Cerpen
Disukai
0
Dilihat
2,266
A CURSE OF FAIRY
Romantis

Berabad-abad silam, pada masa bangsa peri masih bisa leluasa turun ke Bumi untuk menikmati alam manusia. Clair Bealle, seorang bangsawan peri yang sangat cantik memilih untuk menjelajahi sebuah hutan. Dengan ukuran tubuhnya yang mungi, dia terbang ke sana dan ke mari sambil menari indah di atas bunga-bunga yang bermekaran. Cahaya matahari yang merembes masuk melalui celah-celah pepohonan membuatnya semakin riang bersenandung di hutan itu.

Hingga muncul sesosok makhluk yang sedang mengendalikan dirinya untuk bermetamorfosis mengubah wujudnya menjadi manusia seutuhnya. Makhluk itu menggeram, mencakar-cakar dirinya dan mengerang kesakitan tanpa sadar ada seorang peri mungil yang tampak tidak takut sedang mengamatinya. Clair perlahan mendekati makhluk itu setelah mengubah dirinya terlebih dahulu ke dalam bentuk fana menjadi seorang manusia biasa. Dengan keagungan perinya yang tak terbantahkan, kedatangannya memberikan efek magis pada makhluk itu, yang diketahui ternyata seorang manusia serigala. Tepat pada saat itu, sang peri dan manusia serigala itu saling terikat.

 

Ϫ Ϫ Ϫ

 

Kantin di sebuah sekolah di kota Salem, Massachussets, terlihat cukup ramai pagi itu. Tepat di samping dinding kaca besar, ada remaja cantik sedang duduk menunggu seseorang atau lebih tepatnya orang yang harus dia lindungi.

Gadis remaja itu tampak gelisah. Sesekali menatap jam di layar ponselnya. Raut wajahnya kesal, tampak kerutan di antara kedua alisnya yang tebal. Dia menggigit bibirnya yang tipis pertanda dirinya khawatir. Matanya yang indah bergerilya mencari-cari seseorang sampai akhirnya dia tersadar akan sesuatu yang membuatnya menertawakan dirinya sendiri.

“Ah, aku lupa semalam bulan purnama, kau pasti sedang tidak sedang baik-baik saja kan, Chale?” Amelia menghela napas. Jujur saja dia khawatir, karena dia tidak menemani Chale berubah wujud semalam.

Semburat sinar matahari menyentuh kulit tangannya yang mulus memberi aura keemasan di sekelilingnya. Amelia menarik ujung sweater yang dikenakannya untuk menutupi aura indah itu. Dia tahu harus menyembunyikan hal ini.

Tubuhnya pun bangkit hendak pindah tempat duduk, tapi sesaat setelah berdiri… Brukk!!!

“Maaf, maaf, aku tidak sengaja,” ucap Amelia merasa bersalah.

“Tidak apa-apa,” balas seseorang, “kau sendiri tidak apa-apa?” tanyanya.

Amelia mengangguk lalu menengadahkan kepalanya. Tampak di hadapannya kini seorang pria tampan dengan perawakan tubuh yang lebih tinggi darinya. Sketsa wajahnya sungguh sempurna. Amelia sempat terpesona hingga tanpa sengaja dia melihat aura keemasan di sekitar kulit wajahnya yang terkena sinar matahari. Aura keemasan seperti itu bukanlah hal umum yang bisa terjadi pada manusia biasa. Siapa laki-laki ini?

“Kau hendak ke mana? Apa kau hendak berpindah tempat duduk?”

Amelia mengangguk. “Aku tidak suka terkena sinar matahari.” Dia berbohong. Karena alasan sesungguhnya bukanlah itu.

“Aku juga tidak suka terkena sinar matahari,” ujarnya, “sebaiknya kita duduk di ujung sana saja?”

Amelia mengkerutkan dahinya. Berpikir sejenak lalu mengikuti pria itu. Entah kenapa tubuhnya seperti tertarik dan tidak bisa menolak ajakannya. Lantas, dia akhirnya duduk bersamanya.

Amelia mencuri-curi pandang ke wajah laki-laki itu. Rasanya dia tidak pernah melihatnya di sekolah, tapi laki-laki itu mengajaknya bicara seakan sudah mengenalnya sejak lama. Siapa sesungguhnya orang yang ada di hadapannya ini?

Sadar diperhatikan oleh Amelia, laki-laki itu memperkenalkan dirinya. “Kita belum berkenalan, ya? Namaku, Chaiden Avery. Kau… Amelia de la Faye, kan?”

Amelia yang sedang minum hampir saja tersedak mendengarnya. “Benar, aku Amelia de la Faye. Bagaimana kau bisa tahu namaku?”

Chaiden tak menjawab, tapi bibirnya tersenyum dengan misteriusnya. Amelia merasakan kemisteriusan itu yang membuatnya menjadi penasaran.

