Cerpen
Disukai
2
Dilihat
2,092
Gema di ujung senja
Romantis

Bab 1: Keheningan Pusaka Hati

Di sudut sebuah jalan yang tak terlalu ramai di Kota Seruni, berdirilah sebuah toko kecil dengan papan nama kayu yang diukir tangan: "Pusaka Hati." Siapapun yang melintas akan disambut oleh etalase kaca yang memajang bukan barang baru yang berkilauan, melainkan benda-benda tua dengan pesona yang telah teruji oleh waktu: sebuah jam saku yang rantainya putus, beberapa jilid buku dengan sampul kulit yang mengelupas, dan sebuah teropong kuningan yang lensanya sedikit buram.

Di dalam toko, aroma kertas tua, minyak kayu, dan lem berpadu menjadi satu, menciptakan parfum khas yang menjadi napas bagi Elara. Di sinilah dunianya berpusat. Elara adalah seorang restorator, seorang seniman yang tidak menciptakan, melainkan memulihkan. Tangannya yang ramping dan cekatan memiliki keajaiban untuk menyambung yang patah, merekatkan yang retak, dan mengembalikan suara pada yang bisu.

Pagi itu, ia tengah khusyuk bekerja di meja kayunya yang kokoh. Di hadapannya, terbaring sebuah peta maritim dari abad ke-19, robek di beberapa bagian dan warnanya telah memudar menjadi sepia kusam. Dengan pinset di satu tangan dan kuas kecil di tangan lainnya, ia menempelkan selembar kertas Jepang tipis di bagian belakang robekan itu. Gerakannya perlahan, penuh hormat, seolah ia sedang merawat luka seorang sahabat lama.

Bagi Elara, setiap benda memiliki cerita. Jam saku itu mungkin pernah menghitung detik-detik pertemuan sepasang kekasih di stasiun kereta. Buku-buku itu mungkin pernah dibaca di bawah cahaya lilin oleh seorang penyair yang kesepian. Dan peta ini, mungkin pernah membimbing seorang pelaut pemberani melintasi samudra yang ganas. Ia adalah penjaga cerita-cerita itu.

Ironisnya, sementara ia begitu ahli dalam merawat cerita milik orang lain, ia telah mengunci rapat ceritanya sendiri. Hatinya adalah sebuah pusaka rusak yang tak pernah berani ia sentuh. Tiga tahun lalu, sebuah pengkhianatan telah menghancurkannya. Rendra, pria yang ia pikir akan menjadi pelabuhan terakhirnya, ternyata hanya menjadikannya dermaga sementara. Kepergiannya yang tiba-tiba, bersama dengan semua janji yang pernah terucap, meninggalkan retakan yang begitu dalam di hati Elara, retakan yang ia coba tutup dengan kesibukan dan keheningan.

Sejak saat itu, Elara membangun benteng di sekelilingnya. Toko "Pusaka Hati" adalah menara tertingginya, tempat ia bisa mengamati dunia tanpa harus benar-benar menjadi bagian darinya. Ia ramah kepada pelanggan, tetapi selalu menjaga jarak. Senyumnya tulus, tetapi tak pernah benar-benar mencapai matanya. Ia hidup dalam rutinitas yang aman: membuka toko pukul sembilan, bekerja dalam diam ditemani musik klasik instrumental, makan siang dengan bekal yang ia bawa dari rumah, dan menutup toko tepat saat lampu jalanan pertama mulai menyala.

Lonceng kecil di atas pintu berdenting lembut, membuyarkan konsentrasinya. Seorang pria melangkah masuk, membawa serta aroma hujan yang baru saja reda dan kesejukan udara luar. Elara mengangkat kepalanya, sepasang mata cokelatnya yang tenang bertemu dengan tatapan yang sama tenangnya, namun menyimpan sebersit rasa ingin tahu.

Pria itu jangkung, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan seolah baru saja diterpa angin. Ia mengenakan kemeja flanel sederhana dan celana jins. Di tangannya, ia memegang sebuah kotak kayu persegi yang dibungkus kain beludru berwarna biru tua.

"Selamat pagi," sapanya. Suaranya rendah dan hangat, seperti nada cello yang dimainkan perlahan. "Saya dengar, Anda bisa memperbaiki hampir semua hal di sini."

Elara meletakkan pinsetnya dan memberikan senyum profesionalnya. "Saya akan mencobanya. Apa yang bisa saya bantu?"

Pria itu melangkah mendekati meja, gerakannya tidak tergesa-gesa. Ia meletakkan kotak itu dengan hati-hati di atas meja, di antara perkakas kerja Elara. "Ini... ini sebuah kotak musik. Peninggalan nenek saya."

Dengan lembut, ia membuka bungkusan kain beludru itu. Terlihatlah sebuah kotak musik dari kayu mahoni, dengan ukiran bunga lili yang rumit di tutupnya. Warnanya sudah sedikit pudar, dan di beberapa sudutnya ada goresan-goresan halus, saksi dari perjalanan waktu.

"Dulu, ini selalu berbunyi," lanjut pria itu, matanya tak lepas dari kotak itu. Ada jejak nostalgia yang dalam di sorot matanya. "Nenek akan memutarnya setiap sore. Melodinya... melodinya adalah kenangan masa kecil saya. Tapi sudah bertahun-tahun ia bisu."

