Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,580
Jangan Sentuh, Nanti Pecah
Drama

Kota itu seakan dibangun dari kaca. Dari jendela-jendela apartemen yang tak pernah dibuka, dari gedung-gedung yang berkilat tapi dingin, dari halte bus yang memantulkan wajah-wajah lelah. Kaca yang bening sekaligus rapuh, tembus pandang tapi menutup rapat.

Raka berdiri di balkon kamarnya di lantai delapan, menatap malam yang diguyur hujan tipis. Lampu-lampu kendaraan menyala seperti garis-garis merah yang tak pernah habis. Dari jauh, suara klakson, tawa palsu di kafe bawah, dan musik entah dari mana bercampur jadi satu. Semuanya terdengar hidup, ramai, penuh warna. Tapi di dalam dirinya hanya ada senyap.

Dia sudah punya pasangan. Sudah bertahun-tahun. Orang lain menganggapnya beruntung: tidak perlu lagi menanggung sepi. Tapi sepi punya caranya sendiri. Ia menyelinap ke kamar, ke kasur, ke meja makan, bahkan ke cangkir kopi yang baru diseduh. Sepi yang bukan ketiadaan, melainkan kelebihan. Terlalu banyak kata yang tak diucapkan, terlalu banyak janji yang tak pernah ditagih.

Sore tadi, di ruang kerja, ia sempat termenung. Komputer menyala dengan angka-angka laporan, excel yang tak ada habisnya, grafik yang naik turun seperti detak jantung orang asing. Teman-temannya bercanda soal bonus, soal konser akhir pekan, soal siapa yang baru beli mobil. Raka ikut tertawa, tentu saja. Tapi di kepalanya ia hanya mendengar suara berdesis: “Semua ini plastik, kan? Semua ini hampa, kan?”

Pulang kerja, pasangannya—Sinta—sudah duduk di sofa. Televisi menyala dengan drama Korea terbaru. Tangannya sibuk menggulir layar ponsel. Mereka saling sapa dengan kalimat sederhana, “Udah makan?”—“Udah.” Lalu hening lagi.

Seharusnya ada kehangatan. Seharusnya ada percakapan panjang tentang hari yang melelahkan. Tapi yang ada hanya dua tubuh yang duduk di ruangan yang sama, seperti dua patung yang diletakkan bersebelahan di museum. Terlihat berpasangan, tapi tidak benar-benar saling menyentuh.

Kadang Raka berpikir: mungkin mereka berdua hanya sedang menjalankan kebiasaan. Hubungan ini bukan lagi perihal cinta, melainkan kontrak tak tertulis. Sama-sama butuh teman tidur, butuh seseorang untuk dikenalkan ke keluarga agar dianggap “normal”, butuh alasan agar tidak terlihat kesepian di mata orang lain. Tapi bukankah itu juga bentuk kesepian yang lebih parah?

Pagi berikutnya, Raka naik MRT. Kota ini terasa seperti mesin raksasa yang tak pernah berhenti bergetar. Orang-orang menempel di layar ponsel masing-masing, menyekat diri dari dunia di sekitar. Ia menatap bayangan wajahnya di kaca jendela kereta. Wajah itu terlihat asing, seperti bukan dirinya.

Ia membayangkan: bagaimana kalau tiba-tiba lenyap? Hilang begitu saja, seperti iklan yang sudah lewat masa tayangnya? Apa ada yang benar-benar peduli? Sinta mungkin akan menangis seminggu, lalu kembali ke ponsel dan televisinya. Teman kantor mungkin akan membuat status mengenang, lalu esoknya sibuk dengan laporan baru. Dunia ini terlalu cepat untuk memberi ruang bagi kehilangan.

Dan Raka merasa, di titik itu, ia sendiri sudah lenyap sejak lama. Yang tersisa hanyalah bayangan berjalan: tubuh yang datang ke kantor, pulang, makan, tidur, bercinta seperlunya, lalu mengulang siklus. Jiwa yang asli entah sudah dikubur di mana.

Malamnya ia berjalan sendirian. Ia menyusuri trotoar kota yang diterangi neon, melewati toko-toko yang menjual imitasi: tas palsu, jam tangan tiruan, parfum isi ulang yang diberi merek-merek besar. Ia tersenyum kecut. Semua orang tahu itu palsu, tapi tetap membelinya. Mungkin karena yang asli terlalu mahal. Atau mungkin karena orang sudah lupa rasanya memiliki sesuatu yang betul-betul asli.

Lalu ia bertanya pada dirinya sendiri: apakah cintanya juga begitu? Apakah ia sedang hidup dalam sebuah tiruan?

