Masukan nama pengguna
“Ambil dua kilo sekalian ya? Bantu saya. Soalnya, Cipta gak jadi beli.” Begitu bujuk Rindi padaku melalui telepon.
Aku terdiam sejenak sebelum dengan lirih kukatakan padanya, “Oke. Aku ambil dua.”
Rindi langsung menyambut ucapanku dengan rangkaian kalimat, “Gitu dong! Bantu teman. Lagi pula tahun lalu kamu juga beli dua kilo bahkan mau nambah karena katanya, siapa itu anak sulungmu? Rachel? Suka sekali dengan rendang buatanku.”
“Ya. Rachel sangat suka dengan rendang buatanmu. Dia bisa tahan tiga kali makan dengan lauk rendang saja setiap hari selama beberapa hari.”
“Nah, ‘kan. Pas dong, ya! Totalnya delapan ratus ribu ya.”
“Kok naik? Biasanya sekilo cuma tiga ratusan?”
“Kamu gak tahu kalau daging sapi sekarang sudah seratus empat puluhan.”
Aku mengela napas panjang sejenak. Sebenarnya, keluargaku tidak merayakan Idul Fitri, karena kami bukan muslim. Kebiasaan kami membeli rendang dari Rindi menjelang lebaran awalnya dari promosi Rindi tentang resep turun temurun keluarga besarnya dalam membuat rendang daging sapi yang berbeda dengan rendang-rendang lainnya bahkan di rumah makan padang di seluruh Jakarta ini. Ditambah lagi dengan ceritanya bahwa ia berjualan rendang itu untuk membantu ibunya bisa mendapatkan tambahan dana untuk membeli tiket pesawat ke Padang.
Kombinasi yang menarik antara promosi dan permintaan bantuan itu membuatku membeli rendang dari Rindi sebanyak satu kilo. Yang tak disangka, Rachel, putriku sangat menyukainya sehingga tahun berikutnya, tanpa diminta oleh Rindi, aku membeli lagi rendang darinya. Waktu itu langsung dua kilo. Hal itu berlangsung sampai dengan dua tahun lalu, saat aku memutuskan untuk pindah kerja dan mukim di kota lain di pinggiran Jakarta.
Suara Rindi di seberang telepon membuyarkan lamunanku.
“Bagaimana?”
“Ya udah delapan ratus, tapi bisa gak, gak usah pakai ongkir?” Jawabku dengan maksud meminta keringanan.
"Gampang itu. Nanti Mas Eko aku suruh anter ke rumahmu. Di mana? Serang?”
Sebelum aku menjawab, Rindi masih melanjutkan bicaranya, “Di WA aja alamat lengkapnya, ya! Terima kasih lho.”
Selepas pembicaraan tersebut, aku bangkit ke meja makan dan melihat nyaris tak ada apa-apa untuk makan siang anak-anakku yang sebentar lagi pulang sekolah. Buru-buru aku balik badan mengarah ke luar rumah untuk berbelanja di warung Pak Soleh, sekadar tempe atau tahu dan seikat sayur kangkung. Melewati ruang tamu, sekilas kulihat foto Risto, almarhum suamiku, yang baru meninggal tiga bulan lalu karena sakit lambung akut.
Ketika keesokan hari, Mas Eko, suami Rindi, mengantarkan rendang pesananku, Wina, tetangga depan rumah, terlihat penasaran. Ia beberapa kali kupergoki mondar-mandir di depan rumahnya sambil sesekali melongok ke rumahku. Untunglah Mas Eko tidak sampai lima menit berbasa-basi denganku. Statusku sebagai janda baru sudah pasti akan dijadikan gunjingan tetangga kalau ada lelaki yang mampir ke rumah.
Setelah Mas Eko berpamitan, aku mengantarnya keluar dan selepas sepeda motor Mas Eko melaju, aku sengaja berlama-lama untuk mencari tahu apa yang ada di pikiran Wina. Aku sapa saja dia dengan bertanya, “Sedang menunggu tukang sayur, Mbak?”
Wina menjawab dengan gaya yang aku tahu pasti dibuat-buat untuk menunjukkan keramahan, “Enggak. Cuma pengin tahu Adli lagi main di mana? Soalnya dari tadi itu anak bolak-balik keluar masuk rumah.” Adli adalah anaknya yang paling kecil. Sebaya dengan Ora, anakku nomor dua.