Elara mengamati kotak musik itu dengan saksama. Ia bisa melihat engsel kuningan yang sedikit berkarat dan tuas pemutarnya yang macet. "Boleh saya lihat?"

Pria itu mengangguk. "Tentu saja. Nama saya Banyu."

"Elara," balasnya singkat.

Dengan izin Banyu, Elara membuka tutup kotak itu. Di dalamnya, mekanisme logam berwarna keemasan tampak kusam dan berdebu. Beberapa giginya terlihat bengkok, dan silinder pemutar melodinya tampak tidak sejajar. Di sisi dalam tutupnya, ada sebuah plakat kecil yang terukir: Pour mon étoile—Untuk bintangku.

"Ini buatan Swiss, mungkin dari awal abad ke-20," gumam Elara, lebih pada dirinya sendiri. Jari-jarinya dengan ringan menyentuh gigi-gigi logam itu. "Kerusakannya cukup rumit. Beberapa komponen mungkin perlu dibuat ulang."

"Apakah bisa diperbaiki?" tanya Banyu, suaranya mengandung harapan yang begitu kentara.

Elara mengangkat pandangannya, menatap langsung ke mata Banyu. Untuk sesaat, ia melihat sesuatu di sana yang terasa akrab—sebuah kerinduan akan sesuatu yang hilang. Bukan hanya melodi, tapi sesuatu yang lebih dalam. "Saya perlu waktu untuk memeriksanya lebih teliti. Tapi ya, saya rasa saya bisa memperbaikinya."

Sebuah senyum lega terbit di wajah Banyu. Senyum itu tulus dan hangat, berhasil menembus sedikit celah di benteng Elara. "Syukurlah. Waktu tidak masalah. Biayanya juga."

Elara mengambil buku catatannya dan sebuah pena. "Baik. Saya akan mencatat nama dan nomor telepon Anda."

Sambil Banyu menyebutkan informasinya, Elara menulis dengan tulisan tangannya yang rapi. Ia bisa merasakan tatapan pria itu mengamati sekeliling toko, pada tumpukan buku tua, pada stoples-stoples kecil berisi sekrup dan mur, pada setiap detail dari dunianya yang sunyi.

"Tempat ini terasa damai," kata Banyu tiba-tiba, memecah keheningan. "Seperti sebuah kapsul waktu."

"Memang itu tujuannya," jawab Elara, menutup buku catatannya. "Agar kita tidak lupa bahwa ada hal-hal yang layak untuk dirawat."

Kalimat itu menggantung di udara, sarat akan makna ganda yang mungkin hanya Elara sendiri yang memahaminya sepenuhnya. Banyu menatapnya sejenak, seolah mencoba menerjemahkan apa yang ada di balik kata-kata itu.

"Saya akan menghubungi Anda dalam beberapa hari dengan perkiraan biaya dan waktu pengerjaannya," kata Elara, kembali ke mode profesionalnya.

"Baik. Terima kasih, Elara." Banyu mengangguk, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. Tepat sebelum ia keluar, ia menoleh sekali lagi. "Melodi itu... saya harap Anda bisa menemukannya kembali."

Setelah Banyu pergi, keheningan kembali menyelimuti toko. Namun kali ini, rasanya sedikit berbeda. Kehadiran Banyu dan kotak musiknya telah meninggalkan gema yang samar. Elara menatap kotak mahoni di atas mejanya. Ia merasa seolah baru saja menerima sebuah kepercayaan yang lebih dari sekadar memperbaiki benda mati. Ia telah dipercaya untuk memulihkan sebuah kenangan, sebuah melodi yang hilang.

Tanpa sadar, jarinya mengelus ukiran bunga lili di tutup kotak itu. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, di tengah keheningan Pusaka Hati, Elara merasa sedikit tidak sendirian.

Bab 2: Nada-Nada yang Mulai Terdengar

Beberapa hari berlalu. Elara membongkar kotak musik Banyu dengan ketelitian seorang ahli bedah. Ia membersihkan setiap komponen dengan larutan khusus, meluruskan gigi-gigi logam yang bengkok, dan mengganti beberapa sekrup yang telah berkarat. Ia menemukan bahwa masalah utamanya terletak pada pegas utama yang kehilangan elastisitasnya dan beberapa pin pada silinder melodi yang patah. Ini adalah pekerjaan yang butuh kesabaran luar biasa, pekerjaan yang sempurna untuk seseorang seperti Elara.

Saat bekerja, pikirannya sering kali berkelana kepada pemilik kotak musik itu. Banyu. Ada sesuatu yang menenangkan dari kehadirannya. Ia tidak banyak bicara, tetapi tatapannya penuh perhatian. Elara bertanya-tanya, profesi apa yang dijalani oleh seorang pria yang begitu merindukan sebuah melodi lama.

Sesuai janjinya, ia menelepon Banyu untuk memberitahukan hasil diagnosisnya.

"Pegas utamanya harus diganti, dan saya perlu membuat beberapa pin baru untuk silindernya," jelas Elara melalui telepon, suaranya datar dan profesional. "Ini akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga minggu."

