Cerpen
Disukai
0
Dilihat
9,287
Waktu yang Tepat
Romantis

Rani sudah lelah karena cintanya selalu tak terbalas. Dari SMP hingga saat ini menginjak perguruan tinggi, cintanya selalu berujung luka. Awalnya saja dipenuhi dengan indahnya harapan pada orang tertentu, namun akhirnya dikecewakan oleh kenyataan.

Kini dia sadar bahwa harga dirinya lebih berharga daripada rasa cinta yang belum waktunya, sehingga dia memilih untuk memendam rasa diiringi oleh doa. Dia tidak ingin kisah kisah terdahulu terulang lagi yang mana dia selalu diabaikan oleh orang yang ia cinta, padahal dia sudah memberi banyak kode sampai ada teman yang menjadi perantara untuk mengungkapkan perasaanya.

Saat ini dia juga beryukur karena dulu cintanya tak terbalas, coba kalau terbalas, mungkin saja dia sudah terbiasa berhubungan haram atau biasa disebut dengan kata pacaran.

Sinar matahari menyapa alam. Rani keluar dari gerbang rumahnya sudah memakai gamis hitam, pashmina abu muda, ransel navy, dan tak lupa kacamata bulatnya. Rani memberhentikan taksi yang lewat.

Akhirnya Rani tiba di kampus. Saat melewati koridor, dia malah berpapasan dengan Adit laki laki yang ia cintai. Adit adalah teman satu organisasi hima yang beda kelas dengannya, dia terkenal di kampus karena pernah menjadi ketua hima. Adit dan Rani saat ini sudah demis karena telah memasuki semester 7 dan sedang fokus skripsi. Keduanya sudah lama tak bertemu sehingga sama sama canggung kalau bertemu.

Jantung Rani berdebar kencang, mereka saling senyum tanpa menyapa karena Rani langsung menunduk dan meninggalkan Adit. Adit yang melihat tingkah Rani merasa heran kemudian tersenyum dan meninggalkan tempat itu.

Pulang kuliah, Rani kerja kelompok di kelas bersama 4 teman kelasnya.

"Guys guys liat SW Adit, ini pacar Adit bukan si?" tanya Lia sambil menunjukkan gawai ke 4 teman kelompoknya, termasuk Rani.

Jantung Rani tersentak, untung saja dia bisa menyembunyikan kekagetannya dengan hanya memperbesar bola matanya dan semua temannya hanya fokus melihat gawai.

"Ah, masa si? Bukannya dia jomblo fisabilillah ya?" tanya Rendi.

"Kata siapa?" tanya Giska.

"Kata Alex, sahabatnya," jawab Rendi.

"Eu... tapi semua orang kan bisa berubah, lagian kan Alex bilangnya dulu," tambah Lia.

"Lagian lo kenapa gak tanya langsung aja tadi ke Alex pas masih di kelas?" tanya Giska.

"Lupa hehe, baru inget sekarang."

"Udah udah, mending sekarang kita kerjain nih tugas, malah ngegosip!" titah Doni.

"Iya, lebih baik kita kerjakan tugas saja," tambah Rani dengan wajah datar.

"Hmm iya juga ya, mana besok deadlinen-nya, ya udah deh ayo," ajak Lia.

Mereka kembali fokus mengerjakan tugas.

"Hmm padahal ngegosip asik," ujar Lia pelan.

"Rinaaa fokusss!!" protes Giska.

Akhirnya tugas kelompok selesai, tepat pada pukul 14:00 WIB. Mereka pulang ke rumahnya masing masing, kecuali Rani yang mampir dulu ke taman dekat rumahnya.

Dia melamun di taman dengan wajah sedih. Kemudian dia mengeluarkan cermin dari tasnya lalu menatap wajahnya.

"Hmm pantesan Adit bersama perempuan lain, ga mungkin lah dia milih perempuan kaya aku," ucap Rani dalam hati sambil memegang cermin.

"Astagfirullah Rani ... ga boleh insecure, wajah kamu ciptaan Allah!" tambahnya dalam hati dan langsung menyimpan kembali cerminnya ke dalam tas.

Dia kembali fokus memandangi kolam ikan yang bersih dengan wajah sedih.

