Masukan nama pengguna
Kota ini berdiri seperti rahang baja. Bangunan menjulang, kaca-kaca dingin, jalan yang tak pernah tidur. Di atas aspal yang retak, ribuan motor berseliweran, lampu merah jadi sekadar hiasan, dan klakson terdengar seperti suara yang tak pernah berhenti. Di antara motor-motor itu, banyak pengendara mengenakan jaket hijau pudar: mereka adalah wajah baru kota, wajah rakyat kecil yang tubuhnya ditukar dengan kilometer perjalanan.
Hari itu udara bukan hanya dipenuhi polusi, melainkan juga murka. Dari berbagai arah, orang-orang berkumpul menuju Daerah konflik. Ada mahasiswa yang menggenggam spanduk, ada buruh yang mengangkat poster, ada pengemudi ojol yang ikut berhenti karena jalan ditutup. Semuanya bercampur, seperti arus sungai yang tak terbendung. Teriakan menggema, menembus panas dan debu: tuntutan agar uang rakyat tak dirampok, agar kebijakan tak terus jadi bahan dagangan politik.
Anak lelaki itu berada di sana bukan sebagai orator, bukan sebagai pemimpin massa. Ia hanya seorang pengemudi yang kebetulan terjebak jalan, motornya terhenti di lautan manusia. Tetapi dalam kerumunan itu, ia ikut hanyut. Ia melihat wajah-wajah penuh amarah, ia mendengar suara lantang mahasiswa yang memekakkan telinga, ia merasakan getaran tanah setiap kali teriakan bergemuruh. Dan di dadanya, ada sesuatu yang bergetar, perasaan samar bahwa ia adalah bagian dari mereka.
Di seberang jalan, barisan polisi berdiri kaku. Tameng hitam mereka berkilat di bawah cahaya lampu jalan, helm-helm baja menyembunyikan wajah. Lampu sorot kendaraan taktis menyapu kerumunan seperti mata raksasa. Kawat berduri sudah dibentangkan, membelah ruang antara rakyat dan gedung wakil rakyat. Udara mengental oleh ketegangan, seakan waktu hanya menunggu percikan kecil untuk meledak.
Teriakan makin keras, spanduk makin tinggi. Polisi makin maju, langkah mereka teratur, bunyi sepatu lars menghantam aspal seperti palu yang menandai irama. Gas air mata ditembakkan, menembus udara, memaksa mata-mata rakyat menangis bukan karena emosi, tetapi karena kimia. Asap putih menyebar, menusuk paru-paru, membuat orang batuk, membuat kerumunan terhuyung-huyung.
Di tengah asap itu, terdengar raungan mesin. Dari belakang barisan aparat, sebuah kendaraan baja bergerak maju. Orang-orang menyebutnya Barracuda: raksasa hitam dengan ban setinggi pinggang manusia, diciptakan untuk perang, tapi malam itu diarahkan pada rakyatnya sendiri. Lampu depannya menyalak tajam, suara mesinnya menggeram seperti binatang lapar.
Kerumunan kacau. Ada yang berlari, ada yang jatuh, ada yang saling menginjak untuk menyelamatkan diri. Teriakan berubah menjadi jeritan, spanduk jatuh ke tanah, botol air mineral terinjak hingga pecah. Anak lelaki itu berdiri terpaku, matanya perih, dadanya terbakar oleh gas, tapi yang lebih menusuk adalah cahaya putih kendaraan baja yang semakin dekat.
Waktu seolah berhenti. Ia mendengar detak jantungnya sendiri, keras, berkejaran dengan deru mesin. Ia ingin lari, tapi tubuhnya kaku. Orang-orang di sekitarnya berhamburan, tapi kakinya seperti ditancapkan ke aspal. Dan dalam sekejap, raksasa itu menelan jarak. Ban baja berputar, menghantam, menggilas. Suara benturan, jeritan kolektif, lalu hening sejenak yang lebih memekakkan daripada teriakan.
Di tanah, tubuh Anak lelaki itu tergeletak. Lampu sorot masih berputar, asap masih menebal, teriakan masih bersahutan. Tetapi di bawah roda raksasa, satu nyawa rakyat sudah diremukkan.
