Cerpen
Disukai
8
Dilihat
1,297
Sebelum Tengah Malam
Drama

SEBELUM TENGAH MALAM

*Lina Budiarti*


Grr..! Bulu kudukku meremang. Cuma sesaat. Karena rasa rindu kembali menerpa. Tak bertemu ragapun tak mengapa, suaranya saja sudah jadi pengobat kangenku padanya.

Pukul delapan malam. Aneh. Tidak seperti biasanya suara itu terdengar. Hingga tiga hari ini. Padahal setahuku dia selalu datang tengah malam. Sudah tentu hanya sunyi tercipta di balik dinding itu pada jam-jam sebelum tengah malam.

Aku bilang sudah tiga hari ini dia punya kebiasaan seperti itu. Berita menggembirakan. Bila ia benar ada di tempat saat sebelum tengah malam aku berkesempatan mengetuk pintu dan menumpahkan hasrat yang sekian lama kupendam : berkenalan dengannya pada jarak yang begitu dekat. Sayangnya, walaupun dia telah berada di tempat pada sebelum tengah malam aku tetap tak bisa mengetuk pintu dan mengajaknya bicara tentang sesuatu yang tidak dia ketahui (sebelum aku mengatakannya dengan rinci). Namun, suara itu mengurungkan niatku.

Sungguh bodoh. Aku tak boleh patah semangat. Jika sebelum tengah malam dia telah berada di tempat, aku pastikan dia akan membuka pintu lebih dulu tanpa aku mengetuknya, tepat di jam enam pagi. Saat itulah aku beraksi. Kuhaturkan ucapan selamat pagi sembari berlaga menawarkan secangkir teh hangat, entah kopi hitam legit kepadanya. Apa saja. Kesukaannya tidak begitu kuketahui.

Aromanya pasti dia suka. Ini berarti aku akan segera berkenalan dengannya pada jarak yang sangat dekat dan lalu mengatakan sesuatu yang tidak dia ketahui sebelum aku membicarakannya dengan rinci.

Saat-saat itu hampir tiba. Jantungku berdegup lebih kencang. Detik jam dinding di kamarku sengaja kuhitung tanpa mengedipkan mata. Hingga puncaknya aku melompat dengan segera. Menyambar secangkir teh yang uapnya masih mengepul. Setengah menghempas gagang pintu. Aku melenggang menghampiri sebuah kursi segiempat tempat aku berpose santai saat libur panjang dari pekerjaanku seharian di jalanan. Diletakkan persis menghadap dinding pembatas antara terasku dan terasnya.

Suara-suara parau menyambutku. Suara-suara para tetanggaku yang baru saja terjaga dari mimpi indah semalaman dan kebetulan melihatku. Sayangnya, suara yang kunanti tak berada di antara suara-suara para tetanggaku yang lain itu. Apalagi sebentuk bulat mata yang maniknya berkilat tertimpa cahaya sinar mentari pagi dan elok tubuh semampainya. Sungguh tetap jadi angan-anganku saja untuk melihtanya. Hampir satu jam aku duduk dan secangkir teh tinggal seperempatnya, sudah dingin, mungkin tak enak dinikmati, dia tak jua muncul.

Apa yang sedang ia perbuat? Tahukah ia kalau aku menunggunya setiap hari seperti ini? Hanya butuh satu kesempatan. Ya, satu kesempatan cukup. Selebihnya kuatur rencana yang lebih berkesan.

Pertanyaan aneh. Apa urusannya denganku? Apa yang akan dia katakan bila nanti tahu aku sering bertanya tentang itu di ruang-ruang hampa batinku? Apakah dia akan merasa tersanjung karena dianggapnya aku peduli dengan keadaannya. Atau malah sebaliknya. Dia akan marah karena aku terlalu usil akan urusan pribadinya.

Ya, aku sering melontarkan pertanyaan itu, walaupun hanya aku seorang diri yang mendengarnya. Bukan lantaran dalam tiga hari ini dia tiba-tiba pulang ke tempatnya sebelum tengah malam tapi jauh sebelum itu. Semenjak aku baru tinggal beberapa minggu sebagai penghuni baru, ia sudah jadi bunga tidurku sepanjang malam. Persis ketika kuketahui bahwa dia seorang janda tanpa anak. Usianya baru dua puluh enam tahun lebih beberapa hari saja. Bekerja di sebuah bank swasta.

