Masukan nama pengguna
RONGGO DAN LASTRI
*Lina Budiarti*
Ronggo. Lelaki Kerempeng yang walau rambut dan jenggotnya masih menghitam itu terlihat telah renta. Kelopak matanya yang mencekung serta guratan di dahinya, itulah penyebabnya.
Lastri. Wanita pesolek yang seharusnya menjadi sangat tua karena usianya cuma berselang tiga tahun lebih muda dari Ronggo itu masih setia mendampingi laki-laki itu.
Di usia hampir setengah abad perkawinan mereka, Ronggo dan Lastri tetaplah pasangan yang serasi dalam pandangan orang sekampung. Duduk berdua di beranda, menikmati sepoi angin senja, kemesraan yang sungguh tak lekang oleh waktu. Orang sekampung iri? tentu saja. Bukan hanya lantaran kemesraan lahiriah yang ditampakkan keduanya, akan tetapi lebih pada kemegahan tempat tinggal mereka buah dari kemesraan bertahun-tahun yang sampai hari ini tetap dipertahankan.
Seumur perkawinan mereka, Ronggo dan Lastri tak dikaruniai anak. Mengadopsipun tidak.
"Mulia benar hati pak Ronggo. Bertahun-tahun tak dikarunai anak, tapi dia tetap mencintai istrinya." Rumpian perempuan-perempuan suatu pagi setelah suami-suami mereka pergi bekerja.
Berbeda dengan para lelaki." Saya tidak percaya, masih ada orang sebodoh pak Ronggo di dunia ini. Menikah dengan wanita mandul sangat merugikan. Padahal terlalu banyak perempuan di kampung ini yang bersedia dinikahinya sebab sawah berhektar-hektar yang dimilikinya."
"Termasuk istrimu?" celetuk yang lain.
"Lah, yang itu jangan. Wong sudah jadi istriku toh?"
"Ya sama, pak Ronggo tidak ingin menikah dengan wanita lain karena dia merasa sebagai suami bu Lastri."
"Weleh, berarti kamu membela pak Ronggo toh?"
"Pasti."
"Wah, kalau aku ikut membela dan mendukung pak Ronggo, aku dapat berapa persen?"
"Maksud kamu?"
"Oalah... sejak kapan kawanku jadi tulalit begini. Persenan untukku supaya jadi pendukung pak Ronggo saat pemilihan kuwu nanti."
"Eh... bukannya kita tadi tidak sedang membicarakan soal pemilihan kuwu? Tapi sebatas membicarakan keluarga pak Ronggo. Kok nyerempetnya ke masalah persenan segala. Dasar mata duitan."
"Sudahlah, kita mau ngomongin keluarganya atau masalah pemilihan kuwu, yang jelas, topiknya tetaplah Ronggo. Kakek tua yang ...,"
"Eh... eh... mau dapat persenan tidak?"
"Ya... ya, aku mau."
Pemilihan kepala desa. Seluruh warga kampong memang tengah menghitung hari. Dua bakal calon akan bersaing. Salah satunya adalah Ronggo. Pilihan yang sulit bagi warga kampung. Mereka bingung harus memilih yang mana. Keduanya menjanjikan kesejahteraan hidup untuk seluruh warga.
Yang resah dan bimbang bukan hanya warga kampung, tapi juga Lastri. Awalnya ia tidak setuju suaminya mencalonkan diri jadi kepala desa. akan tetapi karena Ronggo bersikeras, tidak mendengar pendapat istrinya, Lastri terpaksa menyetujuinya.
"Bapak sudah terlalu tua untuk jadi kepala desa." Itulah alasan penolakan Lastri akan keputusan Ronggo suatu hari.
"Sudah tanggung Bu.Tinggal beberapa hari lagi. Apapun yang Ibu katakan, Bapak tidak akan mundur."
"Lantas soal syarat yang harus Bapak jalani setelah menjadi kepala desa? Apakah Bapak bersedia?"
"Kenapa tidak?"
"Apa akan ada yang mau menikah dengan Bapak yang sudah setua ini."
"Enam puluh delapan.Usia Bapak belum terlalu tua. Harta Bapak banyak, untuk menggaet perempuan belasan tahun sekalipun."
"Bapak tidak sadar sudah menyakiti Ibu?"
"Kenapa? Ibu cemburu?"
"Lebih dari itu. Ketenangan kita terusik karena Bapak lebih menuruti hasutan orang lain ketimbang mendengarkan pendapat Ibu."
"Jangan memperkeruh suasana Bu, Bapak tidak merasa terhasut oleh siapapun."
"Apakah Bapak merasa cukup punya kemampuan untuk memimpin kampung ini? Jangan-jangan Bapak cuma akan jadi bulan-bulanan bawahan Bapak yang berotak lebih jenius itu."
"Ibu, sudah."
"Dan saran mbah dukun yang itu, mbok ya Bapak pikirkan masak-masak. Apa benar dengan menikahi perawan kampung ini, yang usianya jauh dibawah Bapak, hidup kita jauh lebih sejahtera? Apakah selama ini hidup kita tidak sejahtera? Bapak serakah."
"Sudahlah Bu malu kalau ada yang dengar, tua-tua kok masih sering bertengkar."
