Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,233
ARABELLA
Misteri

Angin yang sangat dingin menusuk tubuh membuatku menggigil. Sudah seminggu aku berada di kediaman nenekku untuk menikmati liburan sekolah, tapi tetap saja belum bisa beradaptasi dengan hawa dingin di pagi harinya. Padahal aku mandi dengan air hangat dan sekarang jam antik sebesar lemari menunjukkan pukul sembilan pagi.

Wajar saja menurutku jika cuacanya sangat dingin, karena desa tempat kediaman nenekku tepat berada di bawah kaki gunung. Rumah nenekku berada di atas bukit, sisi kanannya terhampar sebuah gunung yang menjulang tinggi. Sisi kirinya terbentang perkebunan tembakau milik keluarga Pradipta. Rumah-rumah penduduk desa berada di lembah bukit dan bisa kulihat jelas dari tempatku berada kini –di teras depan rumah.

Sedangkan belakang rumah nenekku? Hamparan hutan lebat yang aku tidak tahu di mana ujungnya.

“Lia, sarapan dulu yuk?”

“Iya, Eyang putri.” Kubenarkan sweater tebal biru muda yang kukenakan, melangkah masuk ke dalam lalu duduk di ruang makan. Melihat apa yang tersedia di atas meja membuatku tersenyum senang. Hmm, lontong sayur. Sarapan kesukaanku.

“Eyang ingat, kamu suka sekali lontong sayur buatan eyang, kan?” Aku mengangguk. “Jadi, hari ini Eyang buatkan lontong sayur khusus buat kamu sarapan.”

“Terima kasih, Eyang.” Aku terkikih. “Eyang putri memang yang terbaik.”

“Ah, kamu bisa aja.” Wanita berusia senja itu mengelus lembut puncak kepalaku kemudian kami sarapan bersama. “Oh ya, Lia. Apa kamu tidak mau jalan-jalan? Masa kamu tidak bosan di rumah terus?”

Aku mengangguk lalu mencebik. “Bosan sih.” Kemudian memiringkan sedikit tubuh menghadap nenekku. “Eyang ada rekomendasi yang bagus enggak? Ke mana Lia harus jalan-jalan di sini?” Kupikir juga sama sekali tidak menyenangkan jika menghabiskan liburan di rumah saja, tapi jalan-jalan di perkebunan tembakau atau di sekitar rumah penduduk tidak cukup menarik perhatianku. Aku ingin ke tempat yang berbeda dan seru.

 “Hmm, coba Eyang pikirkan dulu.” Ia meletakkan sendok dan garpu di atas mangkuk lalu kedua tangannya saling menggenggam di atas meja. “Kamu tahu, Lia? Di belakang rumah ada hutan dengan jalan setapak yang bisa kamu lewati.” Bola mataku sedikit membulat. Sepertinya seru jalan-jalan di hutan! “Jika kamu ikuti jalan itu, kamu akan sampai pada sisi hutan lainnya dan menemukan sebuah danau yang sangat indah. Tapi….”

Aku mengkerutkan dahiku. “Tapi, kenapa Eyang?”

Nenekku menghela napas. “Orang-orang di sini takut untuk pergi ke sana.” Ia lalu menatapku dengan senyuman penuh arti. “Danau itu adalah tempat kesukaan eyang. Di sanalah Eyang pertama kali bertemu dengan cinta pertama Eyang.”

Kutatap lamat-lamat wajah nenekku, tersirat ada sesuatu yang disembunyikannya. Kenapa orang-orang takut pergi ke danau itu? Sedangkan danau itu adalah tempat kesukaan nenekku?

∞ ∞ ∞

Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menyusuri hutan di belakang rumah, dengan mengenakan celana jeans dan kaos putih bergambar kupu-kupu yang kupadukan dengan sweater, kukuncir kuda rambut ikalku yang sedikit melewati bahu. Aku cukup berhati-hati ketika sepatu sneaker yang kugunakan menjejaki jalan setapaknya.

Untungnya, siang hari itu cuacanya sangat cerah meskipun udara dinginnya tetap menusuk tubuh. Kumasukkan kedua tanganku ke dalam kantong sweater sambil terus berjalan di hutan itu yang aku sendiri tidak tahu harus sampai berapa lama untuk tiba di sisi lainnya. Aku sudah tidak sabar untuk melihat danau itu!