Tiba tiba, sahabat satu kompleknya, Diah yang kuliah di univ yang berbeda, mengagetkannya.

"Dor!"

"Lah? Ko gak kaget?"

"Ran, Ran."

Diah menepuk pelan pundak Rani, tapi dia masih belum sadar dari lamunannya.

"Ran!" ujar Diah lebih lantang sambil menepuk pundak Ranu

"Iya? " tanya Rani kaget.

Diah duduk di samping Rani

"Kenapa si kaya yang bete gitu?"

Rani menunduk sedih kemudian spontan berbicara..

"kenapa ya kisah cinta aku selalu sedih?"

Diah terkejut

"Oh ... kamu lagi suka sama seseorang? Siapa?"

"Maaf Di, aku ga bisa kasih tahu kamu dia itu siapa, karena aku pengen cuman aku dan Allah saja yang tahu."

"Ya udah kalau itu mau kamu, tapi kalau kamu mau cerita tanpa menyebutkan namanya boleh banget loh, barangkali aku bisa ngasih saran atau solusi."

Rani menceritakan alasan kesedihannya.

"Tapi kan belum tentu itu pacarnya, kalau benar pacarnya juga itu kan baru pacar, sedangkan jodoh kan Allah yang ngatur."

"Iya si."

"Udah udah, aku tahu kamu sedih Ran, tapi jangan berlebihan karena yang berlebihan itu ga baik, tenangin diri kamu dengan Alquran dan doa ya."

"Makasih ya Di," ujar Rani sambil tersenyum ke Diah.

Diah membalas senyumnya.

"Gitu dong, senyum."

Malam hari tiba, Rani mengangkat telapak tangan, berdoa di atas sajadah masih mengenakan mukena.

"Ya Allah sebelumnya terimakasih karena engkau masih memberi kesempatan hamba kekuatan di tengah tengah sakitnya hati, ditengah terpendamnya perasaan ini, hamba mohon ya Allah tenangkan hati ini, jangan sampai hamba mudah berprasangka buruk apalagi sampai tak bersyukur atas ciptaanmu, jangan sampai pula hamba terlalu berharap kepada selain engkau ya Allah. Ya Allah jika Adit jodoh yang baik untuk dunia akhirat hamba, dekatkanlah kami di waktu yang tepat. Tetapi jika kami tak baik untuk berjodoh maka jauhkanlah kami dan hilangkanlah perasaan ini ya Allah. Ya Allah sang pemilik hati hamba mohon kuatkan hati ini, Aamiin. "

Tak terasa waktu berjalan begitu cepat, saat ini Rani sudah lulus dan bekerja menjadi staf marketing di salah satu perusahaan kain. Perasaanya masih seperti dulu, bedanya kali ini dia semakin overthinking karena Adit belum mengunjungi rumahnya. Hah? Mengunjungi? Jangankan mengunjungi, mereka sudah lama tak bertemu, bahkan sampai saat ini Rani belum tahu apakah Adit punya perasaan yang sama dengannya atau tidak. Terkadang, Rani berpikir, apakah dia ungkapkan saja perasaannya? Karena insya Allah dia sudah siap menikah. Tapi rasa trauma atas cinta bertepuk sebelah tangan yang waktu sekolah dulu selalu membuatnya mengurungkan niat.

Malam minggu tiba, dia memutuskan untuk menelpon teman yang dulu sekelas dengan Adit yaitu Amel. Dia berniat untuk menjadikan Amel perantara ungkapan perasaanya ke Adit, karena setelah sholat istikharah dia yakin bahwa ini cara yang tepat. Dia yakin Amel itu perantara yang baik karena dia sudah menikah dan dia teman baiknya pas dulu di hima. Dia sudah siap dengan segala jawabannya, yang terpenting dia sudah berdoa dan berusaha. Rani juga yakin bahwa Adit bisa memjadi imam yang baik. Soal fotonya dulu bersama perempuan lain, ternyata itu kakak perempuannya yang kuliah di luar negeri, Rani mendapat berita tersebut dari gosip teman teman satu kelasnya.

Rani duduk di kasur kamar sambil memegang gawai. Belum menelpon Amel, tiba tiba ada pesan whatsapp dari Adit.