Perihal bank swasta mana yang memberlakukan aturan pulang kerja tengah malam pada karyawatinya, aku tak tahu. Informasi tentang dia secara keseluruhan tak pernah kudengar langsung dari mulutnya. Sekelumit data yang kuperoleh, itupun karena aku rajin bertandang ke tempat tetanggaku yang lain yang kebetulan lebih dulu tinggal di kontrakan ini ketimbang aku.

Masih untung, walau tak pernah sekalipun bertegur sapa, tempat kontrakan kami bersebelahan, dengan tembok yang menyatu. Beberapa kegiatan yang dia lakukan di balik dinding itu samar-samar bisa kuterka maksudnya. Termasuk ketika kutahu bahwa wanita secantik dia ternyata punya kebiasaan mendengkur lebih keras (daripada aku mungkin) pada saat terlelap karena rasa lelah setelah bekerja seharian. Seperti tiga malam ini.

Hari ini hari Minggu. Masuk akal memang bila dia tidak keluar untuk bekerja. Bank biasanya libur di tanggal merah. Tidak seperti aku. Tanggalnya merah atau biru aku tetap menunaikan kewajiban. Mengantar orang-orang ke suatu tempat. Yang lebih penting dari itu, aku melakukannya hampir tak kenal lelah adalah untuk kejar setoran terutama setoran ke perutku.

Hari ini aku urung ngantor. Maksudku nyetir. Yang jadi sebabnya adalah kepenasaranku pada Julaeha. Begitulah para tetangga menyebut nama wanita itu. Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu, akhirnya. Namun sebelum niatku berjalan mulus, sentuhan di pundak membuatku tersentak sejenak.

"Man, hari ini nggak narik?" Begitu suara yang mengagetkanku itu.

"Kamu Jek. Saya pikir siapa?"

Dia malah terkekeh. "Oalah..Leman, Leman. Jangan melamun terus makanya. Nanti kesambet setan."

"Biar saja. Saya yang kesambet kamu kok yang repot."

"Ya jelas lah, Man. Kalau kamu kesurupan semua orang pasti panik dan itu berarti kamu sudah merepotkan para tetangga. Benar begitu?"

"Jek, Jek. Bisa saja kamu. Terang benderang begini mana ada setan."

"Nah itu," tunjuknya ke kamar Julaeha yang tertutup rapat.

"Hus, nggak boleh begitu Jek. Sentimen namanya. Orang kok dibilang setan."

"Nah..kalau orang sekarat terus mati kan bakal jadi setan. Apalagi kalau sebelum mati saja kelakuannya sudah seperti setan."

"Saya bingung. Sebenarnya kamu mau ngomong apa? Nggak ngerti saya."

"Tiga hari tiga malam si Julaeha sekarat di dalam kamarnya tanpa ada seorangpun yang mau menengok keadaannya."

"Kata siapa?"

"Nggak dengar apa kalau malam-malam suaranya jelas sekali?"

Aku tertawa geli. "Orang tidur mendengkur? Kok dibilang sekarat."

"Walah, Man. Kamu nggak percaya? Itu suara Julaeha lagi sekarat."

Tiba-tiba dari arah kamar Julaeha terdengar suara gaduh. Benda-benda beradu. Suara jeritan panjang Julaeha. Meraung-raung. Aku tertegun tapi kemudian segera tersadar ketika beberapa tetangga menghambur, memadati teras kamar Julaeha. Salah seorang mendobrak pintunya.

Lengkingan Julaeha sekejap sudah tak ada. Yang ada hanya pemandangan mengenaskan disaksikan belasan pasang mata. Tubuhnya meregang, meronta, membanting diri ke kanan dan ke kiri. Badannya yang setengah telanjang dan wajah cantiknya tak berupa. Menjijikkan. Penuh goresan merah bekas cakaran kuku-kukunya sendiri. Kemudian diam, beku. Bola matanya menghadap langit-langit. Memerah pula. Air mata terakhirnya luruh juga bercampur darah segar, mengalir dari pori-pori kulitnya yang tercabik, bekas cakaran di sekitar hidung dan matanya.

"Lebih baik kita. Biar badan babak belur kena sengatan panas matahari dan asap knalpot, tapi rijkinya berkah," seloroh Jek entah bicara pada siapa.

# # #

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)