Kemudian, aku mendengar gemericik suara air. Pasti aku sudah dekat dengan danaunya! Kupercepat langkahku hingga akhirnya melihat ujung jalan setapaknya yang membuatku tiba di sisi lain hutan. Mataku membulat sempurna. Takjub dengan apa yang kulihat. Indah, sangat indah sekali! Sebuah danau terhampar, airnya yang jernih memantulkan sinar matahari berwarna keperakan. Aku lalu menuruni bukit pelan-pelan kemudian tiba di sebuah jalan setapak lainnya di pinggir danau. Kulewati jalan itu sambil memandang danau di sisi kanan.

Langkahku terhenti sejenak ketika aku menyadari ada sebuah bangunan di seberang danau. Bangunan itu seperti sebuah rumah bergaya Eropa yang tidak terurus dan dari kejauhan terlihat sangat angker. Namun entah kenapa, bangunan itu justru menarik perhatianku dan memicu rasa penasaranku.

Kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan dan tepat di ujung jalan setapak itu ada sebuah tangga batu yang menuju ke pinggir danau. Aku bersemangat sekali, apalagi sekilas aku sepertinya melihat sebuah dermaga. Dengan cepat aku menuruni tangga itu.

Namun, Aku terkejut ketika tiba di ujung tangga. Memang ada dermaga dan sebuah perahu kecil di pinggir danaunya, tapi yang membuatku kaget adalah aku juga melihat seorang gadis berambut pirang, berkulit pucat, yang kemungkinan masih remaja sepertiku. Dia hendak melepas ikatan perahu di ujung dermaga.

Gadis itu memakai gaun berwarna putih gading dengan lengan bergaya puff yang memiliki banyak renda di kerah dan roknya. Sangat klasik. Apa dia turis asing?

Perlahan aku mendekati gadis itu, tapi belum sempat aku menyapa. Gadis itu berbalik menghadapku. Untuk sesaat, aku terpesona dengan kecantikannya. Apalagi senyumannya yang menawan dan mata birunya. Lalu kemudian, aku tersentak!

“Amelia! Kau lama sekali! Aku sudah menunggumu!” Tanpa memedulikan aku yang terkejut, dia menyambar tangan kiriku. “Ayo! Aku antar kau ke tempat tinggalku!”

Aku yang bingung hanya menurutinya menaiki perahu. Tempat tinggalnya? Apa dia mengenalku? Apa aku mengenalnya? Tunggu dulu, tadi dia menyapaku dengan bahasa Indonesia?

Gadis itu duduk di ujung perahu dan mendayuhnya. Sedangkan aku duduk di sisi ujung perahu lainnya menghadap kepadanya. Kuperhatikan wajahnya dengan seksama. Aku sungguh merasa tidak mengenal dirinya atau apakah aku tidak ingat?

Cahaya silau matahari siang itu membuat kulitnya yang pucat semakin pucat, tapi kilau keperakan dari air danau yang jernih entah bagaimana menjadi sangat indah ketika bersentuhan dengan warna kulitnya. Seperti kerlap kerlip batu Kristal. Aku terpesona dengan pemandangan itu.

“Indah bukan?” Ia tersenyum padaku. “Danau ini adalah tempat bermain kita, Amelia!”

Aku memandang danau yang sangat indah dengan kilau-kilau yang menakjubkan itu lalu memejamkan mata kemudian menghirup udara dalam-dalam. Angin yang sangat sejuk mengembuskan aroma pepohonan dari hutan dan suara indah dari gemericik air danaunya membuatku tak merasakan teriknya matahari siang hari itu. Aku menikmatinya!

“Apa kau melupakanku, Amelia?” Kubuka mata lalu memandangnya dengan wajah kebingungan. Dia tertawa kecil. “Kenapa wajahmu seperti itu?”

“Ah, tidak,” ucapku salah tingkah. “Aku hanya penasaran, kamu berbicara bahasa Indonesia?”

“Astaga, Amelia!” decaknya. Sesaat dia menghentikan aktivitasnya mendayuh sebelum akhirnya melanjutkan kembali. “Aku mungkin lahir di Netherlands, tapi aku dibesarkan di sini.”

“Kamu… tinggal di sini?”