Asap gas air mata terus menutup jalan, menelan lampu, menelan wajah-wajah yang berlari tanpa arah. Suara sirene memekakkan telinga, bercampur dengan batuk, makian, dan doa yang terlontar terbata-bata. Di bawah lampu kuning jalanan, kerumunan itu tampak seperti kawanan burung yang ditembak serentak: tercerai-berai, kehilangan formasi, terbangun hanya oleh naluri untuk selamat.
Di tengah kekacauan, orang-orang berteriak memanggil nama. “Kawan! Kawan!” Suara itu bercampur dengan derak tameng polisi yang maju. Seseorang jatuh, tangannya terulur, tubuhnya terinjak oleh orang lain yang panik. Teriakan berganti tangisan, lalu kembali jadi teriakan. Begitulah kekacauan bekerja: manusia jadi suara, suara jadi asap, asap jadi hilang.
Barracuda itu tetap melaju. Ban raksasanya menggilas botol plastik, spanduk, tas, bahkan tubuh. Jeritan meledak dari kerumunan, tidak lagi hanya tentang marah, tapi tentang ngeri. Di tanah, tubuh seorang pengemudi ojol tergeletak tak bergerak. Helm hijau yang dipakainya retak, pecah di sisi kiri, cangkangnya berlumuran debu dan darah.
Orang-orang berhenti sesaat, menatap pemandangan itu dengan mata yang membelalak. Ada yang ingin menolong, tapi suara tembakan gas dan langkah aparat menghalangi. Ada yang nekat berlari mendekat, menyeret tubuhnya ke tepi jalan, sambil berteriak: “Dia masih hidup! Dia masih hidup!” Tetapi teriakan itu tenggelam dalam gemuruh mesin dan pekik sirene.
Polisi terus maju. Tameng-tameng mereka menutup wajah, pentungan mereka terangkat. Mereka bukan lagi manusia, melainkan barisan logam. Di mata mereka, kerumunan hanyalah ancaman yang harus dibersihkan. Mereka tidak melihat seorang anak muda dengan jaket hijau yang sudah berhenti bernapas, mereka hanya melihat hambatan di jalan operasi.
Di belakang, massa yang lebih jauh masih berteriak. Mereka belum tahu apa yang baru saja terjadi di barisan depan. Spanduk tetap dikibarkan, megafon tetap meraung, tuntutan tetap disuarakan. Tapi berita kematian bergerak lebih cepat daripada gas. Bisik-bisik mulai menyebar: ada yang dilindas, ada yang mati, ada darah di aspal.
Bisik-bisik itu berubah jadi gelombang. Orang-orang yang tadinya bertahan mulai gemetar. Ada yang berteriak: “Bubaaaar!” Ada yang balas: “Jangan! Kita harus bertahan!” Dua suara itu saling bertabrakan, mencabik kerumunan menjadi dua: yang memilih bertahan, dan yang memilih selamat.
Di tepi jalan, seorang mahasiswa menunduk, tangannya gemetar, menuliskan sesuatu di ponselnya. Ia merekam, ia memotret, ia mengirimkannya ke dunia luar. Dalam hitungan menit, foto tubuh yang tergeletak itu beredar di layar-layar telepon orang-orang di luar daerah konflik. Dunia maya menyaksikan, meski dunia nyata tertutup asap.
Polisi tahu, tapi tak peduli. Mereka tetap maju, menekan, mendesak. Rakyat mundur, terbatuk, terhuyung. Ada yang berusaha mengangkat tubuh korban, tapi gas membuat mereka terjatuh. Mereka mencoba lagi, kali ini dua orang menyeretnya bersama. Darah menetes, meninggalkan jejak di jalan. Aspal menyerapnya, hitam bercampur merah, seperti tanda yang tak bisa dihapus.
Langit Kota malam itu tidak berbintang. Hanya lampu jalan yang pucat, hanya sorot lampu kendaraan baja yang berputar liar. Dan di bawahnya, seorang rakyat kecil menjadi korban dari negaranya sendiri.
