Masukan nama pengguna
Bab 1: Gema di Ruang Hampa
Bagi Arga, dunia sebelum kecelakaan itu adalah palet warna yang teratur. Sebagai seorang desainer grafis, hidupnya berputar di sekitar kode-kode warna, keseimbangan visual, dan tenggat waktu yang membosankan namun familier. Pagi adalah aroma kopi dan layar monitor yang menyala. Siang adalah dering telepon dari klien yang cerewet. Malam adalah kehangatan sofa dan tawa Lina, tunangannya, yang mampu melarutkan segala penat. Semuanya berada di tempatnya, tertata rapi seperti lapisan-lapisan dalam sebuah file Photoshop.
Lalu, sebuah truk pengangkut air yang remnya blong mengubah palet itu menjadi cipratan cat acak di atas kanvas.
Arga tidak mengingat banyak tentang benturannya. Hanya ada suara decitan ban yang memekakkan telinga, kilatan matahari yang menyilaukan dari kaca spion, dan rasa sakit yang menusuk tajam di bahu kirinya sebelum semuanya menjadi gelap. Ia terbangun di sebuah kamar rumah sakit yang steril, dengan aroma antiseptik yang menusuk hidung dan bahu yang terasa berat oleh perban.
“Hanya dislokasi bahu dan beberapa luka sobek,” kata dokter dengan senyum menenangkan. “Kami sudah melakukan operasi kecil untuk memasang kembali sendinya. Anda akan baik-baik saja, Pak Arga. Hanya butuh istirahat.”
Operasi kecil. Empat kata itu terdengar begitu ringan, begitu sepele. Namun, empat kata itulah yang menjadi gerbang menuju neraka yang tak pernah ia bayangkan.
Seminggu setelah kembali ke apartemennya, keanehan itu dimulai. Awalnya, ia hanya seperti sentakan listrik singkat di otaknya. Saat sedang mengaduk kopi, tiba-tiba sebuah gambar melintas di benaknya: sepasang sepatu bot kulit berwarna cokelat, berlumpur, tergeletak miring di atas lantai kayu yang basah. Gambar itu begitu jernih, begitu nyata, hingga Arga bisa merasakan dinginnya ubin di bawah kakinya sendiri, padahal ia sedang berdiri di atas karpet dapur yang hangat. Ia menggelengkan kepala, menganggapnya sisa-sisa anestesi yang masih bermain-main di sistem sarafnya.
Namun, kilatan itu datang lagi. Dan lagi.
Saat sedang menonton film bersama Lina, sebuah suara berbisik di telinganya, begitu jelas seolah pemilik suara itu duduk di sebelahnya. “Jangan percaya padanya.” Suara itu bukan suara Lina. Itu suara perempuan, lirih dan penuh ketakutan. Arga menoleh kaget, membuat Lina menghentikan filmnya.
“Kenapa, Ga?” tanya Lina, matanya yang teduh memancarkan kekhawatiran.
“Nggak… nggak apa-apa. Kupikir aku dengar sesuatu,” jawab Arga, berusaha terdengar santai.
“Suara apa? Di luar?”
Arga terdiam. Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa suara itu ada di dalam kepalanya?
Seiring berjalannya hari, kepingan-kepingan itu menjadi semakin sering dan semakin detail. Bukan lagi sekadar gambar atau suara, melainkan paket lengkap pengalaman sensorik. Suatu sore, saat hujan deras mengguyur Jakarta, Arga tiba-tiba mencium aroma anyelir yang tajam, bercampur dengan bau tanah basah dan sesuatu yang amis seperti karat. Bersamaan dengan itu, rasa takut yang begitu primordial merayap di tulang punggungnya, membuat bulu kuduknya berdiri. Jantungnya berdebar kencang tanpa alasan, seolah ia baru saja berlari dari kejaran sesuatu yang mengerikan. Ia mencengkeram dadanya, terengah-engah, sementara Lina menatapnya dengan panik.
“Efek samping obat,” begitulah Arga terus-menerus meyakinkan dirinya sendiri dan Lina. “Atau mungkin… stres pasca-trauma.”
Dokter yang menanganinya pun setuju. Ia memberinya resep obat penenang dan menyarankan untuk lebih banyak bersantai. Tapi obat itu tidak membantu. Gema di kepalanya semakin nyaring, dan kilatan gambar semakin brutal. Ia melihat tangan pucat dengan kuku yang terawat rapi mencengkeram tirai jendela. Ia mendengar melodi sendu dari sebuah kotak musik, melodi yang sama berulang-ulang hingga terasa menusuk gendang telinga. Ia merasakan dinginnya logam yang menekan tengkuknya.
Semua itu adalah sensasi asing. Ketakutan itu bukan miliknya. Kenangan itu bukan miliknya.
Arga mulai kehilangan dirinya sendiri. Pekerjaannya terbengkalai. Klien-kliennya mengeluh. Ia menjadi lebih pendiam, lebih sering melamun, dan sorot matanya selalu gelisah, seolah sedang mendengarkan percakapan lain yang tak bisa didengar orang lain. Lina berusaha sabar, tapi Arga bisa melihat ketakutan di matanya—ketakutan bahwa pria yang dicintainya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh sosok asing yang gemetar dan penuh paranoia.
Titik baliknya datang pada suatu malam, tiga minggu setelah operasi. Arga terbangun dengan keringat dingin membasahi kausnya. Sebuah mimpi—atau mungkin bukan mimpi—baru saja mencabik-cabik tidurnya. Dalam penglihatan itu, ia melihat sebuah ruangan redup dari sudut pandang seseorang yang sedang berbaring di lantai. Ia melihat langit-langit kayu dengan sarang laba-laba di sudutnya. Ia melihat sebuah lemari jati tua dengan ukiran bunga mawar di pintunya. Dan yang paling mengerikan, ia melihat sepasang mata yang menatapnya dari kegelapan. Mata yang dingin, tanpa emosi, seperti mata seekor reptil.
Lalu, ia mendengar sebuah kalimat, diucapkan dengan suara serak dan tenang yang mengerikan. “Lihat betapa cantiknya dirimu saat ketakutan.”
Arga melompat dari tempat tidur, napasnya tersengal. Ia berlari ke ruang tamu dan menyalakan laptopnya dengan tangan gemetar. Ada sesuatu tentang melodi kotak musik itu, sesuatu yang terasa familier. Ia mengetikkan kata kunci acak di mesin pencari: “kasus pembunuhan,” “kotak musik,” “jakarta.”