Ia mengangguk. Lalu memutar tubuh, kemudian tangan kanannya menunjuk sebuah bangunan di seberang danau. Rumah yang tidak terurus dan terlihat angker dari kejauhan yang sempat menarik perhatianku dan membuatku penasaran. “Di sana! Tempat tinggalku! Dan aku akan mengajakmu ke sana!” Bibirku langsung membentuk garis melengkung ke atas. “Apa kau senang? Aku akan mengajakmu ke sana?”

Aku mengangguk. “Tapi... siapa namamu? Dan aku harus memanggilmu apa?”

Seketika raut wajahnya menjadi sendu. “Ternyata… kau benar-benar melupakanku….”

“Tidak, bukan itu maksudku.”

“Tidak apa-apa. Lagipula siapa yang akan mengingatku?”

“Maaf….”

“Kau tak perlu meminta maaf. Namaku Arabella van Houten dan kau biasa memanggilku, Ara.”

“Ara…,” ucapku yang diikuti perasaan yang sulit kuartikan.

Perahu yang kami naiki kini sudah berada di tengah danau dan sedikit lagi akan sampai di seberangnya karena rumah Ara mulai terlihat jelas. Lalu tiba-tiba, awan hitam menutupi matahari dan siang yang terik itu seketika menjadi gelap gulita.

“Ara, sepertinya akan turun hujan.”

“Tidak, awan hitam itu hanya menghalangi sinar matahari.”

Kemudian entah dari mana datangnya, kabut putih sudah mengelilingi kami. Sangat cepat hingga aku sendiri tak menyadarinya. Aku menjadi ketakutan karena tidak bisa melihat apapun di sekitarku bahkan Ara yang ada di hadapanku pun tidak terlihat.

“Ara! Ara!” panggilku. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.

Kabut putihnya semakin pekat, tapi aku sadar masih duduk di atas perahu yang sedang berjalan. Aku juga bisa mendengar suara gemericik kayuh menyentuh air danau. Itu berarti Ara sedang mendayuhnya!

“Ara! Ara! Kamu di mana!? Aku tidak bisa melihat apapun!” Masih tidak ada jawaban dan aku mulai panik.

Dengan sedikit frustasi, aku mencoba untuk merangkak di atas perahu kecil itu menuju ke tempat Ara berada –di ujung perahu lainnya. Namun, kabut pekatnya perlahan mulai menghilang. Awan hitam yang menghalangi matahari pun sudah tidak terlihat dan cuacanya terik kembali.

Pelan-pelan, akhirnya aku bisa melihat Ara masih duduk di tempatnya, tersenyum manis dan mendayuh dengan santai. Aku sungguh dibuat terkejut olehnya! Apa-apaan dia masih bisa tersenyum seperti itu padahal aku sudah sangat ketakutan!

“Ara? Apa kau tidak takut tadi? Apa kau tidak melihat kabutnya?”

“Kabut apa?”

“Aku memanggilmu dengan ketakutan! Apa kau tidak mendengarnya?”

“Tidak.” Ara menggeleng. “Malah kau sempat tertidur sebentar.”

“Tertidur?” Aku mengernyitkan dahiku. Jelas-jelas aku tidak tertidur! Baru saja aku hendak bersuara, tapi tidak sempat karena teriakannya.

“Akhirnya sampai!” Ara menepikan perahunya. “Amelia, tunggu sebentar. Aku akan mengikat perahunya dulu.” Aku menurutinya. Setelah mengikat perahu di dermaga, tangannya terulur membantuku keluar dari perahu kecil itu.

Di tempatku berdiri kini –ujung dermaga– aku bisa melihat gapura seperti pintu masuk ke dalam sebuah benteng. Ada sebuah tulisan yang aku rasa berbahasa Netherlands dan aku tidak mengerti, tapi aku bisa membaca dengan jelas tulisan ‘Puri Van Houten’.

“Selamat datang di Puri Van Houten!” Ara seperti sedang menerjemahkannya kepadaku. “Ayo, ikuti aku!” Dia menggamit lenganku lalu pelan-pelan kami melewati pintu masuk itu kemudian menaiki tangga batu. Tepat di ujung tangga, kami tiba di sebuah kebun yang sangat luas dengan beranekaragam bunga mawar tumbuh. Aroma mawar yang harum sekali menguar melewati indera penciumanku. Aneh! Tidak terlihat seperti tidak pernah terurus!

Kami berjalan pelan melewati kebun lalu sampai di sebuah teras yang besar dengan beberapa kursi dan meja bergaya klasik. Ara dengan cepat membuka pintu teras yang terbuat dari kaca dan kayu. Pintu itu sangat besar dengan lengkungan khas di atasnya.

