Cerpen
Disukai
0
Dilihat
3,248
RUANG GELAP
Drama

 Dipastikannya sekali lagi pintu itu sudah tertutup dengan benar. Bahkan telah terkunci rapat, yakin San. Namun suara deritnya masih saja mengganggu pendengarannya.

Mungkin karena angin sore terlalu kencang berhembus, sehingga setiap benda yang diterjangnya tak ayal bergerak-gerak melawan amukannya. Atau mungkin karena memang kondisi bangunan yang lebih tepat disebut gubuk itu sudah tidak layak huni.

Tubuhnya setengah menggigil. Sesekali dia masih menata dengus napasnya. Rasa cemas dan ketakutan masih menyelimuti pikirannya. Beberapa kali dia meremas-remas wajahnya sendiri, menutup mata kemudian membukanya kembali seperti tengah mengusir sesuatu yang menggelayut di pelupuknya.

Semenjak kedatangan preman-preman itu hidup Sani semakin tidak menyenangkan. Lebih-lebih hari ini, dia tertimpa masalah yang lebih buruk. Dia harus berlatih marathon setiap hari demi mempertahankan hidupnya.

Seperti hari ini dia harus berjuang mati-matian untuk menandingi kegesitan manusia-manusia bertubuh tinggi besar yang memergokinya di SPBU beberapa menit lalu. Untunglah ada gubuk ini yang menyelamatkan dia dari kejaran orang-orang itu. Kalau tidak, tubuhnya mungkin sudah menggelepar jadi bulan-bulanan dan tontonan mengasyikan massa di tempat itu.

Berulang kali hatinya mengumpat, “Dasar preman-preman jahanam. Kalau tak ada mereka aku tidak akan mungkin seperti ini.”

Sekali lagi! Karena preman-preman itu hidup Sani, anak laki-laki bertubuh ceking nan kumal itu semakin tidak menyenangkan.

Tapi bukan berarti sebelum preman-preman itu datang menggeser posisinya, hidup Sani bahagia. Ketika teman seusianya bersuka ria di tempat nyaman, mendengarkan dendang suara merdu ibu gurunya menyanyikan lagu-lagu gembira, Sani harus berlari menembus panas matahari, berlomba dengan rotasi bumi demi sesuap nasi. Ketika anak-anak sebayanya terlelap bahagia dalam dekapan hangat ibu-bapaknya di peraduan, dia juga masih harus berputar-putar di tempat-tempat tidak menyenangkan, melawan rasa dingin dan kantuk yang menyengat demi kelanjutan hidupnya keesokan hari.

Entah siapa yang membuatnya seperti demikian. Dia tak ingin mengenal orang itu. Siapa ayah ibunya, dia pun enggan mencari tahu. Hatinya sudah cukup lelah dikerahkan untuk hidupnya di hari esok. Jiwanya tak ingin berpusing-pusing, membuang begitu banyak waktu untuk mengetahui asal-usul, siapa dia yang sebenarnya.

Kapan dia dilahirkan, tak seorangpun peduli. Yang San tahu adalah dia harus benar-benar hidup ketika diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk tetap hidup. Tak seorangpun diijinkan untuk merampas hak hidupnya keculai Tuhan.

Pagi itu sebelum akhirnya Sani terperangkap dalam gubuk yang seperti akan runtuh itu, dia masih bisa menikmati udara segar tanpa kecemasan. Sepotong kue kering beraroma agak menyengat masih terasa lezat dinikmatinya, sebelum kemudian dia memutuskan untuk melanjutkan rencana yang kemarin belum terlaksana karena malam terlalu cepat menghadang langkahnya.

Semalaman sebelum pagi itu dia hampir tak mampu memejamkan mata. Hanya beberapa detik dilaluinya, sebab sebuah mimpi buruk membangunkannya tiba-tiba. Semalaman itu dia berpikir keras untuk dapat mengalahkan pesaing-pesaingnya. Setidaknya jalan selamat yang akan ia pilih nantinya bisa menghindarkan pertemuannya dengan para preman yang mengusik profesinya akhir-akhir ini.

