Masukan nama pengguna
Aku menerka kalau namanya adalah Langit. Mungkin. Sulit dijelaskan, tapi tetaplah masuk akal bila kunamai dirinya demikian. Topi lusuh berwarna biru dongker yang seakan jadi maskot tak tergantikan bagi perjalanan hidupnya adalah jawaban sementara atas tanya yang sering kulontarkan padanya.
Bentangan waktu yang terlalu singkat tentulah pantas bila sampai hari ini kami tidak juga saling memahami. Hanya mengenalkan nama, dia begitu segan padaku.
Walau demikian kenyataan yang kurasakan pada akhirnya tidaklah mengecewakan. Kesan yang terlukis di hatiku tentangnya jauh dari kewajaran sebuah pertemuan sesingkat itu. Seperti sudah terjalin sebuah ikatan yang indah entah bernama apa.
Pertama kujumpai sosoknya pada tengah hari nan terik dengan mengenakan kaos dan celana belel yang dua-duanya berwarna coklat tanpa tutup kepala. Bersamaan dengan waktu kepulanganku dari sekolah. Berdiri di antara deretan gerobak sampah. Berkulit legam berbalut debu jalanan, berbaur dengan peluh beraroma kasturi para penghuni kolong jembatan membuatnya terlihat sempurna. Sempurna sebagai penyandang kesusahan.
Namun tidak dengan tatapan matanya. Senyumnya terlihat sangat elok. Tak ada kesedihan menggelayuti raut wajahnya. Setiap hari, hampir setiap saat kutemui dia terdiam, tak banyak kata yang disampaikan tapi selalu mengakhiri kalimatnya dengan tawa renyah. Seperti waktu pertama bertemu, dia tak berubah.
“Kakak mau pulang ya..” Tanya dia tiba-tiba ketika mendapatiku tertegun seorang diri, tanpa teman-teman satu geng, menunggu lama angkutan kota yang biasa membawaku sampai ke rumah kembali.
“Iya.” Singkat jawabku setengah tidak peduli dengan pertanyaannya.
“Naik gerobak saya aja. Gratis lho.” Lalu tertawa sangat kencang
“Gerobak sampah maksud kamu? Yang aneh-aneh aja. Situ bajunya kotor, pas tuh sama sampah. Baju aku kan beda sama kamu.” Tolakku sinis.
Pertemuan kedua dan selanjutnya ada sedikit yang berubah dari penampilannya. Kali ini dia memakai tutup kepala. Lusuh benar. Warna aslinya biru dongker tapi sudah agak pudar. Di kedua sisinya persis dekat kedua telinganya telah koyak. Penuh lubang kecil. Tak layak pakai.
Ada satu hal dari bagian topi itu yang kelihatannya lebih jelas warnanya dari bagian lain. Sebuah nama dengan huruf-huruf yang ditulis oleh spidol warna merah darah. Cukup cerah menopang warna biru dongker yang sudah memudar. L-A-N-G-I-T. Demikian tulisan yang tercetak dengan semuanya huruf kapital.
“Hei!” Aku menyapanya lebih dulu. Badannya membelakangiku. Sejumput koran bekas menguasai fokus matanya.
Laki-laki bertubuh lebih kecil dariku itu tampak girang. Menatapku dengan sorot mata tak percaya.
“Hai..kenapa juga kamu liatin aku kaya gitu?” Aku mendengus.
Dibalasnya dengusanku dengan tawa lebar. “Ketemu kakak lagi.”
“Iya nih sial. Angkotnya telat mulu. Takdir kali ya mesti ketemu kamu lagi.”
“Udah dua hari ini kan lagi ada demo terus dari arah kota. Macet kali, kak.”
“Tahu dari mana kamu?”
“Baca koran hari ini.”
“Wuih gaya kamu. Kayak bapak-bapak tahu nggak sih. Bapak-bapak, eh kakek-kakek ding, sarapannya sama koran.” Aku tak melihat dia bereaksi. “Eh, nama kamu Langit? Estetik." Aku tersenyum.
“Hehe..”
“Eh..malah cengengesan.”
“Kakak tahu dari mana?”
“Dasar kamu. Aku nanya kok malah balik nanya.”
“Malu kak..”
“Kenapa?”
Dia menggeleng saja. Aku tak mengerti. Tapi mungkin dia memang tak mau aku tanyai perihal siapa dirinya. Pertanyaanku perihal namanya tak ia jawab. Akupun tak mengulang pertanyaan itu. Tulisan di topi itu, mungkin namanya. Atau paling tidak ia ingin orang-orang yang berpapasan mengenal dirinya sebagai Langit.
# # #
Pertemuan berikutnya, tak disangka kami bertemu di tempat istimewa. Depan rumahku. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam tong sampah. Memungut beberapa botol bekas dan benda-benda lain sisa barang rumah tangga di rumahku.
“Ya elah..kamu lagi.” Seperti biasa dia terkejut lantas tertawa senang.
