Masukan nama pengguna
ORANG SENJA
Cerpen Lian Lubis
lum matahari tenggelam dan ketika matahari hilang dari cakrawala, tapi cahayanya masih terlihat, saat senja. Saat-saat itulah dia selalu terlihat berdiri di sana. Memandang cakrawala hampir tak berkedip; menatap matahari di kaki langit hingga bola matanya berwarna merah jingga. Sewarna dengan cakrawala dan matahari sebelum tenggelam. Ketika matahari telah benar-benar tenggelam dan malam telah jatuh sempurna dia tak terlihat lagi. Pergi entah kemana. Orang-orang desa percaya tatapan matanyalah yang menyebabkan matahari tenggelam di Barat cakrawala. Seperti kata Tuan Guru1 yang sangat dihormati di desa kami, “Matahari tidak akan pernah tenggelam sebelum Senja datang”. Orang-orang desa pun menamainya Senja; Memanggilnya Orang Senja.
***
“Tadi, saat akan ke surau aku bertemu Orang Senja. Ku lihat wajahnya sangat gelisah. Dia belum pergi dari tempat biasa dia berdiri di saat senja. Sementara matahari telah tenggelam dan langit telah gelap. Seperti ada yang dirisaukannya. Aku tak sempat menanyakan keadaannya karena aku sangat bergegas ke surau. Aku khawatir akan terjadi apa-apa dengannya. Sudah ku minta beberapa pemuda desa kita mengawasi Orang Senja dan berjaga-jaga tidak jauh darinya”. Aku takzim mendengarkan ucapan Tuan Guru.
“Coba kau datangi Orang Senja itu. Barangkali dia masih berdiri di sana. Tanyakan apa yang sedang dipikirkan atau dirisaukannya?” Tuan Guru melanjutkan ucapannya. Mendengar permintaan Tuan Guru, seketika ketakutan yang amat sangat menyergapku. Tak bisa ku bayangkan bagaimana caranya menanyakan apa yang sedang dipikirkan dan dirisaukan Orang Senja. Sampai saat ini aku belum pernah berbicara dengannya. Mendekatinya pun aku tak berani.
Waktu kecil aku selalu berlari sembunyi ke dalam lemari pakaian ibu atau ke kolong tempat tidur bila melihat Orang Senja melintas di depan rumah kami setiap sore. Semua anak kecil di desa kami hingga saat ini pun sangat takut melihat Orang Senja lewat. Kata para orang tua, Orang Senja akan mengambil anak-anak kecil yang masih bermain di luar rumah saat menjelang magrib, membawanya pergi, lalu menenggelamkannya bersama matahari. Dan, sampai sekarang aku masih memercayainya walau belum pernah ada kejadian anak kecil yang diambil oleh Orang Senja dan ditenggelamkannya bersama matahari.
“Baik Tuan Guru. Aku akan segera menemui Orang Senja”, kataku sambil merasakan lututku yang tiba-tiba bergetar tak terkendali. Sebelum Tuan Guru meninggalkanku pulang kerumahnya kami bersalaman sambil ku cium punggung tangannya --Hampir setiap menjelang magrib Tuan Guru pergi ke surau; beliau selalu menjadi imam sholat magrib di surau kami; beliau baru pulang ke rumahnya setelah menunaikan sholat isya.
Tadi, dalam perjalanan ke surau aku pun sempat melihat Orang Senja. Dia berdiri di tempat biasanya. Tangannya besedekap di dada. Tak terperhatikan oleh ku wajahnya yang gelisah seperti kata Tuan Guru. Mungkin karena aku hanya melihatnya sekejap saja dari sudut mataku sambil berjalan bergegas menjauhinya. Justru aku yang sangat gelisah melihatnya, hingga ketika tiba di surau barulah hatiku tentram. Sekarang Tuan Guru memintaku menemui dan menanyakan kegelisahan yang dirasakannya. Permintaan Tuan Guru bagiku seperti titah raja yang tak bisa ku ingkari. Inilah akhir hayatku. Tak bisa lagi aku bersembunyi di lemari baju ibu atau di kolong tempat tidur.