Puluhan artikel berita muncul. Tapi satu judul membuatnya terpaku.
“PEMBUNUH MELODI MASIH MENJADI MISTERI SETELAH LIMA TAHUN.”
Arga mengklik tautan itu. Jantungnya terasa seperti akan meledak saat membaca detailnya. Seorang pembunuh berantai yang meneror Jakarta lima tahun lalu. Ia menargetkan wanita-wanita muda yang tinggal sendirian. Pola operasinya selalu sama: tidak ada jejak masuk paksa, dan ia selalu meninggalkan sebuah kotak musik kecil di samping tubuh korbannya, memainkan melodi yang sama. Polisi menjulukinya “Pembunuh Melodi.” Pembunuhnya tidak pernah tertangkap. Kasus itu menjadi dingin, terkubur di bawah tumpukan kasus-kasus baru.
Artikel itu menyertakan foto salah satu korban terakhir, seorang wanita muda bernama Sarah Kirana. Wajahnya cantik, dengan senyum lembut dan mata yang tampak cerdas. Di bawah fotonya, ada deskripsi singkat tentang dirinya: seorang penulis lepas, tinggal sendirian di sebuah rumah tua di kawasan pinggiran kota.
Lalu, Arga membaca sebuah kalimat yang membuat darahnya serasa membeku di pembuluh darahnya. “Salah satu ciri khas dari lokasi kejadian perkara adalah lemari jati tua dengan ukiran bunga mawar yang ditemukan di kamar korban…”
Lemari yang sama dengan yang ia lihat di kepalanya.
Napas Arga tercekat. Ini bukan efek samping obat. Ini bukan stres pasca-trauma. Potongan-potongan gambar, suara, dan rasa takut yang menghantuinya selama ini… semua itu bukan miliknya.
Itu adalah detik-detik terakhir kehidupan Sarah Kirana. Dan entah bagaimana, kenangan itu sekarang tertanam di dalam kepalanya.
Bab 2: Jejak yang Terhapus
Kesadaran itu menghantam Arga seperti gelombang pasang. Ia bukan sekadar mengalami hal aneh; ia adalah saksi bisu dari sebuah kejahatan keji, seorang saksi yang datang terlambat lima tahun. Kepala Arga terasa pusing. Ia menatap layar laptop, pada wajah tersenyum Sarah Kirana, dan merasakan gelombang duka yang aneh menyelimutinya, duka untuk seseorang yang tak pernah ia kenal.
Bagaimana ini mungkin? Operasi? Kecelakaan? Mungkinkah saat operasi itu… mungkinkah ia menerima sesuatu yang bukan hanya obat? Transfusi darah? Ia mencoba mengingat, tetapi detail di rumah sakit kabur. Yang ia tahu, kepalanya kini menjadi sebuah teater mengerikan yang memutar ulang adegan kematian seseorang.
Hari berikutnya, ia mencoba menceritakan semuanya pada Lina. Mereka duduk di meja makan, dengan sarapan yang mendingin di antara mereka. Arga menjelaskan dengan hati-hati, berusaha menyusun kata-kata agar tidak terdengar seperti orang gila. Ia menunjukkan artikel berita itu, menghubungkan detail-detailnya dengan kilasan-kilasan yang ia alami.
Lina mendengarkan dengan sabar, wajahnya pucat. Tapi saat Arga selesai, yang terpancar dari mata Lina bukanlah kepercayaan, melainkan ketakutan yang lebih dalam.
“Arga… sayang,” ucapnya pelan, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Arga yang gemetar. “Mungkin… mungkin kamu terlalu banyak membaca. Kamu stres karena kecelakaan itu, dan pikiranmu menghubung-hubungkan hal yang sebenarnya tidak berhubungan. Ini… ini namanya confirmation bias, kan?”
“Tidak, Lin! Ini nyata!” desak Arga. “Aku melihat lemari itu sebelum aku membaca beritanya! Aku mendengar melodi itu sebelum aku tahu tentang Pembunuh Melodi!”
“Lalu apa? Kamu mau bilang arwah Sarah merasukimu?” Suara Lina sedikit meninggi, ada nada frustrasi di sana. “Arga, dengarkan dirimu sendiri. Ini tidak masuk akal.”
Arga menarik tangannya. Dinding itu kembali terbangun di antara mereka. Dinding ketidakpercayaan. Ia merasa semakin terisolasi, terperangkap dalam kepalanya sendiri bersama gema dari masa lalu yang mengerikan.
Siang itu, sebuah pikiran nekat muncul di benaknya. Jika polisi tidak akan percaya, dan Lina pun tidak, maka ia harus mencari bukti sendiri. Ia harus membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia tidak gila. Berbekal alamat lama Sarah Kirana yang ia temukan dari arsip berita online, Arga menyalakan motornya. Bahunya masih terasa nyeri, tapi dorongan di dalam dirinya jauh lebih kuat dari rasa sakit fisik.
Rumah itu berada di sebuah jalan yang sepi, dinaungi pohon-pohon rindang yang membuatnya tampak muram bahkan di tengah hari yang cerah. Cat putihnya sudah mengelupas di banyak tempat, dan halamannya ditumbuhi rumput liar. Ada papan “DIJUAL” yang sudah miring dan berkarat tergantung di pagarnya. Rumah itu kosong, ditinggalkan persis seperti saat tragedi itu terjadi, seolah waktu ikut membeku di dalamnya.
Arga memarkir motornya di seberang jalan, mengamati rumah itu. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasa pernah ke sini sebelumnya, sebuah déjà vu yang aneh dan menakutkan. Ia bisa merasakan dinginnya gagang pintu pagar di tangannya, padahal ia belum menyentuhnya.
Saat itulah ia menyadarinya. Seseorang sedang memperhatikannya. Di ujung jalan, sebuah mobil sedan hitam terparkir. Kaca filmnya terlalu gelap untuk bisa melihat siapa yang ada di dalamnya, tapi Arga bisa merasakan sepasang mata tertuju padanya. Perasaan yang sama seperti saat ia melihat mata dingin di langit-langit kamarnya dalam kilasan memori itu. Dingin dan tanpa emosi.
