Masukan nama pengguna
Hujan malam itu membasahi kota, sampai genangan di aspal memantulkan lampu yang seakan berkedip dalam irama yang cemas. Jalan-jalan sempit dipenuhi aroma basah, tanah dan minyak kendaraan, dan bau yang lebih getir, bau gas air mata yang tersisa dari demonstrasi siang tadi. Kota bergerak dalam ketenangan yang palsu. Semua orang melangkah seolah tidak terjadi apa-apa. Tetapi tubuh-tubuh yang terhantam, yang terluka, yang kehilangan nyawa, tetap ada, diam, meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus.
Aku berjalan di tepi trotoar, menyaksikan mahasiswa berlari, langkah mereka berat karena sepatu yang basah, karena mata yang perih akibat gas air mata. Teriakan mereka, awalnya keras, kemudian pecah menjadi suara yang tersendat. Aku menyaksikan, mencatat, mencoba menempelkan kenyataan ke dalam kepala, ke dalam naskah yang mungkin tidak akan pernah terbaca orang banyak. Tubuh mereka menempel pada hujan, basah oleh air dan darah, tapi tetap bergerak. Ada keberanian yang dipaksakan, ada ketakutan yang menempel di setiap langkah.
Di tengah kerumunan, sebuah Baracuda—baja hitam yang digerakkan oleh tangan-tangan yang dilatih untuk menundukkan rakyat—melaju. Sebuah motor ojol yang sedang mengantar pesanan makanan berusaha menghindar. Tapi terlambat. Tubuhnya terjepit antara besi dan tanah basah. Darah mengalir dari tubuhnya, membentuk garis merah di antara genangan air. Aku menatap dan tubuhku membeku. Kematian itu nyata. Terlalu nyata. Mata pengendara ojol itu masih terbuka, menatap kosong ke arah lampu yang berkedip. Tangan masih menepuk setang, seakan menuntut sesuatu yang mustahil: keadilan, atau sekadar ruang untuk bernapas.
Mahasiswa jatuh, beberapa terinjak, lutut berdarah, tangan gemetar. Mereka menjerit, memanggil nama teman, tetapi suara mereka tenggelam oleh derap sepatu bot dan benturan tameng aparat. Aku menulis di buku catatanku, kata demi kata, karena aku tahu kata-kata adalah satu-satunya yang bisa bertahan ketika tubuh manusia tidak. Aku menulis tentang kesedihan yang tertahan, tentang amarah yang tidak bisa diluapkan, tentang ketakutan yang menjadi teman tetap di jalanan.
Di layar televisi, aparat tersenyum. Pangkat naik, penghargaan diberikan. Judul berita: Pelindung Masyarakat. Tidak ada kata tentang darah, tidak ada kata tentang jiwa yang hilang. Di media sosial, buzzer menari di atas tragedi, merangkai kata-kata yang menusuk lebih tajam daripada rantai sepatu bot: “Demo ricuh, mahasiswa provokator.” Kota berjalan, absurd dan sunyi. Tubuh manusia berjatuhan, dan kata-kata menjadi propaganda.
Aku menyusuri gang sempit, menyaksikan poster kampanye yang koyak, menempel di tiang yang sudah rapuh. Orang-orang menatap ponsel, membaca ulang narasi yang sama, sibuk membenarkan yang tidak benar. Aku menulis, karena jika aku berhenti, absurditas menang. Kata-kata adalah saksi. Kata-kata tetap hidup ketika tubuh manusia tidak.
Seorang mahasiswa menatapku, matanya merah dan berair. “Kamu hanya menonton?” tanyanya. Aku menggeleng. “Aku menulis,” jawabku. “Agar dunia tahu. Agar kematian itu tidak sia-sia.” Dia menunduk, dan aku melihat air matanya jatuh diam-diam ke genangan air di bawah sepatu. Aku menulis.
Aku menulis di jembatan kecil, menatap sungai cokelat yang bergerak lambat, membawa sampah dan puing-puing. Lampu kota memantul indah di permukaan, tapi di bawahnya kotor, berisi semua yang disembunyikan. Aku menulis tentang Baracuda yang menabrak, tentang tameng aparat, tentang pangkat yang diberikan untuk kekerasan, dan tentang kata maaf yang tidak pernah muncul.
