Masukan nama pengguna
❤
Cinta, bagiku, adalah seperti matahari musim dingin—datangnya pelan, hangatnya tak terburu-buru, tapi cukup untuk membuat hati yang beku mulai mencair. Ia bukan badai yang menggebrak, melainkan cahaya lembut yang menembus celah-celah retak, mengajarkan bahwa sebelum mencari pelukan orang lain, aku harus belajar menjadi selimut bagi diriku sendiri.
——————
Aku—Renata Zefanya, tujuh belas tahun, pengagum senja dan kata-kata. Aku belum pernah jatuh cinta. Setiap hari, aku hanya melihat di drama Korea, di novel-novel remaja yang kubaca diam-diam di sela-sela jam pelajaran. Cinta selalu digambarkan begitu manis, penuh senyum malu-malu, tatapan diam-diam di lorong sekolah, atau pelukan mendadak di bawah hujan.
Semuanya terasa seperti mimpi.
Tapi di dunia nyata, di sekolah ini, cinta terasa seperti sesuatu yang asing bagiku.
Di kelas, aku melihat teman-temanku saling menggoda, bertukar pesan lewat kertas kecil, atau pura-pura lewat di depan seseorang yang mereka sukai. Mereka seolah mengerti cara kerjanya. Seolah cinta adalah pelajaran tambahan yang tidak pernah kuikuti. Dan aku? Aku hanya duduk di pojok, mengamati mereka seperti menonton film dari balik layar kaca.
Melihat dari jauh dan menebak-nebak, hemmm... rasanya seperti apa ya, jatuh cinta itu?
Aku tidak pernah punya crush. Tidak pernah menerima surat cinta, bunga, atau cokelat di laci meja seperti dalam film. Kadang aku bertanya-tanya, mungkin standarku terlalu tinggi? Atau mungkin aku terlalu sering menonton drama Korea, membaca novel remaja, dan menatap potongan-potongan film manis yang berseliweran di media sosial seperti yang teman-temanku katakan.
Tapi anehnya, jantungku ikut bereaksi—berdegup cepat, terkadang pelan namun menghentak—seolah aku juga sedang menjalani kisah cinta itu.
Padahal tidak.
Setiap kali melihat pasangan yang saling menggenggam tangan, aku menunduk, bertanya-tanya, Kapan aku akan seperti itu? Apakah akan sesederhana itu? Atau justru rumit seperti dalam film-film indie yang kusuka?
Aku ingin tahu.
Sungguh, aku ingin tahu.
Di antara segala kemungkinan yang tidak pasti, aku menyimpan satu keyakinan kecil nyaris seperti doa diam-diam bahwa cinta akan datang. Entah dia yang datang… atau aku yang akan menemukannya lebih dulu. Entah kapan, entah bagaimana. Mungkin saat aku tidak siap, atau saat aku sudah berhenti menunggu.
Kadang, saat malam terlalu sunyi dan lampu kamar hanya menyisakan siluet samar di dinding, pikiranku melayang. Apakah dia—entah siapa pun itu—juga sedang bertanya hal yang sama? Apakah dia—orang yang akan membuatku merasa seperti terbang, seperti tokoh-tokoh dalam cerita fiksi.
Lucu, ya? Hanya membayangkannya saja sudah cukup membuatku tersenyum. Padahal aku belum tahu siapa dia.
Belum pernah mendengar suaranya, apalagi menatap matanya.
Aku bahkan belum tahu apakah dia suka hujan seperti aku, atau lebih suka matahari. Mungkin dia membaca puisi seperti aku. Atau justru lebih suka menulis lagu.
Aku tidak tahu.
---
🌧🌧🌧
Hari ini, hujan turun sejak pagi. Kabut tipis melayang di atas lapangan sekolah, mengaburkan bangunan dan pepohonan menjadi siluet-siluet samar. Di pojok perpustakaan, di kursi favoritku yang menghadap jendela besar, aku duduk dengan kumpulan puisi Rupi Kaur yang kubaca entah untuk keberapa kalinya. Bukan karena aku terlalu menyukai puisinya tapi karena rasanya nyaman saat membaca tentang patah hati. Aku tidak sedang patah hati. Aku bahkan belum pernah memiliki hati untuk dipatahkan. Tapi entah mengapa, membaca puisi tentang kehilangan terasa seperti meneguk teh hangat di hari yang dingin.