Belum lama dari mulutnya terkatup, Wina sudah bertanya padaku, “Siapa tadi, Mbak? Temen?”
Tebakanku tepat, dia berusaha mengorek keterangan tentang Mas Eko. Maka kujawab dengan jujur, “Oh. Itu suami dari teman kantorku dulu. Ini, dia antar pesananku.” Aku mengacungkan dua kantung plastik berisi rendang kepada Wina.
“Apa itu?”
“Ini kesukaan Rachel. Teman di kantor lamaku itu kalau menjelang lebaran selalu membuat rendang. Dan Rachel suka sekali dengan rendang buatannya. Mbak Wina mau cicip? Siapa tahu kapan-kapan bisa pesan juga ke dia.”
Dia melambaikan tangan dan menggelengkan kepalanya bersamaan. “Gak usah. Gak usah. Nanti Rachel marah lagi rendangnya dibagi-bagi ke Adli.”
“Gak apa-apa. Nanti aku ambilkan tempat dulu ya. Sebentar.” Aku pamit untuk masuk ke dalam rumah mengambil piring untuk membagi rendang itu pada Wina. Kudengar teriakannya ‘terima kasih!’ ketika aku membalikkan badan.
Ketika kuberitahu pada Rachel sepulang dia dari sekolah bahwa ada rendang kesukaannya, Rachel terlihat tidak begitu senang, Bahkan ia melarang Ora untuk menyentuh rendang yang telah tersaji di meja makan itu.
“Jangan dimakan, Dik!”
“Kenapa, bukannya itu lauk buat kita, Kak?”
Percakapan mereka, yang kudengar dari kamar, segera pecah menjadi pertengkaran kecil. Aku pun merasa perlu untuk datang ke ruang tengah untuk menengahi pertengkaran yang terjadi antara kedua buah hatiku itu.
“Ada apa ini, kok kalian ribut? Rachel, Ora, kenapa tidak makan?”
“Itu, Kakak melarangku makan rendang.”
“Lho, kenapa Rachel?”
Rachel terlihat murung dan menumpahkan tangisnya. Aku membiarkannya sejenak, sementara Ora terlihat kebingungan dengan sikap kakaknya.
“Mama ‘kan bilang kita harus berhemat karena Papa sudah meninggal dan Mama juga bulan lalu kena PHK. Itulah kenapa Rachel tidak mau makan rendang dan melarang adik Ora juga makan rendang.”
Kali ini aku yang merasa harus menangis. Rupanya anakku sudah mulai memahami kesulitan yang tengah menghimpit kehidupan keluarga kecilku ini. Namun, aku tidak boleh menjadi lemah di hadapan mereka.
Kukuatkan hatiku dan pikiranku untuk bisa berkata, “Tidak apa-apa, Nak. Makan saja rendang itu. Mama tahu kamu suka itu. Lagi pula, sudah lama kalian tidak makan enak. Tentang rezeki, percaya saja kepada Tuhan. Kalau kalian rajin berdoa, pasti ada jalan bagi Mama untuk bisa segera mendapat pekerjaan.”
Rachel bangkit dari duduknya dan menghambur untuk memelukku. Ora pun mengikuti apa yang diperbuat kakaknya. Kami bertiga berpelukan dan menangis.
Dalam tangisannya, kudengar Rachel bicara, "Bagaimana jika aku ambil sedikit rendang itu untuk kubagikan ke teman-temanku? Kalau mereka suka, aku minta mereka beli ke Mama. Jadi Mama bisa dapat uang dari rendang yang dibeli."
Aku mengangguk saja. Untuk membahagiakan dia. Namun, ia ternyata benar-benar melakukan apa yang dimauinya itu. Rachel minta aku menyimpan saja rendang yang satu kilo karena itu yang ingin dijual kepada teman-temananya. Paginya, ia membawa sedikit rendang untuk dicicipi oleh teman-temannya di sekolah.
Dan benar saja, sore harinya Rachel memberi tahu kepadaku bahwa ia harus membagi empat rendang yang dimintanya aku simpan.
"Itu pun belum semua, Mam, dari teman-temanku yang ingin membelinya. Kalau mereka yang pesan sudah bayar, mungkin Mama bisa telepon Tante Rindi untuk membeli satu atau dua kilo lagi rendangnya." Katanya sambil tersenyum bahagia.
Aku pun ikut tersenyum melihat kebahagiaannya.
Tangerang Selatan, April 2024