***
Sorot mata Tuan Guru terlihat teduh memandangiku. Bibirnya tersenyum. Baju putihnya seputih dinding ruang kamar yang ku tempati.
“Kami terpaksa membawamu ke rumah sakit kota ini. Kami tak bisa menyadarkanmu. Wajahmu terlihat pucat dan makin pucat hingga kebiruan, Kami sangat khawatir dan cemas melihat wajahmu seperti itu. Untunglah si Mu’in belum pergi menarik2 penumpang, jadi mobilnya bisa kami pinjam untuk membawamu ke rumah sakit ini. Dia melarikan mobilnya seperti kami sedang dikejar setan”.
Aku tersenyum mendengar Tuan Guru berkata mereka seperti dikejar setan. Diusapnya kepalaku. Tangannya lebih lembut dari bantal yang menyangga kepalaku.
“Uwak Abbas yang pertama kali melihatmu terbaring kaku di halaman surau kita. Kebetulan dia datang ke surau lebih dahulu sebelum azan pertama subuh tadi. Katanya dia sempat melihat Orang Senja berdiri tidak jauh dari tempatmu terbaring. Ketika Orang Senja itu melihat Uwak abbas, dia bergegas pergi setengah berlari menghilang dalam kegelapan”.
Senyumku seketika sirna. Aku bergidik mendengar penjelasan Tuan Guru. Kupejamkan mata mencoba menghapus sisa rasa takut yang masih bersemayan di nyaliku. Selang oksigen masih terpasang di kedua lubang hidungku. Bunyi gelembungnya yang melewati tabung kecil berisi air terdengar seperti dengkur harimau yang tertidur.
Tak berapa lama kemudin Tuan Guru pamit pulang.
“Ada keperluan yang harus segera aku selesaikan siang ini di desa”, katanya setengah berbisik.
Aku menganggukkan kepala merelakan dia berpamitan dan meraih tangan kanannya yang memegangi sisi ranjang. Kusalami tangan yang selalu menggengam erat siapa pun saat bersalaman dengannya. Kucium punggung tangannya. Diusapnya kembali kepalaku sambil tersenyum, lalu dia melangkah meninggalkan ku terbaring di atas ranjang rumah sakit yang serba putih ini.
Sesaat setelah Tuan Guru pergi, aku mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah terjadi padaku. Perlahan aku mulai mengingat sebagian kejadian semalam. Siluet Orang Senja tergambar di benakku. Siluet yang sangat menakutkan. Saat ku pandangai siluet makhluk yang terlihat lebih hitam dari gelapnya malam, rembulan di Timur3 yang bangkit perlahan dengan cahayanya yang mulai berpendar-pendar padam seketika. Gelap gulita membutakan mata dan seperti merenggut udara dari paru-paruku. Jantungku berdebar tak bisa ku kendalikan. Aku tersengal. Butir-butir keringat mengalir deras dari seluruh pori-pori4. Tiba-tiba tubuhku kurasakan ringan dan melayang. Setelah itu aku tak ingat lagi apa yang telah terjadi denganku.
***
“Aku menyesal telah memintamu menemui Orang Senja. Ketakutanmu pada Orang Senja di masa anak-anak sepertinya masih terbawa hingga kau dewasa.” Tuan Guru memulai pembicaraan pagi ini. Dia menghampiriku yang tengah berjemur matahari pagi di depan rumahku di pinggir jalan utama desa kami. Aku berjemur mengikuti nasihat dokter yang merawatku di rumah sakit. Supaya suasana hatiku membaik, katanya; tidak mudah lelah, dan gejala depresi yang kualami segera berkurang.
“Aku telah mendatangi Orang Senja tiga hari lalu”, Tuan Guru melanjutkan pembicaraan.
“Menanyakan kepadanya apa yang terjadi padamu waktu itu. Aku sudah menjelaskan kepadanya bahwa aku yang menyuruh kau menemuinya. Kata Orang Senja, dia melihatmu berdiri cukup jauh darinya. Mematung. Memandang ke arahnya dan tiba-tiba kau melayang perlahan ke atas hampir setengah tingginya pohon kelapa lalu kau terhempas ke bawah dan tak sadarkan diri. Dia mendekatimu dan membopongmu ke halaman surau kita. Menungguimu sampai dia melihat ada orang yang datang ke surau baru dia pergi meninggalkanmu”. Lalu Tuan Guru terdiam.