Nyaman.
Aneh, tapi akrab.
Mataku terus melirik ke jendela. Hujan turun perlahan, membentuk pola di kaca. Suasana seperti ini biasanya membuat hatiku hangat seolah alam juga sedang menunggu sesuatu yang indah, seperti aku.
Namun tiba-tiba, suara itu menyapa seperti daun yang jatuh tanpa angin, ringan tapi cukup untuk membuatku menoleh.
“Kamu selalu duduk di sini ya?”
Suaranya datang seperti gerimis pertama setelah kemarau panjang pelan, tapi cukup untuk membuyarkan lamunanku yang mengendap di antara kata-kata Rupi Kaur. Aku menoleh perlahan, seolah enggan melepaskan hangat yang sedang kuteguk dari halaman-halaman sunyi.
Di balik rak buku, seorang laki-laki berdiri. Seragamnya sama dengan punyaku, tapi entah kenapa terasa berbeda lebih hidup, lebih nyata dari tokoh-tokoh fiksi yang biasa menari di kepalaku. Rambutnya sedikit basah, meneteskan aroma hujan dan tergesa, seakan ia baru saja berlari mengejar sesuatu yang hampir luput atau mungkin, seseorang.
Matanya menatapku bukan dengan rasa ingin tahu, tapi dengan ketenangan yang jarang kutemui. Seolah ia sudah sering melihatku, tapi baru kali ini punya alasan untuk menyapa.
Aku mengangguk pelan, sedikit gugup.
“Ya, ini tempat favoritku. Disini tenang,” ucapku.
Perpustakaan selalu menjadi tempat favoritku sejak pertama kali menginjakkan kaki di bangku SMA. Ada ketenangan yang tidak bisa kutemukan di tempat lain. Tidak ada langkah kaki tergesa yang memekakkan telinga, tidak ada suara lantang guru olahraga yang menyuruh murid berlari keliling lapangan. Hanya ada derik halaman buku, aroma kertas tua, dan detak jam dinding yang lambat. Dan yang paling kusukai, di tempat ini... aku bisa menyendiri.
Tapi kali ini aku tidak lagi sendiri.
Dia tersenyum namun tidak terlalu lebar, tapi cukup untuk mengusik tenang di dadaku. Lalu ia melangkah mendekat, membawa sebuah buku dengan sampul yang tampak usang, seperti telah dibaca berkali-kali oleh seseorang yang sedang mencari pelarian.
“Aku juga suka tempat ini,” katanya sambil menarik kursi di seberangku.
“Kadang aku suka baca di sini waktu hujan seperti ini. Rasanya... sepi, tapi hangat. Kayak dunia melambat sebentar.”
Aku menatapnya, seolah baru menyadari bahwa suara bisa lebih menenangkan daripada diam.
“Buku apa itu?” tanyaku pelan, menunjuk pada buku di tangannya.
“‘The Little Prince’. Aku ulang-ulang bacanya sejak SMP. Entah kenapa, rasanya selalu relevan.” Ia tersenyum kecil. “Kadang, kita memang butuh diingatkan oleh hal-hal sederhana.”
Berbeda denganku yang suka tema romance, ia menyukai buku-buku yang bertema filosofis—tentang makna hidup, kesunyian, dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak punya jawaban pasti. Kadang aku heran, bagaimana seseorang seusia kami bisa nyaman membaca buku seperti itu saat istirahat sekolah, sementara aku masih tenggelam dalam kisah cinta remaja yang klise tapi hangat.
Dia memiringkan kepalanya, seolah mencoba menerka judul buku yang kugenggam. Hujan masih turun pelan, memantulkan bayangan kami di jendela.