“SPBU!” Tiba-tiba Sani berseru riang, hingga tak sadar sepotong kue kering yang baru beberapa kali dikunyahnya menyembur keluar.

Ya..tempat baru yang akan ia satroni hari itu adalah SPBU, setelah menimbang-nimbang bahwa terminal dan lampu merah sudah tak nyaman lagi untuknya.

Beberapa tahun dari sejak dia mampu berdiri tegap hingga seusia sekarang, terminal merupakan tempat yang menurutnya paling bersahabat dengan seorang pengamen kecil seperti dia. Selama mengais rejeki di tempat itu tak ada gangguan berarti mengusik dirinya.

Namun ternyata roda keberuntungan tidak selamanya berpihak padanya. Ketika musim pungli alias pungutan liar menjadi tren di tempat-tempat transportasi umum mangkal, semuanya berubah semrawut. Tidak hanya pemilik jasa transportasi yang kerap jadi korbannya. Sani yang sehari-harinya hampir jadi penghuni tetap tempat itu selalu diselimuti ketakutan luar biasa saat hasil jerih payahnya dijarah dengan paksa. Semakin kuat dia mencoba mempertahankan haknya semakin kuat pula para preman terminal itu berusaha merampasnya.

Pagi itu Sani memantapkan hati untuk pergi ke SPBU. Sambil berdendang dengan suara setengah berbisik, seperangkat alat musik khas miliknya tak henti ditabuhnya berkali-kali. Ada harap indah yang hendak ia sampaikan lewat lagu ciptaannya sendiri kepada para pendengar di tempatnya yang baru.

Seandainya Sani tahu, saat kaki kecilnya menapak tepat di gerbang SPBU, jam dinding menunjukkan pukul sembilan pagi. Sayangnya dia tak melihat angka-angka. Yang dia kenal hanya posisi matahari yang dirasa sangat lamban berpindah setiap hari.

Seperti waktu itu. Berlama-lama di gerbang SPBU membuatnya hampir jenuh menantikan mangsa menghampirinya. Tak satu kendaraanpun yang ternyata berhasil singgah lama di SPBU. Rata-rata dari mereka hanya memarkirnya beberapa menit lalu menyela gas dengan segera. Itu pun kendaraan berjenis elf adalah jenis kendaraan terbesar yang mampir ke situ. Bis kota yang dinantikannya tak kunjung tiba. Sungguh berbeda dengan suasana di terminal.

Ketika putaran bumi berhasil memposisikan matahari di atas kepalanya, San semakin gelisah. Sekilat terbersit niat dalam hatinyauntuk berpindah ke SPBU lain, tapi kemudian diurungkannya. Sebuah bis kota jurusan Cirebon-Jakarta memberi tanda dengan lampu berkedip-kedip di sebelah kanan. Kebetulan letak SPBU ada di seberang kanan jalan dari arah bis kota datang.

Dengan hati senang Sani segera melompat dari tempatnya termangu beberapa saat tadi. Langkah kecilnya mencoba mengungguli putaran roda bis kota yang memasuki arena SPBU, hingga posisi mereka sejajar.

Hap! Sani berhasil naik ke atas bis kota dengan sigap. Ketika mesin mobil benar-benar dimatikan sejenak, San mulai mempertunjukkan aksinya. Alat musik khas miliknya hendak ditabuhnya cepat-cepat, lantun tembang merdu ingin dialunkan segera. Tapi naas, sebelum seluruh jarinya merengkuh alat musik untuk memainkannya, segerombolan manusia berukuran tubuh tiga kali lipat darinya menyeruak dari arah belakang.

“Heh bocah. Minggir, minggir.” Seorang berkulit coklat dengan gitar bagus di tangannya menghardik Sani.

“Lho, yang duluan kan…” San mencoba membela diri.

“Heh! Melawan, Hah?” Seorang yang menenteng kendang panjang melotot kepadanya.

