Masukan nama pengguna
Jika sepuluh tahun kemudian aku masih mencintaimu.
Akan kukatakan melalui sebuah surat cinta.
Akan kuberikan langsung kepadamu,
dan kau boleh membacanya saat itu juga.
Aku tak akan meminta jawabanmu.
Aku tak akan mengharap balasan cintamu.
Aku hanya ingin jujur kepadamu dan kepada diriku.
Bahwa jika sepuluh tahun kemudian,
aku masih memiliki rasa cinta itu untukmu.
Berarti kamu adalah cinta pertamaku.
Anissa Nabila, Puncak, 1 Juli 2009.
● ● ●
Anissa membaca kembali tulisan di buku hariannya yang mulai usang. Sebuah tulisan yang berisi pernyataan perasaannya. Saat itu, dia jatuh cinta pada seseorang tapi dia tak meyakini bahwa itu adalah sebuah cinta pertama. Tidak, dia tak ingin meyakini secepat itu. Karena dia merasa, perasaan itu hanyalah cinta sesaat, seperti yang dialami para remaja umumnya.
Kala itu, Anissa masih berumur 13 tahun dan duduk di bangku SMP. Dia bertemu dengannya pertama kali saat kelas 2 SMP karena mereka sekelas. Laki-laki itu baik, tentu saja! Namun, bukan kebaikannya yang membuatnya jatuh hati, tetapi, senyumannya! Terdengar klise memang, tapi beberapa orang pasti mengalami hal itu. Jatuh cinta pertama kali pada pandangan pertama karena sebuah senyuman.
Sejak saat itu, Anissa selalu memperhatikan dirinya diam-diam di kelas. Terkadang laki-laki itu menangkapnya sedang memperhatikannya dan dengan malu-malu, Anissa langsung berpaling. Sering kali, Anissa mencoba mengajaknya berbicara dengan alasan ingin meminjam catatannya atau sekadar menanyakan pelajaran yang tidak dimengerti.
Laki-laki itu adalah Adrian. Dia hanyalah murid biasa, cukup tampan, tidak sedikit yang menyukainya. Namun, entah kenapa Anissa tak merasa tersaingi oleh mereka yang menyukai dirinya. Baginya, memandangnya diam-diam, tersenyum kepadanya dan memiliki rasa suka padanya tanpa ingin memilikinya, itu sudah cukup. Katakanlah dia naif, karena mana mungkin ada perasaan cinta yang tak ingin memiliki?
Bila orang menganggap cinta dalam diam itu menyakitkan. Namun, tidak untuk Anissa. Dia cukup bahagia memiliki perasaan yang hanya untuk dirinya sendiri. Persepsi orang berbeda menyangkut cinta dan Anissa menilai, jika bahagia itu kita yang ciptakan sendiri, kenapa harus menyakitkan mencintai seseorang dalam diam? Anggap saja perasaan cinta itu sebuah kebahagiaan, meski harus dalam diam.
Perasaan cintanya semakin besar seiring waktu. Saat kelas 3 SMP Anissa tak lagi sekelas dengan Adrian. Namun, dia masih mengaguminya, karena dia masih bisa memandangnya diam-diam Hingga saat acara perpisahan sekolah tiba. Acara itu diadakan di Puncak, Cisarua, Bogor.
Perpisahan sekolah itu adalah kesempatan terakhir Anissa, apakah akan jujur kepada Adrian atau tidak? Dia memutuskan untuk sebisa mungkin menghabiskan waktu bersama laki-laki itu. Entah memang kehendak Tuhan atau memang doanya dikabulkan. Anissa tanpa sengaja memiliki waktu bersama dengannya saat jalan-jalan ke Puncak.
Masih terekam jelas dalam ingatannya, malam terakhir di villa. Anissa sedang menikmati malam itu dengan duduk-duduk di teras depan yang cukup luas. Beberapa temannya membuat api unggun tak jauh dari tempatnya berada. Dia, Adrian, tiba-tiba datang menghampirinya. Anissa tentu saja terkejut, tak menyangka laki-laki itu akan menghampirinya.
“Anissa, kan?” ujarnya tiba-tiba kemudian duduk di sampingnya.
“Eh, iya. Kamu ingat namaku?”
“Ya tentu saja ingat. Kita, kan, pernah sekelas dulu.” Adrian tersenyum. “Sendirian aja? Boleh kutemani?” tanyanya melanjutkan. Anissa mengangguk dan tersenyum kepadanya.