“Kau terbiasa sendiri saat di kantin?” tanya Chaiden melirik Amelia. Tangannya tengah sibuk dengan sandwich yang hendak dilahapnya.

“Tidak, biasanya aku tidak sendiri. Aku hanya sedang menunggu seseorang.”

 “Teman? Pacar? Atau teman sekaligus pacar?”

Amelia menyipitkan matanya. “Kau ini ingin tahu sekali, ya?’

Chaiden terkekeh. “Aku bukan orang seperti itu.” Kata-katanya terhenti sejenak. Dia mengambil sekotak susu lalu meminumnya. Setelahnya, dia menghela napas. “Lagipula Amelia, aku sudah tahu semua tentangmu.”

Amelia sedikit terkejut mendengarnya, tapi dia berusaha untuk mengendalikan ekspresi wajahnya. Rasa penasarannya semakin membuncah. Nalurinya pun tanpa sengaja ingin mengetahui pikiran Chaiden. Dengan konsentrasi penuh, mata Amelia menatap tajam mata Chaiden dan melalui kontak mata yang tidak terputus itu dia mencoba mencari tahu. Namun, kali ini usahanya harus gagal karena alarm tanda dimulainya kegiatan belajar menghentakkannya.

“Baiklah.” Chaiden bangun dari kursinya. “Aku akan masuk kelas. Dan oh ya, panggil saja aku Aiden. Semoga kita bertemu lagi secepatnya,” lanjutnya.

Amelia bergeming sambil menatap kepergian Chaiden. Dia sungguh penasaran dengan laki-laki yang baru ditemuinya itu. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang akan yang terjadi padanya. Namun, dia tidak tahu kapan itu akan terjadi?

Amelia secepat kilat mengenyahkan firasat buruk itu. Semoga memang tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Dia lalu memutuskan untuk segera masuk ke kelas setelah yakin orang yang ditunggunya tidak terlihat sama sekali di kantin.

Ruangan kelas terlihat sudah ramai saat Amelia memasukinya. Beberapa murid sedang bercengkrama dan beberapa lainnya fokus pada buku-buku pelajaran mereka. Amelia memilih tempat duduk agak di belakang dekat jendela. Hujan gerimis membuat pemandangan di luar tampak sendu, seperti hatinya kini. Karena sudah beberapa hari ini Chale mulai menjauhinya. Awalnya dia pikir karena Chale mulai sibuk dengan kekasih barunya, Abigail Summer, seorang cewek populer di sekolah. Amelia pikir untuk memberi ruang dan jarak atas hubungannya dengan Chale dan mengingat hal itu membuat dada Amelia sesak, tapi anehnya semalam Chale tidak menemuinya padahal sudah seharusnya Chale meminta untuk menemaninya berubah wujud. Karena tugas Amelia adalah melindungi Chale agar tidak melukai orang lain. Dia menjadi bingung dan penasaran, tapi lebih gilanya lagi, dia merindukan Chale!

“Tidak! Aku tidak boleh jatuh hati pada manusia serigala!” Amelia menepis rasa rindu itu.

“Boleh aku duduk di sampingmu?”

Amelia menoleh. “Aiden? Tentu saja, duduklah!”

“Ternyata kita bertemu lagi lebih cepat dari yang kuduga.” Chaiden terkikih. “Sungguh tidak apa-apa aku duduk di sampingmu?”

“Tidak apa-apa, kenapa kau berpikir akan ada masalah jika duduk di sampingku?”

“Hmm, entahlah.” Chaiden mengendikkan bahunya. “Bagaimana dengan orang yang kau tunggu di kantin tadi? Dia tidak akan menghajarku, kan, jika aku duduk di sampingmu?”

Amelia tertawa. “Tenang saja, orang yang selalu kutunggu itu… dia sepertinya tidak peduli aku menunggunya.”

“Benarkah?” Amelia mengangguk. “Astaga! Itu kejam sekali!” Chaiden memasang ekspresi terkejut, tapi kemudian dia menjadi salah tingkah melihat perubahan wajah Amelia yang menjadi sedih. “Hei, dengarlah. Dia tidak pantas untuk kau tunggu jika hatimu hanya akan menjadi sia-sia.”

“Hatiku?”

“Iya, hatimu terlalu berharga untuk seseorang yang tidak peduli padamu.”

“Tunggu dulu, hatiku baik-baik saja, kok.”

“Sungguh? Karena semua terlihat jelas dari wajahmu.”

“Wajahku? Memangnya kenapa dengan wajahku?” Amelia mendecak. “Lagipula, memangnya kau tahu siapa seseorang yang aku tunggu itu?”

“Aku tahu, kok, dia juga akan sekelas dengan kita hari ini.”

