Masukan nama pengguna
MASIH KU INGAT KATA-KATAMU
Cerpen Lian Lubis
Masih ku ingat kata-katamu pada suatu sore, waktu itu kita berjalan beriringan menyusuri pantai berpasir putih. Ombak yang selalu datang menghampiri membasahi kaki sesekali menghentikan langkah kita. Mentari merah jingga sebentar lagi tenggelam di Barat cakrawala --Di batas laut tak bertepi tempat angan yang selalu ingin pergi ke sana, katamu. Seperti seorang penyair yang membacakan prosa karyanya kau bermonolog terdengar merdu dan lembut.
“Ketika angin yang mendeburkan ombak ke pantai dia membawa khabar dari seberang sana tentang rindu yang tak pernah usai pada negeri ini. Pepohonan menangis bahagia mendengarnya. Mereka pun bersenandung bersama menyanyikan lagu cinta pada pada negeri ini. ”
Aku tidak bisa memahami kata-katamu. Terlalu abstrak bagiku apa yang kau ucapkan. Setahu ku, di pantai ini angin tak pernah berhenti selalu membawa ombak ke pantai. Tak pernah ku dengar khabar darinya. Hanya deburan ombak dan desis buihnya yang seperti berbisik, tapi tak ku dengar pohon yang menangis bahagia. Hanya daun-daunnya yang berguguran yang ku pahami menyuburkan tanah negeri ini.
***
Masih ku ingat kata-katamu pada suatu malam, waktu kita sama-sama menatap purnama yang retak oleh siluet ranting-ranting pohon yang mengering. Burung malam melintas menyanyikan lagu menyayat hati yang membawa angan ke balik purnama. Seperti seorang penyair yang membacakan prosa karyanya kau bermonolog dengan suara yang hampir tak terdengar oleh ku.
“Kita sebenarnya tidak pernah belajar tentang cinta; tidak pernah belajar mencintai dan dicintai. Tapi, kita belajar tentang benci; belajar membenci dan dibenci. Kita juga belajar tentang bohong; belajar membohongi dan dibohongi. Dan, kita pun belajar tentang kesalahan; belajar menyalahkan dan disalahkan. Dan, kemudian kita mencari kebenaran dari semua itu yang pada hakekatnya kita tidak pernah menginginkan kebenaran itu.”
Ketika aku menatap matamu aku melihat kesedihan di matamu. Dengan lirih kau berkata, ”Aku tidak pernah belajar mencintai negeri ini. Cinta hadir begitu saja tanpa ku tahu dari mana datangnya. Dia menyelinap diam-diam ke dalam dada. Aku belajar membenci dan belajar membohongi negeri ini. Sebenarnya sungguh sulit bagiku, tapi aku terus belajar mencari kesalahan dan kekurangan negeri ini. Ku amati setiap keburukan di negeri ini. Mencari celah yang menyakitkan bagiku agar aku bisa membenci negeri ini, tapi aku gagal membencinya. Aku sangat mencintai negeri ini.”
Lalu, kau bisikkan sebait puisi, “Kita mesti menulis puisi./ Belajar lagi menulis yang sederhana./ Langit yang dipenuhi bintang./ Rembulan yang merah muda atau gemericik air dipancuran kembali kita tuliskan./ Kita rangkai dalam hati yang tak berprasangka./ Api, senjata, fitnah tidak lagi kita tuliskan./ Puisi kita adalah
kalimat pendek yang tidak memaki./ Tidak menghardik./ Yang mudah dimengerti tanpa istilah asing./ Puisi kita adalah puisi tegur sapa./ Puisi dengan kalimat yang bisa menitikkan air di mata./”2
Aku tercekat mendengarnya.
***
Masih ku ingat kata-katamu pada suatu sore, waktu itu hujan baru saja selesai. Tanah masih basah dan air hujan tergenang di jalan yang berlubang-lubang. Rumput dan daun-daun pepohonan masih terkulai basah. Seperti seorang penyair yang membacakan prosa karyanya kau bermonolog dengan suara yang tegas dan lantang.
“Seharusnya, di masa seperti ini banyak lahir pujangga-pujangga besar. Pada saat dunia diselimuti kegelapan dan percikan kata-kata bisa membunuh sesamanya.1 Seharusnya para pujangga itu menceritakan tentang indahnya sebuah kerinduan. Kerinduan pada kehidupan. Kerinduan pada kebersamaan dan ketulusan. Kerinduan pada kebebasan berkata-kata.”