Di seberang sana, terdengar helaan napas lega. "Tidak masalah. Lakukan saja apa yang perlu dilakukan. Terima kasih sudah memberitahu." Ada jeda sejenak, sebelum Banyu melanjutkan, "Saya... bolehkah saya mampir sesekali untuk melihat perkembangannya?"

Permintaan itu sedikit di luar kebiasaan. Pelanggan biasanya hanya menunggu kabar hingga barang mereka selesai diperbaiki. Namun, Elara mendapati dirinya tidak bisa menolak. "Tentu. Tapi mungkin tidak akan ada banyak yang bisa dilihat."

"Tidak apa-apa," jawab Banyu cepat. "Saya hanya... penasaran dengan prosesnya."

Dan begitulah ritual baru mereka dimulai. Setiap dua atau tiga hari sekali, biasanya di sore hari saat cahaya matahari mulai melembut, lonceng di pintu "Pusaka Hati" akan berdentang dan Banyu akan muncul. Ia tidak pernah mengganggu. Ia hanya akan duduk diam di kursi tamu di sudut ruangan, terkadang membawa sebuah buku, dan mengamati Elara bekerja dari kejauhan.

Awalnya, kehadiran Banyu terasa sedikit canggung bagi Elara. Ia terbiasa bekerja dalam kesendirian mutlak. Namun lambat laun, keheningan yang mereka bagi terasa nyaman. Itu bukan keheningan yang kosong, melainkan keheningan yang berisi kehadiran satu sama lain.

Suatu sore, saat Elara sedang dengan hati-hati memasang pin baru pada silinder logam, Banyu angkat bicara.

"Anda terlihat seperti sedang menyusun sebuah puisi," katanya pelan.

Elara mengangkat wajahnya, terkejut. "Puisi?"

"Ya. Setiap gerakan tangan Anda, setiap komponen kecil yang Anda pasang di tempatnya... semuanya terasa seperti memilih kata yang tepat untuk sebuah baris sajak."

Elara merasakan semburat hangat menjalari pipinya. Ia tidak pernah melihat pekerjaannya dari sudut pandang seperti itu. "Saya hanya seorang tukang," balasnya merendah, kembali fokus pada pekerjaannya.

"Seorang seniman tidak akan pernah menyebut dirinya seniman," sahut Banyu sambil tersenyum tipis. "Ngomong-ngomong soal seni, saya membawa sesuatu."

Ia meletakkan sebuah termos kecil dan dua cangkir kertas di atas meja kecil di samping kursinya. "Kopi susu gula aren dari kedai di ujung jalan. Saya pikir Anda mungkin butuh kafein setelah menatap benda-benda kecil itu seharian."

Elara ragu sejenak. Menerima kopi berarti istirahat. Istirahat berarti percakapan. Dan percakapan adalah wilayah berbahaya yang selama ini ia hindari. Namun, aroma kopi yang menguar begitu menggoda, dan ada ketulusan dalam tawaran Banyu yang sulit untuk ditolak.

"Terima kasih," katanya, akhirnya meletakkan peralatannya. Ia bangkit dan mengambil cangkir yang disodorkan Banyu.

Mereka duduk berhadapan, dipisahkan oleh meja kecil itu. Keheningan yang biasanya nyaman kini terasa sedikit berbeda, terisi oleh antisipasi.

"Jadi," Elara memulai, lebih untuk memecah kesunyian, "apa pekerjaan Anda, Banyu?"

Banyu menyesap kopinya sebelum menjawab. "Saya seorang musisi. Tepatnya, seorang komposer."

Tentu saja. Elara seharusnya bisa menebaknya. Kerinduannya pada melodi, caranya mendeskripsikan pekerjaan Elara sebagai sebuah puisi. Semuanya masuk akal.

"Anda menciptakan musik?" tanya Elara, rasa ingin taunya terusik.

Banyu mengangguk. "Biasanya begitu. Tapi belakangan ini... rasanya sulit. Kata-kata, atau lebih tepatnya nada-nada, tidak mau datang. Semuanya terasa hampa. Itulah kenapa kotak musik ini menjadi begitu penting. Melodi itu, melodi nenek saya... saya merasa jika bisa mendengarnya lagi, mungkin sesuatu akan kembali."

Elara menatap pria di hadapannya. Di balik sikapnya yang tenang, ia bisa melihat jejak frustrasi seorang seniman yang kehilangan percikan apinya. Ia mengerti perasaan itu. Kehilangan. Kekosongan. Hanya saja, sumbernya berbeda.

"Kadang-kadang inspirasi datang dari tempat yang tidak terduga," kata Elara pelan, mengulang kalimat yang pernah ia baca di suatu tempat.

"Seperti dari secangkir kopi di sebuah toko restorasi barang antik?" canda Banyu, dan Elara mendapati dirinya tersenyum. Senyum yang kali ini terasa sedikit lebih ringan.

"Mungkin," jawabnya.

Percakapan mereka mengalir setelah itu. Banyu bercerita tentang neneknya, seorang wanita Prancis yang jatuh cinta pada seorang pria Indonesia dan memutuskan untuk tinggal di negeri ini. Kotak musik itu adalah hadiah dari kakeknya. Elara, meskipun masih menjaga jarak, menceritakan beberapa kisah menarik dari benda-benda yang pernah ia perbaiki—sebuah surat cinta yang ia temukan terselip di dalam buku, sebuah foto keluarga yang tersembunyi di balik bingkai lukisan.

Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Elara membiarkan seseorang masuk, walau hanya sejengkal, ke dalam dunianya. Ia menyadari bahwa berbicara dengan Banyu terasa mudah. Pria itu adalah pendengar yang baik. Ia tidak menghakimi, tidak mendesak. Ia hanya mendengarkan, dengan tatapan yang seolah berkata, "Aku mengerti."

Ketika Banyu pamit pulang sore itu, toko terasa lebih sepi dari biasanya. Elara kembali ke mejanya dan menatap mekanisme kotak musik yang rumit. Kini, benda itu tidak hanya mewakili kenangan Banyu, tetapi juga awal dari sesuatu yang baru dalam hidupnya sendiri. Sebuah nada samar dari kemungkinan, yang mulai terdengar di tengah keheningan hatinya yang panjang.

Ia mengambil salah satu pin terakhir yang harus dipasang. Sambil bekerja, sebuah melodi samar terngiang di benaknya. Bukan melodi dari kotak musik itu, melainkan melodi baru yang entah datang dari mana. Sebuah melodi yang terasa seperti aroma kopi susu di sore hari dan percakapan yang hangat. Tanpa sadar, bibirnya menyenandungkan nada itu dengan sangat pelan, sebuah suara yang telah lama hilang dari dalam dirinya.

Bab 3: Dinding yang Mulai Retak

Minggu kedua restorasi kotak musik menjadi saksi perubahan halus dalam dinamika antara Elara dan Banyu. Kunjungan sore Banyu kini menjadi bagian yang dinanti-nanti oleh Elara, meskipun ia takkan pernah mengakuinya. Percakapan mereka tidak lagi hanya sebatas kopi dan basa-basi. Mereka mulai berbagi potongan-potongan diri mereka yang lebih dalam.

Suatu hari, Banyu datang dengan membawa gitar akustiknya. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk di kursinya seperti biasa sementara Elara bekerja. Setelah beberapa saat hening, jari-jarinya mulai memetik senar, memainkan melodi yang lembut dan sedikit melankolis.

Elara menghentikan pekerjaannya, terpaku. Musik itu memenuhi seluruh ruangan, memantul dari dinding-dinding kayu, menyelinap di antara buku-buku tua, dan seolah memeluk setiap benda di sana. Melodi itu indah, tetapi juga sarat akan kerinduan. Itu adalah suara dari jiwa Banyu yang sedang mencari.

Ketika Banyu selesai, keheningan yang menyusul terasa begitu pekat.

"Itu... indah sekali," bisik Elara.

Banyu tersenyum kecil, tatapannya menerawang. "Sebuah fragmen. Salah satu dari sedikit hal yang berhasil saya ciptakan belakangan ini. Tapi selalu berhenti di tengah jalan. Rasanya tidak lengkap."

"Kenapa?"

"Saya tidak tahu. Mungkin karena saya belum menemukan 'hatinya'," jawab Banyu. "Setiap komposisi musik yang bagus memiliki hati, sebuah pusat emosi yang menjadi jangkar bagi semua nada lainnya."

Elara kembali menatap kotak musik di mejanya. Ia sedang membersihkan silinder utamanya, bagian yang menyimpan "hati" dari melodi kotak itu. Ia mengerti apa yang dimaksud Banyu. Sama seperti pekerjaannya, ia harus menemukan esensi dari setiap benda untuk bisa memulihkannya dengan benar.

"Mungkin hatinya tidak hilang," kata Elara pelan. "Mungkin hanya tersembunyi."

Kata-kata itu seolah menjadi mantra bagi mereka berdua. Bagi Banyu dalam pencarian musiknya, dan bagi Elara dalam usahanya menjaga hatinya sendiri.

Hari berikutnya, giliran Elara yang membuka diri. Banyu bertanya tentang bagaimana ia memulai bisnis "Pusaka Hati." Elara, untuk pertama kalinya, bercerita tentang ayahnya, seorang kolektor barang antik yang menularkan kecintaannya pada benda-benda bersejarah.

"Ayah selalu bilang, 'Jangan lihat apa yang rusak, Ra. Lihat apa yang bisa diselamatkan'," kenang Elara, suaranya melembut. "Toko ini adalah warisannya. Caraku untuk melanjutkan apa yang ia percayai."

"Ayahmu pasti bangga padamu," kata Banyu tulus.

Elara hanya tersenyum tipis, tetapi di dalam hatinya, kata-kata itu terasa hangat. Ia tidak pernah membicarakan ayahnya dengan orang lain selain ibunya. Berbagi kenangan itu dengan Banyu terasa seperti membuka sebuah jendela di ruangan yang sudah lama tertutup, membiarkan sedikit udara segar masuk.

Dinding pertahanan Elara mulai menunjukkan retakan-retakan kecil. Ia mulai tersenyum lebih sering, senyum yang benar-benar mencapai matanya. Ia bahkan tertawa kecil ketika Banyu menceritakan lelucon garing tentang seorang pemain biola. Tawa itu terdengar asing di telinganya sendiri, seperti suara dari masa lalu.

Puncak dari perubahan itu terjadi pada suatu akhir pekan. Banyu datang bukan pada sore hari, melainkan siang hari.