Aku memang belum sempat berbicara dengan Orang Senja. Aku sangat terkejut melihatnya masih berdiri di sana. Tadinya aku berharap dia telah pergi agar aku tidak berjumpa dengannya. Rasa takutku yang amat sangat membuatku hanya berani melihatnya dari kejauhan. Kalau dia bisa melihat tubuhku melayang dan terhempas, kenapa rembulan yang padam seketika tidak diceritakannya pada Tuan Guru? Entah pada siapa aku bertanya. Sentuhan tangan Tuan Guru di pundakku mengejutkanku.
“Beberapa hari ini ku lihat kau banyak melamun”, katanya lirih.
“Aku mau ke rumah Uwak Abbas dulu. Kata si Mu’in, Uwak Abbas sakit sudah tiga hari ini. ” Nada suara Tuan Guru kembali tegas wibawa.
Aku mengangguk. Kuraih tangan kanannya dan mencium punggung tanggannya. Tuan Guru pun berlalu dari hadapanku. Ku pandangi punggung Tuan Guru yang mulai terlihat bungkuk saat berjalan. Dia terus berjalan ke arah rumah Uwak Abbas yang terletak di sebelah kanan hampir di ujung jalan ini.
Belum lagi hilang punggung Tuan Guru dari pandanganku, Orang Senja tiba-tiba melintas di hadapanku. Jantungku terhentak lalu berdegup sangat keras. Ku panggil anak-anakku yang sedang bermain di halaman. Menyuruh mereka segera memasuki rumah. Seketika langit berwarna mambang kuning5 . Di kejauhan terdengar beberapa orang menyebutkan nama Tuhannya dengan segala kebesaran dan keagunganNya berkali kali dengan suara lantang. Aku terperanjat. Hari masih pagi, tapi langit berwarna lembayung merah jinga seperti senja. Waktu duha pun belum lagi habis.
Aku tak bisa menduga apa yang terjadi. Hampir semua orang desa telah berdiri di depan rumah mereka masing-masing. Yang tengah bekerja di ladang dan sawah berlarian kembali ke rumah mereka. Tak satu pun anak-anak kecil desa berada di luar rumah. Semua bersembunyi di dalam rumah mereka masing-masing. Kami yang berada di luar rumah memandang ke arah yang sama. Ke arah Orang Senja yang sedang berjalan bergegas di jalan utama desa ini. Dia berjalan tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Wajahnya lurus ke depan.
“Kau lihat Orang Senja itu?”, suara Tuan Guru mengejutkanku.
“Waktu aku masih anak-anak Orang Senja sudah ada. Sama seperti anak-anak lainnya aku sangat takut padanya. Sementara aku terus menua, Orang Senja seperti tidak pernah renta. Wajah dan perawakannya pun tak berubah sejak dulu. Kata ayahku waktu dia kecil Orang Senja juga sudah ada”, Tuan Guru melanjutkan kata-katanya. Tak terlihat rasa gentar di wajahnya dan dia seperti tak menghiraukan apa yang tengah terjadi saat ini. Ku lihat wajah Tuan Guru sewarna dengan warna langit. Aku terperanjat.
Aku masih ingin terus mendengar cerita Tuan Guru tentang Orang Senja, tapi dia telah meninggalkanku. Berjalan perlahan mendatangi orang-orang desa di depan rumah mereka satu per satu. Meminta mereka memasuki rumah masing-masing. Semua orang menuruti apa yang diminta Tuan Guru. Hanya aku yang masih bertahan di luar rumah.
Aku terkurung dalam kubah langit berwarna mambang lembayung. Hening di sekeliling hingga udara yang ku hirup dan lepaskan dari paru-paruku jelas terdengar. Perlahan langit semakin berwarna merah jingga dengan warna kuning di beberapa bagiannya saja. Ada rasa haru dan rindu yang tiba-tiba menghinggapiku. Menyelinap ke dalam dada. Menyesakkannya seperti menahan tangis yang ingin terisak.
