Cerpen
Disukai
2
Dilihat
13,347
Ia yang Selalu Membayangkan Kematian
Drama

Karena sama sekali tidak kulihat ekspresinya saat menonton film yang menurutku bagus, kuajak Samira mampir dulu ke sebuah kafe tak jauh dari bioskop. Begitu kami duduk, kucecar dia dengan pertanyaan, ”Bagaimana film tadi menurutmu? Apakah kau menyukainya?”

Seorang pramusaji yang tergopoh datang mendatangi kami, dengan membawa selembar menu, membuat ia tak segera menjawab. Wajahnya berpaling pada pramusaji tersebut sebelum bertanya, “Ada Americano? Saya mau satu. Dingin.”

“Dua!” Kataku dengan cepat.

Kembali pramusaji itu seolah memperlambat ruang percakapan kami dengan bertanya, “Ada lagi, Kak, yang mau dipesan?”

Secara serampangan kutunjuk saja satu porsi kue – entah apa itu – pada lembar menu yang masih dipegang oleh pramusaji itu.

“Satu saja, Kak?”

“Ya, itu saja.” Lagi kuucapkan kata-kata dengan cepat. Tak sabar untuk mendengar kesan Samira terhadap film yang baru kami tonton.

Namun rupanya Samira lebih mementingkan mengucapkan terima kasih kepada pramusaji tersebut dengan raut wajah yang sedikit lebih ceria dibandingkan dengan biasanya.

Baru saja aku berusaha untuk menatapnya dengan tajam, ia telah memantapkan dua buah bola matanya yang selalu terlihat sayu seperti tak punya api hidup itu tertuju kepadaku.

Dan keluarlah kalimat pendek dari mulutnya, “Aku tidak menyukainya.”

Aku membelalakkan mata dan bicara dengan nada kecewa yang sengaja kutinggikan nadanya, “Kenapa? Itu film bagus. Pemerannya terkenal dan piawai berakting semua, jalan ceritanya keren, nyaris tak berlubang. Lalu plot twist-nya, tak terpikirkan, bukan?”

Samira masih memandangku seperti sebuah boneka beruang besar pemberian kekasih yang telah jadi mantan bagi seorang lelaki muda yang baru patah hati. Seolah teronggok begitu saja bahkan minta untuk tidak diperhatikan. Aku harus memancingnya mengeluarkan opininya.

“Kau tahu, Tanju. Dalam setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupku, selalu saja yang terbayang adalah kematian.”

Aku menggelengkan kepala berkali-kali sebelum menyerangnya lagi, “Kita, Samira, baru saja menonton film drama romantis dan tak seorang pun di dalam film itu mati. Mengapa kau berkata seolah kita baru saja menonton film horor?”

Lalu ia bicara panjang lebar yang tentu saja tidak aku perhatikan benar mengingat kedongkolanku juga rasa heran mengapa bisa ada seorang perempuan tidak suka dengan film drama romantis atau barangkali itu hanya alasan saja untuk memintaku menjauh dan tidak mendekatinya lagi. Yang aku ingat, karena berkali-kali ia mengatakan dengan gaya dan tekanan pada kalimat yang sama, adalah memerhatikan seseorang akan mati justru membuat Samira merasa harus makin mengenali orang tersebut dengan cara yang lebih baik lagi.

Obrolan kami terhenti kembali saat pramusaji itu datang membawakan pesanan kami dan benar-benar berhenti karena Samira tampak lebih asyik menyeruput kopinya dalam diam meski aku menawarinya berbagi kue – entah apa yang tadi kutunjuk sembarangan dari menu.

Samira hanya bertanya sesaat sebelum kami pergi dari kafe itu, apakah aku masih mau mengajaknya menonton film lagi di bioskop yang tentu segera aku iyakan meskipun di dalam hati aku tak berjanji untuk melakukannya.

Beberapa waktu kemudian, aku bertemu lagi dengan Samira secara tak sengaja. Kebetulan perusahaan memintaku membuat laporan tentang sebuah pantai yang tiba-tiba dipenuhi oleh limbah pakaian bekas.

Ia menyapaku lebih dulu dan bertanya mengapa aku tidak pernah menghubunginya untuk mengajak nonton lagi. Sebagai jawabannya, tentu saja dengan berbohong, jadwal liputanku diperbanyak untuk menggantikan salah satu staf perempuan yang cuti melahirkan.

“Kukira kau sudah menemukan teman menonton yang lebih asyik daripada aku.” Selidiknya.

Aku hanya terkekeh sebelum menutupi kebohonganku tadi dengan kebohongan lainnya, “Bahkan aku belum sempat untuk menyaksikan film terbaru aktor kesayanganku, Juno Baradian, karena sibuk meliput sana-sini!”

“Astaga! Kau pasti menyesal karena kudengar film itu sudah turun dua hari lalu.” Katanya setengah meledek.

Aku menunjuk sebuah kedai kopi kecil di tak jauh dari pantai dan menawarkan kepadanya untuk singgah minum kopi di sana tetapi ia menampik tawaranku dengan alasan segera kembali ke hotel tempat ia menginap bersama keponakannya.

“Kau sedang liburan?”

“Tidak tepat dikatakan begitu. Kakak iparku diduga mengidap szikofrenia. Ia sering mendengar suara-suara yang memintanya membawa keponakanku, anak satu-satunya, untuk dibawa ke bukit dan digelindingkan dari puncaknya.”

“Jadi, kau diminta membawa pergi keponakanmu itu dari ibunya sendiri?”