Bulu kuduknya meremang. Ia buru-buru menyalakan kembali motornya dan pergi dari sana, dengan perasaan dikejar yang begitu nyata.
Malamnya, teror itu mulai merayap keluar dari kepalanya dan masuk ke dunia nyata.
Orang pertama yang menghilang adalah Pak Tedi, satpam paruh baya yang berjaga di lobi apartemennya. Pak Tedi adalah pria ramah yang selalu menyapa Arga dengan senyum ompongnya. Keesokan paginya, lobi gempar. Pos jaga Pak Tedi kosong, termos kopinya masih hangat, tapi pria itu lenyap tanpa jejak. Polisi datang, bertanya sana-sini, tapi tidak menemukan apa-apa. Mereka menganggapnya sebagai kasus orang hilang biasa.
Tapi Arga tahu ini bukan hal biasa. Sehari sebelumnya, Arga sempat mengobrol singkat dengan Pak Tedi. Saat itu, sebuah kilasan memori baru saja menyerangnya—sebuah gambar tangan dengan jam tangan perak yang khas melingkar di pergelangannya. Tanpa sadar, Arga bergumam, “Jam tangan perak…”
Pak Tedi, yang kebetulan lewat, menimpali, “Oh, jam tangan perak, Mas? Kayak yang dipakai tamu aneh kemarin malam. Datang tengah malam, nanyain Mas Arga tinggal di lantai berapa. Orangnya tinggi, pakai jaket kulit.”
Saat itu Arga tidak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, dengan hilangnya Pak Tedi, percakapan singkat itu terasa seperti lonceng kematian. Tamu aneh itu… apakah ia orang yang sama di dalam sedan hitam? Apakah ia pembunuhnya? Apakah ia tahu bahwa Arga… mengingat?
Ketakutan Arga berubah menjadi kepanikan. Pembunuhnya bukan hanya ada di masa lalu. Ia aktif. Dan ia tahu tentang Arga.
Dengan putus asa, Arga memutuskan untuk melakukan hal yang seharusnya ia lakukan sejak awal. Ia pergi ke kantor polisi.
Ia disambut oleh seorang inspektur bernama Bramantyo, seorang pria berusia akhir lima puluhan dengan wajah lelah dan kantung mata yang tebal. Ia mendengarkan cerita Arga dengan ekspresi datar, sesekali menyesap kopi hitamnya yang pekat.
Arga menceritakan semuanya. Operasi, kilasan memori, artikel berita, rumah Sarah Kirana, mobil hitam, hingga hilangnya Pak Tedi. Ia mencoba sekuat tenaga untuk terdengar logis dan waras.
Ketika Arga selesai, Inspektur Bramantyo meletakkan cangkirnya dengan pelan. Ia menatap Arga lama, tatapan yang seolah bisa menembus tengkoraknya.
“Jadi,” kata Bramantyo dengan suara serak, “Anda mau saya membuka kembali kasus dingin yang sudah buntu selama lima tahun, berdasarkan… mimpi dan perasaan?”
“Ini bukan mimpi! Ini ingatan!” potong Arga.
“Ingatan siapa? Ingatan korban yang sudah meninggal?” Bramantyo mendengus kecil, sebuah senyum sinis tersungging di bibirnya. “Pak Arga, saya sudah menjadi polisi selama tiga puluh tahun. Saya sudah mendengar segala macam cerita. Orang yang mendapat bisikan gaib, orang yang didatangi arwah, semuanya. Tapi ujung-ujungnya selalu sama: tidak ada bukti.”
“Tapi Pak Tedi hilang!”
“Orang hilang setiap hari di kota ini. Bisa jadi dia pulang kampung, punya utang, atau masalah keluarga. Tidak ada hubungannya dengan kasus lima tahun lalu.”
Bramantyo berdiri, menandakan bahwa pertemuan itu sudah selesai. “Dengar, Nak. Anda baru saja mengalami kecelakaan. Anda trauma. Pulanglah, minum obat Anda, dan lupakan semua ini. Jangan membuat masalah di tempat yang tidak ada masalah.”
Arga keluar dari kantor polisi dengan perasaan hancur. Ditolak, dianggap gila. Kini ia benar-benar sendirian. Tapi saat ia berjalan menuju tempat parkir, sebuah kesadaran baru yang mengerikan merasukinya.
Bramantyo benar. Tidak ada bukti. Pembunuhnya sangat cerdas, sangat bersih. Ia tidak meninggalkan jejak. Lalu, bagaimana jika satu-satunya bukti yang ada di dunia ini… adalah isi kepala Arga?
Dan kini, sang pembunuh datang untuk membersihkan satu-satunya jejak yang tersisa.
Bab 3: Aliansi yang Retak
Penolakan dari Inspektur Bramantyo menjadi titik terendah bagi Arga. Ia merasa seperti berteriak di dalam ruang kedap suara. Kebenaran yang ia pegang begitu erat dianggap sebagai bualan orang sakit. Malam itu, apartemennya terasa seperti penjara. Setiap derit lantai, setiap suara dari pipa air, setiap bayangan di sudut ruangan membuatnya melompat kaget. Pembunuhnya ada di luar sana. Mungkin sedang mengawasinya dari seberang jalan, dari dalam sedan hitam yang sama.
Lina mencoba mendekatinya, mencoba menawarkan kenyamanan, tapi ada jurang yang kini memisahkan mereka.
“Aku sudah booking jadwal konsultasi dengan psikiater besok, Ga,” kata Lina lembut, sambil meletakkan segelas teh hangat di meja samping Arga.
Arga menatapnya kosong. “Aku tidak gila, Lin.”
“Aku tidak bilang kamu gila. Tapi kamu butuh bantuan profesional untuk mengatasi trauma ini. Mungkin mereka bisa membantumu memilah mana yang nyata dan mana yang…”
“Yang khayalanku?” potong Arga, suaranya tajam. “Jadi kamu sama saja seperti polisi itu. Kamu pikir aku mengarang semua ini?”
“Bukan begitu!” sergah Lina, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya ingin Arga-ku kembali! Arga yang dulu, yang tertawa, yang tidak melompat setiap kali telepon berdering! Aku takut, Ga. Aku takut melihatmu seperti ini.”
Pertengkaran itu tak terhindarkan. Kata-kata tajam terlontar, melukai lebih dalam dari pisau bedah mana pun. Pada akhirnya, Lina keluar dari kamar sambil menangis, dan Arga ditinggalkan sendirian dengan gema di kepalanya dan keheningan yang memekakkan di dalam apartemennya.