Amelia mengerutkan dahinya. Sekali lagi, dia berusaha untuk membaca isi kepala Aiden. Namun, kali ini harus gagal lagi karena dua orang yang baru saja masuk ke dalam kelas merusak konsentrasinya. Chale Efrain dengan ketampanannya merangkul mesra pinggang Abigail. Chale menatap sekilas ke arah Amelia yang bergeming. Lalu mengalihkan tatapannya kepada gadis yang sedang dirangkulnya.

Tatapan Amelia tidak terputus kepada Chale sampai pada saat kedua sejoli itu mulai bercumbu. Amelia memalingkan wajahnya. Menahan diri agar tidak menangis. Dadanya sesak dan bergemuruh. Pandangannya kini keluar jendela melihat suasana gerimis yang sendu dengan tangan terkepal. “Dasar brengsek kau, Chale! Bodoh sekali aku sudah mengkhawatirkanmu, nyatanya kau baik-baik saja!”

Di sampingnya, Aiden menikmati kejadian yang baru saja tersajikan di hadapannya. Dia menatap kasihan pada Amelia, lalu melemparkan tatapannya kepada Chale yang duduk tidak jauh darinya. Tatapan Aiden tanpa sengaja bertemu dengan mata Chale yang nyalang, tapi Aiden tidak terintimidasi sekali pun. Dia justru melemparkan senyuman misterius yang mengerikan kepada Chale.

Selepas kelas berakhir, Chaiden langsung menuju lokernya dan tampak terkejut ketika melihat Chale sudah menunggunya. Dia lalu mendecak. “Apa yang kau inginkan?”

“Bicara denganmu,” jawab Chale tegas. Lalu dengan cepat dua orang mendatangi Aiden kemudian mencengkeram kuat lengannya di kedua sisinya.

Chaiden tidak terintimidasi, dia justru tertawa sambil mendekatkan bibirnya ke telinga Chale. “Aroma tubuhmu dan kedua temanmu ini sungguh menjijikkan!”

Chale sadar apa yang diucapkan Chaiden adalah sebuah hinaan bagi manusia serigala dan tidak banyak orang yang tahu dirinya adalah makhluk Lycan. Dia menatap Chaiden dengan nanar. “Siapa laki-laki ini!? Apa dia vampir? Tidak! Aromanya tidak seperti makhluk penghisap darah! Bau tubuhnya berbeda! Sesuatu yang belum pernah kucium sebelumnya!”

“Apa kau sedang mencoba untuk mengenali bauku, Chale?” tanya Chaiden menyeringai. “Asal kau tahu saja, Amelia tertarik padaku dan sepertinya dia tahu siapa diriku.”

Bugh! Sebuah pukulan mendarat di perut Chaiden. “Jauhi dia! Jangan macam-macam dengannya! Jika kau menyakitinya atau melukainya bahkan hanya sehelai rambutnya saja, akan kujadikan kau bangkai makanan para burung gagak.”

Melihat Chaiden meringis lalu terjatuh ke lantai, Chale dan kedua temannya meninggalkannya. Senyuman licik tersungging di bibir Chaiden menantikan hal buruk yang sudah direncanakannya.

Tidak jauh dari tempat Chaiden berada, Amelia sedang berjibaku dengan beberapa buku di perpustakaan. Kegiatan sekolah sudah usai, tapi Amelia memutuskan tidak langsung pulang untuk mengerjakan beberapa tugas.

“Ah! Sial!” rutuk Amelia. Dia tidak bisa mengambil sebuah buku yang berada di rak paling atas. Terlalu tinggi digapai oleh tubuh mungilnya.

Beberapa kali Amelia coba melompat-lompat, tapi usahanya dirasa percuma karena bahkan ujung jarinya pun tidak bisa menyentuh buku itu. Lalu dia menengok ke kiri dan ke kanan, koridor rak tempat dirinya berada kini terlihat sepi. “Baiklah, tidak ada orang!” Dia menghembuskan napas sambil menggembungkan pipinya kemudian menajamkan matanya pada buku itu, memusatkan pikirannya untuk membuat buku itu bergerak.

Perlahan buku itu bergeser keluar, tapi belum sepenuhnya badan buku itu terlihat. Seseorang mengambilnya dengan mudah. Kontan, membuat Amelia terkejut yang membuatnya ingin berbalik namun ditahan oleh orang dibelakangnya.

“Jangan pernah memakai kekuatanmu saat kau tidak bersamaku!”

“Chale?” Amelia membalikkan badannya lalu dengan tubuh tegapnya Chale menguncinya ke rak. “Kau tahu, kan, akan sangat berbahaya jika orang-orang mengetahui kekuatanmu yang tanpa batas itu! Aku tidak bisa melindungimu! Jadi, jangan bertindak bodoh!”

Sekuat tenaga Amelia mendorong tubuh Chale lalu secepat kilat dia menyambar buku yang ada di tangan Chale kemudian bergegas pergi meninggalkannya.

Namun, Chale dengan cepat menahannya. “Hati-hati dengannya, Amelia,” bisiknya.

“Apa maksudmu?”