Suasana menjadi canggung. Baik Anissa mau pun Adrian saling diam cukup lama. Anissa masih bingung dengan keputusan untuk jujur padanya atau tidak tentang perasaannya. Setelah sekian lama berpikir, dengan Adrian duduk di sampingnya. Dia memutuskan untuk tak mengatakan tentang perasaannya. Bukannya dia tak ingin jujur, tapi, dia ingin memastikan perasaannya ini apakah memang sebuah cinta pertama atau hanya cinta sesaat. Malam itu, Anissa membuat keputusan untuk bersabar pada hatinya. “Jika sepuluh tahun lagi aku masih memiliki perasaan yang sama padamu, akan aku katakan langsung kepadamu,” batinnya sambil memandang lekat sosok Adrian.
Selepas perpisahan dan kelulusan SMP. Anissa harus mengikuti kedua orang tuanya pindah ke Yogyakarta. Dia tahu, mungkin tak ada kesempatan untuk bertemu dengan Adrian lagi. Dia tetap tak menyesali keputusannya untuk tidak jujur kepadanya. Dan kepindahannya ke Yogyakarta membuat dirinya dengan laki-laki itu hilang kontak. Adrian tetap di Jakarta, sedangkan Anissa sudah cukup jauh darinya.
● ● ●
Kini, di sinilah Anissa, Sepuluh tahun kemudian. Sambil memegang secarik kertas yang membuatnya kembali mengingat masa SMP dan laki-laki itu. Perasaan menggebu dan menggelora berdebar di hatinya ketika mengingatnya. Apakah dia masih memiliki perasaan yang sama kepadanya?
Secarik kertas itu bukanlah sobekan dari buku hariannya. Melainkan sebuah undangan. Bukan juga sebuah undangan pernikahan. Secarik kertas itu adalah undangan sebuah acara Reuni Akbar.
SMP DHARMAWANGSA mengadakan REUNI AKBAR
Untuk semua ALUMNI seluruh ANGKATAN
Bertempat di:
BALAI SUDIRMAN.
Tanggal dan Waktu:
1 Juli 2019, Pukul 19.00 WIB - hingga selesai.
Anissa menatap lekat secarik kertas itu, yang entah bagaimana secara magis membawanya kembali pada ingatan sosok yang pernah membuatnya jatuh cinta. Dan anehnya, hatinya berdesir kembali persis pada seperti pertama kali dia menyukai laki-laki itu.
Dia tak menyangka, sepuluh tahun kemudian, dia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Adrian. Tentu saja ini masih kemungkinan, karena belum tentu laki-laki itu akan datang ke acara reuni tersebut. Meski hatinya berdesir mengingat kembali dirinya, Anissa ingin memastikan. Apakah masih akan merasakan debaran yang sama jika bertemu langsung dengannya?
Karena kini Anissa kembali tinggal di Jakarta, dia memutuskan untuk datang ke acara reuni tersebut. Dengan atau tidak hadirnya Adrian, dia persiapkan sebuah surat cinta. Anissa tidak bisa memastikan Adrian akan datang atau tidak. Namun, dia tetap akan persiapkan surat tersebut. Berjaga-jaga jika memang Adrian akan datang dengan kemungkinan debaran yang sama dirasakannya saat bertemu langsung dengan dirinya.
Hari ini, tepat sepuluh tahun kemudian. Anissa menghadiri acara Reuni Akbar yang diselenggarakan SMP DHARMAWANGSA. Kini, dirinya bukanlah Anissa Nabila yang dulu. Sejak lulus SMA dia memantapkan diri untuk berhijab. Dan sekarang yang hadir adalah seorang Anissa Nabila dengan balutan gamis putih gading keperakkan hingga melewati mata kakinya dan sebuah kerudung indah melingkar menutupi kepalanya.
Anissa memasuki Balai Sudirman dengan sebuah surat cinta di dalam dompet kecilnya dan hati yang berdebar-debar. Apakah dia datang ke acara ini? Apakah aku masih akan merasakan debaran itu? Semua pertanyaan itu bernyanyi di pikirannya. Dia melihat ke seluruh ruangan. Tampak wajah-wajah yang asing atau dia mungkin sudah melupakan wajah teman-teman SMP-nya. Dia mencari-cari sosok Adrian. Herannya, Anissa masih mengingat jelas wajah tampannya.
“Hei! Ica, kan? Anissa Nabila?” sapa seseorang sambil menepuk bahunya. Anissa mencoba mengingat siapa gerangan dirinya. Wanita itu juga berhijab.
“Ca! ini aku, Adela! Kamu dulu biasa panggil aku Lala, padahal teman-teman manggil aku Adel!” Wanita berhijab itu yang bernama Adela menjelaskan.