Putus asa, Arga tahu ia hanya punya satu pilihan: terus menggali sendiri. Ia tidak bisa diam saja menunggu menjadi korban berikutnya. Jika ingatan ini adalah satu-satunya petunjuk, maka ia harus memaksanya keluar.
Ia mengubah ruang kerjanya menjadi pusat investigasi. Dindingnya ditempeli peta Jakarta, foto Sarah Kirana, dan artikel-artikel kasus Pembunuh Melodi. Ia mencoba memicu ingatan itu dengan berbagai cara. Ia mendengarkan musik klasik yang muram, menyalakan lilin beraroma anyelir, bahkan duduk dalam kegelapan selama berjam-jam, mencoba memanggil kembali teror yang pernah dirasakan Sarah.
Proses itu menyiksa. Terkadang, yang datang hanyalah sakit kepala yang berdenyut-denyut. Namun, sesekali, sebuah kepingan baru muncul.
Sebuah kilasan: Sarah sedang mengetik di laptopnya. Di layar, terlihat sebuah naskah novel. Judulnya “Bisikan di Balik Tirai.”
Kilasan lain: Ia sedang berbicara di telepon, suaranya terdengar cemas. “Aku tahu aku tidak salah lihat, Re. Dia mengikutiku lagi. Mobil yang sama.”
Re? Siapa Re? Apakah itu nama seseorang? Arga segera mencarinya. Ia meretas akun media sosial lama milik Sarah—sesuatu yang tidak akan pernah ia lakukan dalam kehidupan normalnya, tetapi kini terasa seperti tindakan yang perlu—dan menemukan daftar teman-temannya. Ada satu nama yang menonjol: Reza Aditya, seorang jurnalis investigasi. Mungkinkah ini “Re” yang dimaksud?
Arga menemukan kontak Reza dan meneleponnya dengan ragu. Awalnya, Reza skeptis. Tetapi ketika Arga menyebutkan detail-detail yang hanya diketahui oleh orang terdekat Sarah—seperti judul naskah novelnya yang belum pernah dipublikasikan—Reza terdiam di seberang telepon.
“Siapa kamu?” tanya Reza, suaranya tegang.
Arga tidak punya pilihan selain menceritakan kebenaran yang absurd itu. Anehnya, Reza, yang terbiasa dengan cerita-cerita aneh dalam pekerjaannya, tidak langsung menutup telepon. Ada keraguan dalam suaranya, tetapi juga secercah rasa ingin tahu. Mereka setuju untuk bertemu.
Pertemuan itu terjadi di sebuah kedai kopi yang ramai, tempat yang Arga anggap cukup aman. Reza adalah pria kurus berpenampilan cerdas dengan kacamata tebal. Ia membawa sebuah map berisi catatan-catatan lamanya tentang kasus Sarah.
“Sarah pernah memberitahuku bahwa dia merasa sedang diuntit beberapa minggu sebelum dia… meninggal,” kata Reza pelan, matanya menatap kosong ke cangkir kopinya. “Dia bilang ada sedan hitam yang sering parkir di dekat rumahnya. Dia mencoba melapor ke polisi, tapi dianggap angin lalu. Tidak ada ancaman langsung, katanya.”
Jantung Arga berdebar. Sedan hitam. Itu mobil yang sama.
“Apakah dia pernah menyebutkan ciri-ciri orang itu?” tanya Arga.
Reza menggeleng. “Tidak pernah. Dia tidak pernah melihat wajahnya dengan jelas. Tapi ada satu hal aneh. Sarah sedang meneliti sebuah topik untuk novelnya. Tentang malapraktik di dunia medis, khususnya yang berkaitan dengan transplantasi organ ilegal.”
Sebuah sambaran petir seolah menyambar otak Arga. Medis? Operasi? Mungkinkah ada hubungannya?
“Reza,” kata Arga, nadanya mendesak. “Aku butuh bantuanmu. Aku pikir pembunuhnya tahu aku mengingat sesuatu. Pak Tedi, satpam di apartemenku, hilang setelah aku tanpa sadar menyebutkan ciri jam tangan si pembunuh di depannya.”
Wajah Reza memucat. Ia sekarang mengerti betapa berbahayanya situasi Arga. “Oke,” katanya tegas. “Aku akan coba cari tahu dari kontak-kontakku di kepolisian. Mungkin ada sesuatu di berkas kasus yang tidak dirilis ke publik. Tapi kamu harus hati-hati, Arga. Sangat hati-hati.”
Bantuan Reza menjadi secercah harapan. Tapi harapan itu tidak bertahan lama.
Dua hari kemudian, Reza menghilang.
Teleponnya tidak aktif. Apartemennya kosong. Map berisi catatannya tentang kasus Sarah lenyap dari mejanya. Tidak ada jejak perlawanan. Ia simplesmente lenyap, sama seperti Pak Tedi.
Arga dilanda kepanikan total. Ini salahnya. Ia telah menyeret Reza ke dalam bahaya ini. Pembunuhnya bukan hanya mengincarnya, tapi juga siapa pun yang mencoba membantunya. Ia bergerak cepat, selangkah di depan, menghapus semua jejak yang bisa mengarah padanya.
Dalam keputusasaannya, Arga mengalami kilasan memori terkuat yang pernah ia rasakan. Kali ini bukan hanya gambar atau suara. Ia merasakan semuanya.
Ia adalah Sarah. Ia berada di ruang tamunya yang redup. Melodi dari kotak musik sudah terdengar dari sudut ruangan, sebuah pengumuman mengerikan bahwa ia tidak lagi sendirian. Jantungnya berdebar begitu kencang hingga terasa sakit. Ia mencengkeram gagang telepon, jarinya gemetar saat mencoba menekan nomor darurat. Tapi terlambat. Sebuah bayangan muncul di ambang pintu kamarnya. Seorang pria tinggi, mengenakan jaket kulit.
Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dalam kegelapan, tapi ia bisa melihat kilatan perak di pergelangan tangannya. Jam tangan itu.
“Sudah kubilang, jangan mencoba mencari tahu hal yang bukan urusanmu, Sarah,” kata pria itu, suaranya tenang yang mengerikan.