“Masuklah!” ajak Ara kepadaku.

Sempat aku terkesima dengan dekorasi di dalamnya yang sangat klasik dan bergaya eropa. Langit-langit rumah itu sangat tinggi sekali dengan lampu gantung kristal yang sangat besar.

“Ini ruang keluargaku.” Ara menjelaskan.

Kuperhatikan ruangan yang kumasuki. Ada beberapa sofa besar yang sangat antik berwarna cokelat pekat dan sebuah televisi tua. Apa televisi itu masih bisa menyala? Lalu kualihkan pandanganku ke seisi ruangan itu. Tepat di pojok dekat pintu yang kumasuki tadi, ada piano antik yang sangat besar. Kemudian kujelajahi mataku ke sisi lain piano tua itu dan aku terpaku pada sebuah pigura besar yang menampilkan sebuah foto keluarga berwarna hitam putih. Terlihat sangat tua.

“Itu adalah ayahku, Adrian van Houten.” Ara menunjuk laki-laki tua yang sedang berdiri tegak dengan rahang yang tegas penuh dengan bulu tipis dan tekstur wajah yang agak keriput, tapi aku bisa melihat pria itu pasti sangat tampan saat mudanya dulu. “Yang itu adalah ibuku, Adrielle van Houten.” Kulihat gambar wanita yang sangat cantik. Berambut pirang dan masih terlihat muda. Bisa aku katakan, kecantikan Ara pasti dari ibunya. “Yang berdiri di samping ibuku, anak laki-laki itu adalah kakakku, Arnout van Houten.” Kuperhatikan kakaknya Ara, laki-laki muda yang kemungkinan usianya lebih tua beberapa tahun dariku dan Ara. Sangat tampan sekali! “Dan yang terakhir, adalah aku!” serunya, “aku tak perlu menyebutkan dua kali namaku, bukan? Karena tadi aku sudah menyebutkannya!”

Aku terkekeh mendengarnya. “Ara, kau cantik seperti ibumu.”

“Kau salah, Amelia. Sebenarnya aku cantik karena ketampanan ayahku.” Lagi-lagi aku terkekeh. “Sini, duduklah!” Ara menggiringku duduk di sebuah sofa besar yang ada di ruang keluarga itu. “Aku ingin mempersembahkanmu sebuah lagu.”

“Lagu?”

Ara memutari piano lalu duduk di bangkunya. “Aku pandai bermain piano, dulu aku pernah mengajarimu bermain piano.”

“Entahlah, aku tidak ingat,” gumamku hampir tidak bersuara dan berharap Ara tak mendengarnya agar dia tidak sedih. Bayangan wajah Ara yang berubah sendu membuatku merasa bersalah saat aku katakan tidak mengenal atau mengingatnya.

Ara sungguh pandai bermain piano. Lantunan nada dari tuts tuts piano yang dimainkannya sangat indah kudengar hingga tanpa sadar aku terhanyut ke dalamnya.

Praaanggg! Aku kaget bukan main! Suara apa itu?

Ara menghentikan permainan pianonya dan kulihat kini dia sedang berdiri menghadap jendela, memandang keluar.

“Ara? Apa yang terjadi? Suara apa itu?”

Dia bergeming dan tak menjawab pertanyaanku.

“Ara? Arabella?” Aku was-was sekali, cukup sudah aku ketakutan dengan apa yang terjadi di danau tadi.

“Jangan khawatir, Amelia.” Ara berbalik lalu tersenyum kepadaku. “Itu anak-anak penduduk desa.”

“Anak-anak penduduk desa?”

Ara mengangguk. Dia lalu menghampiriku kemudian duduk di sampingku. “Mereka… takut kepadaku.” Kulihat wajahnya kembali sendu. “Aku ingin sekali bermain bersama mereka, tapi tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa?”

“Entahlah.” Ara mengendikkan bahunya. “Setiap kali mereka kemari, kusambut dengan permainan pianoku. Tapi kemudian, mereka langsung pergi ketakutan. Apa permainan pianoku sangat buruk?”

“Tidak, tentu saja tidak! Permainan pianomu sangat indah!”

“Terkadang mereka melempariku dengan batu. Hingga kaca jendela rumahku pecah.” Ara menunduk. “Aku sedih sekali, padahal aku hanya ingin menyapa dan berteman dengan mereka.”