“Huh dasar. Beraninya main keroyok!”

“E…eh…”

Kalau Sani tak keburu mengelak, mungkin sebuah tamparan keras menghantam kepalanya. Dia memilih mengalah demi keselamatan.

Dengan kesabaran yang hampir habis Sani menunggu bis berikutnya. Sayang, semua tidak sesuai dengan yang ia inginkan. Kejadian di bis pertama terulang sampai tiga kali. Sani mendengus kesal. Kemudian berpindah ke beberapa SPBU lain, tapi nasibnya sama saja.

Sani putus asa. Dia ingin sekali menangis. Tanpa dia sadari selama ini ternyata orang-orang yang sekarang jadi pesaingnya bukan hanya manusia-manusia bertampang kriminal sejenis preman tapi juga om-om berwajah tampan yang baru lulus kuliah, kemudian menjadi pengamen jalanan lantaran lapangan kerja tidak mampu menampung kemempuan mereka.

Senja hampir tiba. Garis merah di ufuk Barat berangsur nyata. San gusar menghadapi kenyataan yang terjadi hari itu.

Sebuah bis kota yang terakhir dia lihat sore itu mengunjungi SPBU. Dia ingin berusaha sekali lagi. Tapi…tidak! Kejadian yang tadi pasti terulang. Namun tak ayal kakinya tetap terayun menghampiri bis yang berhenti. Beberapa penumpang keluar untuk buang air kecil, ada pula yang sengaja turun untuk membeli makanan ringan.

Saat itu seorang wanita separuh baya menghampiri pedagang yang menjual makanan ringan. Tangannya menunjuk pada minuman berkemasan yang dijejer. Wanita itu berdiri hanya satu meter dari tempat San mengawasinya. Tiba-tiba niat buruk San timbul. Tanpa pikir panjang, dia merebut tas kecil yang baru saja akan dikeluarkan isinya oleh pemiliknya.

“Co…copet! Tolong…copet!” teriak wanita itu sambil menunjuk ke arah bocah kecil yang lari tunggang langgang.

Serentak beberapa laki-laki berbadan kekar segera ambil tindakan. Laki-laki dan bocah berkejaran menmbus alang-alang yang tumbuh di tepi jalan.

# # #

Ruangan yang ditempati Sani dirasakan kian menggelap. Suara jangkrik di kejauhan mulai terdengar. Sani tersentak dari tidurnya saat sebuah sengatan kecil menggigit kulitnya. Nampaknya dia tertidur sejenak karena rasa lelah teramat sangat.

Pelan-pelan jari-jari kecilnya menyusuri daun pintu, mencari-cari lubang kunci. Tidak lama kemudian pintupun terbuka. San lega karena orang-orang yang tadi mengejarnya tak nampak. Hanya saja hari sudah begitu gelap. Tanpa dia sadari beberapa menit lalu kumandang adzan Isya menggema.

Dengan bantuan temaram sinar rembulan dan sorotan lampu-lampu jalan di kejauhan, tahulah ia gubuk yang sempat jadi tempat persembunyiaannya adalah tempat menyimpan buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalan. Entah kemana pemilik tempat itu.

Kemudian Sani menyusuri jalan. Perutnya terasa begitu lapar, hingga dia putuskan untuk mencari warung kecil. Tak begitu lama, tujuannya tercapai.

Di depan warung, mulutnya hampir saja terbuka untuk mengucapkan sesuatu pada si tukang warung, tapi…

“Heh, bocah sialan. Kamu kan yang tadi siang nyopet di SPBU.” Seorang laki-laki menegurnya dengan suara keras. Spontan, pengunjung warung yang lain menoleh ke arah Sani.

Darah Sani terkesiap mendapati tatap penuh curiga orang-orang itu. Secepat kilat dia berbalik arah dan berlari sekencang-kencangnya. Teriakan laki-laki pengunjung warung dengan beberapa temannya membuatnya melupakan rasa lapar yang hampir menusuk uluh hatinya.

 


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)