Lalu, pria itu melangkah ke dalam cahaya lampu meja. Dan Sarah—Arga—melihat sesuatu yang tidak pernah disebutkan dalam berita mana pun. Sesuatu yang hanya bisa diketahui oleh saksi mata.
Di pergelangan tangan si pembunuh, di bawah jam tangan peraknya, ada sebuah tato kecil. Tato kalajengking.
Arga tersentak kembali ke realitas, napasnya memburu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Tato kalajengking.
Ini adalah bukti. Bukti konkret yang tidak bisa dibantah. Bukti yang tidak berasal dari artikel berita atau imajinasinya. Ini adalah kepingan puzzle yang bisa mengubah segalanya.
Tanpa berpikir dua kali, ia meraih kunci motornya dan melesat kembali ke kantor polisi. Ia tidak peduli jika Inspektur Bramantyo akan mengusirnya lagi. Ia harus mencoba. Nyawa Reza dan nyawanya sendiri bergantung pada ini.
Ia menerobos masuk ke ruangan Bramantyo tanpa menunggu izin. Sang inspektur tua itu mengangkat wajah lelahnya, tampak terganggu.
“Anda lagi?” desah Bramantyo.
“Dengarkan aku!” kata Arga, suaranya bergetar karena adrenalin dan ketakutan. “Pembunuhnya, dia punya tato! Tato kalajengking kecil di pergelangan tangannya!”
Bramantyo menatapnya, hendak melontarkan kalimat sinis seperti biasa. Tapi kemudian, sesuatu dalam ekspresinya berubah. Matanya sedikit melebar. Kelelahan di wajahnya digantikan oleh keterkejutan yang tidak disembunyikan.
Ia perlahan membuka laci mejanya, mengeluarkan sebuah map cokelat tua yang sudah usang. Map kasus Pembunuh Melodi. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia membukanya ke sebuah halaman berisi laporan forensik.
“Bagaimana…,” bisik Bramantyo, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Arga. “Bagaimana kamu bisa tahu itu?”
Ia membalikkan map itu ke arah Arga. Di sana, di bawah daftar barang bukti, ada sebuah catatan kecil yang ditulis tangan. Catatan tentang sehelai rambut yang ditemukan di genggaman korban, yang tidak cocok dengan DNA korban. Dan di sampingnya, sebuah catatan dari laporan awal petugas pertama di TKP, yang kemudian diabaikan karena dianggap tidak relevan: “Ditemukan bekas tekanan samar di pergelangan tangan korban, seperti bekas jam tangan. Di bawahnya, ada sedikit iritasi kulit yang membentuk pola tidak jelas, kemungkinan bekas tato.”
Informasi itu tidak pernah dirilis ke publik untuk menjaga integritas penyelidikan. Hanya segelintir polisi yang mengetahuinya.
Untuk pertama kalinya, Inspektur Bramantyo menatap Arga bukan sebagai orang gila, melainkan sebagai sesuatu yang mustahil namun nyata: seorang saksi.
“Duduk,” kata Bramantyo, suaranya kini serius dan tajam. “Ceritakan semuanya dari awal. Jangan lewatkan satu detail pun.”
Aliansi yang retak itu akhirnya terbentuk, di bawah bayang-bayang ancaman yang semakin mendekat. Tapi mereka berdua tidak tahu, bahwa sang pembunuh sudah jauh lebih dekat dari yang pernah mereka duga.
Bab 4: Wajah di Balik Tirai
Ruangan Inspektur Bramantyo yang tadinya terasa dingin dan penuh penolakan, kini berubah menjadi satu-satunya tempat aman bagi Arga. Di bawah cahaya lampu neon yang berkedip-kedip, kedua pria dari dua dunia yang berbeda itu duduk berhadapan, disatukan oleh sebuah misteri yang melampaui logika.
Bramantyo mendengarkan dengan saksama kali ini. Setiap detail yang diucapkan Arga, setiap kilasan memori, setiap perasaan takut yang ia deskripsikan, kini memiliki bobot yang berbeda. Tato kalajengking itu adalah kuncinya. Itu adalah detail yang mengesahkan kegilaan Arga menjadi sebuah kesaksian yang valid.
“Rumah sakit mana yang menanganimu setelah kecelakaan?” tanya Bramantyo, pulpennya bergerak cepat di atas buku catatan.
“Rumah Sakit Medika Utama,” jawab Arga.
“Siapa nama dokter yang mengoperasimu?”
Arga berpikir sejenak. “Dr. Adrian. Seorang dokter bedah ortopedi yang masih muda, seingatku. Orangnya ramah, sangat profesional.”
Bramantyo mencatat nama itu. “Baiklah. Mulai sekarang, kau tidak sendirian dalam hal ini. Tapi kita harus bergerak diam-diam. Pembunuh ini bukan orang bodoh. Dia bisa menghilangkan dua orang tanpa jejak. Dia pasti punya koneksi, atau setidaknya sangat lihai dalam menutupi jejaknya. Jika dia tahu polisi terlibat, dia akan semakin dalam bersembunyi, atau lebih buruk lagi, dia akan langsung mendatangimu.”
Sebuah rencana mulai terbentuk. Bramantyo akan secara tidak resmi membuka kembali penyelidikan. Ia akan memeriksa latar belakang semua staf di RS Medika Utama yang bertugas pada hari operasi Arga. Ia juga akan mencoba melacak sedan hitam yang disebut-sebut oleh Arga dan Reza.
Sementara itu, tugas Arga adalah bertahan hidup dan terus mencoba mengingat.
“Apapun yang kau lihat, sekecil apapun, beritahu aku,” kata Bramantyo tegas. “Warna mobil, potongan lagu, aroma parfum, apapun. Dalam kasus seperti ini, hal sepele bisa menjadi terobosan.”
Arga setuju. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, ia tidak merasa sendirian. Namun, perasaan lega itu diiringi oleh ketakutan yang lebih besar. Sekarang ini bukan lagi tentang membuktikan dirinya waras, tapi tentang berpacu dengan waktu untuk menangkap monster sebelum monster itu menangkapnya.
Hubungannya dengan Lina semakin memburuk. Ia tidak bisa menceritakan keterlibatan Bramantyo padanya, demi keselamatan Lina sendiri. Bagi Lina, Arga hanya semakin terobsesi dengan delusinya. Suatu malam, Lina mengemasi tasnya.