“Jahat sekali! Kenapa mereka seperti itu, ya?”

“Aku tidak tahu.” Ara kembali mengendikkan bahunya. “Tapi aku senang akhirnya kau kembali, Amelia! Aku tahu kau pasti akan kembali! Kau satu-satunya sahabatku!” Aku hanya bisa tersenyum kepadanya, tidak tahu harus berkata apa. “Kau mau ‘kan tetap jadi sahabatku?” Aku mendesah, tapi kemudian mengangguk perlahan. “Berjanjilah satu hal padaku! Berjanjilah, kau akan menjaga rumah ini, merawat kebun mawarnya, membuatnya tetap indah, selama kita menjadi sahabat?”

Dahiku berkerut. Kenapa Ara memintaku berjanji hal semacam itu? Memangnya dia tidak bisa melakukan semua itu? Dan belum sempat aku bertanya atau Ara menjelaskannya. Jam antik di dinding terbuka dan dari dalamnya keluar seekor burung kayu yang mengeluarkan suara berisik.

Sudah pukul lima sore! Astaga! Kenapa waktu sangat cepat sekali?

“Sudah waktunya kau pulang, Amelia! Mari, kuantar kau kembali ke seberang danau dan semoga besok kita masih bisa bertemu.”

∞ ∞ ∞

Kupercepat langkah menuju danau, bahkan ayunan kakiku sedikit berlari. Ingin sekali rasanya segera menemui Ara! Karena sudah beberapa hari ini aku tidak bisa menemuinya. Hujan lebat disertai angin kencang dan sambaran petir yang bertubi-tubi mengguyur perkebunan tembakau milik Pradipta selama tiga hari berturut-turut. Cuaca yang dingin menjadi sangat dingin namun anehnya, setelah tiga hari itu, matahari muncul tanpa malu-malu. Sinar dan kehangatannya menyengat perkebunan dan desa meski udara dinginnya masih sangat terasa.

Kedua ujung bibirku terangkat naik sempurna melihat danau yang indah itu, riak airnya menciptakan warna keperakan berkilau. Hatiku pun berdebar-debar melihat Puri Van Houten di seberang danau. Apa Ara ada di sana? Atau dia sedang menungguku di dermaga? Ah! Dermaga! Pasti dia ada di sana! Kuputuskan untuk sedikit berlari agar segera sampai ke dermaga. Namun, aku kecewa, karena Ara tidak ada di sana. Di mana Ara? Kenapa dia tak menyambutku seperti waktu itu?

Begitu sampai di seberang danau, aku memasuki Puri dengan cepat tanpa menyadari apa yang terjadi di sekitarku. Barulah begitu sampai di teras kebun mawarnya, aku menyadarinya sedang berada di sebuah rumah yang tidak berpenghuni.

Tidak! Ini bukan Puri Van Houten! Ke mana kebun mawarnya? Kursi antik? Pintu kaca dari kayu? Ke mana pemandangan indah yang kulihat beberapa hari lalu bersama Ara di sini? Ke mana itu semua?

“Ara!!! Arabella!!! Kau di mana!?”

Hening. Tidak ada jawaban sama sekali. Jika saat itu tujuanku bukanlah untuk menemui Ara, bisa dipastikan aku tidak akan mau berlama-lama di sana. Tapi, aku harus menemui Ara! Aku harus mendengar penjelasannya! Dia bilang aku sahabatnya, kan? Mana boleh sahabat begitu saja pergi tanpa penjelasan!

“Ara!!! Kumohon!!! Jawablah aku!!!”

Kuperhatikan dengan seksama keadaan puri itu. Sangat tidak terurus. Rumput-rumput liar sudah menggantikan bunga-bunga mawar di kebunnya. Ada sebuah pohon besar di samping teras dengan akarnya yang sudah memasuki ke dalam rumah. Pohon itu seingatku tak sebesar ini tiga hari yang lalu. Atap puri itu pun sudah terlihat tidak ditempatnya sebagian. Tidak ada lampu kristal megah yang tergantung melainkan hanya tetes-tetes air yang jatuh ke lantai yang bahkan sudah berbentuk tanah. Kenapa tempat tinggal Ara menjadi seperti ini? Apa yang terjadi?