"Buku apa yang kamu baca?" tanyanya pelan.
Aku menoleh sedikit, lalu mengangkat buku itu setinggi dada. "'Milk and Honey'. Rupi Kaur."
Senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Kamu sedang patah hati, ya?”
Dengan cepat aku menggeleng, mungkin terlalu cepat. Buku di tanganku hampir terjatuh. Aku merapikannya kembali, lalu menatapnya sebentar dengan gugup.
“Aku nggak patah hati,” ujarku, buru-buru. “Aku cuma suka cara dia menulis tentang kehilangan. Rasanya... hangat, meski sakit. "
Dia tertawa pelan, nada suaranya seperti hujan yang jatuh ke dedaunan. “Kamu aneh” katanya, senyum kecil tergantung di sudut bibirnya.
“Mungkin,” jawabku ringan. “Kadang kita membaca tentang patah hati bukan karena sedang patah hati… tapi karena kita diam-diam sedang mempersiapkan diri untuk itu.”
Dia terdiam sesaat, dan matanya menatapku lebih lama dari sebelumnya bukan seperti orang yang penasaran, tapi seperti seseorang yang mencoba membaca halaman demi halaman dalam diriku yang belum pernah kubiarkan terbuka.
Dan entah kenapa, tatapan itu tidak membuatku ingin lari.
Malah sebaliknya aku ingin tetap duduk di situ, bersamanya, membiarkan waktu berjalan pelan seperti detak jam tua di dinding perpustakaan.
Mungkin suatu hari nanti, di lorong sekolah ini, di bawah pohon akasia yang menggugurkan daun-daunnya dengan anggun, atau di deretan loker yang sunyi saat jam pelajaran berlangsung, atau mungkin dalam bentuk percakapan kecil seperti ini tawa yang muncul tanpa aba-aba, atau detak jantung yang mendadak kehilangan ritme… aku akan menemukan cinta itu.
Dan mungkin… mungkin saja, hari ini adalah halaman pertamanya.
“Kalau aku... tidak ingin patah hati itu datang,” suaranya lembut, nyaris seperti desiran angin di sela hujan. Matanya menatapku lekat, seolah mencari jawaban di balik ragu-raguku.
Aku terdiam, terhanyut dalam keheningan yang tercipta di antara kami. Suaranya mengalun hangat, membelai ruang yang dingin dan sunyi.
“Jika kita bisa menahannya untuk tidak datang, kenapa tidak?” lanjutnya pelan, seolah berbicara bukan hanya untukku, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Aku menghela napas pelan, hujan di luar makin deras, tapi di sini, di antara bisik jari-jari yang menyentuh halaman dan tatap mata yang tak terbaca, aku mulai merasakan hangat yang lain. Hangat yang bukan berasal dari mentari, bukan pula dari janji manis dalam cerita fiksi.
Dia meraba dunia dengan logika, membangun tembok-tembok penjelasan, sementara aku meraba dengan hati, mengikuti aliran sunyi yang kadang tak terucap.
Lalu aku berpikir apakah pantas melihat cinta dengan logika atau dengan hati? Mungkin saja bukan tentang memilih salah satunya. Karena cinta yang hanya dengan logika akan terasa kering, penuh perhitungan. Tapi cinta yang hanya dengan hati bisa menjadi buta, mudah terluka.
Mungkin cinta adalah keseimbangan antara keberanian untuk merasa dan kebijaksanaan untuk mengerti. Antara detak jantung yang tak beraturan, dan langkah kaki yang tetap tahu ke mana harus pulang.
Dan ketika saat itu tiba, aku akan tahu Apa itu cinta.
Yang tidak sekadar adegan dalam drama, atau kalimat manis dalam novel. Tapi sesuatu yang nyata, yang terasa hangat di dada, dan tumbuh perlahan dari hal-hal sederhana.
Dari tatapan yang jujur.
Dari diam yang saling mengerti.
Dan dari keberanian untuk membuka hati, meski tahu bisa saja terluka.