“Astaghfirullah! Lala? Lala Adela?”
Adela mengangguk. “Aku hampir nggak ngenalin kamu loh, Ca! Kamu cantik banget berhijab.”
“Ih Lala! Kamu juga cantik berhijab!”
“Masih aja deh kamu manggil aku Lala.”
Anissa dan Adela tertawa bersama. Adela, atau yang sering dipanggil Lala adalah sahabat Anissa waktu di SMP dulu. Kini, mereka sama-sama berhijab.
“Eh Ca! Dia datang, loh, ke acara ini. Cowok yang pernah kamu suka dulu.”
Anissa senang bukan main. Memang cuma Adela yang tahu dirinya menyukai Adrian.
“Dia beneran datang? Kok aku enggak lihat dari tadi, ya?”
“Dia udah datang dari tadi, sekarang lagi ngobrol sama teman-temannya yang dulu. Tuh, di sana!”
Anissa melihat ke arah yang ditunjuk Adela dan benar saja dia ada di sana. Sosok yang pernah membuatnya jatuh cinta. Ah tidak, sepertinya dia masih jatuh cinta padanya. Karena kini dia merasakan hatinya berdebar sangat hebat. Sebuah debaran yang sempat hilang, dalam sekejap muncul kembali di saat dirinya melihat langsung sosok Adrian dengan kedua matanya. Bukan hanya gambaran sebuah ingatan.
Anissa tersenyum senang. Debaran itu masih sama. Perasaan itu meski sempat hilang, tetapi, dia tak pernah lupa rasanya. Dirinya pun membatin, “aku masih memiliki perasaan yang sama untuk dirinya. Aku masih jatuh cinta padanya.” Dibuka dompet kecilnya lalu dia mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna jingga.
“La, aku permisi dulu ya. Mau ke sana.”
“Cieee … mau nyamperin mantan gebetan ya?”
“Ih kamu apa-apaan sih!”
Anissa tak menggubris ledekan Adela. Langkah kakinya dengan mantap menuju ke tempat diri Adrian berada. Pelan-pelan semakin mendekatinya. Adrian melihat Anissa berjalan mendekat padanya. Anissa menyadari hal itu dan hatiknya semakin berdebar, perasaan itu muncul kembali. Semakin mendekat padanya semakin besar dirasakannya. Hingga akhirnya dia tepat berada di hadapan laki-laki itu. Baru saja dia ingin menyapanya, tapi Adrian berbicara duluan.
“Kamu? Anissa, kan?”
“Eh? Kamu masih ingat namaku?”
“Tentu saja aku masih ingat.” Adrian tersenyum semringah melihat Anissa. “Kamu cantik sekali memakai hijab,” lanjutnya memuji.
“Terima kasih,” ujar Anissa tersipu. “M-maaf, aku ingin memberikan kamu ini.” Dia menyodorkan sebuah amplop kecil berisikan surat cinta berwarna jingga yang sudah dipegangnya sedari tadi.
Adrian mengerutkan keningnya sembari menerima amplop tersebut. “Ini apa?”
“Itu … sebuah surat. Kamu boleh membacanya saat ini juga. Aku tidak akan meminta kamu membalas surat itu. Aku hanya ingin kamu membaca dan memahami isinya.”
Anissa kemudian langsung permisi setelah memberikan surat cinta itu dan kembali menuju ke tempat Adela berada.
“Ca, kamu kasih apaan ke dia?” tanya Adela.
“Surat cinta,” bisik Anissa tersenyum malu-malu.
“Ya Allah Ica! Inget umur udah 24 tahun! Bukan lagi anak SMP!” ledek Adela sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Anissa hanya tertawa kecil tak menggubris ledekannya. Dia menghabiskan waktu sisa reuni bersama teman-temannya. Sesekali dia memandang Adrian diam-diam dan terkadang laki-laki itu memandangnya balik, membuatnya tersipu malu. Rasanya seperti kejadian waktu dirinya dan Adrian di kelas yang sama saat SMP dulu. Anissa benar-benar jatuh cinta padanya!
● ● ●
To : Adrian Ramadiansyah.
Ini adalah sebuah surat cinta untukmu. Jadi, akan aku jelaskan dengan singkat. Setelah sepuluh tahun berlalu, aku masih memiliki perasaan yang sama untukmu. Aku masih jatuh cinta padamu. Dan dengan sejujurnya kukatakan, kamu adalah cinta pertamaku.
From : Anissa Nabila.
