Cerpen
Disukai
4
Dilihat
541
SEPASANG MATA BIDADARI
Religi

Matahari belum menampak jelas, seorang pegawai administrasi boarding sudah mengirimiku sebuah undangan.

“Rapat lagi?!”

Seluruh bagian keasramaan dan staff sekolah harus berkumpul tepat setelah ibadah shalat Jumat ditunaikan. Meskipun masa kini fasilitas digital tersedia untuk memudahkan, sesekali undangan rapat tetap disampaikan dalam bentuk fisik, sekedar penghormatan dan alasan kesopanan. Begitu katanya.

Jenuh. Bosan. Kata-kata itu kadang menyerbu kepalaku setiap kuterima selembar kertas berukuran folio dengan kop surat Boarding School. Persis dengan surat yang ada di genggamanku sekarang.

"Nggak usah ngedumel," Respon seseorang saat melihatku, seakan sudah hafal isi kepalaku. "Menjelang ujian seperti ini pasti harus banyak yang dipersiapkan. Makanya harus sering kordinasi lewat rapat-rapat kayak gini. Nanti juga terbiasa." Sambungnya. Aku mengangkat bahu.

Pagi ini kakiku masih bertelanjang, tetesan embun menyusup dingin di sela-sela jariku saat pucuk-pucuk dedaunan sejenis perdu usil kusentuh. Kesejukannya merayap ke ubun-ubun. Mataku berkerejap.

Kesejukan seperti ini sempat menderaku saat berjumpa sepasang mata. Seminggu yang lalu. Sesaat. Tanpa sengaja. Namun rasa aneh kenapa begitu lama bertengger di hatiku? Sampai detik ini. Detik ketika lembar putih berstempel resmi itu sampai di tanganku. Entah mengapa, ribuan kata bosan yang biasanya menyerbu kepalaku tak kudapati di sana. Dia hilang. Berganti dengan setumpuk alinea bernama harapan yang aku sendiri tak paham dengan makna dari diksi-diksinya.

“Apakah dia sudah punya tambatan hati?” Bisik hatiku tiba-tiba.

Tak tahu harus menyampaikannya pada siapa. Harapan yang terlalu dini. Terlalu cepat bila kuutarakan maksudku. Harusnya kusadari itu.

Namun itulah rasa. Sulit dikompromikan. Selalu menginginkan yang instan. Selalu ingin mengalahkan logika. Lebih ingin dikedepankan. Didahulukan dan dinomorsatukan daripada pikiran. Ini pertanda hati seseorang sedang labil. Sedang tidak sehat barangkali.

Aku kehilangan konsentrasi. Itulah yang kurasakan saat ini. Kuakui separuh logika berpikirpun turut meraib. Itu karena dia. Sepasang mata itu. Aku ingin menjumpainya lagi. Dan harapanku satu-satunya adalah di rapat boarding. Kami pasti bertemu.

# # #

Pukul satu siang kurang beberapa menit saja, suara nyaring petugas security memecah di udara lewat sebuah pengeras suara. Rapat akan segera dimulai, katanya. Aku dan seorang teman satu asrama belum beranjak. Aku berdandan ala kadarnya. Kesegaran saat shalat Jumat tadi masih tersisa.

“Fuih! Kamu numpahin minyak wangi berapa botol sih, Lih?” seloroh Fariz menertawaiku.

“Reseh kamu. Sisa sholat Jum'at ini."

“Jangan tersinggung, kawan. Buat saya agak aneh aja.”

"Apa?"

Dia menepuk pundakku saat melihatku bersungut. “Ya ada yang aneh sepertinya. Sejak kapan kawanku ini pandai berdandan ya..? Baru sempet lihat, atau memang kau suka berhias."

“Ah kau. Berlebihan. Macam akhwat saja. Fitrahnya yang disebut suka berhias kan mereka."

“Kamu menyimpan sesuatu, Lih?” Fariz memang pantang menyerah. Tatapannya penuh selidik.

“Aduh…kamu sebenarnya mau nanya apa? Muter-muter. Menertawai saya. Bilang saya menyimpan rahasia segala. Jangan-jangan kamu lagi mau nutupi sesuatu."

"Lah malah saya, curang kamu. Ini jebakan?"

"Saya cuma nebak loh. Jadi bener?" Aku sekarang yang menertawai tingkahnya.

“Sebenarnya saya ingin minta pendapatmu mengenai sesuatu. Tapi waktu lihat kamu kayak lagi ada banyak masalah, saya jadi nggak enak. Seperti…orang yang lagi jatuh cinta.”

“Kau bilang apa?”

“Biasa aja, kenapa? Kayak denger berita buruk saja.”

“Eit, jangan-jangan kamu yang lagi jatuh cinta.”

“Alah…Galih, Galih. Curang kamu. Suka memutar balikkan fakta.” Dia mengarahkan tinjunya ke dadaku. “Tapi iya ding. Aku lagi nggak bisa jaga hati nih.”