“Kakak?” Tangan kecilnya menunjuk ke rumahku.
“Ya..ini kan rumahku.”
“Oo…”
“Cuma itu komentarnya?”
“Aneh ya…”
“Apanya?”
“Saya sering kesini lho kak. Biasanya sampah disini nggak ada yang bagus.”
“Kamu tuh ya, mana ada sampah yang bagus.”
“Hari ini banyak sampah kertasnya. Koran, majalah, wah..bagus banget.”
Obrolan hari itu mengalir saja. Tiba-tiba aku merasa iba padanya sekaligus mengaguminya diam-diam. Betapa capeknya dia berjalan sejauh itu, tapi tanpa mengeluh sedikitpun.
Dari situ aku tahu banyak hal tentang dia yang ternyata adalah anak putus sekolah. Namanya memang Langit. Karena kehidupan ekonomi orangtua yang hanya tinggal ibunya seorang diri itu, dengan terpaksa ia disekolahkan hanya sampai sekolah dasar. Sehari-hari mengumpulkan barang bekas kemudian dijual ke penampung sampah, kecuali kertas bekas berisi tulisan-tulisan hasil cetakan mesin sejenis koran dan majalah.
“Kertas-kertas kayak gini sih nggak saya jual kak. Sayang. Nanti saya nggak bisa kayak anak sekolahan lagi.” Kemudian tertawa riang.
“Kamu bisa aja. Rajin amat ngumpulin kertas-kertas kayak beginian. Kalau aku, beli koran sampai banyak gitu sebab terpaksa. Soalnya di sekolah ada tugas mengarang dari guru bahasa Indonesia. Susah.”
“O iya.?” Responnya nampak antusias. “Haha…malahan saya suka pelajaran mengarang waktu masih sekolah dulu. Makanya sekarang juga saya masih suka nulis-nulis. Ah..biar uang ibu nggak mubazir.”
“Maksud kamu?”
“Ya kan di sekolah saya dulu diajarin macam-macam ilmu sama bapak guru dan biayanya pake uang ibu. Jadi saya nggak mau lupain jasa ibu. Saya mau tunjukin, kalau ilmunya masih saya pake.”
“Serius kamu suka ngarang?” Dia menjawab dengan anggukan mantap. “Wah, kebetulan dong.”
Otak curangku mulai berjalan. Lalu dengan rasa tidak bersalah aku memintanya untuk menuliskan sebuah karangan agar tugas bahasa Indonesiaku berjalan lancar. Tanpa harus repot, bikin pusing kepala, aku akan membacakan sebuah kisah terbaik di kelas.
Langit menyetujui rencanaku. Memberikan karyanya tanpa beban. Kuberi imbalan makanan dan uang alakadarnya. Tapi dia hanya menerima makanan yang kuberikan.
# # #
Satu minggu berselang, aku tak menjumpainya di tempat tong sampah depan rumahku ataupun dekat halte sekolahku, tempat biasa aku menunggu angkot. Padahal aku akan memberinya kabar gembira bahwa hasil karangannya disukai ibu guru bahasa Indonesia dan dua hari setelahnya karangan itu dikirim oleh pihak sekolah untuk dilombakan di sayembara menulis cerpen tingkat kabupaten.
Berhari-hari aku menantinya. Berharap bertemu dengannya segera. Entah di mana dia sekarang. Mungkinkah dia punya lahan baru? Aku menyesal kenapa dulu tak bertanya tentang tempat tinggalnya.
Hingga akhirnya satu bulan sudah aku tak berjumpa dengannya. Pengumuman lomba sampailah ke sekolah. Tak disangka karangan milik Langit lah yang meraih juara pertama tentu saja atas namaku. Sertifikat atas namaku dan piala pun diberikan untukku.
Kali ini aku merasa sangat berdosa terutama pada Langit. Saat pulang sekolah aku berdiri lama sekali di depan halte, namun dia tak kunjung datang. Beberapa angkutan umum sengaja aku abaikan.
Hingga angkutan umum yang ke depalan mungkin, aku hampir bosan menunggu, mendadak dari kejauhan terdengar sebuah kegaduhan seperti orang-orang tengah berdemo. Bergerombol di tengah jalan, kendaraan lainpun berhenti secara bersamaan. Orang-orang panik sambil berseru tidak jelas.
Aku penasaran lalu mencoba mencari informasi.
“Ada apa sih, pak?” tanyaku pada seorang pedagang mainan anak yang biasa mangkal di depan gerbang sekolah.
“Tabrakan kayaknya.”
“Ada yang ditabrak maksudnya?”
“Ya betul.”
Rasa penasaranpun terobati saat seorang pria bertubuh kekar mengangkat sebuah tubuh kecil yang berlumuran darah, matanya tertutup rapat. Tutup kepala sang manusia kecil itu terjatuh tanpa sengaja. Tampak goresan spidol berwarna merah darah. L-A-N-G-I-T.