“Aiden. Berhati-hatilah dengannya. Aku bisa merasakan hal buruk saat melihatnya.”

“Aiden? Aku rasa dia pria yang baik?”

“Amelia!”

“Apa pedulimu, Chale? Kau pedulikan saja kekasihmu!”

“Apa maksudmu? Tentu saja aku peduli padamu! Dan ini tidak ada hubungannya dengan Abigail!

“Hmm, baiklah.” Amelia menggangguk dengan kedua tangganya memeluk buku. “Kau tidak perlu khawatir denganku. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

“Demi Tuhan, Amelia! Aku memperingatimu karena aku yakin sekali dia akan menyakitimu!”

Amelia menggeleng. “Kau tahu?” Perlahan dia mendekat pada Chale. “Justru kaulah yang sudah menyakitiku!”

Chale tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Amelia? Kenapa justru dirinya yang menyakiti Amelia? Padahal dia sedang berusaha untuk melindunginya dari kemungkinan terburuk karena Chaiden. Dia tidak terima tuduhan Amelia dan hal itulah yang membuatnya menjadi emosi. Bagi manusia serigala sepertinya, itu akan sangat berbahaya. “Dengarkan aku! Nanti malam datanglah ke rumahku!” Napas Chale mulai memburu, tapi dia berusaha keras untuk menahan dirinya agar tidak berubah wujud. “Datanglah malam ini ke rumahku! Akan kubuktikan laki-laki itu berbahaya!”

Amelia hendak mengiyakan andai saja dia tidak teringat bagaimana Chale mencumbu mesra Abigail di kelas pagi ini, membuatnya kesal sekali dengan hati memanas. “Aku tidak akan datang ke rumahmu, Chale Efrain!”

“Amelia– ” Sekali lagi, Chale mencoba menenangkan dirinya agar tidak berubah wujud. Dengan napas yang semakin memburu dia membiarkan Amelia pergi. Kali ini dia harus menjauh dari gadis itu. Untuk pertama kalinya, dia merasa sangat marah sekali pada Amelia dan dia sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa begitu marah padanya, tapi dia harus menahan diri agar tidak menyakitinya.

“Tidak! Jangan Amelia! Jangan dirinya! Kendalikan dirimu, Chale!”

Amelia berlari keluar dari perpustakaan dengan pipi basah karena airmatanya. Dia tidak bisa menahannya. Dengan napas menderu, dia terus berlari keluar hingga tanpa sengaja tubuhnya bertubrukan dengan seseorang lalu membuatnya jatuh terduduk di lantai. Amelia sedikit meringis lalu mengusap pipinya yang basah sambil menunduk.

“Kau tidak apa-apa? Maaf, aku tidak melihatmu. Kau berlari sangat cepat sekali.”

“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Aku yang salah karena sudah berlari tanpa melihat sekitar.”

“Amelia? Kau sungguh baik-baik saja?”

Menyadari namanya disebut membuat Amelia mendongak. “Aiden?”

“Entah ini kebetulan atau memang sudah takdir kita selalu dipertemukan?” Chaiden mengulurkan tangannya untuk membantu Amelia berdiri.

“Aku rasa bukan keduanya.” Amelia menyambut uluran tangan Chaiden lalu mengangkat tubuhnya hingga berdiri. “Kita satu sekolah, berada di dalam gedung yang sama. Tidak bisa dikatakan kebetulan dan belum tentu juga bisa dikatakan sebagai takdir.”

“Pemikiran yang cerdas! Seperti seseorang yang kukenal dan aku rasa kau juga mengenalnya.”

“Oh ya? Siapa?” Lagi dan lagi, ucapan Chaiden membuat Amelia penasaran.

“Bagaimana kalau kita ke kantin?” tanya Chaiden tak menjawab pertanyaan Amelia. “Aku rasa tempat itu masih buka. Akan kutraktir kau slurpee rasa jeruk, minuman kesukaanmu, kan?”

“Bagaimana kau tahu itu minuman kesukaanku?”

“Karena aku sering melihat kau membelinya.”

“Sungguh? Jadi, kau memperhatikanku, ya?”

“Hmm… bisa dibilang seperti itu, tapi bisa juga dibilang tidak.” Chaiden tersenyum tipis lalu berjalan lebih dulu.

Melihat posisinya yang kini berada di belakang Chaiden dan suasana koridor yang sepi, membuat Amelia ingin melakukan lagi apa yang sudah berkali-kali dia coba lakukan. Dia tahu, tidak seharusnya menggunakan kekuatannya itu tanpa izin, siapa yang ingin dilihat isi kepalanya oleh orang lain? Mengetahui apa yang sedang dipikirkan? Namun, Amelia harus melakukannya kepada Chaiden. Karena selain peringatan dari Chale, Amelia tahu satu hal tentangnya, yaitu, Chaiden juga memiliki aura keemasan yang sama dengan dirinya.