Kerumunan itu kian pecah. Yang di depan menanggung beban gas, tameng, dan ban baja. Yang di belakang hanya mendengar kabar samar: ada yang jatuh, ada yang mati. Namun berita samar itu lebih kuat daripada megafon, lebih keras daripada sirene. Ia menyebar dari mulut ke mulut, membelah ribuan manusia jadi dua kubu: yang masih ingin melawan, dan yang hatinya sudah kalah.
Di salah satu sudut jalan, seorang perempuan muda terjatuh karena kepanikan. Tangannya memeluk tas, napasnya pendek, matanya merah. Ia bukan aktivis, bukan orator, bukan mahasiswa. Ia hanya pekerja yang kebetulan pulang terlambat, terjebak di tengah ribuan orang. Malam itu, ia menjadi saksi bisu. Ia melihat dengan matanya sendiri ban baja menggilas tubuh pengemudi ojol, dan seketika ia tahu: berita itu benar.
Ia menjerit, tapi jeritannya lenyap dalam deru mesin. Tidak ada yang mendengar. Atau mungkin semua mendengar, tapi tak ada yang bisa menolong. Dalam situasi seperti itu, setiap orang hanya memiliki satu kewajiban: menyelamatkan diri.
Barikade polisi semakin menekan. Gas air mata membubung seperti kabut yang lahir dari perut bumi. Tameng mereka berkilat disapu lampu, pentungan mereka terangkat, siap menghantam siapa saja yang tersisa. Dan di depan barikade itu, tubuh ojol yang sudah dingin masih tergeletak.
Beberapa mahasiswa kembali mencoba mendekat. Mereka menggenggam spanduk yang sudah sobek, mereka berusaha menarik tubuh itu ke luar jalur kendaraan baja. Tapi polisi maju lebih cepat. Pentungan menghantam, tameng mendorong, kaki menendang. Mereka terpental. Spanduk mereka jatuh menutupi tubuh yang sudah tak bergerak itu, seperti kain kafan yang robek.
Seseorang berteriak: “Kenapa kalian bunuh rakyat sendiri?” Suaranya parau, namun jelas. Teriakan itu menggema sejenak, melampaui gas, melampaui sirene. Namun aparat tak menjawab. Mereka tak punya jawaban, atau tak pernah diajari untuk menjawab. Yang mereka tahu hanya satu: maju, tindas, bersihkan.
Di media sosial, dunia sudah meledak. Foto-foto yang dikirim dari ponsel mahasiswa menyebar ke seluruh negeri. Timeline dipenuhi dengan tagar, dengan kutukan, dengan doa, dengan sumpah serapah. Orang-orang yang jauh dari daerah konflik ikut merasakan sesak di dadanya, meski mereka hanya duduk di kamar masing-masing, menatap layar.
Namun di jalan itu sendiri, realitas tetap tak berubah. Gas tetap mengabur, sirene tetap meraung, ban baja tetap berputar. Tubuh itu tetap dingin.
Massa yang tersisa mulai mundur. Mereka tak lagi percaya bisa menembus barikade. Mereka sadar tuntutan mereka malam itu telah ditenggelamkan oleh darah. Dan ketika darah sudah tumpah, yang tersisa hanya ketakutan dan amarah. Dua hal yang bisa melahirkan keberanian baru, atau kehancuran lebih dalam.
Seorang orator mencoba memanggil kembali semangat kerumunan. Ia berdiri di atas trotoar, memegang pengeras suara yang sudah berderit. “Kawan-kawan, jangan mundur! Lihat! Satu dari kita telah jadi korban! Apakah kita akan biarkan darahnya sia-sia?” Suaranya pecah, matanya basah.
Sebagian menjawab dengan sorak. Sebagian hanya terdiam. Karena mereka tahu, melawan berarti mati, mundur berarti kalah. Dua-duanya adalah jurang.
Langit tetap tanpa bintang. Malam Kota jadi makam yang tak terlihat. Jalan-jalan penuh jejak sepatu, serpihan kaca, sisa botol, dan bercak darah. Sejarah menulis dirinya malam itu dengan tinta hitam dan merah.
Dan di tengahnya, rakyat kembali menjadi korban dari negara yang seharusnya melindunginya.
