Cerpen
Disukai
2
Dilihat
1,603
Sepotong Ingatan
Drama

Barangkali cinta bukan soal mengingat atau melupakan, melainkan soal bagaimana tubuh kita menyimpan sisa-sisanya: di jari yang gemetar saat menyentuh gelas kopi, di aroma hujan yang mengendap di rambut, di bangku taman yang entah kenapa terasa penuh meski kosong.

Aku tidak pernah benar-benar mengingatnya. Tetapi tubuhku selalu berkhianat.

Suatu malam aku tersentak oleh suara hujan yang jatuh deras di atap kos. Hujan seperti ini selalu membawa rasa asing. Ada sesuatu yang hilang, tetapi aku tidak tahu apa.

Kosku sederhana: satu kamar dengan dinding lembab, lemari kayu tua, dan kulkas kecil yang lebih sering kosong. Hanya ada botol air mineral, cabai rawit, dan cangkir keramik putih dengan retakan kecil di bibirnya.

Cangkir itu seakan menyimpan rahasia. Saat kugenggam, ada perasaan hangat yang aneh—padahal cangkir itu dingin.

Di dasar cangkir, samar sekali ada goresan spidol yang sudah pudar: N.

Aku tidak ingat kapan aku menulisnya. Atau siapa yang menulisnya untukku.

Pagi harinya aku berangkat kerja naik bus TransJakarta. Di halte, aku melihat seorang perempuan lewat. Rambutnya dikuncir seadanya, wajahnya lelah, langkahnya terburu. Sekejap aku merasa mengenalnya. Jantungku berdetak lebih cepat.

Tapi sekejap kemudian, perasaan itu lenyap seperti kabut yang tertiup angin kendaraan.

Aku buru-buru mencatat di buku kecil:

“Perempuan dengan kuncir rambut. Matanya seperti menyimpan cerita yang tak pernah selesai.”

Entah untuk apa aku menulis itu. Barangkali aku hanya takut lupa.

Tapi lupa terhadap apa?

Hari-hari berlalu. Aku menjalani rutinitas seperti biasa: rapat tak penting, tumpukan laporan, makan siang terburu di warung dekat kantor. Tapi sesekali tubuhku bereaksi aneh.

Aku menolak makan mi goreng padahal aku tidak tahu alasannya. Lidahku seakan mengingat rasa pahit dari perdebatan lama.

Aku duduk di kursi bioskop untuk menonton film baru, dan tanpa sebab mataku berkaca-kaca. Seperti tubuhku mengenali kursi itu lebih dulu daripada pikiranku

Tubuhku menyimpan sesuatu yang kepalaku buang.

Suatu malam, di televisi, aku mendengar lagi kabar tentang klinik yang bisa “membenahi” ingatan. Klinik itu bernama Aurora. Orang-orang datang dengan berbagai alasan: patah hati, trauma, atau sekadar ingin hidup lebih ringan.

Aku tertawa waktu itu. Menghapus ingatan? Bukankah justru ingatan yang membuat kita manusia?

Tapi kini aku mulai ragu. Bagaimana kalau aku pernah ke sana? Bagaimana kalau aku pernah meminta mereka menghapus sesuatu—atau seseorang—dari kepalaku?

Pertanyaan itu menempel seperti bayangan.

Suatu siang aku menemukan tiket kereta usang di laci meja kerja. Relasi Gambir–Semarang Tawang. Tahun lalu.

Aku tidak pernah merasa pergi ke sana.

Namun saat menatap tiket itu, tubuhku bereaksi sendiri: ada aroma nasi goreng peron, ada suara pedagang asongan menawarkan koran, ada rasa asin keringat di tengkuk yang ditempa kipas angin gerbong.

Semua begitu nyata.

Dan, samar, ada suara perempuan tertawa di kursi sebelahku.

Aku menulis lagi di buku kecil:

“Tiket kereta. Tawa. Wajah samar. Barangkali aku pernah bersama seseorang, tapi siapa?”

Malam itu aku bermimpi. Seorang perempuan berdiri di tepian laut. Angin malam mengibaskan rambutnya. Ia menoleh, menatapku dengan mata yang sayu, lalu berkata lirih:

“Jangan biarkan aku hilang dua kali.”

Aku terbangun dengan dada sesak. Nama itu menempel di lidahku, tapi begitu hendak kuucapkan, ia lenyap.

Hari-hari setelahnya, bayangan perempuan itu semakin sering muncul. Di trotoar, di gerbong kereta, di sudut kafe. Selalu samar, selalu jauh, seperti gambar usang yang nyaris robek.

Aku merasa tubuhku ingat, tapi kepalaku menolak.

Barangkali memang benar aku pernah menghapusnya.

Suatu sore aku nekat datang ke klinik Aurora. Gedungnya sederhana, seperti rumah sakit kecil. Resepsionis tersenyum dingin.

“Pernah datang ke sini sebelumnya?” tanyanya.

Aku tergagap. “Entahlah.”

Dia menatap layar komputer, mengetik sesuatu, lalu tersenyum kaku. “Nama Anda ada dalam arsip.”

Dadaku seketika mengerut.

