saat ini, ada sekitar 6.000 jenis capung di seluruh dunia. Indonesia memiliki sekitar 750 – 900 jenis atau 12,5 – 15 persen dari total jenis capung di seluruh dunia. Banyaknya jenis capung Indonesia hanya kalah oleh Brazil. Pada saat cerita ini ditulis, saya hanya menemukan tidak kurang dari 13 ekor capung dengan haya tiga spesies dalam petak sawah sekitar 2 hektar. 40 Tahun lalu ada ratusan ekor dengan jumlah spesies lebih dari 10.