Berlembar-lembar kertas tiba-tiba berjatuhan dari langit yang merah jingga.
Ku raih lembaran kertas berwarna biru yang melayang berputar-putar di sisi kiriku. Sebait peristiwa tertulis rapih dengan tinta hitam.
Ketika kau katakan kau mencintaiku.
(Sehelai kelopak mawar gugur ke sungai dan mengalir bersama riak air yang
bening.)
Ketika kau tatap mataku dalam-dalam dan hampir melukai jantungku.
(Sehelai lagi kelopak mawar gugur ke sungai.)
Ketika kau rapatkan tubuhmu ke tubuhku dan jemarimu menggenggam jemariku, nafasku seperti terhenti. Aku tersengal.
(Sehelai dan sehelai lagi kelopak mawar jatuh berguguran ke sungai.)
Ketika kau sentuh bibirku dengan jemarimu. Kurasa, inilah akhir hayatku.
(Sehelai dan sehelai lagi kelopak mawar berguguran ke sungai.)
Ketika kau sentuh bibirku dengan hangatnya bibirmu, aku seperti terbakar! Tubuhku ringan melayang.
(Berkuntum-kuntum mawar yang tumbuh di pinggir sungai pecah hampir
bersamaan. Seluruh kelopaknya berterbangan dan berhamburan ke udara.
Satu-persatu berjatuhan kesungai. Berserakan menjadikan
riak air berwarna-warni mawar.)
Perlahan ku buka mataku.
“Mimpimu indah dan ironis”, katanya hampir tak terdengar.
“Betapa hebatnya cinta yang kau damba hingga bisa menghilangkan keindahan mawar.”
“Berkuntum-kuntum mawar pecah dan kelopaknya berguguran ke sungai.” Aku melihatnya tadi di dalam mimpimu.
“Betapa cinta…..”.
(Dia terdiam tak melanjutkan kata-katanya.)
Angin gunung pagi hari yang membawa sisa dingin semalam membuatku hampir menggigil kedinginan yang terjaga dari tidur. Seekor capung berwarna merah tua terbang melawan angin. Hinggap di ujung tangkai batang mawar yang kelopak bunganya telah jatuh berguguran.6
Ku genggam erat kertas berwarna biru ini. Masih bisa kurasakan dinginnya pagi saat aku menunggu dia melanjutkan kata-katanya.
Lembaran kertas berwarna hijau mengenai kepala dan tersangkut di rambutku. Terpampang foto-foto lama di sana. Tersusun rapi seperti urutan cerita dalam komik bergambar. Aku tersenyum memandanginya. Sebaris foto berwarna kuning karena dimakan usia membangkitkan rinduku pada masa-masa itu. Saat ayah tertawa lepas melihat adikku pulang berlumuran lumpur karena habis mandi-mandi di kubangan sawah bersama teman sebayanya.
Aku tertegun melihat foto ayah memboceng kami berenam dengan scooter-nya. Adikku yang bungsu digendong ibu di belakang. Aku dan adik perempuanku duduk di tengah diantara ibu dan ayah. Sementara dua adikku yang masih balita berdiri di atas lantai depan scooter dan ikut memegang bagian stang scooter yang dipegang ayah erat-erat. Kami semua tersenyum dibonceng ayah.7 Rasa rinduku menjatuhkan titik-titik air mata dari sudut-sudut kedua mataku.
“Kau lihat lembaran kertas hitam yang tergeletak di tanah di ujung kakimu itu?”
Suara di belakangku menghentikanku memandangi foto-foto dalam lembaran kertas hijau yang sedang ku pegang. Aku menoleh ke sumber suara yang terdengar sangat berat itu. Jantungku terhentak lalu berdegup sangat cepat dan keras. Orang Senja telah berdiri hanya sedepa di belakang ku, bersisian dengan Tuan Guru.
“Tuan Guru....” Refleks aku memanggil Tuan Guru dan menatap wajahnya. Wajahnya tidak merah jingga seperti tadi.