Aku menoleh padanya, menatap matanya yang tenang tapi penuh tanda tanya.
“Menurut kamu... cinta itu seperti apa?” tanyaku. Suaraku lirih, nyaris tenggelam dalam irama hujan yang mengetuk kaca.
Dia diam sejenak, seolah memilih kata-kata seperti memilih bintang paling terang di langit mendung.
“Entahlah,” ujarnya akhirnya. “Kadang aku pikir... cinta itu seperti hujan pertama setelah musim panjang yang kering. Kita tidak pernah tahu persis kapan datangnya, tapi saat tetes pertamanya menyentuh tanah—atau hati—kita akan tahu. Dari bau tanah yang menguap. Dari detak jantung yang tidak lagi sama.”
Ia menatap jendela, lalu menambahkan, “Tapi…” suaranya mengambang, menggantung di udara seperti embun di ujung daun. “Cinta itu bukan hanya tentang seseorang.”
Aku mengerutkan dahi, mencoba memahami maksudnya. Tapi kemudian pikiranku melayang, menyusuri celah-celah sunyi dalam diriku sendiri.
Dan aku mulai bertanya pada diriku sendiri...
Mungkin dia benar.
Bagaimana jika cinta tidak selalu hadir dalam bentuk orang lain?
Mungkin, cinta pertama yang harus kupelajari bukanlah tentang laki-laki yang menyentuh tanganku saat aku menjatuhkan buku, bukan seseorang yang menatapku dari seberang lapangan sambil tersenyum.
Mungkin, cinta sejati itu dimulai dari...
“Diriku sendiri,” bisikku pelan.
“Diri sendiri,” ucapnya di saat yang sama.
Aku tersentak, menoleh padanya. Matanya sudah lebih dulu menatapku tenang, tapi penuh pengertian. Seolah sejak tadi, kami membaca bab yang sama dari buku yang berbeda. Seolah semesta sedang memainkan simfoni rahasia, dan kami berdua tiba-tiba menemukan nada yang sama di tengah keheningan.
Kami berdua tersenyum, tapi matanya tidak lepas dariku seolah kalimat berikutnya akan lebih dalam dari sekadar ucapan ringan.
"Apa yang kamu pikirkan tentang cinta," katanya, suaranya tenang namun menggema, "itu bukan soal seseorang yang datang membawa bunga atau menuliskan puisi indah."
Ia jeda sejenak, lalu melanjutkan, tatapannya masih menusuk lembut ke arahku.
"Cinta itu tentang kamu. Kamu, yang bangun pagi dengan mata berat tapi tetap melangkah ke sekolah. Kamu, yang duduk di pojok perpustakaan, menatap hujan tanpa tahu apa yang kamu tunggu. Kamu, yang menangis dalam diam, tapi keesokan harinya masih bisa tersenyum di kelas. Kamu, yang terus berharap, meski tak tahu pada siapa harapan itu ditujukan."
Nafasnya terdengar pelan. Hujan di luar masih menari di kaca, seolah ikut mendengarkan.
“Cinta itu,” katanya pelan, “adalah keberanian untuk bertahan, saat dunia terasa terlalu ramai… tapi juga terlalu sepi.”
Hatiku mendadak senyap. Seakan-akan dunia mengecil, menyisakan hanya suara kami dan derik waktu yang berjalan lambat. Dan untuk sesaat, aku tahu—cinta, ternyata, bukan hanya pelukan.
Ia bisa jadi adalah keheningan yang hangat. Tatapan ke cermin yang tidak lagi penuh benci. Tetapi langkah pelan menuju penerimaan.
Mungkin, cinta yang kutunggu selama ini bukan untuk dimiliki, tapi untuk diajarkan. Untuk membuatku belajar mengenali diriku dengan segala keraguan, harapan, dan ketidaksempurnaan.