"Terserah. Ibu tidak bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan Bapak."
# #
Hari yang dinantipun datang. Gegap gempita warga memenuhi balai desa meskipun pagi masih terlalu buta. Teriakan anak-anak bersautan, susul menyusul dengan cericit burung pagi. Kebetulan hari itu sekolah libur.
Wajah-wajah serius sang pendukung calon membuat tegang. Ketegangan memuncak pada sekian ribu detik setelahnya saat dua bakal calon kepala desa tak nampak batang hidungnya. Warga tak sabar ingin menyalurkan aspirasinya, segera.
Waktu bergeser ke siang. Calon kepala desa yang hadir cuma seorang, yakni pesaing Ronggo. Sementara Ronggo yang dinanti sekian banyak pendukungnya tak muncul. Sampai akhirnya, panitia memutuskan pemilihan tetap dilakukan tanpa menunggu kedatangan Ronggo.
Apa yang dilakukan Ronggo sehingga tidak menghadiri acara pemilihan? Tak seorang wargapun yang berusaha mencari tahu. Semua sibuk dengan urusan masing-masing.
Sebagian besar cuek saja. Ronggo hadir atau tidak, panitia menetapkan pemilihan tetap sah. Dan bila suara terbanyak jatuh pada Ronggo, dialah yang akan menduduki kursi kepala desa yang baru.
Meski begitu desas-desus tidak menyenangkan tetap ada. Mereka beranggapan Ronggo sudah pesimis, tak akan ada warga yang mendukungnya. Dia takut pengumuman hari itu mengatakan bahwa dirinya tidak berhak jadi kepala desa yang baru.
"Jangan-jangan ada yang sentimen sama pak Ronggo. Dia diculik kemudian diasingkan." Suara desas-desus dengan kalimat berbeda namun dengan tema yang sama.
"Diculik lalu dibunuh barangkali. Biar pesaing pak Ronggo tak punya halangan." Komentar yang lain menambahkan dugaan yang lebih mengerikan.
"Kalian ini ada-ada saja. Jangan berperasangka terlalu jauh. Dosa. Aku kira, pak Ronggo tiba-tiba sakit. Maklum orang tua."
Seluruh anggapan yang dilontarkan warga memang beralasan. Tapi apakah dugaan itu benar?
Hari itu Ronggo memutuskan untuk diam di rumah. Yang jadi sebabnya adalah Lastri mendadak sakit. Pagi-pagi sekali dia seperti terserang demam tinggi. Muntah-muntah pula, wajahnya pucat. Sampai siang, Lastri berbaring saja di tempat tidur. Sedangkan Ronggo menungguinya di samping tempat tidur. Seorang bidan desa yang sering dimintai pertolongan oleh warga kampung bila terkena sakit ringan, mendampingi keduanya.
"Ibu tidak sakit kok, Pak." Bidan desa memberi keterangan.
"Tentu saja sekarang sudah tidak. Tadi pagi setelah dia muntah-muntah saya kerokin punggungnya sambil dibalur balsem. Masuk angin mungkin."
Bidan desa tersenyum. "Lantas kenapa saya dibawa kemari? Hari ini saya belum ikut mencoblos di balai desa lho, Pak. Karena keburu kesini."
"Saya yang minta, Bu bidan." Lastri bersuara. "Bukan hari ini saja saya seperti ini. Hampir setiap pagi."
"Setiap pagi?" Bidan desa kaget. "Sudah berapa hari, Bu?"
"Dari satu minggu lalu."
Bidan desa terdiam. Dia berpikir sejenak. Kemudian menggelengkan kepala. Ronggo dan Lastri saling pandang, tak mengerti.
"Boleh saya periksa ibu sekali lagi? ucap bidan desa kemudian. Tapi tidak di sini."
Lastri menurut saja ketika bidan desa menuntun langkahnya ke suatu tempat. Tapi masih di dalam rumah itu. Tak lama mereka kembali.
"Ibu hamil, Pak."
"Apa?" Ronggo tak percaya.
"Ini buktinya." Bidan desa menunjukkan strip tes kehamilan yang menandakan positif hamil.
Tanpa komando, Ronggo dan Lastri berpelukan.
"Selamat ya Pak, Bu. Saya harus segera pergi. Mumpung masih ada waktu untuk mencoblos."
"Kalau mencoblos nanti, Ibu tak usah pilih saya."
"Ah Bapak ge-er saja. Tapi kenapa?"
"Saya tak jadi mencalonkan diri."
"Bapak sungguh-sungguh?" Giliran Lastri yang heran.
"Kalau Bapak jadi kepala desa, Bapak harus kawin dengan perawan kampung. Ibu rela kalau anak kita punya ibu tiri?"
Pasangan yang ajaib. Sungguh langka di dunia ini. Bidan desa bergumam setelah tubuhnya lenyap dari pandangan pasangan suami istri itu.
Pasangan yang ajaib dan memang langka di dunia ini. Setua itu akan punya anak? Wah, senangnya Ronggo dan Lastri.
"Sampaikan berita gembira ini pada warga, kalau kami akan punya anak," teriak Ronggo walau ia yakin bidan desa sudah tak mungkin mendengar.
# # #