Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,526
Surat Terakhir Untuk Malam
Drama

Aku menulis kepadamu, sekali lagi, dengan cahaya lampu meja yang redup dan kaca jendela yang memantulkan wajahku sendiri. Malam ini terlalu panjang, atau mungkin akulah yang terlalu lelah. Dari kursi yang keras ini, aku menatap kota yang menjulang, berkilat seperti piring-piring kotor yang menumpuk di dapur umum. Cahaya lampu-lampu jalan tampak seperti bintang yang jatuh terlalu cepat, tak pernah sempat memberi harapan.

Kau tahu, ada detik-detik tertentu ketika tubuhku merasa terlalu ringan. Seolah setiap urat hanya diisi oleh udara, dan darah sudah malas berputar. Pada detik-detik itu, aku selalu mengingatmu. Aku mengingat tatapan matamu yang pernah menahanku di sebuah sore, ketika hujan belum selesai menulis garis-garisnya di kaca jendela kelas, dan kita sama-sama diam, mendengarkan bunyi rintik yang lebih jujur daripada suara siapa pun.

Aku menulis kepadamu, karena aku tak punya siapa pun lagi yang bisa menampung kata-kata ini. Surat-suratku selalu tak pernah terkirim. Aku hanya melipatnya, memasukkannya ke dalam laci, dan membiarkannya menumpuk seperti jasad serangga di museum kecil. Kau mungkin tak pernah membacanya, tapi aku tetap menulis, karena menulis berarti menghidupkanmu sekali lagi di kepalaku.

Kota ini, kau tahu, terasa seperti mulut raksasa yang terus mengunyah tanpa berhenti. Aku berjalan di trotoar, dan derap langkahku ikut bergema seperti detak mesin. Orang-orang bergegas, wajah mereka menunduk, masing-masing terikat pada layar kecil di tangan. Aku merasa seperti boneka kayu yang tersesat di tengah pasar malam—lampu-lampu berkelip, musik hingar, tapi tak ada satu pun yang betul-betul memandangku.

Aku ingin bercerita padamu tentang sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, aku berada di sebuah taman tua. Daun-daun kering jatuh, berputar, lalu berhenti di kakiku. Kau duduk di bangku taman, mengenakan pakaian putih yang sederhana. Kau tersenyum, tapi aku tidak bisa mendekat. Setiap langkahku, tanahnya selalu retak dan jatuh, hingga aku terperosok lebih dalam. Kau tetap di sana, utuh, sementara aku terus melayang turun, turun, dan turun, sampai suaramu makin jauh, tenggelam dalam kabut. Aku terbangun dengan dada sesak, tapi entah kenapa mimpi itu terasa lebih nyata daripada siang hari yang kusambut kemudian.

Aku sering merasa seperti seekor serangga yang menempel di kaca jendela: dari dalam aku bisa melihat cahaya, mendengar hiruk pikuk, tapi tak pernah bisa benar-benar ikut di dalamnya. Ada lapisan tipis—tak terlihat, tapi kokoh—yang memisahkanku dari dunia. Kau mungkin menyebutnya jarak, atau kesepian, atau keterasingan. Aku hanya tahu rasanya: menatap sesuatu yang tak bisa kugapai, hingga akhirnya aku belajar untuk tak lagi mengulurkan tangan.

Seandainya kau ada di sini malam ini, mungkin aku akan membawamu berjalan menyusuri gang kecil di dekat stasiun. Di sana, bau gorengan bercampur dengan bau oli dan bau hujan yang belum kering. Ada kucing-kucing kurus yang berlarian, ada suara kereta yang melintas cepat, menggetarkan aspal dan dadaku. Aku akan menunjukimu lampu kuning redup di warung kopi, tempat aku sering duduk sendirian sambil memandangi gelas kosong. Kau akan tertawa kecil, mungkin menganggapku terlalu murung. Lalu kau akan menepuk pundakku, mengingatkan bahwa hidup bukan hanya tentang menunggu sesuatu yang tak datang.

Tapi kau tidak di sini. Kau entah di mana. Dan aku hanya punya bayanganmu yang semakin kabur.