"Assalamualaikum Ran, maaf jika mengganggu malam malam, masih inget aku kan? Besok kamu dan keluarga ada di rumah ga Ran? Aku mau membicarakan sesuatu sama kamu dan keluarga sambil silaturahmi juga."

Bola mata Rani membesar. Dia kaget sekaligus bahagia.

"Tenang Ran.... kamu jangan berharap dulu," ujar Rani dalam hati.

Dia mengetik gawai dengan gugup.

"Waalaikumsalam, ada dit."

"Alhamdulillah, makasih Ran."

"Iya sama sama Dit."

Keesokan harinya, Rani dan kedua orangtuanya menunggu kedatangan Adit di ruang tamu. Rani merasa gugup.

Beberapa menit kemudian ada yang mengetuk pintu.

"Assalmualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab semua yang ada di ruang tamu.

Ibu Rani membuka pintu lalu mempersilahkan Adit masuk. Adit masuk sambil mengucapkan salam

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, " jawab ayah dan Rani sambil berdiri.

Kemudian Adit Langsung mengatupkan tangan ke arah ibu sambil tersenyum lalu mencium tangan Ayah. Ibu pun mempersilahkan Adit duduk.

Adit duduk di depan ayah. Sementara Rani dan ibu duduk di kursi yang ada di sampingnya.

Adit menunduk merasa gugup, sama seperti Rani. Ibu mengerutkan kening melihat tingkah aneh kedua pemuda itu. Ayah mengerutkan kening melihat Adit. Kemudian ibu mencoba membuka pembicaraan.

"Silahkan diminum tehnya dulu, nak," tawar ibu dengan ramah.

"Terimakasih Bu, " jawab Adit sambil tersenyum ke arah Ibu lalu mengambil gelas teh.

"Saya minum, Pak, Bu," ujar Adit sambil menatap ayah dengan ramah.

"Oh iya silahkan nak," jawab ayah.

Adit menyeruput teh lalu menyimpan kembali gelasnya di meja.

"Bapak, Ibu bagaimana kabarnya? Euu Rani juga bagaimana kabarnya Pak, Bu?" tanya Adit sambil menunduk.

"Alhamdulillah kami baik," jawab ayah, ramah.

Hening.

"Jadi?" tanya ayah sambil menatap Adit dengan serius.

"Aduh... ko Ayah serius gitu ya? Kasian Adit," ucap Rani terlihat khawatir. Bola matanya sesekali melihat ke ayah, sesekali ke Adit sambil sedikit menunduk

"Euu.. maaf Pak, Bu. Eu... maaf jika kedatangan saya menganggu," ujar Adit, sesekali menunduk, sesekali memperhatikan lawan bicaranya.

"Sama sekali tidak nak," jawab ibu.

Tak lama Adit memberanikan diri menatap ayah dengan gugup.

"Pak, Bu, Kedatangan saya ke sini bermaksud untuk melamar anak Bapak dan Ibu," jujur Adit sambil menatap ayah dengan ramah

Rani kaget, bola matanya membesar. Sedangkan kepalanya masih sedikit menunduk

"Kenapa Ananda berniat melamar anak saya?" tanya ayah Rani semakin serius

Adit kembali menunduk

"Karena sebenarnya saya sudah memendam perasaan cinta ke anak Bapak dari waktu kami masih kuliah dan saya yakin Rani orang baik."

ayah tersenyum.

"Bapak setuju karena Bapak sudah tahu tentang kamu dari Rani pas malam. Bapak yakin kamu juga orangya baik, " jawab bapak sambil menatap Adit dengan Ramah.

Adit terkejut sekaligus senang.

"Bagiamana bu? Dan kamu Ran? tanya ayah.

"Alhamdulillah Ibu setuju, kalau kamu bagaimana nak?"

Rani menganggukkan kepala sambil tersenyum.

"Alhamdulillah ...." ujar Adit sambil tersenyum ke ayah dan ibu lalu mencium tangan ayah

"Terimakasih Pak, terimakasih."

Quotes: Bukanya tak ada apalagi tak berharga, namun akan tiba waktunya datang seseorang yang membuat kita merasa berharga.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)