Massa berhamburan. Ada yang lari ke gang-gang sempit, ada yang menyeberang sungai hitam, ada yang bersembunyi di halte bus kosong. Nafas mereka tersengal, dada mereka panas, mata mereka pedih. Tapi di balik kepanikan itu, ada rasa lain yang merayap: kalah. Kekalahan yang bukan hanya milik mahasiswa, tapi milik semua yang melihat.
Di pusat jalan, barikade aparat berhenti sejenak. Mereka berdiri dalam formasi, senjata masih terangkat. Lampu-lampu kendaraan baja menyorot ke segala arah, seakan mencari musuh yang tak lagi ada. Tubuh ojol itu masih tergeletak, separuh tertutup spanduk yang compang-camping.
Tak ada komando untuk mengangkatnya. Tak ada upaya untuk memberi selimut, atau sekadar kain penutup wajah. Tubuh itu dibiarkan begitu saja, sebagai peringatan bagi siapa pun yang berani melawan.
Beberapa polisi saling bercakap singkat, suara mereka teredam masker gas. Ada yang tertawa kecil, ada yang sekadar menghela napas. Tapi tak satu pun yang menunduk pada tubuh di hadapan mereka. Seakan tubuh itu hanyalah sampah kota, bukan manusia.
Di kejauhan, suara motor masih terdengar. Para ojol lain, yang tak sempat ikut, mengabarkan kabar buruk lewat grup pesan. Nama Anak lelaki itu muncul di layar-layar ponsel mereka, disertai kata “mati dilindas barakuda”. Tak ada yang percaya sepenuhnya, tapi tak ada juga yang bisa menolak fakta.
Satu per satu, jalanan dikosongkan. Aparat bergerak maju, menyisir trotoar, memastikan tak ada lagi kerumunan. Sirene mobil polisi berputar mengitari blok-blok jalan, suaranya menusuk telinga seperti lonceng kematian.
Gedung-gedung tinggi tetap berdiri, kaca-kacanya tetap berkilat. Dari jendela lantai dua puluh, orang-orang berjas menatap ke bawah, menyaksikan kerusuhan dari jarak aman. Bagi mereka, ini hanya tontonan lain dari kota yang tak pernah tidur.
Di televisi, berita sudah mulai bergulir. Narasi resmi lahir lebih cepat daripada kebenaran. Pembawa acara menyebut kata “ricuh”, “anarkis”, “penertiban”, seolah yang terjadi hanyalah prosedur biasa. Nama Anak lelaki itu belum muncul. Ia masih sekadar bayangan di jalan, belum berubah jadi headline.
Di media sosial, sebaliknya, wajahnya sudah menyebar. Foto KTP yang buram, tangkapan layar dari aplikasi ojol, potret ketika ia masih hidup dengan jaket hijau kusam. Semua orang menambahkan doa, semua orang menambahkan sumpah serapah. Malam itu, ribuan akun menyebut satu nama, satu korban.
Namun kota tidak berhenti berdenyut. Kereta tetap melintas, warung tetap buka, klakson tetap bersahut. Kota, seperti selalu, menelan tragedi dengan cepat.
Di pinggir jalan, seorang pedagang asongan menatap sisa kerumunan. Ia melihat bercak darah di aspal, ia melihat potongan spanduk yang tertinggal. Ia tak mengerti semua tuntutan yang tadi diteriakkan. Ia hanya tahu, seorang rakyat kecil telah dibunuh. Dan baginya, itu sudah cukup jadi alasan untuk menyimpan marah di hatinya.
Aparat mulai mengangkut barikade. Gas air mata perlahan menipis, meninggalkan bau kimia yang menusuk. Jalan raya dibuka kembali, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Hanya satu hal yang tak bisa disembunyikan: noda merah yang masih basah, membentuk garis samar di atas aspal hitam.
Malam terus berjalan. Lampu kota tetap menyala. Dan sejarah kembali menambah satu baris luka pada tubuh rakyatnya sendiri.
Malam turun sepenuhnya, bersama dengung kota yang tak pernah tidur. Lampu-lampu jalan memantulkan cahaya pucat ke aspal yang masih menyimpan jejak ban baja. Tak ada lagi kerumunan, tak ada lagi teriakan, hanya sunyi yang terputus oleh klakson sesekali. Tapi sunyi itu tidak pernah benar-benar sunyi. Ia menyimpan gema yang tak bisa dihapus oleh waktu.