“Aku akan tinggal di tempat orang tuaku untuk beberapa hari, Ga,” katanya dengan mata sembap. “Aku butuh waktu. Dan kurasa, kamu juga.”
Arga tidak bisa mencegahnya. Mungkin ini yang terbaik. Menjauhkan Lina dari bahaya yang mengintainya. Apartemen itu kini terasa semakin kosong dan dingin. Hanya Arga dan hantu Sarah Kirana yang menghuni tempat itu.
Hari-hari berikutnya adalah siksaan psikologis. Arga hampir tidak tidur. Ia hidup dengan kafein dan rasa waspada yang terus-menerus. Setiap kali ia memejamkan mata, kepingan-kepingan itu datang silih berganti.
Ia melihat Sarah sedang duduk di kafe, tersenyum pada seseorang di seberang meja. Wajah orang itu kabur, tidak jelas.
Ia merasakan dinginnya lantai basement yang lembap. Ada bau kaporit yang menyengat.
Ia mendengar percakapan telepon yang terputus-putus. “…data pasien… tidak boleh ada yang tahu… ini menyangkut reputasi…”
Setiap informasi baru langsung ia sampaikan pada Bramantyo melalui telepon sekali pakai yang diberikan sang inspektur. Bramantyo, di sisi lain, juga bekerja keras. Ia menemukan fakta yang mengganggu: RS Medika Utama, tempat Arga dioperasi, pernah tersandung skandal beberapa tahun lalu terkait pengelolaan bank darah mereka. Sebuah skandal yang berhasil diredam dengan cepat sebelum menjadi berita besar.
“Ada kemungkinan darah yang kau terima saat transfusi terkontaminasi,” kata Bramantyo melalui telepon, suaranya terdengar tegang. “Secara medis ini gila, tapi ada beberapa teori pinggiran tentang ‘memori seluler’. Entah bagaimana, trauma ekstrem yang dialami Sarah sebelum kematiannya ‘terekam’ dalam sel darahnya, dan itu berpindah kepadamu.”
Ini adalah penjelasan yang paling masuk akal di tengah situasi yang tidak masuk akal ini. Arga bukan dirasuki arwah. Ia membawa warisan biologis terakhir dari seorang korban pembunuhan.
Teror si pembunuh pun semakin personal. Suatu pagi, Arga menemukan seekor burung merpati mati di depan pintu apartemennya, lehernya dipatahkan dengan rapi. Tidak ada darah. Hanya sebuah pesan tanpa kata yang jelas: Aku bisa mencapaimu kapan saja.
Malamnya, saat ia sedang mencoba tidur, ponselnya berdering. Nomor tidak dikenal. Arga ragu sejenak, lalu mengangkatnya. Tidak ada suara di seberang sana. Hanya hening. Lalu, setelah beberapa detik, terdengar sebuah suara lembut, memainkan melodi yang sangat ia kenal.
Melodi dari kotak musik itu.
Arga membanting teleponnya ke dinding. Jantungnya berdebar liar. Pembunuhnya bukan hanya tahu di mana ia tinggal. Ia punya nomornya. Ia sedang mempermainkannya, menikmati ketakutannya, persis seperti yang ia lakukan pada Sarah.
Keesokan harinya, Bramantyo menelepon dengan berita penting.
“Aku menemukan sesuatu, Arga. Sedan hitam itu. Terekam di CCTV sebuah toko di seberang rumah Sarah pada hari-hari sebelum pembunuhan. Plat nomornya tidak jelas, tapi model dan tahunnya cocok dengan mobil milik salah satu dokter di Medika Utama.”
“Siapa?” desak Arga.
Ada jeda sejenak di seberang telepon. “Dr. Adrian,” jawab Bramantyo. “Dokter yang mengoperasimu.”
Dunia Arga serasa berhenti berputar. Dr. Adrian? Dokter yang ramah itu? Yang menepuk bahunya dan berkata ia akan baik-baik saja? Tidak mungkin. Pasti hanya kebetulan.
“Dia punya alibi yang kuat pada malam pembunuhan Sarah,” lanjut Bramantyo, seolah membaca pikiran Arga. “Dia sedang memimpin sebuah operasi panjang. Ada belasan saksi. Dan yang terpenting, dia tidak punya catatan kriminal, dan tidak ada laporan dia memiliki tato.”
Arga merasa buntu. Tapi kemudian, sebuah ingatan baru, yang paling jernih dan paling mengerikan dari semuanya, meledak di dalam kepalanya tanpa peringatan.
Ia adalah Sarah. Ia tidak lagi di rumahnya. Ia terikat di sebuah kursi, di dalam sebuah ruangan yang tampak seperti klinik pribadi atau laboratorium. Ruangan itu bersih, steril, dan dingin. Di sekelilingnya ada peralatan medis dari baja tahan karat.
Pria itu berdiri di depannya. Kali ini, ia tidak mengenakan jaket kulit. Ia mengenakan jas dokter berwarna putih. Wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu yang terang.
Itu adalah wajah Dr. Adrian.
Senyumnya yang ramah kini terlihat seperti seringai iblis. Ia menggulung lengan kemejanya. Dan di sana, di pergelangan tangannya, terlihat jelas tato kalajengking itu.
“Kau terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Sarah,” kata Dr. Adrian, suaranya tenang. “Penelitianmu tentang ‘pasien hantu’ di rumah sakit… kau nyaris menemukan kebenarannya. Aku membangun reputasiku selama bertahun-tahun. Aku tidak akan membiarkan seorang penulis novel picisan menghancurkannya.”
Ia mengambil sebuah jarum suntik dari meja. “Ini bukan hal pribadi. Ini hanya… pembersihan. Sama seperti yang lain.”
Lalu, ia menyuntikkan cairan itu ke leher Sarah. Pandangan Sarah mulai kabur. Hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Dr. Adrian yang tersenyum puas, sebelum ia memindahkan tubuhnya ke dalam mobil dan membawanya kembali ke rumahnya, untuk dipentaskan seolah-olah Pembunuh Melodi telah beraksi lagi.
Arga berteriak, jatuh ke lantai, mencengkeram kepalanya. Semuanya jelas sekarang. Semuanya lengkap.