Aku masih ingat sore terakhir kita. Langit berwarna oranye, seperti api yang sudah mulai padam. Kau berdiri di ujung jalan, rambutmu diterpa angin, matamu seakan menyimpan kata-kata yang tak pernah jadi keluar. Aku ingin berlari mengejarmu, ingin memelukmu, tapi kakiku seperti dipaku ke tanah. Kau hanya menoleh sekali, lalu pergi. Sejak itu, aku seperti menunggu kereta yang tak pernah tiba, duduk di bangku stasiun yang semakin berdebu, mendengarkan pengeras suara yang hanya memanggil nama-nama asing.

Ada orang-orang yang bilang, kesedihan akan memudar bersama waktu. Tapi bagiku, waktu hanyalah alat untuk mengawetkan kesedihan itu. Ia membungkusnya dengan lapisan-lapisan tipis, membuatnya tampak lebih ringan di luar, tapi tetap keras di dalam. Aku bisa tertawa di hadapan orang lain, aku bisa bercakap-cakap, tapi begitu sendiri, lapisan itu terkelupas, dan luka yang sama kembali menyala.

Kau tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan kehilanganmu. Bukan kepergianmu. Melainkan kenyataan bahwa aku masih ada di sini, masih bangun setiap pagi, masih berjalan, masih bernapas, sementara sesuatu di dalam diriku sudah lama berhenti. Aku merasa tubuhku hanya wadah kosong, digerakkan oleh kebiasaan. Dan ketika aku bercermin, aku hanya melihat sepasang mata yang tak lagi bersinar.

Kadang aku berpikir: mungkinkah manusia memang diciptakan untuk kecewa? Seperti buah yang tampak ranum dari luar, tapi begitu digigit, dagingnya hambar. Kita lahir dengan harapan, lalu perlahan-lahan harapan itu digerogoti oleh kenyataan. Hingga yang tersisa hanya kerangka, rapuh, menunggu waktu untuk runtuh.

Malam ini aku menulis lebih panjang dari biasanya. Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu: seluruh rasa lapuk ini, seluruh bisu yang tak pernah menemukan telinga. Aku ingin kau tahu, betapa keras aku berusaha bertahan, betapa keras aku mencoba tetap berdiri di tengah arus. Tapi sungai ini terlalu deras, dan aku terlalu lemah.

Aku menulis, karena mungkin ini surat terakhirku. Bukan karena aku berhenti mencintaimu, tapi karena kata-kata pun mulai kehilangan artinya. Aku menulis, karena aku ingin meninggalkan jejak, sekecil apa pun, sebelum aku benar-benar lenyap.

Di luar jendela, lampu jalan bergoyang diterpa angin. Ada suara sirene jauh di sudut kota, meraung seperti hewan yang terluka. Aku menutup mata sejenak, dan aku bisa membayangkan wajahmu lagi. Wajah yang tenang, yang pernah memberiku sepotong keyakinan.

Aku tidak tahu, apakah esok masih akan ada bagiku. Aku tidak tahu, apakah surat ini akan sampai kepadamu, atau hanya akan ikut membusuk bersama surat-surat lain di laci. Aku hanya tahu, aku sudah lelah berjalan di jalan yang sama, memandang langit yang sama, menunggu jawaban yang sama.

Mungkin malam ini aku akan turun ke jalan, menyusuri gang yang sepi, melewati jembatan tua di pinggir kota. Mungkin aku akan berhenti di sana, menatap air gelap yang berkilat oleh lampu. Mungkin aku akan menunggu sampai tubuhku benar-benar ringan, cukup ringan untuk dilepaskan.

Atau mungkin aku hanya akan duduk di bangku itu, merokok satu batang terakhir, lalu pulang ke kamar sempit ini, tertidur di kursi, dan bermimpi lagi tentang taman tua.

Tak ada yang tahu. Bahkan aku pun tak tahu.

Yang kutahu hanya satu: aku menulis untukmu, malam ini, agar kau tetap ada di dalam kata-kata, sekalipun aku perlahan hilang di antara barisnya.

Selamat malam.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)