Masukan nama pengguna
Di bandara international Incheon.
Keputusanku sudah bulat, aku akan menemukan orang yang mengirimi ibu surat dua tahun lalu. Aku tidak tahu luka apa yang ibu dapat di sini, tapi aku sangat mencintai negara ini. Maaf aku tidak menepati janjiku.
Perjalanan pertama ke negara asing memang membuatku gugup, tapi untungnya aku bertemu kenalan melalui sosial media. Namanya Hyunjin, dia gadis yang ramah dan cantik. Dia banyak membantuku untuk belajar bahasa korea.
“Sana ...” teriak Hyunjin yang menyadarkan lamunanku.
“Hyunjin ...” aku memberikan salam pada umumnya orang korea.
“Kamu pasti lelah, selamat datang di seoul,” ucap Hyunjin sambil tersenyum.
“Terima kasih Hyunjin, maaf merepotkanmu.”
“Tidak, aku sangat senang bertemu denganmu,” ujar Hyunjin sambil membawa tasku.
Selama perjalanan menuju rumah Hyunjin, aku tidak bisa menghentikan pandanganku pada setiap pemandangan tata kota, pohon-pohon dan orang- orang yang berjalan dengan tujuan dan alasan yang berbeda-beda.
“Berapa lama kamu akan di seoul?”
“Dua minggu, setelah itu aku harus kembali karena studiku akan di mulai.”
“Untunglah, aku akan menemanimu menikmati seoul yang cantik ini.”
Sebenarnya aku merasa tidak enak karena harus merepotkan Hyunjin tapi kalau aku tolak dia mungkin akan sedih. Beberapa menit berlalu kami sudah sampai di depan rumah Hyunjin, aku sedikit canggung karena ibu dan ayahnya ikut menungguku di depan rumah.
“Selamat datang Sana.”
“Terima kasih bibi, paman.”
“Semoga kamu betah di sini, jangan sungkan anggap saja rumah sendiri.”
“Iya tante, terima kasih.”
“Kakak belum pulang ma?”
“Apa dia bilang akan pulang?”
“Iya.”
“Tidak, dia sudah lama tidak pulang,” ucap ayah Hyunjin.
“Ayo cepat masuk, kita makan siang dulu. Temanmu pasti lapar karena perjalanan yang melelahkan.”
Aku sangat senang di sambut baik, sebenarnya aku cemas dan takut tapi sedikit reda karena keluarga Hyunjin.
Ini kamarmu, kakakku sudah lama tidak pulang jadi kamu bisa tidur disini.
“Tapi ...”
“Tidak apa- apa, kalau dia pulang kamu pindah ke kamarku.”
“Baiklah.”
Ibu aku berharap dia adalah ayah, aku takut bagaimana jika dia menolak bertemu denganku. Aku tidak akan memintanya untuk menampungku tapi aku hanya ingin tahu siapa dia. Beginilah fikiranku yang terus mencari pertanyaan dan menjawabnya sendiri.
Malamnya, Hyunjin ke kamarku.
“Sana, apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?”
“Hyunjin, sebenarnya tujuanku ke sini adalah mencari seseorang.”
“Siapa?”
“Aku juga tidak tahu pasti dia siapa, tapi aku benar- benar berharap dia adalah ayahku.”
“Ayahmu? Pantas saja wajahmu tidak murni seperti orang Indonesia, ada wajah koreanya.”
“Apa kau punya alamatnya?”
“Ini,” sana memberikan sebuah amplop pada Hyunjin.
“Hannam-dong?”
“Kenapa?”
“Ini perumahan mewah San.”
“Apa kau bisa membantuku?”
“Tentu saja, jangan kahwatir.”
“Tapi San, maaf kalau aku lancang bertanya.”
“Apa?”
“Apa kau selama ini tidak tahu bagaimana ayahmu?”
“Tidak, ibuku hanya bilang mereka berpisah baik-baik. Tapi aku tidak percaya, jika mereka berpisah baik-baik bukankah seharusnya ibu tidak melarangku datang ke sini dan menceritakan apapun tentang ayahku.”
“Tapi kenapa ayahmu tidak mencarimu?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu.”
Sana dan Hyunjin yang sedang berbincang kaget dengan kedatangan Hyunwoo.
“Kakak, kenapa kau baru datang?”
“Aku harus menyelesaikan pekerjaanku.”
“Ini temanku, sana.”
Sana membungkukkan badannya.
“Aku kira kau tidak akan pulang, jadi aku memintanya tidur di kamarmu. Ayo San ke kamarku.”
“Seharusnya kau yang tidur dikamarku, kenapa kau memintanya tidur dikamarku. Besok aku pergi lagi, jadi temanmu bisa tidur di sini.”
“Baiklah.”
“Tapi kakak, apa kau bisa menemani kami besok.”
“Kemana?”
“Hannam-dong.”