Sambil berjalan perlahan di belakangnya, Amelia tidak memutuskan kontak mata pada laki-laki itu. Dia lalu memusatkan pikirannya. Semakin keras berusaha dan semakin terlihat dengan jelas apa yang sedang dipikirkannya.

“Apa kau sedang berusaha membaca pikiranku, Amelia?”

Deg! Apa Chaiden baru saja berbicara dengannya?

Amelia menghentikan langkahnya dan pada saat itu juga, Chaiden tak melanjutkan langkahnya. Baik Amelia maupun Chaiden keduanya bergeming untuk beberapa saat lalu Chaiden memutar tubuhnya. Ekspresi Amelia tampak terkejut. Jantungnya berdebar-debar menunggu reaksi Chaiden selanjutnya.

“Sepertinya kau ingin segera pulang daripada ke kantin,” ucap Chaiden datar dengan kedua ujung bibir yang tersenyum samar.

Tanpa menjawab, Amelia melangkah mundur dan segera pergi meninggalkan Chaiden. Tanpa menyadari laki-laki itu menatapnya penuh kebencian.

Amelia berjalan cepat keluar dari gedung sekolah. Di lapangan parkir dia berhenti sejenak dengan pikiran berkecamuk. Siapa Chaiden sesungguhnya? Bagaimana bisa Chaiden berbicara dengannya melalui pikiran seperti telepati? Apa Chaiden seperti dirinya?

Kedua mata Amelia membulat! Apa mungkin ada keturunan peri selain keluarga de la Faye yang tidak diketahuinya? Lalu, Amelia teringat ucapan Chale di perpustakaan. Bagaimana dia telah diperingati tentang Chaiden yang akan melakukan hal buruk. Chale manusia serigala, dia bisa mencium hal buruk pada seseorang dan terlepas dari itu semua, Amelia harus mengakui kalau firasatnya tadi pagi mungkin saja benar!

Dia kemudian memutuskan untuk menuju kediaman Efrain. Memang Amelia sudah mengatakan pada Chale dia tidak akan ke rumahnya, tapi dia harus membahas hal ini karena Chale mengatakan dia akan membuktikan kalau Chaiden adalah pria yang berbahaya. Bukankah itu berarti Chale mengetahui sesuatu tentang Chaiden?

Sesaat sebelum meyakinkan dirinya untuk menemui Chale, Amelia menatap langit yang semakin gelap, tapi bukan karena hari mulai memasuki malam melainkan awan hitam yang mulai menutupi semburat cahaya matahari. Entah apa mungkin akan turun hujan atau sesuatu sengaja menghalanginya, tapi firasat buruk Amelia sepertinya semakin kuat dirasakannya.

Dengan tergesa-gesa Amelia menuju rumah Chale, namun sayangnya, laki-laki itu ternyata belum kembali. Amelia memutuskan untuk menunggunya diam-diam di dalam kamarnya tanpa mengetahui kalau Chale sedang berusaha mengendalikan dirinya di basement sekolah yang sudah tidak terpakai lagi. Dia mencakar dan menggeram berkali-kali sebagai akibat dari emosinya kepada Amelia.

Untungnya, Chale tidak sampai harus berubah wujud. Perlahan dia mulai bisa menenangkan dirinya dan kemudian memutuskan untuk keluar dari basement lalu memutuskan untuk pulang. Langkah kakinya terasa berat saat memasuki pekarangan rumahnya. Dia memeluk dirinya dengan jaket tebal yang dikenakannya. Tubuhnya terasa menggigil dengan rambut yang terlihat berantakan karena pergumulan dengan dirinya sendiri. Dia harus mengendalikan hasrat untuk tidak melukai siapapun, khususnya Amelia.

Pintu utama kediaman keluarga Efrain terbuka dan Chale memasukinya. Dia langsung menuju kamarnya dengan napas yang masih memburu pertanda belum sepenuhnya tenang dan terlihat sekali dia berusaha untuk menetralisir andrenalin tubuhnya. Baru saja dia merebahkan dirinya di atas tempat tidur lalu disadarinya seseorang sudah menunggunya.

“Amelia?” Chale terperanjat.

“Kenapa kau begitu kaget melihatku? Ini bukan pertama kalinya aku ke kamarmu, kan?”

Apa yang kau lakukan di kamarku!?” Chale sedikit membentak karena dia belum sepenuhnya tenang dan dia takut menyakiti Amelia.

Menyadari Chale yang terlihat emosi, membuat Amelia kebingungan. “Apa yang terjadi, Chale? Kau tidak apa-apa, kan?”

Chale melihat Amelia mendekatinya dengan perlahan. “Jangan mendekatiku!”

Amelia menghentikan langkahnya lalu mematung sambil menatap Chale yang terlihat jelas sedang mengendalikan dirinya. “Apa kau baru saja berubah wujud? Kenapa kau tidak memberitahuku? Kau tahu, kan, aku harus melindungimu?”