Pembunuh Melodi hanyalah kamuflase. Kedok yang diciptakan Dr. Adrian untuk menutupi kejahatan sebenarnya. Korban-korbannya bukanlah wanita acak. Mereka semua adalah orang-orang—perawat, administrator, jurnalis seperti Reza, dan penulis seperti Sarah—yang tanpa sengaja menemukan jejak bisnis sampingannya yang mengerikan: mungkin penjualan organ ilegal, atau eksperimen terlarang. Kotak musik dan pola pembunuhan itu hanyalah pengalih perhatian yang brilian.
Dan Arga… Arga adalah kecelakaan. Sebuah kesalahan yang tidak terduga. Darah Sarah seharusnya dimusnahkan, tetapi karena kecerobohan atau takdir, darah itu malah mengalir di dalam tubuhnya, membawa serta kebenaran yang terkunci di dalamnya.
Arga segera menelepon Bramantyo, suaranya panik dan terengah-engah. “Adrian! Pelakunya Dr. Adrian! Alibinya palsu! Dia membunuh Sarah di tempat lain lalu memindahkan mayatnya!”
“Tenang, Nak, tenang!” kata Bramantyo. “Kau di mana sekarang?”
“Di apartemen!”
“Jangan ke mana-mana! Kunci semua pintu! Aku dan timku akan segera ke sana! Kita akan menangkapnya.”
Tapi Arga tahu, sudah terlambat. Saat ia menutup telepon, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari nomor tidak dikenal. Pesan itu hanya berisi sebuah foto.
Foto Lina, terikat di sebuah kursi, dengan mulut disumpal. Di belakangnya, tampak dinding dengan ubin putih yang familier, seperti di ruang operasi.
Di bawah foto itu, ada sebuah pesan teks singkat.
“Ingatanmu sudah lengkap sekarang, Arga. Datanglah ke klinik pribadiku di pinggir kota. Sendirian. Atau kepingan ingatan berikutnya yang akan kau dapatkan adalah milik tunanganmu.”
Sang pembunuh tidak lagi mendekat. Ia sudah tiba di tujuan akhirnya. Dan kini, Arga tidak punya pilihan selain berjalan masuk ke dalam sarang laba-laba.
Bab 5: Gema Terakhir
Kepala Arga terasa dingin dan jernih, sebuah ketenangan aneh yang lahir dari keputusasaan absolut. Rasa takutnya telah menguap, digantikan oleh satu tujuan yang membara: menyelamatkan Lina. Ia tahu ini adalah jebakan. Adrian tidak akan membiarkan mereka berdua pergi hidup-hidup. Tapi ia juga tahu, ini adalah satu-satunya kesempatan.
Ia mengirimkan alamat klinik itu kepada Bramantyo, dengan pesan singkat: “Dia membawa Lina. Aku masuk.” Ia tidak menunggu balasan. Waktu adalah kemewahan yang tidak ia miliki.
Klinik pribadi Dr. Adrian terletak di sebuah ruko terpencil, jauh dari keramaian kota. Saat Arga tiba, malam sudah larut. Hanya lampu dari papan nama klinik yang menerangi fasad bangunan yang sunyi. Pintunya tidak terkunci. Sebuah undangan terbuka menuju neraka.
Arga melangkah masuk. Interiornya persis seperti dalam ingatan Sarah: bersih, steril, dengan bau antiseptik yang tajam. Tidak ada resepsionis. Hanya keheningan yang mencekam.
“Aku tahu kau di sana, Arga,” suara Adrian menggema dari sebuah speaker tersembunyi, tenang dan terkendali. “Sungguh sebuah anomali medis yang menakjubkan, bukan? Aku harus menulis jurnal tentangmu nanti. Jika kau masih punya kepala untuk diteliti.”
Sebuah pintu di ujung koridor terbuka secara otomatis. “Masuklah. Mari kita selesaikan ini.”
Dengan langkah berat, Arga berjalan menuju ruangan itu. Itu adalah ruang operasi kecil, sama seperti yang ia lihat dalam visinya. Di tengah ruangan, Lina terikat di kursi bedah, matanya membelalak ketakutan saat melihat Arga. Di sampingnya, berdiri Dr. Adrian. Ia tidak lagi mengenakan jas dokternya, hanya kemeja hitam biasa yang lengannya digulung, memperlihatkan tato kalajengking di pergelangan tangannya.
Ia tersenyum, senyum ramah yang sama yang pernah Arga lihat di rumah sakit. Kini, senyum itu tampak seperti topeng paling mengerikan yang pernah ada.
“Aku harus akui, kau lebih merepotkan dari yang kuduga,” kata Adrian, sambil memoles sebuah pisau bedah dengan kain lap. “Menghilangkan satpam cerewet, lalu seorang jurnalis yang terlalu ingin tahu… melelahkan. Aku lebih suka metodeku yang rapi.”
“Lepaskan dia,” kata Arga, suaranya serak. “Urusanmu denganku.”
“Oh, tentu saja,” Adrian terkekeh. “Tapi aku ingin tahu. Rasanya seperti apa? Membawa gema dari orang mati di dalam dirimu? Apakah kau merasakan saat aku… menghentikan jantungnya?”
Arga tidak menjawab. Matanya memindai ruangan itu, otaknya bekerja cepat. Ia mengingat detail dari visi Sarah. Tata letak meja instrumen. Posisi tabung oksigen di sudut. Pintu darurat di belakang Adrian. Ingatan Sarah bukan lagi kutukan, melainkan senjata.
“Kau membuat satu kesalahan, Arga,” lanjut Adrian, melangkah mendekati Arga. “Seharusnya kau diam saja. Menikmati hidupmu yang menyedihkan. Tapi kau terus menggali. Seperti dia.” Adrian mengangguk ke arah Lina. “Dia juga mulai bertanya-tanya. Menelepon teman-temannya di kepolisian setelah kau menceritakan tentang Inspektur Bramantyo. Aku tidak bisa mengambil risiko.”
Jadi itu sebabnya Adrian menculik Lina. Arga mengira ia telah melindungi Lina dengan diam, tapi nyatanya ia malah menempatkannya dalam bahaya yang lebih besar.
“Sekarang,” kata Adrian, mengangkat pisau bedah itu, “waktunya untuk operasi terakhir. Kali ini, untuk mengangkat sumber masalahnya langsung dari kepalamu.”
Saat Adrian menerjang, Arga melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia tidak melawan atau menghindar. Ia justru berteriak, “Di belakangmu, di lemari kaca! Kau menjatuhkan kotak musiknya di sana!”
