Masukan nama pengguna
Elisa membanting tasnya ke atas meja yang menyebabkan sebagian dari isinya tumpah. Tanpa suara ia menarik sebatang rokok yang sedang kuhisap, lalu ditaruh dengan jari gemetar di bibirnya. Ia baru tampak tenang setelah embusan besar asap keluar dari lubang hidungnya.
Aku menuang bir dingin dari botol ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Selesai ia menyambut gelas itu, minum, dan meletakkannya gelas itu kembali ke atas meja, baru aku bertanya, “Kenapa? Apa dan siapa yang membuatmu kesal sekali?”
“Siapa lagi kalau bukan Wawan.” Jawabnya singkat. Namun aku tahu sebentar lagi dia akan mengeluarkan isi hatinya dengan tak bisa dihentikan. Sudah tabiatnya begitu. Elisa cepat panik, kesal, dan ujung-ujungnya uring-uringan seharian jika tidak dialihkan dari persoalan yang mendatanginya itu.
“Kau tahu ‘kan, Wawan itu sedang menderita kanker kelenjar getah bening. Biayanya besar sekali. Kebetulan Galeri Pulau Menghimbau sedang kesulitan untuk mendapatkan seniman berbakat untuk diminta berpameran di sana. Padahal soal pendanaan, pasar, juga dukungan komunitas, mereka sudah sangat siap. Tinggal bagaimana Wawan saja…”
“Lalu, kau tak berhasil membujuk Wawan, begitu?” Aku menyela.
“Bukan. Bukan itu. Aku sudah bilang ke Wawan soal kesempatan emas itu. Dia juga mau untuk berpameran. Tapi kamu tahu? Dia hanya punya dua belas lukisan yang kesemuanya adalah tentang telur. Telur ayam, telur bebek, telur angsa, telur merak, telur puyuh, dan sebagainya, mungkin kalau dinosaurus masih hidup di bumi ini, aku yakin Wawan akan melukis telurnya! Apa coba hebatnya lukisan telur? Aku minta dia buat lukisan dengan tema yang lain, yang kontemporer atau abstrak, dia tidak mau.”
“Mungkin dia punya filosofi yang kuat tentang telur itu. Apa kau sudah pernah menanyakannya?”
“Sudah. Aku sudah pernah mendebatnya, mengapa dia hanya bertekun melukis telur. Dia bilang kalau telur itu semacam pengalaman pertama yang hadir di antara kita. First impression akan sesuatu hal. Katanya - kita tidak akan pernah tahu, setelah telur itu, apakah ia akan menetas menjadi hal yang baik atau bahkan buruk – padahal dalam kacamataku misalkan telur ayam ya pastinya ia akan jadi ayam, bukan? Tidak akan pernah jadi buaya.”
Aku tersenyum simpul mendengar ocehannya. Ada-ada saja memang, telur sebagai kesan pertama. Namun aku pikir ada benarnya juga pendapat Wawan itu, misalkan kita mendapati telur buaya terus kita tetaskan dan rawat buaya kecil itu sampai dia besar tentu buaya itu tidak akan pernah jadi buas terhadap kita. Artinya telur itu juga memiliki daya tarik kepada yang melihatnya untuk memikirkan akan masa yang akan datang.
“Telur itu harapan, Ale.” Kata Wawan, ketika aku mengunjungi studionya setelah penasaran akan cerita Elisa tentang lukisan-lukisan telurnya.
Wawan tengah melukis lagi imaji dari sebutir telur, entah telur ayam atau telur bebek, dimana telur itu dilukiskan tengah diletakkan di atas kain berwarna emas yang sangat mencolok perhatian.
“Kenapa kau bilang begitu, Wan?” selidikku.
“Ayahku peternak unggas. Itu yang melatarbelakangi mengapa aku tertarik untuk mengabadikan telur di dalam lukisan. Setiap pagi, ayahku masuk ke kandang, memanen telur-telur ayam, sebagian dierami dengan mesin penetas, Sebagian dijual langsung. Siangnya juga begitu dengan telur-telur bebek piaraannya. Telur bagi keluarga kami bukan sekadar hasil ternak tetapi harapan seorang ayah untuk bisa membesarkan anak-anaknya. Jadi bisa dikatakan telur itu adalah hal yang murni yang bisa menjadi apa yang diharapkan. Di sisi lain, jika ternyata di dalamnya tumbuh seekor monster, itu soal lain. Dan kita tidak pernah akan tahu mengenai hal itu.”
Aku menganggukkan kepala, seolah menyetujui pandangannya. Kusapukan penglihatanku pada karya-karya lukisan yang telah dipajang Wawan di dalam studionya, ada lukisan dengan imaji telur di atas kain beludru, telur digulung dengan kerudung, telur di atas kasur, telur di dalam topi, kuhitung ada enam belas lukisan yang semuanya bertema telur.
“Kau tidak ingin melukis hal lain untuk menggalang dana buat kesehatanmu, Wan?”