“Cepat nikah makanya.”

“Lah emang menikah sama menjaga hati apa hubungannya?”

“Ya ampun, ustadz Fariz yang terhormat. Kamu ini pura-pura bodoh atau cuma mau ngetes doang.”

“Aku cuma ingat sama pepatah ‘dari mata turun ke hati’. Lah..kata menikahnya ditaruh di mana?”

Giliran aku yang menertawainya. “Benar-benar ajaib. Jatuh cinta memang bisa bikin orang senewen. Otak cerdas jadi mendadak lemot gitu ya.”

“Walah, tega bener kamu bilang saya senewen.”

“Mata, hati dan menikah jelas ada hubungannya. Lebih intim dari sekedar hubungan keluarga.”

“Lebih dekat daripada hubungan orang beriman dan Tuhannya?”

“Kira-kira begitu deh.” Aku mengiyakan. “Si emakku pernah bilang. Orang yang sudah menikah itu lebih bisa menjaga pandangan mata. Nggak jelalatan kemana-mana, man.”

“Oh…ya, ya. Setuju, setuju. Karena dari mata turun ke hati, jadi kita harus pandai-pandai menjaga mata biar selalu bisa menjaga hati. Betul begitu?”

Kami tertawa bersama. “Kawanku masih jenius ternyata.”

“Tapi bagaimana dengan hati saya yang sudah terlanjur begini, Lih.” Ujar fariz setengah merintih.

“Ya…menikah.”

“Segampang itu?”

“Ya.”

“Kalau Calis menolak lamaran saya?”

“What!”

“Kenapa? Aneh? Jangan bikin saya salah tingkah dengan responmu yang berlebihan itu.”

Rasa lain tiba-tiba mencekat hatiku. Sakit. Sesaat. Entah.

“Calis, guru bahasa Arab yang baru empat bulan mengajar di sekolah ini? Calista Putri Cahyani?”

“Iya. Calis mana lagi? Memang ada orang lain di boarding ini yang bernama Calista selain dia?”

“Calis kan penghuni baru di asrama ini. Baru empat bulan tinggal di sini. Apa dia terlalu istimewa sampai mampu meruntuhkan hatimu dalam sekejap. Kamu tahu sendiri kan, di tempat ini mana bisa kita bertemu seorang perempuan dengan leluasa. Bisa-bisanya kamu jatuh cinta dengannya.”

“Nggak tahu deh Lih. Seminggu yang lalu, tanpa sengaja saya bertemu pandang dengannya. Beberapa detik doang. Tapi…sejak seminggu itu saya jadi sulit mengkonsentrasikan diri pada hal-hal yang lebih penting. Anak-anak, tugas-tugas kantor, masalah-masalah lain di boarding semuanya seperti terabaikan begitu saja. Shalat nggak khusyu, lagi. Walah…payah.”

“Kamu kan laki-laki, kenapa bingung. Tinggal melamar saja, apa susahnya? Kalau dia menolak, ya..berarti kalian belum berjodoh.”

Pintarnya aku menasihatinya. Padahal semua yang dikisahkan Fariz padaku tentang perasaannya adalah pula kisahku. Namun aku tak berani berterus terang pada Fariz bahwa seminggu yang lalu pun aku mengalami hal serupa. Berjumpa sepasang mata. Pemiliknya juga bernama lengkap Calista Putri Cahyani.

Mendengar penuturannya, hatiku seperti merapuh. Bagaimana bisa aku dan Fariz terpikat oleh mata yang sama. Beberapa menit lalu baru terbersit harap untuk mengajaknya ke pelaminan segera agar hatiku tidak terlalu lama tersiksa. Tapi kini asa itu harus aku runtuhkan.

“Saya yakin dia perempuan baik-baik. Saya ikut saranmu, Lih. Saya akan melamarnya. Doakan saya.” Dia mengguncang tubuhku dengan mantap.

“Ya baguslah kalau kamu punya pendirian sendiri.”

“Eh, ngobrol terus. Rapatnya udah mulai. Kita berangkat yuk.”

“Riz, kau saja sendiri. Bilang saja saya sakit kalau ada yang tanya. Kalau nggak ada, ya syukur.”

"Kok mendadak?"

"Nggak mendadak, ini sebenarnya saya sudah agak pusing dari habis sholat Jum'at tadi. Kalau sudah agak reda, saya nyusul."

“Lho kok?”

“Sudah sana, saya mau rebahan sebentar. Nanti nyusul."

"Bener ya?"

"Iyaa.. ya ampuun. Nggak percaya amat." Aku sedikit kesal dan meyakinkan Fariz. "Inget ya, lain kali jaga tuh mata. Biar hati tetap terjaga.” Pesanku padanya yang padahal adalah nasihat untuk diriku sendiri.

Fariz tersenyum sambil berlalu meninggalkanku merenung sendiri.

 

# #


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)