Mataku menjelajahi puri itu yang sudah terlihat seperti sisa-sisa bangunan yang sudah lama sekali ditinggalkan penghuninya. Dan seketika pandanganku terhenti pada sebuah benda yang membuatku setidaknya yakin bahwa bangunan tua ini adalah tempat tinggal Ara. Piano tua itu, masih berada di tempatnya meski sudah sangat berdebu dan usang. Kubuka perlahan penutup pianonya dan memencet tuts tuts yang masih mengeluarkan nada-nada. Kelembapan membuatnya terdengar khas piano tua. “Ara…”

Aku menarik bangku pianonya agar bisa duduk di atasnya, membayangkan Ara yang bermain piano untukku. Namun, tutup bangku pianonya sedikit bergeser terbuka karena rusak. Kubuka tutupnya lalu aku menemukan secarik kertas foto yang sangat tua sekali dengan warna hitam putih.

Mataku terbelalak ketika melihat wajah orang di foto itu. Meskipun warna dan gambarnya sudah mengabur, tapi aku yakin sekali siapa yang berada di foto itu! Dan aku bisa menjamin itu sangat tidak mungkin!

Berulang kali kupandangi foto tua usang yang kutemukan dan masih tidak memahami dengan wajah yang sangat kukenali itu. Bagaimana tidak? Itu adalah wajahku sendiri! Kini, aku menunggu Eyangku yang masih belum kembali dari perkebunan. Kupikir, Eyang pasti tahu sesuatu tentang keluarga Van Houten.

“Lia? Kamu sudah pulang? Tumben, kemarin kamu pulangnya sehabis magrib.” Karena terlalu serius berpikir aku tidak menyadari nenekku sudah kembali. “Tadi Eyang mampir ke pasar sebentar beli buah,” ujarnya, “persediaan buahnya habis ‘kan di kulkas?”Aku diam saja tidak menjawab pertanyaan nenekku. “Lia?”

“Hah? Iya, Eyang?”

“Kamu ini ditanya diam saja. Apa sih yang mengusik pikiranmu?” Eyang memasukkan beberapa buah ke dalam kulkas sambil sesekali melirikku meminta jawaban.

“Enggak ada apa-apa, Eyang,” jawabku, “tapi….”

“Tapi kenapa?”

“Lia… sedang kepikiran sesuatu dan ini bikin Lia penasaran banget.”

Nenekku terkekeh. “Apa yang bikin kamu penasaran? Sini, cerita sama Eyang.” Dia menuntunku duduk di kursi. “Penasaran itu enggak baik kalau di pendam.” lanjutnya.

Awalnya aku ragu untuk menanyakan perihal foto tua itu pada nenekku, tapi keinginantahuanku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Jadi, kutunjukkan foto itu padanya.

“Lia…” Wajah nenekku terlihat sangat terkejut. “Ini… bagaimana kamu bisa mendapatkan foto ini?”

“Eyang? Apa Eyang kenal dengan orang-orang di foto ini?”

Nenekku mengangguk. “Tunggu sebentar, Lia. Ada yang ingin Eyang tunjukkan sama kamu.” Kulihat ia memasuki kamarnya dan aku menunggunya kembali dengan sabar. “Ini….”

Kini, aku yang terkejut. Ternyata nenekku memiliki foto yang sama persis dengan yang aku temukan. “Ini foto yang sama?”

Nenekku mengangguk. “Perempuan yang mirip dengan kamu itu adalah Eyang.” Ia lalu mengenggam tanganku dan menatapku lekat. “Sekarang, beritahu Eyang. Dari mana kamu dapatkan foto itu?”

“Lia… menemukannya di Puri Van Houten.”

“Puri… Van Houten?” Untuk sesaat nenekku terlihat berpikir keras lalu ia tersenyum kepadaku. “Kamu… pasti bertemu dengan Ara ya?”

“Eyang kenal dengan Ara?”

Nenekku mengangguk lalu pandangannya beralih menatap kedua foto tua itu secara bergantian. Kulihat matanya berkaca-kaca. “Arabella Van Houten, dia adalah sahabat yang sudah Eyang lupakan.” Air mata akhirnya jatuh di pipinya. “Ara pasti mengira kamu adalah Eyang,” isaknya.

“Dan pemuda itu, kakaknya Ara, dia… cinta pertama Eyang?”