Tuan Guru tersenyum. Perlahan degup jantungku mulai berdetak teratur dan dan lututku pun berhenti bergetar.
“Dia ingin berbicara dengan mu, jadi ku antar dia menemuimu.” Tuan Guru berkata sambil memalingkan wajahnya ke Orang Senja. Aku pun turut melihat ke wajah Orang Senja. Orang Senja tersenyum mengangguk. Senyumnya menenangkan hatiku.
“Kau lihat lembaran kertas hitam yang tergeletak di tanah di ujung kakimu itu?” Orang Senja mengulangi kata-katanya tadi. Aku memungut lembar kertas hitam itu. Begitu hitam warnanya hingga terasa berat di jemariku.
“Setiap hari aku menunggu senja. Aku selalu tak sabar menunggunya walau aku tahu pasti dia akan datang di setiap sore sebelum matahari tenggelam. Kali ini senja datang di pagi hari.” Orang Senja berkata sambil memandangi cakrawala yang berwarna merah jingga.
Aku dan Tuan Guru saling berpandangan mendengar kata-kata Orang Senja. Entah apa yang ada di benak Tuan Guru. Barangkali tidak jauh berbeda dari apa yang ku pikirkan. Kenapa dia mengatakan menunggu senja? Bukankah karena kehadirannya yang tiba-tiba tadi, sehingga peristiwa pagi ini terjadi? Seperti kata Tuan Guru, “Matahari tidak akan pernah tenggelam sebelum Senja datang”. Dan, pagi ini matahari seperti akan tenggelam di Timur di tempatnya terbit tadi karena kehadirannya. Aku bergidik. Bulu-bulu roma di tengkukku berdiri tegak.
“Berlembar-lembar kertas yang berjatuhan dari langit adalah kenangan yang ingin selalu kau ingat. Betapa pun buruknya masa yang pernah kita alami kadang indah dan mengharukan untuk dikenang. Memang begitulah kenangan. Ku lihat beberapa kali kau menitikkan air mata ketika melihat lembaran-lembaran kenangan di tanganmu.” Orang Senja melanjutkan kata-katanya sambil terus memandangi cakrawala berwarna merah jingga.
“Lembaran kertas hitam yang ada di tanganmu adalah lembar kenangan tentang kisah cintaku. Warnanya tidak seperti lembar kenanganmu yang berwarna warni yang berjatuhan dari langit tadi. Warna hitamnya lebih kelam dari rembulan yang padam seketika di malam hari. Aku selalu mengenang indahnya kisah cinta yang pernah ku miliki walau begitu pedih dan menyakitkan untuk diingat. Senja merah jingga adalah kenangan, angan, dan cerita rinduku padanya.”8
Aku sangat terkejut mendengar kata-katanya. Apa yang terjadi malam itu disiratkannya dalam lembaran kertas hitam yang katanya lebih kelam dari rembulan yang padam seketika. Orang Senja mengangguk. Seperti memahami apa yang ada dalam benakku. Kutatap wajah Orang Senja. Ada kerinduan yang amat dalam di sana. Bola matanya terlihat berwarna merah jingga. Warna yang selalu diceritakan orang selama ini. Orang Senja memandang ke dalam bola mataku.
“Ketahuilah, aku selalu tak sabar menunggu senja. Sebelum matahari tenggelam dan ketika matahari hilang dari cakrawala, tapi cahayanya masih terlihat, saat-saat itulah yang selalu ku nantikan. Entah sudah berapa ribu kali aku menunggu senja, menatapnya hingga hilang bersama matahari. Pada halaman-halaman buku yang diberikannya padaku, ku tuliskan cerita rinduku di setiap senja untuk kekasihku yang selalu menungguku bersama cakrawala lembayung dan mentari merah jingga.9 Andai aku bisa menahan matahari tak tenggelam agar bisa terus menuliskan cerita rinduku padanya.”
Orang Senja terdiam. Helaan nafas panjang dihembuskannya. Matanya berkaca-kaca. Buku bersampul coklat tergenggam di tangan kanannya. Buku yang tak pernah diceritakan orang-orang desa.