Chale tertawa sarkastik. “Apa aku harus selalu memberitahumu setiap kali aku berubah wujud?” Amelia mengkerutkan dahinya. “Kau tidak bisa terus-terusan melindungiku!”

“Tapi sudah takdirku melindungimu, Chale Efrain!”

Chale mengepalkan tangannya. “Simpan saja kekuatanmu untuk dirimu sendiri karena aku tidak butuh perlindunganmu!”

Amelia bergeming. Dia tahu Chale mengatakan hal itu karena belum sepenuhnya menjadi dirinya sendiri. Perlahan Amelia mendekatinya. “Chale, kumohon tenanglah. Aku tidak akan mengajakmu bertengkar karena masalah ini.” Amelia menatap Chale lekat lalu menghela napas sejenak. “Aku menemuimu karena ingin membicarakan Chaiden Avery….”

Mendengar nama Chaiden diucapkan dengan lengkap mengingatkan Chale bagaimana Amelia mengatakan kalau Chaiden adalah pria yang baik dan hal itu membuat Chale semakin emosi. “Pergilah! Keluar dari kamarku!” Napasnya semakin memburu, tangannya mengepal kuat. Dipejamkan matanya agar tidak melihat wajah Amelia. Karena rasanya seperti dia akan menyakiti gadis di hadapannya itu jika memandangnya.

Namun, Amelia semakin mendekatkan dirinya. “Chale–”

“KELUAR DARI KAMARKU!”

Seketika Amelia mundur beberapa langkah. Dia sungguh tidak menyangka Chale akan membentaknya. Rasa keterkejutan membuatnya terpaku pada kedua sorot mata Chale yang memerah bagaikan nyala api. Hatinya pun bergemuruh. Pikirannya berkecamuk. Sejak kapan sorot mata Chale seperti itu? Karena ini bukan yang pertama kalinya Amelia menghadapi manusia serigala bernama Chale Efrain yang sedang emosi dan kedua matanya tidak pernah membara seperti sorot mata seorang Alpha.

“PERGILAH SEKARANG JUGA, WANITA JALANG!”

Amelia tersentak. Dia tahu, Chale sedang diburu amarah, tapi tetap saja menyakitkan baginya. Karena selain sorot mata mengerikan, ini juga untuk yang pertama kalinya Chale menyebutnya dengan sebutan yang setara wanita murahan.

“Aku tidak menyangka kau menyebutku seperti itu,” desis Amelia dengan suara parau. Kedua sudut matanya mulai basah. Dadanya bergemuruh dengan hati yang terasa dicabik-cabik. “Baiklah. Aku akan pergi, tapi itu karena aku tahu kau sedang marah. Dan asal kau tahu saja, Chale, aku baru saja akan mempercayaimu tentang Aiden.” Tanpa melihat ke belakang, Amelia pergi meninggalkan kamar Chale setelah membanting pintunya.

Chale melihat kepergian Amelia dengan perasaan bersalah. Dia tidak bermaksud untuk menyakiti perasaannya. Ingin sekali Chale berlari menghentikan kepergiannya, tapi tidak dia lakukan. Karena ada alasan kuat dibaliknya, Chale tidak ingin melukainya.

Takdir Amelia dan Chale berbalutkan indah oleh perasaan yang telah dikutuk. Sebuah kutukan yang bisa mereka hindari dengan satu-satunya cara dimana Chale harus bisa melindungi dirinya sendiri tanpa kekuatan seorang Amelia de la Faye. Namun, satu hal yang Chale tidak ketahui adalah kekuatan Amelia bukan semata-mata hanya untuk melindungi dirinya saja.

Amelia berlari keluar dari rumah Chale dengan perasaan yang sangat tersakiti. Meski dia tahu Chale tidak bermaksud menyakitinya, tapi Amelia tetap tidak bisa membendung tumpah ruah airmatanya yang tersamarkan dengan derasnya air hujan yang mengguyur kota Salem sore itu. Kota yang disebut-sebut sebagai kota penyihir dengan tragedi yang mengerikan menjadi terasa mencekam di saat hujan, tapi bagi Amelia rasanya tak lebih mencekam dari hatinya saat ini.

Perburuan penyihir di kota Salem di tahun 1696, membuat keluarga de la Faye harus menyelamatkan diri. Mereka dianggap penyihir karena banyak saksi mata mengatakan keluarga de la Faye memiliki kekuatan yang tidak biasa. Pada saat itu, ketika masa-masa penyihir dianggap jahat dan harus dihukum mati, membuat keluarga de la Faye harus menyembunyikan diri dari tuduhan dan fitnah. Kalau bukan karena keluarga Efrain, para manusia serigala, mungkin nasib keturunan dari keluarga de la Faye sudah berakhir beratus-ratus tahun silam.