Aku menulis sampai tangan pegal, sampai mata lelah. Kata-kata adalah perlawanan. Kata menandai sejarah. Aku menulis karena aku menolak lupa, karena aku melihat, karena aku merasa. Aku menulis karena jika aku berhenti, absurditas menang.
Aku menulis tentang buzzer yang menertawakan tragedi, tentang media yang memutar ulang narasi yang sama, tentang presiden yang tersenyum tanpa kata maaf. Aku menulis tentang kota yang berdarah, tapi tetap berjalan. Kata-kata adalah senjata, meski tubuh manusia jatuh.
Malam semakin gelap. Aku berjalan di trotoar yang licin, genangan darah dan air bercampur, menempel di sepatu. Mahasiswa yang selamat mulai bangkit, mengumpulkan buku, tas, dan sisa-sisa tubuh yang mungkin masih bergerak. Mereka menatapku. Aku menulis. Kata tetap hidup, meski tubuh manusia tidak.
Suara sirine terdengar jauh. Ambulans menepi, tapi terlambat. Tubuh yang sudah remuk tetap diam, menunggu sejarah yang tidak menulis mereka. Aku menulis, menuliskan nama-nama yang mungkin tidak akan pernah disebut di televisi. Aku menulis, agar orang tahu, agar kematian itu tidak hilang begitu saja.
Fajar muncul, warna kuning lembut menembus awan hitam. Kota kembali berjalan, kendaraan melaju, orang-orang sibuk dengan rutinitas mereka. Mahasiswa yang selamat mulai pulang, membawa luka dan kenangan tragis. Aku menulis, karena kata tetap hidup. Kata tetap menandai sejarah. Aku tetap menulis.
Aku menulis sampai kota penuh dengan cahaya pagi. Aku menulis sampai semua langkah aparat yang menindas, semua teriakan mahasiswa yang terluka, semua darah yang tercecer, tertempel di halaman catatan ini. Aku menulis, karena jika aku berhenti, absurditas menang.
Aku menulis tentang absurditas itu: pangkat untuk kekerasan, penghargaan untuk aparat yang melukai, buzzer yang menertawakan tragedi, media yang memutar narasi berulang, presiden yang diam. Aku menulis tentang kota yang berdarah, tentang manusia yang jatuh, tentang kata-kata yang menjadi saksi.
Aku menulis sampai semua sirine dan derap sepatu bot hilang, sampai genangan air kering, sampai kota sunyi. Tapi kata tetap hidup. Kata tetap menggigit. Kata tetap menandai sejarah. Dan aku menulis, karena jika aku berhenti, absurditas menang.
Seiring pagi berubah menjadi siang, aku menyusuri sisi lain kota. Di taman yang biasanya dipenuhi anak-anak bermain, kini hanya tersisa jejak sepatu dan sisa gas air mata. Burung-burung berkicau, tapi terdengar aneh, seakan tahu ada kesedihan yang menggantung di udara. Aku duduk di bangku, menatap tanah yang basah. Ada seorang anak kecil menatapku dari kejauhan, tangannya memegang roti basi. Matanya besar, bingung, takut, tapi penasaran. Aku menulis tentangnya, karena matanya yang polos menuntut cerita yang lebih jujur daripada semua media yang ada.
Di sudut jalan, seorang ibu menatap kosong ke arah toko yang hancur. Anak-anaknya hilang dari pandangan, entah ikut demonstrasi atau diam di rumah menunggu kabar. Aku menulis tentang tangisnya, tentang kesedihan yang merayap diam-diam, yang tidak bisa dibicarakan karena kata-kata terlalu lemah.
Aku menulis tentang pengendara ojol yang tubuhnya remuk, tentang mahasiswa yang jatuh, tentang aparat yang tersenyum. Tetapi aku juga menulis tentang mereka yang selamat, yang menatap dengan mata berapi-api, yang membawa luka tapi tetap berjalan, tetap melawan dengan cara mereka sendiri. Kata-kata adalah satu-satunya senjata yang kita miliki.
Aku menulis sampai sore. Hujan kembali turun, tipis, membasahi catatan yang sudah penuh. Aku menulis, karena kota tetap berjalan, karena tubuh manusia jatuh, dan karena absurdnya kekuasaan tidak boleh dibiarkan menang.