"Aku tahu tokomu tutup hari Minggu," kata Banyu, sedikit ragu di ambang pintu. "Tapi cuacanya cerah sekali. Dan ada pasar bunga di alun-alun kota. Aku pikir... mungkin kau mau pergi bersamaku? Sekadar jalan-jalan. Tidak ada kopi, tidak ada kotak musik. Hanya kita."

Permintaan itu membuat jantung Elara berdebar lebih kencang. Ini bukan lagi kunjungan pelanggan. Ini adalah sebuah ajakan. Sebuah kencan. Kata itu terasa menakutkan. Otaknya langsung berteriak, "Tolak! Ini berbahaya!"

Ia teringat pada Rendra. Kencan pertama mereka juga terjadi di hari yang cerah. Janji-janji manis, tawa, dan harapan yang kemudian hancur berkeping-keping. Rasa takut yang dingin mulai merayap di punggungnya.

"Aku... aku banyak pekerjaan," Elara berbohong, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak berani menatap mata Banyu.

Banyu tidak mendesak. Ia hanya berdiri di sana, dan keheningannya terasa lebih berat daripada kata-kata apa pun. "Baiklah," katanya akhirnya, suaranya terdengar sedikit kecewa, tetapi tetap lembut. "Mungkin lain kali."

Saat Banyu berbalik untuk pergi, Elara merasakan sengatan penyesalan yang tajam. Ia melihat punggung pria itu menjauh, punggung yang selama ini selalu menemaninya dalam diam. Ia melihat kesempatan untuk merasakan kembali kehangatan matahari di kulitnya, kesempatan untuk menghirup aroma bunga, kesempatan untuk menjadi "normal" lagi, ikut pergi bersama pria itu.

"Tunggu!"

Kata itu keluar dari bibirnya sebelum ia sempat berpikir. Banyu berhenti, menoleh dengan tatapan penuh tanya.

Elara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang memberontak. Ia menatap langsung ke mata Banyu, pertarungan antara rasa takut dan harapan berkecamuk di dalam dirinya. Dan untuk pertama kalinya, harapan menang.

"Beri aku waktu lima belas menit," katanya, suaranya sedikit bergetar, tetapi tegas. "Aku akan berganti pakaian."

Senyum yang merekah di wajah Banyu saat itu adalah senyum terhangat yang pernah Elara lihat. Senyum itu seolah mampu mencairkan sisa-sisa es di hatinya. Di saat itu, Elara sadar bahwa dinding yang telah ia bangun dengan susah payah selama tiga tahun, baru saja runtuh sebagian besar, bukan karena paksaan, tetapi karena sebuah ajakan lembut untuk berjalan-jalan di bawah matahari.

Perjalanan mereka ke pasar bunga terasa seperti mimpi. Warna-warni bunga aster, anyelir, dan mawar seolah meledak di mana-mana. Banyu membelikannya setangkai bunga lili putih, mengingatkannya pada ukiran di kotak musik. Mereka berjalan tanpa tujuan, berbicara tentang hal-hal sepele—rasa es krim favorit, film terakhir yang mereka tonton, kenangan masa kecil.

Bagi Elara, ini adalah hal yang paling normal dan paling menakutkan yang pernah ia lakukan dalam waktu yang sangat lama. Setiap kali tawa Banyu terdengar, sebagian dari dirinya merasa bahagia, sementara sebagian lagi berbisik waspada. Namun, saat Banyu tanpa sengaja menyentuh tangannya ketika mereka sama-sama mencoba menunjuk seekor kupu-kupu, sengatan listrik yang hangat menjalari lengannya, dan bisikan ketakutan itu perlahan mereda.

Mereka duduk di bangku taman, memandangi air mancur di tengah alun-alun.

"Terima kasih sudah mau datang," kata Banyu pelan. "Aku tahu ini tidak mudah bagimu."

Elara terkejut. "Bagaimana kau tahu?"

"Matamu," jawab Banyu sambil menatapnya lekat. "Matamu menceritakan banyak hal, Elara. Mereka menceritakan tentang kehati-hatian, tentang luka. Tapi hari ini, aku melihat sesuatu yang lain. Aku melihat keberanian."

Pipi Elara memerah. Tak ada yang pernah memahaminya sedalam ini tanpa ia harus mengucapkan sepatah kata pun. Rendra, bahkan di saat-saat terbaik mereka, hanya melihat permukaan Elara yang ceria. Ia tidak pernah melihat kerapuhan di baliknya.

"Aku..." Elara memulai, tetapi suaranya tercekat. Ia ingin memberitahunya segalanya. Tentang Rendra, tentang pengkhianatan, tentang hatinya yang hancur. Tapi kata-kata itu terasa terlalu berat.

Banyu seolah mengerti. Ia tidak bertanya lebih jauh. Sebaliknya, ia berkata, "Kau tidak perlu menceritakan apa pun sampai kau siap. Ketahuilah bahwa apa pun itu, itu tidak mendefinisikan siapa dirimu sekarang."

Di bawah langit biru Kota Seruni, di tengah aroma bunga dan suara tawa anak-anak, Elara merasa sebuah beban berat terangkat dari pundaknya. Ia mungkin belum siap untuk menceritakan masa lalunya, tetapi ia merasa siap untuk memulai babak baru. Dan ia memiliki firasat kuat, babak baru itu akan diiringi oleh melodi yang dimainkan oleh seorang komposer bernama Banyu.