Adrian membaca surat tersebut berulang kali. Hatinya berdebar dengan hanya membaca tulisan tangan dari Anissa. Teringat kembali apa yang diucapkan Anissa di acara reuni. Bahwa Anissa tidak meminta balasan dan cukup hanya memahami isinya. Tapi desiran di hati Adrian menginginkan membalas isi surat tersebut. Senyumnya merekah seakan perasaannya dibalas oleh Anissa.
“Anissa, ternyata benar kamu pernah jatuh cinta padaku,” gumamnya.
Adrian kemudian mengambil ponselnya. Membuka akun instagramnya, dia lupa meminta kontak Anissa, jadi dia berencana untuk mencari akun instagram wanita itu. Setelah beberapa menit pencarian, akhirnya dia menemukan akun instagram Anissa. Setelah dia yakini bahwa akun tersebut milik Anissa Nabila, dia memutuskan mem-follow dan mengirimkan pesan ke akun tersebut.
Adrian juga tak menyangka bisa bertemu kembali dengan Anissa, yang kini menurutnya semakin cantik dengan balutan hijab. Bahkan tak disangka wanita tersebut memberinya sebuah surat cinta. Dulu, Adrian pikir, Anissa masih bisa dia temui selepas lulus SMP. Namun, siapa sangka Anissa ternyata pindah ke luar kota. Dirinya dan Anissa pun terpaksa hilang kontak. Mungkinkah ini takdir?
Sebuah notifikasi dari Instagram di ponsel Adrian memberitahukan Anissa sudah mem-followback akun instagramnya dan membalas pesannya. Adrian membaca balasan pesan tersebut. Lagi lagi, senyumnya merekah mengetahui Anissa membalas pesannya.
Anissa?
Aku sudah membaca suratmu.
Bisa kita bertemu?
Ini Adrian?
Terima kasih sudah membaca suratku.
Kamu sungguh ingin bertemu denganku?
Iya. Ini aku Adrian.
Aku sungguh ingin bertemu denganmu.
Kamu mau, kan?
Baiklah.
Kamu mau bertemu di mana dan kapan?
Aku ingin bertemu besok.
Kalau kamu tidak keberatan?
Kita bertemu di Kafe dekat SMP kita dulu.
Aku penasaran apa Kafe tersebut masih ada?
Besok aku bisa.
Dan aku tidak keberatan.
Aku juga penasaran apa Kafe itu masih ada?
Kalau begitu kita bertemu besok.
Kamu mau aku jemput?
Tidak usah dijemput.
Kita bertemu di sana saja.
Oke. Kita bertemu di sana.
● ● ●
Anissa menunggu Adrian di Kafe dekat SMP Dharmawangsa. Ternyata Kafe tersebut masih ada, bahkan setelah sepuluh tahun, Kafe tersebut semakin megah dan ramai pengunjung. Dia menyeruput minuman Green Tea Smoothies sembari melirik ke jendela. Melihat ke seberang jalanan tepat di mana bangunan SMP Dharmawangsa berada.
SMP tersebut tidak berubah. Hanya beberapa renovasi di sana sini. Sekolah yang membuatnya merasakan jatuh cinta pertama kali yang harus diakuinya kini sebagai cinta pertamanya. Bukan cinta sesaat, bukan juga cinta monyet seperti cinta anak remaja umumnya. Perasaan cintanya ini, meski sempat menghilang, tetapi dirasakannya lagi persis seperti debaran untuk pertama kalinya.
Anissa sungguh tak menyangka Adrian langsung mengajaknya bertemu begitu membaca suratnya. Dia tak mengharapkan apapun. Tujuannya memberikan surat itu hanya untuk jujur kepada laki-laki itu dan jujur kepada dirinya. Bohong jika dia tidak senang, bahkan kini hatinya berdebar-debar menunggunya.
“Assalamu’alaikum,” salam seseorang membuatnya tersentak dan menoleh. Adrian tepat di sampingnya, tersenyum, kemudian dia duduk di hadapannya.
“Wa’alaikumussalam,” jawab Anissa malu-malu.
“Maaf ya, sudah nunggu lama?”
“Enggak kok.”
Adrian kemudian melihat sekeliling Kafe tersebut dan pandangan terakhirnya jatuh ke SMP Dharmawangsa yang di depannya tepat ada sebuah halte.
“Kafenya ternyata masih ada ya? Aku ingat dulu suka diam-diam melihat kamu nunggu di halte itu setiap pulang sekolah.”
Anissa kaget mendengar perkataan Adrian. Matanya sedikit terbelalak, menatapnya penuh pertanyaan.
“Nanti akan kuceritakan, aku mau pesan minuman dulu. Kamu mau pesan apa?” lanjutnya bertanya.