“Waktu kau hendak menemuiku, aku begitu gelisah malam itu. Aku sangat rindu pada kekasihku. Pernahkah kau alami betapa pedihnya menahan rindu walau semalam? Betapa cinta menghadirkan rindu yang tak pernah usai? Malam itu aku sangat tak sabar menunggu senja esok hari hingga aku tak ingin beranjak dari tempatku berdiri. Aku ingin senja datang lebih pagi agar bisa lebih lama menuliskan cerita rinduku padanya.”
Titik-titik air berwarna jingga menitik dari kedua sudut matanya. Tuan Guru menatap Orang Senja lalu menatapku. Sedang aku, menatap lembaran kertas hitam yang tengah ku genggam. Perlahan warna hitamnya berubah merah jingga. Seketika kurasakan sangat hening. Sepenggal cerita yang ditulis dengan tinta hitam yang mulai pudar jelas terbaca.
“Tadi aku sempatkan menyirami mawar kesayanganmu dahulu. Maaf, kalau kamu sudah lama menungguku. Aku tak ingin dia layu. Aku tak sabar menunggu bunga-bunganya bermekaran. Katamu, mawar merah jingga yang mekar sempurna adalah cinta sejati bila dia masih di tangkainya dan kelopaknya yang gugur adalah sayang yang tulus bagi yang mengambilnya. Sehelai kelopaknya yang gugur ku bawakan untuk mu.”10
Ingatanku melayang kepada dia yang selalu menungguku pulang. Masihkah dia berdiri di sana? Tersenyum diantara rimbunnya mawar yang bermekaran di kebun kecil yang selalu disiraminya setiap pagi sambil bersenandung. Rambut panjangnya yang berwarna mahogany mewangi mawar saat tersibak terurai diterpa angin. Tangis kerinduan yang tertahan selama ini mengalir perlahan membasahi kedua pipiku.
“Nak, segera lepaskan kertas itu dari genggamanmu.” Tangan kanan Tuan Guru menyentuhku. Jemarinya memegang erat dan lembut bahuku.
“Bola matamu telah berwarna merah jingga. Air matamu pun sewarna dengan cakrawala”. Suara Tuan Guru terdengar lamat-lamat11 di telingaku. ***
Pakarangan, Desember 2020
Catatan:
1). Tuan Guru adalah tokoh yang memiliki ilmu pengetahuan agama dalam penyebaran agama Islam di Pulau Lombok. Tuan Guru artinya haji tokoh tempat menimba ilmu atau tokoh yang mendakwahkan agama Islam. di Pulau Jawa disebut Kyai (Wikipedia).
2). Istilah yang biasanya digunakan oleh sopir dan kenek angkutan umum untuk mengangkut atau mencari penumpang.
3). Akibat arah rotasi bumi dari arah barat ke timur, menyebabkan semua benda langit tampak terbit di timur dan tenggelam di barat. Bulan, seperti Matahari, juga terbit di sebelah timur.
4). Seperti terkena gejala hipoksia; kekurangan oksigen atau rendahnya kadar oksigen dalam jaringan tubuh.
5). Warna kuning kemerahan-merahan seperti warna langit di sebelah barat ketika matahari mulai terbenam.
6) Puisi Lian Lubis: “Kenapa Tak Kau Lanjutkan Kalimatmu”. 2000.
7). Peristiwa pertama kali ayah penulis membonceng istri dan kelima anaknya ketika mendapatkan scooter dari perusahaan tempat dia bekerja sebagai wartawan (1974).
8) dan 9) Seperti yang dilakukan tokoh utama dalam Cerpen Lembayung Merah Jingga yang selalu menuliskan cerita rindunya; Kumpulan Cerpen Lian Lubis “Ayah Selalu Dikejar Anjing”. Bitread. 2020.
10). Seperti yang dikatakan kekasih dari tokoh utama dalam Cerpen Lembayung Merah Jingga; Kumpulan Cerpen Lian Lubis “Ayah Selalu Dikejar Anjing”. Bitread. 2020.
11) Samar; sayup-sayup (KBBI).
Profil Penulis
Lian Lubis, witer.
Penuls Buku “Ayah Selalu Dikejar Anjing”; Bitread Publishing:2020.