Bab 4: Gema dari Masa Lalu

Pekerjaan pada kotak musik hampir selesai. Elara telah berhasil membuat pegas baru dan memasang semua pin yang hilang. Mekanismenya kini bersih dan berkilau, siap untuk kembali bernyanyi setelah puluhan tahun membisu. Proses restorasi itu berjalan paralel dengan restorasi hatinya sendiri. Setiap komponen yang ia perbaiki seolah menyembuhkan sebagian kecil dari lukanya.

Hubungannya dengan Banyu pun mekar seperti bunga di musim semi. Mereka tidak lagi hanya bertemu di toko. Banyu sering mengajaknya makan malam di warung-warung sederhana yang menyajikan makanan lezat. Elara, pada gilirannya, pernah mengundang Banyu ke apartemennya yang kecil dan nyaman di atas toko untuk makan malam. Ia memasak opor ayam resep ibunya, dan malam itu, di antara aroma rempah dan tawa, Elara merasa seperti kembali ke rumah.

Banyu tidak pernah mencoba untuk mengorek masa lalunya. Ia sabar, memberikan Elara ruang yang ia butuhkan. Namun, kehadirannya yang konsisten, kebaikannya yang tanpa pamrih, dan tatapannya yang penuh pengertian membuat Elara merasa semakin aman untuk membuka diri.

Malam itu, setelah makan malam di apartemennya, mereka duduk di balkon kecil yang menghadap ke jalanan kota yang mulai sepi.

"Aku harus memberitahumu sesuatu," kata Elara tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman. Jantungnya berdebar kencang, tetapi ia tahu ini saatnya. Ia tidak bisa melangkah lebih jauh dengan Banyu sambil terus menyembunyikan hantu dari masa lalunya.

Banyu menoleh, wajahnya diterangi cahaya lampu jalanan yang temaram. Ia hanya menunggu, memberinya isyarat untuk melanjutkan.

Dengan suara yang sedikit bergetar, Elara menceritakan segalanya. Tentang Rendra, cinta pertamanya yang ia pikir abadi. Tentang rencana pernikahan mereka. Tentang bagaimana ia menemukan bahwa Rendra telah berselingkuh selama berbulan-bulan, bukan dengan orang asing, tetapi dengan salah satu sahabat terdekatnya sendiri. Ia menceritakan rasa sakit dari pengkhianatan ganda itu, bagaimana dunianya runtuh dalam semalam, dan bagaimana ia membangun kembali hidupnya di dalam benteng keheningan "Pusaka Hati."

Selama ia bercerita, Banyu tidak menyela. Ia hanya mendengarkan, tangannya terulur dan menggenggam tangan Elara, memberikan kekuatan dalam diam. Ketika Elara selesai, matanya berkaca-kaca, bukan karena kesedihan, tetapi karena kelegaan telah melepaskan beban itu.

"Terima kasih sudah memberitahuku," bisik Banyu. Ia mengangkat tangan Elara dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. "Kau adalah orang terkuat yang pernah aku kenal, Elara. Kau tidak hanya selamat, kau membangun duniamu sendiri dari puing-puing itu. Kau merawat keindahan di saat duniamu sendiri sedang hancur. Itu bukan kelemahan, itu kekuatan yang luar biasa."

Air mata yang coba ditahan Elara akhirnya jatuh. Tapi itu bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan. Untuk pertama kalinya, seseorang melihat lukanya bukan sebagai cacat, tetapi sebagai bukti kekuatan.

Namun, takdir terkadang punya selera humor yang kejam. Seolah ingin menguji fondasi baru yang coba mereka bangun, gema dari masa lalu itu muncul dalam bentuk yang paling nyata.

Beberapa hari kemudian, saat Elara sedang menyapu teras depan tokonya, sebuah mobil mewah berhenti tepat di seberang jalan. Jantung Elara seolah berhenti berdetak. Ia kenal mobil itu. Pintu pengemudi terbuka, dan keluarlah sosok yang telah menghantui mimpi buruknya selama tiga tahun. Rendra.

Pria itu tampak tidak banyak berubah. Masih dengan pakaian mahal dan senyum percaya diri yang dulu pernah membuat Elara jatuh cinta. Ia tidak sendirian. Dari pintu penumpang, keluar seorang wanita—mantan sahabatnya. Dan di gendongan wanita itu, ada seorang anak kecil.

Mereka tampak seperti keluarga kecil yang bahagia, kontras yang menyakitkan dengan kehancuran yang mereka tinggalkan. Elara membeku di tempat, sapu di tangannya terasa begitu berat. Seluruh kekuatan yang ia kumpulkan bersama Banyu seolah menguap begitu saja. Yang tersisa hanyalah Elara yang dulu, gadis naif yang hatinya hancur berkeping-keping.

Rendra tidak sengaja menoleh ke arah toko. Matanya bertemu dengan mata Elara. Ekspresi terkejut melintas di wajahnya, diikuti oleh rasa canggung dan bersalah yang samar. Ia membisikkan sesuatu pada wanita di sebelahnya, dan mereka bergegas masuk ke sebuah butik di seberang jalan, menghindari tatapannya.