Pertemuan seorang bangsawan peri dengan manusia serigala menjadi takdir yang membuat kedua keluarga tersebut silih berganti saling melindungi dengan menjaga kekuatan dan generasi dari sebuah kutukan yang menyertai keluarga Faye yang tidak seharusnya mereka terima karena sejatinya kutukan itu adalah akibat dari perasaan cinta. Kenapa harus dikutuk karena cinta? Apakah sebegitu hinanya untuk saling jatuh cinta dan mencintai?

Kutukan itu seharusnya tidak ada kecuali keduanya terikat oleh cinta dan kutukan itu sendiri bisa dipatahkan jika bisa menghabisi yang membuatnya. 

Tadinya Amelia ingin membicarakan apa yang diketahuinya tentang Chaiden mungkin saja berhubungan dengan kutukan keluarga de la Faye. Chaiden mungkin ada hubungannya dengan seseorang yang mengawali itu semua. Namun, mengingat apa yang baru saja terjadi membuat Amelia tidak peduli lagi. Hatinya terlalu sakit memikirkan itu semua, apalagi setelah kata-kata yang keluar dari mulut Chale dan pengusirannya. Ini pertama kalinya Chale memperlakukannya seperti itu, sebelumnya biarpun sedang marah, Chale tidak pernah merendahkan atau mengusirnya.

Amelia mempercepat langkahnya menjauhi kediaman keluarga Efrain. Namun, belum sampai pada belokan yang menuju jalan utama. Sesuatu menghantam kepalanya dan membuat pandangannya seketika menjadi gelap.

Seseorang mengangkat tubuh Amelia yang tidak sadarkan diri dari jalanan beraspal. Setelah yakin tidak ada saksi mata yang melihat apa yang sudah dilakukannya. Orang itu memasukkan tubuh Amelia di jok belakang mobilnya. Lalu dengan cepat dia segera pergi dari tempat itu.

Begitu sampai di kediamannya, dia langsung memasukkan mobilnya ke dalam garasi lalu segera dia mengeluarkan tubuh Amelia kemudian membawanya ke ruang tamu dan meletakkannya di atas sebuah sofa yang sangat besar. Untuk beberapa saat dia memandangi wajah Amelia yang mengingatkannya pada seseorang yang sudah membuatnya sakit hati karena pengkhianatan. Dia merasa muak mengingat itu semua lalu memutuskan untuk tak berlama-lama memandanginya.

Namun, baru saja dia mengalihkan pandangan, terdengar ringisan yang membuatnya menyadari kalau korbannya mulai sadar.

“Apa kau sudah bangun?”

Amelia mengerjap lalu perlahan membuka matanya. Dia melihat sekeliling tempat itu. Dirinya berada di ruang tamu sebuah rumah yang tidak pernah dimasukinya. “Aku sedang berada di mana? Rumah siapa ini?” batinnya bertanya-tanya

“Kau berada di rumahku, Amelia,” ujar seseorang yang kontan saja membuat Amelia terkejut.

“Aiden?” tanya Amelia heran. Tangannya refleks memegang belakang kepalanya yang terasa sakit. Dia berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. “Sedang apa aku di rumahmu? Bagaimana bisa aku sampai di sini?”

“Sudah lama aku mencarimu hanya agar aku bisa menculikmu,” jawab Chaiden santai.

“Me-menculikku?” Dan saat itu juga Amelia teringat sesuatu menghantam kepalanya sesaat setelah dia meninggalkan rumah keluarga Efrain. “Kenapa kau menculikku?”

Chaiden terkekeh. “Hanya ada satu orang yang bisa menjawab pertanyaan itu, tapi sayangnya dia memilih kehidupan fana yang membuatnya tidak lagi abadi dan tidak bisa menjawabnya. Jadi, aku akan menceritakan sebuah kisah yang mungkin saja kau sudah tahu cerita itu.” Amelia bergeming dengan tetap mendengarkan. Firasatnya benar, bahwa Chaiden Avery bukanlah manusia biasa. “Clair Bealle! Kau pasti tahu, kan, siapa dia?” Amelia tidak menjawab meski tahu jawabannya. Kini dia semakin yakin laki-laki di hadapannya ini adalah orang yang bertanggung jawab atas kutukan yang diterima keluarga de la Faye. “Dia adalah bangsawan peri yang seharusnya menjadi pengantinku. Namun sayangnya, dia memilih untuk meninggalkanku, meninggalkan bangsanya, hanya demi seorang manusia terkutuk!” Chaiden tertawa sarkastik. “Apa kau tahu?” Perlahan dia mendekati Amelia. “Aku mengutuk keturunannya. Jika mereka jatuh cinta pada manusia terkutuk itu, maka kekuatan perinya akan hilang,” bisiknya sambil menyeringai.

Tatapan tajam mata Aiden membuat Amelia terintimidasi. “Ja-jadi, kau menculikku untuk balas dendam?” Dengan sedikit keberanian dia bertanya.