Begitu katamu. Kau tidak menatapku waktu itu. Matamu nanar memandang langit. Sebenarnya aku tidak bisa memahami kata-katamu, tapi ketika satu persatu orang mati --Puluhan, ratusan, dan ribuan orang dikuburkan tanpa ritual tangisan keluarga, teman, dan sahabat di atas pusaranya-- aku baru paham arti kata-katamu. Ya, seharusnya memang banyak pujangga terlahir saat ini. Disaat kesedihan begitu erat memeluk bumi dan kegelisahan tak bisa di hela dari rongga dada, rangkaian kalimat indah penuh penghiburan semestinya berhamburan dari mulut para pujangga; menceritakan tentang semangat yang harus dipegang. Menguatkan hati dan menjanjikan tentang masa depan gemilang yang masih bisa diraih. Tapi, entah dimana para pujangga itu.
“Aku benci para penulis, penyair, dan pujangga” katamu. Matamu menatap mataku sangat dalam. Ku lihat ada kemarahan bola matamu.
Lalu kau lanjutkan monologmu.
“Kau lihat apa yang terjadi saat ini. Yang kita saksikan hanyalah hiruk pikuk politik. Riuh rendah orang bersilang pendapat mempertahankan prinsip yang diyakininya sendiri dan tidak ingin saling memahami. Caci maki, umpatan kebencian, dan tawa sinis tersungging di bibir mereka saat berbicara. Dialog mereka menjadi monolog. Kata-kata yang menyinggung mereka akan membuat mu dalam penjara sebelum kau benar-benar mati.”3
Aku hanya diam mendengarkan.
***
Sore ini aku sangat rindu pada mu. Aku hampir putus asa menghadapi hari-hari yang harus ku lalui. Aku tak bisa lagi tersenyum dan tertawa. Aku ingin tertawa seperti ketika kau selesai mengajak ku makan di sebuah rumah makan lalu kau berbisik sangat pelan di depan kasir, “Aku sedang mengalami penyempitan pembuluh dompet. Penyempitan pembuluh ini lebih gawat dan sadis dari pada penyempitan pembuluh darah atau nadi. Kau traktir aku dulu ya.” Aku tertawa lepas dan keras waktu itu. Ya, itu terkhir kalinya aku tertawa. Beberapa bulan yang lalu.
Saat ini indahnya hidup sudah tidak bisa lagi kurasakan. Tak ku sukai lagi merah jingga matahari sore yang selalu ku tunggu. Kau kah sang pujangga itu? Aku rindu kepadamu, tetapi kata rinduku tidak akan pernah bisa kau dengar. Percikan kata-kata temanmu yang sering kau ajak diskusi telah membunuhmu. Temanmu pun telah lebih dahulu mati karena percikan kata-kata dari kawannya.
Sekarang aku benar-benar tak berani bicara. Tidak juga berani mendengar orang bicara. Aku hanya berani diam. Masih ku ku ingat kata-katamu, “Kata-kata yang menyinggung mereka akan membuat mu mati dalam penjara sebelum kau benar-benar mati”. Aku benar-benar rindu kepada mu.
(Desa Mekarmanik, Maret 2021)
Keterangan:
1. Penyebaran virus Corona-19 melalui droplet. Terjadi saat seseorang batuk, bersin, bernyanyi, berbicara, hingga bernapas. Saat melakukan hal-hal tersebut, udara yang keluar dari hidung dan mulut mengeluarkan partikel kecil atau aerosol dalam jarak dekat.
2. “Kita Mesti Menulis Puisi”. Puisi Lian Lubis, September 1998.
3. Tentang pasal 27 ayat 3 UU ITE yang biasa disebut dengan “pasal karet”. Pasal yang bisa digunakan dengan mudah oleh siapa saja untuk membungkam kritik.
Catatan:
Ketika kita tak isa bebas bicara karena begitu banyaknya orang yang sensitif mendengar perkataan atau kalimat kita. Dan, mereka akan dengan mudah melaporkan atau membuat pengaduan kepada polisi, maka kita pun akan hati-hati untuk bicara bahkan malas bicara walau itu untuk kebaikan sekalipun
Pada saat itulah kita sudah tidak bisa menjadi manusia lagi