Aku tak mendengar ia menjawab, karena angin laut bertiup kencang dan kulihat ia berusaha merapikan rambut ikal panjangnya lalu menepuk pundakku minta izin segera pergi.

Namun sebelum ia pergi, aku bertanya lagi, “Kau masih sering membayangkan kematian?”

Ia mengangguk.

Lama setelah pertemuan itu aku tak mendengar kabar tentang Samira. Seorang perempuan yang ceria bernama Tori datang ke dalam hidupku dan ia seorang penggemar film drama romantis sepertiku.

Tori membuat hidupku berbunga-bunga. Ia sering memuji tindakanku yang menurutku wajar sebagai sikap seorang laki-laki terhadap perempuan seperti menarikkan kursi sebelum ia duduk, membuka pintu mobil sebelum ia masuk, atau sekadar membelikan satu porsi ember besar popcorn rasa karamel sebelum kita masuk ke studio untuk menonton. Seandainya saat Tori tengah memujiku di dekatku ada sebuah cermin, aku bisa melihat wajahku memerah, garis tawaku melebar, dan kuncup hidungku mengembang bersamaan.

Saat kami berdua berada dalam sebuah kafe dan tengah berbincang tentang film yang baru saja kami tonton, lamat-lamat dari meja sebelah kudengar seseorang berkata persis seperti apa yang pernah Samira katakan padaku, “Aku sering membayangkan kematian.”

Entah karena dorongan rasa ingin tahu penjelasannya yang pernah aku abaikan dari Samira, aku berusaha untuk fokus mendengarkan orang itu bicara lebih lanjut. Orang di meja sebelah berkata lagi kepada seorang yang lain yang bersamanya, “Di dunia ini lebih banyak orang yang percaya bahwa hidup itu haruslah diraih dengan segala daya upaya. Karenanya banyak juga orang yang tidak lagi berusaha untuk hidup, tetapi lebih dari itu mereka mengingin keberlimpahan baik materi maupun kuasa. Tujuannya? Untuk menguasai manusia-manusia lainnya. Sudah terlalu banyak orang yang sengsara dan akhirnya mati karena nafsu orang lain. Dan kematian sudah jadi hal yang lumrah di mana-mana, dalam sejarah peradaban manusia. Karena itu, aku lebih sering membayangkan kamu mati.”

Kudengar orang yang bersamanya menimpali perkataannya, “Jadi kamu membayangkan aku mati, apakah maksudnya kamu ingin aku mati?”

“Bukan. Bukan begitu cara berpikirku.”

“Lalu bagaimana? Perkataanmu agak sulit kucerna.”

Mau tak mau saat orang tersebut menjawab pertanyaan itu, aku melihat ke arahnya, karena jawabannya persis sama dengan apa yang pernah Samira katakan padaku bahwa dengan membayangkan orang yang bersamanya itu mati, maka setiap kali ia akan berusaha untuk mengenali, mengakrabi, menghargai kebersamaan mereka dengan lebih baik dan lebih baik lagi.

Namun ternyata orang yang tengah berbicara itu adalah seorang pria. Ia berbicara dengan seorang pria juga. Mungkin kolega atau temannya, atau bahkan pacarnya, aku tak memedulikannya saat menghampiri mereka berdua dan bertanya kepada yang baru saja bicara, “Maaf jika mengganggu. Apakah kau mengenal seorang perempuan bernama Samira? Karena dari pembicaraanmu tadi - yang maaf aku tak sengaja mendengar - persis sama dengan yang pernah Samira katakan kepadaku.”

“Ah. Kau Tunja?” Pria tersebut balik bertanya.

“Tanju.”

Pria itu mempersilakan aku duduk bersama mereka, dan ketika kulirik mejaku, Tori pun berdiri ingin turut serta dalam pembicaraan kami.

“Aku Samiri. Kakak Samira.” Pria itu mengulurkan tangan untuk menjabat tanganku. Aku pun menyambutnya.

“Pantas saja. Kau bisa bicara hal yang sama dengannya.” Lalu kemudian kutanyakan padanya, “Di mana Samira? Aku sudah lama tak mendengar kabarnya.”

Pria itu terdiam sejenak lalu bertanya setelah ia mengubah posisi duduknya dengan lebih condong ke arahku.

“Kau tak mendengar kematiannya?”

Aku tergagap namun masih dapat kudengarkan ceritanya bahwa Samira menjadi korban dari istri Samiri yang mengira Samira adalah kalongwewe yang telah menculik anaknya.

Saat itu menjelang malam, Samira membawa pulang keponakannya karena ia mendapat kabar bahwa Samiri telah pulang ke rumah dan berhasil menenangkan Ara, istrinya itu, yang seharian dirasuki pikiran untuk membawa anak mereka ke puncak bukit dan menggelindingkannya dari sana.

Namun sesampainya di rumah Samiri, yang ditemui justru Ara yang tiba-tiba histeris dan mengira dirinya kalongwewe yang telah menculik anaknya. Mungkin karena rambut Samira tergerai tak beraturan akibat angin laut yang kencang waktu itu.

Ara mengambil apa saja untuk dijadikan senjata memburu Samira. Dilempari aneka benda membuat Samira lari dan karena kurang hati-hati ia terpeleset, terguling di tangga, lalu kepalanya terantuk sudut meja marmar.

Setelah mendengar kisah tragis Samira, tiba-tiba aku memandangi Tori dengan cara yang berbeda. Aku melihatnya sebagai Tori yang kelak mati sehingga aku akan berusaha mengenalinya dengan lebih baik setiap waktu.

 

Tangerang Selatan, 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)