“Kenapa kalian mau kesana?”
“Sana ingin mencari seseorang.”
“Baiklah, tapi kita harus berangkat pagi karena kakak tidak bisa terlambat."
“Oke, baiklah.”
“Terima kasih kak,” ucap Sana.
Keesokkannya kami berangkat bersama, aku sangat gugup. Aku terus meremas-remas tanganku untuk kemungkinan yang akan terjadi. Hyunjin yang melihat tubuhku yang tegang berusaha menenangkanku.
“Turunlah, ini rumahnya.”
Baru hendak melangkah ke pintu depan, seorang pria keluar dari rumah itu. Mata kami seketika bertemu. Aku terus menatap padanya, apa dia ayah?"
Pria itu masuk ke mobil yang sudah menunggunya dan berlalu meninggalkkan sana yang masih mematung.
“Bagaimana San?”
“Apa bisa kita meninggalkan pesan pada orang di rumah itu bahwa aku mencarinya?”
“Entahlah. Tapi ayo kita coba.”
Setelah itu, aku dan Hyunjin memutuskan untuk kembali ke rumah. Beberapa hari berlalu tapi tak ada kejelasan. Sana ingin kembali ke rumah itu, hyunjin meminta Sana untuk bersabar. Benar saja, sebuah panggilan telfon membuat sana gugup.
“Kenapa?”
“Hari ini, jam 2.”
“Akhirnya san,” Hyunjin memelukku.
“Aku harus ngapain?”
“Tenang, jangan panik. Bukankah ini tujuanmu San.”
Di sebuah cafe.
Aku menatap punggung itu, aku takut sekaligus senang. Ibu aku menemukannya, ucapku dalam hati.
Dia menatapku cukup lama, dia tersenyum dan memintaku duduk.
“Saya Sana,” ucapku dengan nada yang gemetar.
“Saya Kim min soo.”
“Ada perlu apa mencariku?”
Aku menyodorkan sepucuk surat.
“Dimana Riani?”
“Ibu sudah meninggal satu tahun yang lalu.”
“Kamu anaknya? sangat mirip.”
“Iya.”
“Berarti dia sudah menikah lagi?”
“Tidak, ibu tidak menikah lagi.”
Aku menangkap tatapannya, dia sedikit terkejut sekaligus penasaran.
“Kamu lahir tahun berapa?”
“2004.”
Aku tidak tahu apa yang dia fikirkannya, tapi matanya tampak sedih.
“Pantas saja, pertama kali aku menatapmu aku persis melihat Riani pertama kali.”
“Apa paman sudah menikah?”
“Ya, aku menikah satu tahun yang lalu.”
“Hmmm, aku menemuimu bukan untuk mengganggu kehidupanmu. Aku hanya ingin memastikan sesuatu.”
“Apa maksudmu?”
“Ibu tidak bercerita semua tentang ayahku, dia hanya bilang tidak ingin bertemu lagi dan ingin hidup baik- baik saja denganku. Kalau dia masih ada, dia tidak akan mengizinkanku melakukan perjalanan ke sini. Tapi setelah dia meninggal aku memutuskan untuk melakukan apa yang dia larang.”
“Dan ini buku harian ibu. Aku membacanya, dia seperti senang menunggu kelahiranku. Dia berharap bisa bersama ayah yang membesarkanku.”
Dia membuka buku itu lembar demi lembar, sesekali dia tersenyum dan menahan air matanya.
“Dimana kamu tinggal selama di seoul?”
“Di rumah temanku.”
“Apa kau marah jika bertemu ayah?”
“Kenapa marah?”
“Karena aku tidak mencarimu,” ucapnya hingga membuatku tidak mampu lagi membendung air mataku.
“Aku tidak bisa membenci ayah atau ibu. Aku tidak tahu apa yang ibu alami sampai harus berpisah dengan ayah. Dan aku tidak tahu kenapa ayah memutuskan untuk tidak mencariku, itulah kenapa aku mencari ayah sekarang.”
“Aku sangat senang, karena kamu memanggilku ayah.”
"Sebenarnya, ayah dan ibu bertemu ketika melanjutkan studi. Ibumu adalah mahasiswa s2 internasional yang ada di kampus ayah. Ayah jatuh cinta pada ibumu untuk pertama kali karena kecantikan dan baik hatinya. Walaupun di awal kami seperti dua manusia dari dunia yang berbeda, tapi kami sama- sama belajar untuk saling menyeimbangkan. Dan ayah memintanya untuk tinggal bersama, awalnya ibumu menolak baginya jika tinggal bersama maka kita harus menikah. Ayah cukup bingung, orang tua ayah tidak akan setuju. Jadi kami memutuskan untuk mendaftarkan pernikahan secara diam-diam. Dan kami menikah di saksikan oleh teman-teman dan orang tua ibumu saja."