Elara terhuyung mundur ke dalam toko, napasnya tersengal-sengal. Dinding-dinding yang baru saja mulai runtuh kini seolah kembali dibangun dalam sekejap, lebih tinggi dan lebih tebal dari sebelumnya. Rasa takut dan sakit yang ia kira sudah terkubur dalam-dalam, kini bangkit kembali dengan kekuatan penuh.

Tepat pada saat itu, lonceng pintu berdentang. Banyu masuk, dengan senyum cerah di wajahnya, membawa sekotak kue sus kesukaan Elara. Senyumnya langsung memudar saat melihat wajah Elara yang pucat pasi dan tatapannya yang kosong.

"Elara? Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanyanya cemas, meletakkan kotak kue itu dan menghampirinya.

Elara menggeleng, mundur selangkah saat Banyu mencoba menyentuhnya. "Jangan," bisiknya. "Tolong... pergi."

"Pergi? Kenapa? Apa yang salah?" Banyu tampak bingung dan terluka.

"Aku tidak bisa melakukan ini," isak Elara, air mata akhirnya mengalir deras. "Aku pikir aku bisa, tapi aku tidak bisa. Semuanya hanya kebohongan. Aku tidak kuat, Banyu. Aku masih rusak."

Melihat Rendra, bahkan hanya sekilas, telah mengaktifkan kembali semua mekanisme pertahanan dirinya. Otaknya berteriak bahwa semua pria sama. Bahwa kebahagiaan ini hanya sementara. Bahwa Banyu, cepat atau lambat, juga akan meninggalkannya. Itu tidak adil baginya, dan Elara tahu itu, tetapi rasa takutnya jauh lebih kuat daripada logikanya.

"Elara, lihat aku," pinta Banyu, suaranya lembut namun tegas. Ia tidak mundur. "Melihatnya lagi pasti sangat menyakitkan. Aku tidak bisa membayangkannya. Tapi jangan biarkan dia mengambil ini juga darimu. Jangan biarkan bayangannya menghancurkan apa yang sedang kita bangun."

"Apa yang kita bangun?" desis Elara getir. "Ini semua terlalu cepat. Aku belum siap. Aku tidak akan pernah siap."

"Kalau begitu aku akan menunggu," kata Banyu. "Aku akan menunggu sampai kau siap. Tapi jangan usir aku, Ra. Tolong jangan."

Tapi Elara terlalu tenggelam dalam kepanikannya. Ia butuh keheningan. Ia butuh kesendirian. Ia butuh bentengnya kembali.

"Kumohon, Banyu. Pergilah," pintanya dengan suara bergetar. "Aku butuh waktu sendiri."

Wajah Banyu menunjukkan kekecewaan yang mendalam, tetapi juga pengertian. Ia menatap Elara sejenak, tatapan yang penuh dengan kesedihan dan cinta yang tak terucap. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengangguk pelan, berbalik, dan meninggalkan toko.

Lonceng pintu yang berdentang saat ia pergi terdengar seperti lonceng kematian bagi harapan Elara. Ia merosot ke lantai, di tengah dunianya yang kembali sunyi, dan menangis sejadi-jadinya. Gema dari masa lalu telah kembali, dan kali ini, suaranya lebih keras dari melodi apa pun yang coba ia ciptakan.

Bab 5: Melodi yang Ditemukan Kembali

Hari-hari setelah insiden itu terasa berat dan hampa. Elara kembali ke rutinitas lamanya, bekerja dalam keheningan yang kini terasa memekakkan telinga. Ia menyelesaikan sentuhan akhir pada kotak musik Banyu dengan tangan yang gemetar. Setiap kali ia menyentuh benda itu, ia teringat pada pemiliknya—pada senyumnya, pada suaranya, pada kehangatan tangannya.

Ia merindukan Banyu. Ia sangat merindukannya hingga terasa sakit secara fisik. Tetapi rasa takutnya masih mencengkeramnya erat-erat. Ia telah menyakiti Banyu, mendorongnya pergi saat pria itu hanya menunjukkan kebaikan. Rasa bersalah menambah berat beban di hatinya.

Banyu menepati janjinya. Ia tidak datang. Ia tidak menelepon. Ia memberikan Elara ruang yang ia minta. Keheningan dari pihaknya adalah bentuk penghormatan, tetapi bagi Elara, itu terasa seperti hukuman.

Seminggu berlalu. Kotak musik itu akhirnya selesai. Sempurna. Elara memutar tuasnya dengan hati-hati. Untuk pertama kalinya setelah puluhan tahun, sebuah melodi yang jernih dan indah mengalun dari kotak mahoni itu. Melodinya manis, sedikit melankolis, penuh dengan kerinduan dan cinta. Itu adalah melodi yang indah, persis seperti yang digambarkan Banyu.

Mendengar musik itu, Elara menangis. Ia menangis untuk nenek Banyu yang tidak pernah ia kenal, untuk Banyu yang merindukan kenangan masa kecilnya, dan untuk dirinya sendiri yang hampir saja membiarkan ketakutannya menghancurkan hal terindah yang datang ke hidupnya.