Di satu sudut, seorang pengamen memainkan gitar dengan senar tiga yang masih tersisa. Suaranya pecah, tapi ada kejujuran di sana. Orang-orang berjalan tanpa menoleh. Raka berhenti sebentar, mendengarkan. Ia ingin merogoh uang receh, tapi tangannya kosong. Ia hanya berdiri, menatap, lalu melangkah lagi dengan perasaan bersalah.

Beberapa hari kemudian, Sinta mengajaknya makan malam di restoran. Tempatnya mahal, penuh cahaya hangat dan kursi empuk. Mereka duduk berhadapan, saling tersenyum, berbicara secukupnya. Foto makanan diambil, lalu diunggah ke media sosial dengan caption “Quality time ❤️”.

Komentar bermunculan: “So sweet!”, “Couple goals banget nih!” Raka membaca komentar itu dengan perasaan getir. Ia ingin tertawa sekaligus muntah. Dari luar, mereka terlihat sempurna. Dari dalam, ia hanya merasa duduk bersama seorang asing yang kebetulan tahu password WiFi rumahnya.

Sinta bercerita tentang kolega yang baru menikah, tentang rencana liburan ke Bali, tentang kucing tetangga yang lucu. Raka mengangguk, menjawab secukupnya, lalu menenggelamkan diri ke dalam pikirannya sendiri.

Di balik segala gemerlap, ia merasa hidupnya tak pernah benar-benar disentuh. Semuanya seperti plastik: mengkilap, tahan lama, tapi dingin dan tak bernyawa.

Suatu malam, ia bermimpi. Dalam mimpi itu, ia berada di sebuah kota yang seluruh bangunannya terbuat dari plastik bening. Jalanan, pepohonan, bahkan orang-orangnya pun plastik. Mereka tersenyum, melambaikan tangan, berbicara dengan ramah. Tapi ketika disentuh, tubuh mereka kosong, hanya cangkang.

Ia berlari, mencari sesuatu yang nyata. Lalu ia menemukan seorang perempuan duduk di pinggir jalan, tubuhnya bukan plastik. Perempuan itu menatapnya dengan mata lelah, dan berkata: “Kamu juga plastik. Kamu hanya belum sadar.”

Raka terbangun dengan keringat dingin. Suara AC berdengung, cahaya lampu jalan menembus tirai. Sinta tidur di sampingnya, punggung menghadap. Ia menatap tubuh itu lama-lama, mencoba menemukan kehangatan yang dulu pernah ada. Tapi yang ia rasakan hanya jarak.

Hari berganti minggu. Raka makin sering menghindar. Ia lembur di kantor, berjalan tanpa tujuan, duduk lama di kafe sambil menatap layar kosong. Ia mencoba menulis sesuatu, puisi atau catatan kecil, tapi setiap kata yang keluar terasa basi.

Sinta mulai curiga. Ia bertanya, “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini?”

Raka hanya menjawab, “Capek aja.”

Sinta mendesah, lalu kembali ke ponselnya.

Ada saat-saat Raka ingin berkata jujur: bahwa ia merasa hampa, bahwa hubungan mereka tak lagi bernyawa, bahwa ia ingin keluar dari lingkaran plastik ini. Tapi lidahnya selalu beku. Ia takut kehilangan sesuatu yang sebenarnya sudah hilang sejak lama.

Suatu malam, ia kembali ke balkon. Hujan deras turun. Jalanan di bawah berkilat, lampu-lampu kendaraan memantul di genangan. Ia menatap lama, lalu membisikkan sesuatu pada dirinya sendiri: “Kalau aku lompat sekarang, mungkin orang-orang hanya akan berhenti sebentar untuk menonton, lalu melanjutkan perjalanan.”

Tapi ia tidak lompat. Ia hanya berdiri, merasakan angin, mendengar dentuman hujan. Ada rasa lega aneh: mengetahui bahwa kemungkinan itu ada, tapi memilih menundanya.

Hari terakhir bulan itu, Raka duduk di dalam MRT lagi. Ia menatap wajahnya di kaca. Kali ini, ia tersenyum kecil. Senyum yang pahit, tapi nyata.

Ia sadar: ia memang plastik. Tapi plastik pun bisa retak. Dan retakan itu, sekecil apapun, mungkin adalah satu-satunya hal yang masih asli.

Dan dengan retakan itu, ia berjanji pada dirinya sendiri: suatu hari, ia akan benar-benar pecah.

Bukan untuk mati. Tapi untuk lahir kembali, keluar dari kepalsuan yang selama ini membungkusnya.

Entah kapan. Entah bagaimana. Tapi ia tahu: tak ada kaca yang bisa menahan cahaya selamanya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)