"Tapi di tahun terakhir kuliah, ayah mengalami situasi cukup berat. Masalah keluarga ayah yang cukup rumit, membuat kami tidak bertemu hampir beberapa bulan. Ayah merasa menjadi seorang pengecut karena tidak mengabari ibumu saat itu. Hari itu ayah memutuskan menemui ibumu, dia tengah membereskan semua barangnya untuk berangkat. Ayah memintanya untuk sabar menunggu tapi dia tidak mau. Ayah tahu betapa cemasnya ibumu saat itu, dia bilang dia merasa takut seperti ini. Bagaimana bisa dua orang menikah tanpa ada restu dari orang tua ayah. Ibumu merasa menyesal karena memilih hidup bersama ayah, dia merasa menjadi orang paling gegabah."
"Karena masa studi ibu sudah berakhir dan dia harus kembali ke negaranya. Ayah kehilangan kontak dengan ibumu, sementara untuk alamatnya ayah tidak tahu. Ayah bertanya pada beberapa rekan kuliah, juga tidak tahu alamat persis dimana ibumu tinggal. Hingga setahun yang lalu, ayah putuskan kembali ke kampus dan menanyakan ke pihak universitas apakah bisa mendapatkan informasi alamat ibumu. Mereka memberitahu ayah dan ini surat yang ayah kirim. Ayah merasa ini sangat terlambat menanyai kabarnya tapi ayah masih merindukannya."
“Ayah sungguh menyesal karena tidak mencarimu lebih cepat.”
“Tidak ayah, sejujurnya aku tidak punya keberanian penuh untuk menemui ayah. Aku berulang kali meminta maaf dan meyakinkan diri. Tapi aku merasa senang, karena ayah tidak menolakku, aku sangat senang bertemu ayah.”
Aku memeluk pria yang kupanggil ayah itu, inilah rasanya pelukkan seorang ayah.
“Apakah akhir pekan ini kamu mau pergi kencan dengan ayah?”
“Tapi bukankah itu waktu bersama keluarga.”
“Kau adalah anak ayah itu berarti kau adalah keluarga.”
“Tidak. Maksudku, apakah keluarga ayah tidak marah?”
“Tenang saja, ayah akan memberikan pengertian pada keluarga ayah. Kalau perlu ayah akan memperkenalkanmu pada mereka.”
“Tidak perlu,” ucapku cemas.
“Ayah akan membawamu berkencan ke tempat-tempat dimana ayah dan ibu pergi.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
Akhir pekan yang penuh penantian.
Ayah membawaku ke beberapa tempat yang begitu indah, membuatku membayangkan perjalanan mereka yang begitu menyenangkan. Seandainya mereka masih bersama, apa aku bisa kencan bersama mereka?
Kami pergi makan teokboki, karaoke, memakai hanbok, namsan tower dan terakhir tempat pernikahan ayah dan ibu.
“Apa kau sudah punya kekasih?”
“Tidak, belum.”
“Kenapa? Ayah yakin pasti banyak pria yang mengejarmu.”
“Aku tidak punya gambaran tentang pria yang baik untuk dijadikan pasangan, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu. Tapi ....”
“Tapi ....”
“Setelah bertemu ayah, sepertinya aku menemukan kriteria yang aku inginkan. Karena akhirnya aku menemukan cinta pertamaku.”
“Tinggallah bersama ayah di sini.”
“Tidak, aku harus kembali. Seminggu lagi libur kuliahku berakhir.”
“Kamu bisa melanjutkan kuliahmu disini.”
“Tidak, ayah. Sana ingin mandiri dan banyak kenangan sana disana.”
“Ayah minta maaf.”
“Ayah, aku menemui ayah bukan untuk membuat ayah merasa bersalah. Aku ingin bertemu ayah dan di akui oleh ayah. Ayah jangan pernah menyesal untuk masa lalu yang sudah berlalu. Dan aku yakin ibu tidak pernah membenci ayah. Jika dia membenci ayah, pasti dia sudah membicarakan keburukan ayah atau bahkan membuatku tidak mau bertemu ayah.”
“Jika kau ingin kembali kesini, datanglah ... ayah akan menunggumu atau bahkan ayah akan menjemputmu ke sana.”
“Terima kasih ayah. Terima kasih untuk kencan istimewanya.”
"Aku tahu, cinta ayah dan ibu tidak akan pernah bisa dipatahkan. Meski akhirnya adalah sebuah perpisahan tapi satu sama lain tidak pernah berakhir. Aku bukan tidak membutuhkan ayah, aku sangat ingin bersamamu tapi aku ingin mandiri dan tidak bergantung pada siapa pun. Aku ingin seperti ibu. Aku harap ayah mengerti."
Aku memutuskan untuk kembali ke Indonesia, Hyunjin dan keluarganya mengantarku. Begitu juga ayah, dia membawa istri dan anaknya. Ibu perjalananku tidak sia-sia.