“Enggak usah, aku sudah memesan minuman.” Anissa menunjukkan minuman yang ada di atas meja.
Adrian mengangguk kemudian menuju kasir untuk memesan minuman.
“Apa tadi Adrian bilang? Dia suka diam-diam melihatku menunggu di halte setiap pulang sekolah?” batin Anissa. Kini dia butuh penjelasan dari laki-laki itu.
Adrian kembali ke tempat duduknya dengan minuman yang dia pesan. Anissa menatapnya lekat-lekat, dia benar-benar butuh penjelasan.
“Kamu … kenapa baru menyatakan perasaan kamu sekarang? Setelah sepuluh tahun?” tanya Adrian. Raut mukanya terlihat serius.
Anissa terdiam. Bukannya tak bisa menjawab, tapi dia sedang merangkai kata-kata untuk menjawabnya.
“Anissa?”
“Iya?”
“Kamu tidak menjawab pertanyaan aku.”
“Itu … kenapa aku baru menyatakan perasaan aku sekarang? Setelah sepuluh tahun?” Anissa menghela napas sejenak. “Dulu aku tidak yakin, apakah perasaan aku ini benar-benar perasaan cinta pertama atau hanya cinta sesaat. Kamu tau, kan, cinta monyet? Sebutan untuk sebuah perasaan bagi remaja umumnya. Mengingat kita masih SMP.” Dia menjelaskan sebuah jawaban atas pertanyaannya.
Adrian mengangguk-angguk tanda paham. Dia kemudian meminum minumannya. “Jadi sekarang, apakah masih cinta monyet?” tanyanya sambil tertawa kecil.
Anissa menggeleng. Tersenyum dan tersipu malu.
“Aku dulu juga sempat menyukaimu, Anissa,” ucap Adrian, “tapi belum sempat aku memberitahumu, kamu menghilang,” lanjutnya.
“Maaf.” Anissa tak tahu harus berkata apa. Dia sendiri terkejut mendengar pengakuan Adrian.
“Kenapa kamu meminta maaf?”
“Mungkin seharusnya sejak dulu aku jujur kepadamu, bukannya menunggu sepuluh tahun kemudian.”
“Justru aku senang kamu mengakuinya setelah sepuluh tahun, ternyata kamu masih memiliki perasaan yang sama, kan? Jika kamu bisa tetap mencintai aku setelah sepuluh tahun berlalu, berarti kamu bisa mencintaiku seratus tahun kemudian.”
“Adrian.…”
“Anissa, aku ingin mengenalmu mulai sekarang, kamu mau jadi pacarku?” tanya Adrian menatap lekat kedua manik indah milik perempuan di hadapannya itu.
Anissa menggeleng perlahan. Sebuah jawaban yang jauh dari ekspektasi Adrian.
“Kenapa? Bukannya kamu jujur, menyatakan cinta padaku?”
Anissa kembali menggeleng. “Adrian, apa kamu juga memiliki perasaan yang sama padaku? Apa kamu juga jatuh cinta padaku?”
Adrian terdiam. Lalu dia tersenyum. “Aku pernah menyukaimu, Anissa. Dan aku yakin bisa jatuh cinta padamu jika kamu memberikan aku kesempatan.”
Anissa tersenyum. “Aku akan memberikan kamu kesempatan, Adrian, tapi aku tidak ingin pacaran denganmu. Aku adalah wanita muslim, aku lebih memilih kesendirian dengan mencintai Allah, sampai kelak ada yang datang melamarku,” ucapnya bersungguh-sungguh.
Adrian kini menampakkan senyum yang merekah mendengar penjelasan Anissa. “Kalau begitu, bolehkah aku mengenalmu terlebih dahulu? Sebelum aku meminta izin pada Ayahmu, agar kamu bisa aku bawa menemani hidupku?”
Anissa terkejut mendengar pertanyaan Adrian. Sedetik kemudian dia tersenyum dan mengangguk senang.
“Aku janji, Anissa. Aku akan datang melamarmu secepatnya. Kita akan menjadi sepasang kekasih yang sah dan menjalani masa-masa pacaran yang tak pernah kita rasakan, secara halal. Kamu mau, kan, menerima lamaranku kelak?”
Anissa mengangguk lagi, sebagai sebuah janji. Dia akan menunggu Adrian melamarnya. Jika dia sanggup menunggu selama sepuluh tahun untuk kepastian perasaan cintanya. Dia pasti sanggup menunggu lamarannya, bahkan jika itu harus menunggu lagi hingga sepuluh tahun kemudian.
● ● ●