“Siapa… yang saya hapus?” tanyaku, suara serak.

Resepsionis itu hanya menjawab: “Kami tidak diperkenankan memberi tahu. Yang hilang, biarlah hilang.”

Aku keluar dengan langkah limbung.

Sejak saat itu aku jadi pengumpul tanda-tanda.

Retakan di cangkir.

Tiket kereta.

Bayangan rambut yang berkibar.

Kalimat samar dalam mimpi.

Semua kuikat dalam catatan kecil, seolah sedang menyusun puzzle.

Tapi puzzle itu tak pernah lengkap. Selalu ada potongan yang hilang.

Suatu malam aku berjalan tanpa tujuan, sampai tiba di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan. Lampunya temaram, meja kayu tua, bau tembakau menempel di udara.

Di sudut warung itu, ada seorang perempuan sedang membaca buku. Rambutnya dikuncir seadanya.

Aku tercekat.

Tubuhku mengenalnya lebih dulu daripada pikiranku.

Aku menghampiri, suara bergetar: “Kita… pernah bertemu?”

Perempuan itu menutup bukunya pelan. Menatapku lama, seakan berusaha mengingat sesuatu.

“Barangkali,” jawabnya.

Kami duduk berdua. Hening panjang. Hanya suara sendok yang beradu dengan gelas.

Akhirnya ia bicara: “Kamu juga merasa ada yang hilang?”

Aku mengangguk.

“Namaku… Nara,” katanya pelan, seperti takut suaranya pecah.

Nara.

Nama itu mengguncang tubuhku. Aku tidak tahu kenapa, tapi mataku panas.

Hari-hari berikutnya kami bertemu lagi. Di taman, di bioskop, di halte bus. Kami tertawa, berbicara, bahkan saling diam dengan nyaman.

Kadang kami berjalan tanpa tujuan. Di jalan raya yang riuh, kami seperti dua orang asing yang menemukan pulau sendiri.

Tapi di sela-sela itu ada ganjalan: luka yang tak terlihat, tapi terasa. Kadang aku ingin bertanya, apa yang pernah terjadi di antara kita? Tapi setiap kali mulutku terbuka, ada rasa takut besar: bagaimana kalau jawabannya justru alasan kenapa dulu kami memilih untuk melupakan?

Suatu sore Nara berkata: “Aku pernah datang ke klinik itu. Menghapus seseorang.”

Aku tercekat.

“Aku juga,” jawabku.

Kami saling menatap, lama sekali. Dan entah kenapa, dalam tatapan itu ada perasaan ngeri.

“Jangan-jangan… kita saling menghapus?” bisikku.

Nara tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menutup wajah dengan tangannya, dan bahunya bergetar.

Malamnya aku menulis di buku kecil:

“Barangkali melupakan justru membuat kita kembali mencari. Barangkali cinta itu lingkaran: bertemu, jatuh, luka, hapus, lalu bertemu lagi.”

Aku menutup buku, menatap langit-langit kamar. Rasanya aku sedang terjebak dalam labirin yang diciptakan oleh diriku sendiri.

Waktu berlalu. Kami mencoba hidup bersama, meski samar-samar sadar ada dinding yang tak bisa ditembus. Kadang kami tertawa, kadang bertengkar, kadang hanya duduk memandang kosong.

Ada saat-saat kecil yang membuatku yakin kami pernah benar-benar hidup bersama: Nara tahu aku selalu meninggalkan sendok di gelas, aku tahu ia selalu lupa menutup botol air.

Hal-hal kecil itu, ironisnya, terasa lebih nyata daripada ingatan besar.

Sampai suatu hari, Nara berkata dengan suara hampir berbisik:

“Aku takut, Ga. Kalau semua ini hanya pengulangan. Kalau kita cuma boneka yang dipermainkan ingatan.”

Aku ingin meyakinkannya. Tapi kata-kataku sendiri goyah.

Kami berdiri lagi di depan klinik Aurora.

“Nara…” suaraku pecah.

Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Kamu mau melupakan aku lagi?”

Aku terdiam.

Sejujurnya, aku ingin berkata tidak. Aku ingin menggenggam tangannya erat, melawan segala siklus ini. Tapi aku tahu: cinta yang dulu pernah hancur, barangkali akan hancur lagi.

Nara menarik napas panjang. “Barangkali memang begini cara kita bertahan: saling melupakan agar bisa terus hidup.”

Dia melangkah masuk. Aku tidak mengikutinya.

Malam itu aku duduk sendirian di kamar, menatap buku catatanku yang penuh coretan: retakan cangkir, tiket kereta, nama samar, tawa samar.

Aku tahu besok aku mungkin akan melupakan semuanya lagi.

Tapi malam ini, sebelum semuanya hilang, aku menulis kalimat terakhir:

“Nara, barangkali aku akan melupakanmu. Tapi tubuhku, entah bagaimana caranya, selalu akan ingat.”

Aku menutup buku itu, meletakkannya di samping bantal. Lalu aku berbaring, menatap langit-langit.

Di luar, hujan turun lagi.

Dan tubuhku, sekali lagi, bergetar tanpa alasan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)