Mendengar pertanyaanku, Wawan menghentikan aktivitas melukisnya. Dia meletakkan kuas pada paletnya sebelum menoleh kepadaku.
Aku melihat raut wajahnya menegang dengan sorot mata yang berapi-api, sebelum ia dengan suara bergetar namun pelan, “Kau kira lukisan-lukisanku yang sekarang ini tak ada harganya, Ale?”
Ucapannya membuat aku seperti sejenak kehilangan keseimbangan sejenak sehingga terpaksa harus mengubah posisi berdiriku.
“Aku tidak mengatakan demikian, Wan. Elisa sering bercerita betapa sulitnya menjual lukisan-lukisan telur itu. Karena itu aku berpikir hal yang sama dengannya kalau ada baiknya kau harus membuat lukisan yang lain untuk pameran tunggalmu nanti.”
“O, jadi kau ke sini diminta Elisa untuk membujukku melukis hal yang lain selain telur?”
Aku menggelengkan kepala dengan tegas dan mengatakan, “Tidak. Aku tidak diminta Elisa untuk membujukmu. Namun setelah aku lihat lukisan-lukisan telur karyamu maka aku tahu kau memiliki potensi yang lebih daripada yang aku dengar bahwa kau hanya bisa melukis telur, Wan.”
“Potensi? Tahu apa kau tentang potensiku?”
Untuk menjawab pertanyaannya, aku melangkah lebih dekat ke sebuah lukisannya. Tepatnya, lukisan telur yang digulung dengan kerudung.
“Ini, Wan. Aku melihat betapa lihainya kau melukis motif kerudung ini. Begitu hidup seperti benar-benar sebuah foto. Benang-benangnya terlihat halus dan berserat. Kau, Wawan, mampu membuat benda mati seperti punya nyawa dalam lukisanmu! Itu yang kubilang potensi sebenarnya dirimu.”
Aku berkata berapi-api untuk meyakinkannya. Namun Wawan sepertinya bergeming dengan ucapanku.
Lagi, aku bergeser mendekati lukisannya yang memperlihatkan telur di atas kasur.
“Wan. Aku melihat juga kehidupan itu di lukisan ini. Kau menunjukkan bahwa lukisan ini tidak sekadar telur di atas kasur, tapi di dalam lukisan ini, meskipun tidak tampak, ada kehidupan. Kerut dan bercak pada seprai yang kusut, bantal yang tidak rapi, selimut yang dilipat sekenanya. Ini kontras sekali dengan telur yang diam seperti tidak peduli dengan kusutnya keadaan di sekelilingnya. Itu yang aku lihat bahwa kau punya potensi untuk menanamkan jiwa ke dalam sebuah lukisan.”
“Tunggu. Maksudmu, di dalam lukisan-lukisanku itu ada kehidupan di luar telur?”
“Ya! Aku bisa melihat kehidupan di luar telur-telur yang kau suguhkan itu, Wan, dan menurutku itulah potensimu yang sesungguhnya. Kau bisa menciptakan drama di luar apa yang kau sajikan!”
Tiba-tiba kulihat Wawan menyurutkan pandangan. Ia kembali beralih pada kanvas yang tadi ia tekuni untuk dijadikan lukisan telur yang kesekian. Namun ia tidak meneruskan pekerjaannya, melainkan menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya sebelum ia kemudian menggerung, kecewa.
“Berarti selama ini aku gagal, Ale. Aku justru ingin memperlihatkan kehidupan itu tecermin pada telur-telur itu, bukan pada hal-hal di sekelilingnya! Kenapa aku baru menyadarinya? Kenapa aku baru mendengarnya darimu?”
Aku terpaku tidak tahu harus berbuat atau berkata apa dengan keadaan itu. Yang terlintas saat itu hanya keInginan untuk menenangkannya dan sekaligus memaksakan kehendak Elisa pada Wawan untuk beralih melukis obyek-obyek lain sebagai sajian pada pameran tunggal yang hendak digelar.
“Mungkin Elisa kurang mampu mengatakannya hal semacam itu seperti aku, Wan, tapi intinya, kami mendukung keberhasilanmu sebagai seorang seniman berbakat di tanah air ini.” Kataku berusaha menenangkannya.
Wawan masih diam, merenung.
“Jadi, apakah kau akan melukis hal-hal lain selain telur, Wan, untuk pameran tunggalmu di Galeri Pulau Mengimbau nanti?” Akhirnya kutanyakan kepadanya yang menjadi alasanku satu-satunya untuk datang ke studionya seperti diminta Elisa.
Kali ini, dengan muka sayu, Wawan menatapku lekat-lekat, dan masih dengan suara bergetar ia menjawab, "Tidak, Ale. Aku tak akan melukis hal-hal lain. Aku malah ingin memperbaiki lukisan-lukisan telur yang telah kubuat sampai aku mendengar ucapanmu bahwa ada kehidupan yang terpancar dari setiap imaji telur yang kubuat!"
Tangerang Selatan, 1 Mei 2024