“Benar. Kamu benar, Lia,” ucapnya, “kamu pasti bertanya-tanya, bagaimana bisa Eyang berakhir sehidup semati dengan kakekmu dan bagaimana pula Eyang bisa melupakan sahabat Eyang.” Lalu pandangannya jauh menerawang. “Arnout Van Houten, karena dia Eyang bisa merasakan cinta untuk pertama kalinya dan karena dia juga Eyang memiliki seorang sahabat. Masa-masa kami bertiga dulu sangat indah. Arnout menyatakan perasaannya pada Eyang dan Ara sebagai adiknya merestui kami. Tapi… masa-masa itu tidaklah lama. Di usianya yang belum genap dua puluh tahun, Arnout harus menghadap Sang Pencipta karena penyakit cacar yang dideritanya. Penyakit itu ternyata menulari Ara dan beberapa bulan kemudian, Ara… dia harus menyusul kakaknya….” Nenekku mengusap airmatanya. Terlihat sekali tidak sanggup melanjutkan ceritanya dan aku ingin sekali untuk menyudahinya, tapi ia melanjutkannya. “Kedua orangtua mereka sangat terpukul dengan kematian kedua anaknya itu, begitu juga dengan Eyang. Adrian dan Adrielle Van Houten akhirnya memutuskan kembali ke Belanda untuk melupakan kepedihan itu dan Eyang memilih untuk menerima lamaran kakekmu agar bisa melupakan mereka.” Ia pun menangis tersedu-sedu. “Ara… dia pasti tidak akan memaafkan Eyang karena sudah melupakannya.”

Mendengar perkataan Eyang, lantas kugenggam jemarinya. “Enggak Eyang.” Aku ingat betapa senangnya Ara saat bertemu denganku di dermaga dan aku yakin sekali, Ara tidak membenci nenekku. “Ara… dia pasti memaafkan Eyang.”

“Bagaimana kamu bisa yakin, Lia?”

“Itu karena… Ara menyayangi Eyang. Dia merindukan Eyang dan masih menganggap Eyang sahabatnya.”

“Dia bilang seperti itu?”

Aku mengangguk. “Ara bahkan bertanya padaku, apa aku sudah melupakannya? Apa aku masih ingin menjadi sahabatnya? Apa aku mau berjanji padanya?”

“Berjanji?”

“Ara punya permintaan yang membuatku harus berjanji padanya.”

“Permintaan apa?”

“Dia ingin aku berjanji untuk mengurus Puri Van Houten dan merawat kebun mawarnya agar tetap indah.”

“Lia…” Nenekku kembali menangis. “Janji itu bukan buat kamu, tapi buat Eyang.” Aku mengusap airmata nenekku yang tumpah ruah di pipinya. Mau tidak mau aku jadi ikutan menangis. “Sahabat macam apa Eyang ini! Apa Ara benar-benar bisa memaafkan Eyang?”

“Apa Eyang mau bertemu Ara?” tanyaku.

“Apa bisa?” tanya nenekku balik. “Apa Ara mau bertemu Eyang?”

“Kenapa dia tidak mau bertemu Eyang? Bagaimana kalau kita mengunjungi kediamannya?”

Nenekku terdiam lalu mengangguk. “Kamu benar, Lia. Eyang harus mengunjungi kediamannya untuk memenuhi janji itu.” Ia menghela napas. “Kamu mau ‘kan mengantarkan Eyang ke sana?”

Keesokan harinya, aku mengantarkan nenekku ke Puri itu. Tentu saja tidak hanya kami berdua, tapi juga bersama Kang Agus, orang kepercayaan nenekku. Kami benar-benar melewati jalan setapak di hutan, juga menaiki perahu untuk menyeberangi danau.

Di tengah danau, tidak sengaja kulihat dari sorot mata nenekku memancarkan kerinduan yang mendalam ketika pandangannya tertuju pada Puri tua itu. Refleks, aku ikut memandang bangunan itu dan kulihat dari kejauhan, Ara berdiri di dermaga. Dia tersenyum, entah kepadaku atau kepada nenekku. Namun, samar-samar aku bisa mendengar jelas apa yang diucapkannya meski jarak begitu jauh.

“Terima kasih, Amelia!”

Aku mengalihkan pandangan kepada nenekku. Dia tersenyum bahagia, matanya tidak terputus memandang ke arah di mana Ara berada sesaat sebelum akhirnya menghilang seperti angin dan tepat pada saat itu aku menyadari, nenekku sudah bertemu dengannya.

“Selamat tinggal, Ara!”

∞ ∞ ∞

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)