Itu adalah detail dari ingatan Sarah. Detail yang sangat spesifik. Adrian, yang selama ini memegang kendali penuh, terkejut sesaat. Instingnya membuatnya menoleh sepersekian detik ke arah lemari kaca yang disebutkan Arga.
Sepersekian detik itu sudah cukup.
Arga melesat ke depan, bukan ke arah Adrian, tapi ke arah meja instrumen. Ia menyambar sebuah nampan logam berat dan menghantamkannya ke tangan Adrian yang memegang pisau. Pisau bedah itu terlempar ke lantai dengan suara berdenting.
Adrian meraung marah, keterkejutannya berubah menjadi amarah murni. Ia menerjang Arga, menggunakan kekuatan tubuhnya untuk mendorong Arga ke dinding. Tapi Arga sudah siap. Menggunakan ingatan Sarah tentang tata letak ruangan, ia mengelak ke samping, membuat Adrian menabrak troli berisi peralatan medis.
Suara sirene polisi mulai terdengar di kejauhan, semakin lama semakin keras. Bramantyo datang.
Adrian mendengarnya juga. Wajahnya menunjukkan kepanikan untuk pertama kalinya. Ia tahu permainannya sudah berakhir. Dengan geram, ia berlari ke arah Lina, menariknya dari kursi dan menodongkan pecahan kaca ke lehernya.
“Mundur!” teriaknya pada Arga, saat pintu ruang operasi didobrak dan beberapa polisi bersenjata menyerbu masuk, dipimpin oleh Inspektur Bramantyo.
“Sudah berakhir, Adrian!” seru Bramantyo. “Lepaskan sandera!”
“Tidak akan ada yang selamat jika kalian mendekat!” balas Adrian, matanya liar.
Arga berdiri di antara Adrian dan polisi. Ia menatap mata Lina yang penuh air mata. Lalu ia menatap Adrian. Dan ia berbicara, bukan dengan suaranya sendiri, tapi dengan gema suara Sarah.
“Kau takut,” kata Arga pelan, suaranya tenang. “Sama seperti malam itu. Kau pikir kau adalah dewa, tapi kau hanya seorang pria kecil yang takut rahasianya terbongkar.” Ia melangkah maju perlahan. “Aku ingat semuanya, Adrian. Aku ingat bau anyelir di kamarku. Aku ingat melodi yang kau putar. Aku ingat dinginnya jarum suntikmu.”
Setiap kata yang diucapkan Arga seperti pukulan bagi Adrian. Ia melihat kebingungan dan ketakutan di mata si dokter. Adrian tidak lagi melihat Arga; ia melihat hantu dari masa lalunya.
“Aku melihat matamu,” lanjut Arga, kini hanya berjarak beberapa langkah. “Mata yang sama seperti sekarang. Penuh ketakutan.”
Gangguan psikologis itu berhasil. Adrian goyah. Cengkeramannya pada Lina sedikit melonggar.
Pada saat itulah Bramantyo memberi isyarat. Sebuah tembakan peringatan dilepaskan ke langit-langit, suaranya memekakkan telinga di ruangan kecil itu. Adrian tersentak kaget. Arga, memanfaatkan momen itu, menerjang ke depan, mendorong Lina menjauh dari jangkauan Adrian.
Polisi langsung bergerak, melumpuhkan Adrian dan memborgolnya. Semuanya berakhir dalam sekejap.
Arga memeluk Lina yang gemetar hebat. Di seberang ruangan, saat Adrian digiring keluar, tatapannya bertemu dengan Arga. Di matanya tidak ada lagi arogansi, hanya kekalahan dan kebencian murni.
Epilog
Dua bulan kemudian.
Arga duduk di balkon apartemennya, menatap senja yang melukis langit Jakarta dengan warna oranye dan ungu. Di tangannya ada secangkir teh hangat. Lina keluar dan duduk di sampingnya, menyandarkan kepalanya di bahu Arga yang sudah pulih sepenuhnya.
Setelah penangkapan Adrian, semuanya terungkap. Klinik pribadinya adalah fasad untuk operasi ilegal yang mengerikan. Ia memanen organ dari “pasien hantu”—orang-orang tanpa identitas yang ia bunuh—dan menjualnya di pasar gelap. Para korban Pembunuh Melodi adalah orang-orang yang terlalu dekat dengan kebenaran. Reza Aditya ditemukan selamat, disekap di sebuah ruang bawah tanah di klinik itu. Pak Tedi, sayangnya, tidak seberuntung itu.
Keanehan yang dialami Arga menjadi fenomena medis yang dibicarakan di kalangan terbatas. Penjelasan “memori seluler” dari darah Sarah adalah teori yang paling diterima, meskipun tidak ada yang bisa membuktikannya secara pasti.
Dan ingatan itu… kepingan-kepingan jiwa Sarah Kirana… perlahan-lahan memudar.
Seiring berjalannya waktu, kilasan gambar itu menjadi kabur. Suara bisikan itu menghilang. Rasa takut yang bukan miliknya telah pergi. Gema di kepalanya telah sirna, meninggalkan keheningan yang damai. Yang tersisa hanyalah ingatannya sendiri, dan bekas luka yang tak terlihat.
“Apa yang kamu pikirkan?” tanya Lina lembut.
Arga tersenyum tipis. “Aku hanya berpikir… betapa anehnya sebuah kehidupan bisa menyentuh kehidupan lain, bahkan setelah ia tiada.”
Ia tidak akan pernah melupakan Sarah Kirana. Wanita yang tidak pernah ia temui, namun telah berbagi ketakutan terdalamnya dengannya. Melalui sebuah kebetulan yang mengerikan, ia telah memberikan Sarah sesuatu yang dirampas darinya: sebuah suara. Sebuah kesempatan untuk menyeret pembunuhnya ke pengadilan.
Kini, kepala Arga kembali menjadi miliknya sepenuhnya. Palet warnanya telah kembali, mungkin tidak serapi dulu, tetapi jauh lebih kaya. Ada goresan warna gelap di sana, warna duka dan teror. Tapi ada juga warna-warna baru yang cerah: warna keberanian, ketahanan, dan cinta yang teruji oleh badai.
Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan hangatnya tubuh Lina di sampingnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa benar-benar utuh. Gema terakhir telah diucapkan, dan kini, yang tersisa hanyalah kehidupannya sendiri yang menanti untuk dijalani.