Di setiap jejak darah yang mengering, ada pertanyaan yang menggantung: untuk apa semua ini? Untuk siapa kendaraan baja itu berjalan? Untuk siapa peluru karet itu ditembakkan? Dan untuk siapa rakyat harus jatuh di bawah roda negara?
Anak lelaki itu hanyalah satu nama. Besok, mungkin akan ada nama lain, dari jalan lain, dari kota lain. Setiap kali rakyat bersuara, selalu ada aparat yang siap menginjak, menembak, atau menindas. Seolah darah rakyat adalah bahan bakar paling setia bagi mesin kekuasaan.
Sejarah negeri ini sudah mencatat panjang. Dari 65, dari Petrus, dari Trisakti, dari Semanggi, dari semua jalan yang pernah memerah. Dan kini, satu ojol yang tak punya senjata, tak punya barisan, hanya punya motor tua dan aplikasi di ponselnya, ikut ditulis dalam barisan luka itu.
Tak ada tugu yang segera didirikan. Tak ada plakat peringatan. Hanya layar ponsel yang bergetar, hanya pesan singkat yang tersebar: “Ojol dilindas barakuda. Mati.” Seperti kabar kecelakaan lalu lintas, singkat, padat, dan dingin.
Tapi bagi mereka yang melihat, bagi mereka yang menghirup gas itu, bagi mereka yang mendengar roda besi melindas tubuh manusia, kabar itu tak akan pernah dingin. Ia akan tetap panas, tetap perih, tetap menusuk, meski sepuluh tahun berlalu.
Dan di situlah letak kekuatan rakyat: pada ingatan. Ingatan yang tidak bisa dipadamkan oleh propaganda televisi. Ingatan yang tidak bisa dibungkam oleh laporan resmi. Ingatan yang menolak tunduk.
Mungkin, aparat bisa menghapus bercak darah di aspal. Mungkin, mereka bisa menutup luka dengan cat baru, dengan narasi baru. Tapi mereka tidak bisa menghapus suara yang sempat terdengar, teriakan yang sempat keluar, dan nyawa yang sempat melawan.
Anak lelaki itu mati di jalan, tapi ia tidak benar-benar mati. Sebab setiap kali rakyat melihat barakuda lewat, mereka akan teringat. Setiap kali sirene meraung, mereka akan merasakan kembali pedihnya. Dan setiap kali ada yang bertanya siapa yang salah, nama aparat akan kembali disebut.
Negeri ini selalu mengulang. Rakyat yang berteriak, aparat yang menembak, pemerintah yang menutup mata. Siklus itu berjalan terus, seakan memang sudah ditulis begitu sejak awal berdirinya republik. Dan di tengah siklus itu, rakyat hanyalah korban yang berganti-ganti wajah.
Tapi sejarah juga punya cara lain. Ia tidak selamanya milik yang berkuasa. Ia sering berpihak pada yang kalah, pada yang terinjak, pada yang dilupakan. Karena justru dari sanalah, dari darah yang tercecer, dari nama yang ditindas, lahir cerita yang tidak pernah padam.
Malam itu, Kota tidur. Tapi di dalam tidur itu, ada mimpi buruk yang terus berulang: rakyat dibunuh polisi, dan semua orang diminta percaya bahwa itu demi ketertiban.
Dan siapa yang berani melawan mimpi buruk itu? Mungkin tidak banyak. Tapi selama masih ada satu orang yang berani mengingat, tragedi itu tidak akan hilang.
Itulah warisan Anak lelaki ini. Bukan hanya kematian di bawah barakuda, tapi ingatan yang menolak padam. Dan selama ingatan itu hidup, rakyat akan tahu: ada harga yang sudah dibayar, ada darah yang sudah tumpah, dan ada hutang yang belum dilunasi.
Maka cerita ini pun ditutup, bukan dengan damai, bukan dengan penebusan, tapi dengan satu kalimat sederhana yang terus diulang-ulang dalam sejarah negeri ini: rakyat dibunuh polisi.