Chaiden mundur sedikit lalu tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya berhenti kemudian menatap Amelia dengan letupan amarah yang memuncak. “Tentu saja aku akan balas dendam! Akan kuhabisi keturunan terakhir Clair Bealle!” Kedua tangannya langsung mencengkeram leher Amelia dengan kekuatan penuh.

Amelia berusaha untuk melepaskan diri. Sekuat tenaga dia mencoba untuk mengerahkan kekuatannya, tapi dirinya seakan terkunci.

“Kau tidak akan bisa menggunakan kekuatanmu, Amelia!” Chaiden kembali menyeringai dengan kedua tangannya yang terus mencengkeram kuat. “Bagaimana mungkin manusia setengah peri sepertimu bisa melawan peri sejati sepertiku! Huh!?”

Amelia terus memberontak dari cengkeraman Chaiden. Dia mulai kehabisan napas dan menyadari tidak bisa menggunakan kekuatannya. Entah apa memang benar apa yang dikatakan Aiden atau mungkin karena dia sudah terkena kutukan itu?

“Aku pastikan tidak akan ada yang bisa menolongmu!” hardik Chaiden penuh rasa prcaya diri. “Pria yang selalu kau tunggu itu? Kau pikir dia akan mendengarmu?” bisiknya yang diikuti dengan tertawa penuh kemenangan. “Dia tidak peduli padamu, Amelia! Dia tidak akan datang untukmu!” Cengkeraman Chaiden semakin kuat di leher Amelia. “Dan aku juga akan membunuhnya setelah dirimu!”

Di tengah sekaratnya Amelia sekuat tenaga memanggil Chale di dalam hatinya dan berharap Chale mendengarnya meski itu mustahil. Karena yang dia tahu, seseorang seperti Chale Efrain yang merupakan manusia serigala, hanya bisa mendengar dan merasakan bahaya pada seseorang dari ribuan kilometer, jika orang tersebut adalah belahan jiwanya dan terikat padanya. Apa Amelia belahan jiwa Chale? Apa Chale peduli padanya?

Napas Amelia terputus-putus, tubuhnya semakin tidak berdaya dan pandangannya mulai kabur. Pada saat itu Amelia ingin menyerah, tapi sesuatu menghantam jendela lalu masuk ke dalam rumah. Menarik Chaiden kemudian mencabik-cabiknya dengan penuh amarah.

Begitu terlepas dari cengkeraman, Amelia terkulai lemas dengan tubuh yang terasa remuk. Samar-samar dia masih bisa melihat bayangan mengerikan yang menghancurkan tubuh Chaiden. Tidak! Jangan lukai dia! Kau tidak boleh melukainya!

Amelia ingin sekali berteriak menghentikan pembantaian mengerikan itu, tapi dia tak lagi memiliki tenaga bahkan untuk mengeluarkan suaranya sekalipun!

“Kenapa kau tidak menggunakan kekuatanmu? Kau hampir mati, tapi kenapa kau membiarkannya?” Seseorang memeluknya lalu mengusap lembut pipinya.

“A-apa ini kau… Chale? Kau datang menolongku?”

“Tentu saja aku datang menolongmu! Aku mendengarmu memanggilku dan aku bisa merasakan kau dalam bahaya!”

“Benarkah? Kau bisa mendengar dan merasakanku?”

Chale mengangguk lalu kembali memeluk erat tubuh Amelia. “Untung saja kau bisa kuselamatkan, Amelia, untung saja kau masih hidup,” bisiknya tersedu-sedu. “Kenapa kau tidak menggunakan kekuatanmu? Kenapa?” Chale menatap Amelia meminta penjelasan.

Amelia membalas tatapan Chale dengan buliran kristal bening yang menggantung di kedua pelupuk matanya. “Karena… aku jatuh cinta padamu, Chale Efrain.” Dan buliran itu pun akhirnya jatuh di pipinya. “Aku kehilangan kekuatan periku….”

Amelia sadar, dia sudah terkena kutukan itu. Namun anehnya, tidak terasa menyedihkan. Airmata yang tumpah ruah adalah bukti keindahan perasaan cintanya kepada Chale. Karena menurutnya, jauh lebih menyedihkan jika harus mengorbankan cinta demi menghindari sebuah kutukan.

Lagi dan lagi, Chale memeluk Amelia. Kali ini sangat erat seakan dia tidak ingin melepaskan tubuh mungil gadis itu. “Mulai sekarang… akulah yang akan melindungimu, Amelia, aku yang akan melindungimu. Tidak akan kubiarkan seorang pun menyakitimu.”

Di dalam dekapan Chale Efrain, Amelia de la Faye merasa bahagia menerima kutukan dan mengetahui pria itu memiliki ikatan yang tidak bisa dijelaskan kepadanya, membuatnya percaya, manusia serigala yang dicintainya itu mampu melindunginya.

 

Ϫ Ϫ Ϫ


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)