Dan perlahan-lahan, aku mulai paham…
"Cinta, mungkin, datang bukan hanya dalam bentuk seseorang yang membuat jantungku berdebar. Tapi juga dalam bentuk keberanian untuk memaafkan diri sendiri, kesabaran untuk tumbuh, dan keyakinan bahwa aku layak dicintai bahkan sebelum ada yang mencintaiku," ucapku lirih, seperti sedang berbicara pada bayangan yang lebih muda dari diriku.
Dia tersenyum kecil, matanya sejenak menangkap cahayaku yang pelan-pelan menyala.
"Dan suatu hari nanti, saat kamu sudah benar-benar mengenali dirimu dengan segala kekurangan, impian, dan luka yang kamu peluk sendiri…" katanya, lagi-lagi menatapku dalam, seolah tahu betapa dalam kalimat itu menyentuhku. “Kamu akan bertemu dia.”
Aku diam. Jantungku tidak berdebar kencang—tapi ada sesuatu yang hangat tumbuh perlahan di dadaku.
“Bukan untuk mengisi kekosongan,” lanjutnya, suaranya kini selembut hujan yang membasuh dedaunan, “tapi untuk berjalan bersama dengan hati yang telah mengenal dirinya sendiri. Cinta bukan soal menemukan seseorang untuk dimiliki. Tapi tentang menemukan tempat pulang dan dari sanalah, perjalanan untuk saling mencintai bisa benar-benar dimulai.”
Aku menatapnya. Di tengah percakapan sunyi dan aroma buku-buku tua, aku merasa telah menulis satu halaman penting dalam hidupku. Apa yang ia pikirkan sama dengan apa yang aku pikirkan seolah kami telah membaca sebuah buku yang sama.
Namun sejak tadi, aku belum mengetahui namanya. Laki-laki yang duduk di depanku ini... ia memiliki sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Mungkin pantulan dari diriku sendiri, atau cermin yang tak sengaja kutemukan di sela-sela hari biasa. Aku menarik napas pelan dan memberanikan diri untuk bertanya.
"Aku lupa menanyakan nama kamu. Aku Renata, dari kelas 11 Sains," ucapku sambil mengulurkan tangan, senyumku malu-malu. "Nama kamu siapa?"
Ia tidak menjawab. Hanya menatapku dengan sorot mata yang tenang, lalu tersenyum. Senyum yang... entah bagaimana, terasa seperti pamit.
Tiba-tiba—
Bel berbunyi. Cukup keras, menggema di antara rak-rak buku yang sunyi.
Dan sebuah sentuhan terasa nyata di pundakku.
Nyata.
Apa aku… bermimpi?
"Bel sudah berbunyi, apa kamu tidak ketinggalan kelas?"
Suara itu...
Tidak asing. Aku menoleh cepat. Bu Ratri, penjaga perpustakaan, berdiri di sampingku, menatapku dengan ekspresi heran.
Aku terbangun dari tidurku yang bersenderan di meja, lalu menoleh ke depan. Kursi di seberangku kosong. Tidak ada sisa kehangatan, tidak ada jejak langkah, bahkan tidak ada bayangan yang tertinggal.
Tidak ada siapa-siapa.
Hanya ada buku Milk and Honey terbuka di tanganku, halaman terakhirnya tertiup pelan oleh angin dari jendela yang hujannya sudah reda sejak tadi.
Aku menatap kosong sejenak, bingung, bertanya-tanya apakah semua tadi nyata, atau hanya hasil dari pikiranku yang terlalu sering bicara sendiri di ruang sunyi.
Lalu, entah kenapa, aku tersenyum.
Senyum yang tulus, seperti mengangguk pada sesuatu yang tak terlihat. Karena meski tak sempat tahu namanya, meski mungkin ia hanya sebaris imaji dari lembar yang kubaca terlalu dalam, aku seperti tahu ia datang bukan untuk tinggal, tapi untuk mengajarkan satu hal:
bahwa aku layak dicintai, bahkan oleh diriku sendiri maupun orang lain.
Dan mungkin, cinta tidak selalu harus memiliki bentuk yang bisa disentuh. Kadang, ia cukup hadir sebagai bisikan lembut yang berkata,
“Kamu tidak sendiri.”
---