Melodi itu seolah menyadarkannya. Ia telah menghabiskan tiga tahun terakhir bersembunyi dari rasa sakit, tetapi dengan melakukan itu, ia juga bersembunyi dari kebahagiaan. Ia telah membiarkan Rendra dan pengkhianatannya terus mendefinisikan hidupnya, bahkan lama setelah pria itu pergi.

Banyu benar. Ia tidak rusak. Ia terluka. Dan luka butuh waktu untuk sembuh, tetapi luka tidak akan pernah sembuh jika terus ditutup rapat dan tidak diberi udara. Banyu adalah udara segar baginya. Ia tidak bisa membiarkannya pergi.

Dengan tekad baru, Elara menyeka air matanya. Ia mengambil teleponnya, tangannya masih sedikit gemetar, dan menekan nomor Banyu. Ia tidak tahu harus berkata apa, tetapi ia tahu ia harus melakukan sesuatu.

Telepon berdering beberapa kali sebelum diangkat. "Halo?" Suara Banyu terdengar lelah.

"Banyu... ini Elara."

Hening sejenak di seberang sana. "Elara. Ada apa?"

"Kotak musikmu," kata Elara, suaranya tercekat. "Sudah selesai. Melodinya... sudah kembali."

Lagi-lagi hening. Elara bisa mendengar Banyu menarik napas. "Aku akan ke sana."

Setengah jam kemudian, lonceng pintu berdentang. Banyu berdiri di sana, wajahnya tampak lebih tirus, ada lingkaran hitam samar di bawah matanya. Hati Elara mencelos melihatnya. Ini adalah akibat dari perbuatannya.

Tanpa banyak bicara, Elara memutar kembali tuas kotak musik itu. Melodi yang indah itu kembali memenuhi ruangan. Banyu memejamkan matanya, mendengarkan dengan saksama. Seulas senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang penuh dengan nostalgia dan kelegaan.

"Ini dia," bisiknya. "Persis seperti yang kuingat."

Ketika melodi itu berakhir, Banyu membuka matanya dan menatap Elara. Tatapannya tidak mengandung kemarahan atau kekecewaan, hanya kesedihan yang dalam.

"Terima kasih, Elara. Kau berhasil," katanya pelan, mengeluarkan dompetnya. "Berapa biayanya?"

Pertanyaan itu terasa seperti tamparan bagi Elara. Mereka kembali menjadi sekadar restorator dan pelanggan.

"Bukan itu yang kuinginkan," kata Elara cepat, menggelengkan kepalanya. Air mata kembali menggenang di pelupuk matanya. "Banyu, aku minta maaf. Aku sangat, sangat minta maaf. Aku takut. Aku panik. Dan aku menyakitimu. Tidak ada alasan yang cukup baik untuk apa yang kulakukan."

Ia menatap lurus ke mata Banyu, membiarkan pria itu melihat semua kerapuhan dan penyesalannya. "Melihatnya lagi membuatku kembali ke titik nol. Aku lupa pada semua hal yang telah kau ajarkan padaku... bahwa aku kuat, bahwa masa lalu tidak mendefinisikan diriku. Aku lupa padamu."

"Kau tidak melupakanku," kata Banyu lembut, melangkah lebih dekat. "Kau hanya melindungi dirimu sendiri. Itu reaksi yang wajar."

"Tapi itu tidak adil untukmu," isak Elara. "Kau pantas mendapatkan seseorang yang utuh. Seseorang yang tidak akan lari saat keadaan menjadi sulit."

Banyu kini berdiri tepat di hadapannya. Dengan lembut, ia mengangkat tangannya dan menyeka air mata di pipi Elara. Sentuhannya masih sehangat yang Elara ingat.

"Aku tidak mencari seseorang yang utuh, Elara," katanya, tatapannya lekat. "Siapa di dunia ini yang benar-benar utuh? Kita semua punya retakan. Kita semua punya bekas luka. Aku hanya mencari seseorang yang mau berjuang bersamaku untuk menyembuhkannya. Aku mencari dirimu."

Ia menangkup wajah Elara dengan kedua tangannya. "Aku tidak akan pernah menjadi seperti dia. Aku tidak akan pernah menyakitimu seperti itu. Aku mungkin tidak sempurna, tapi aku akan selalu jujur padamu. Aku akan selalu ada di sini. Jika kau memberiku kesempatan."

Hati Elara terasa seperti akan meledak oleh luapan emosi—cinta, kelegaan, harapan. Ia tidak lagi melihat bayangan Rendra. Yang ia lihat hanyalah Banyu. Pria baik hati yang dengan sabar menunggunya, yang melihat kekuatannya di balik lukanya, yang musiknya telah mengisi keheningan jiwanya.

"Kesempatan itu milikmu," bisik Elara. "Sudah selalu menjadi milikmu."

Banyu tersenyum, senyum yang sesungguhnya, yang menerangi seluruh wajahnya. Perlahan, ia menundukkan kepalanya dan mencium bibir Elara. Ciuman itu lembut dan ragu pada awalnya, lalu menjadi lebih dalam, lebih pasti. Ciuman itu adalah sebuah janji. Sebuah janji tentang awal yang baru, tentang melodi yang ditemukan kembali, dan tentang dua hati yang retak yang akhirnya menemukan cara untuk berdetak dalam irama yang sama.

Di dalam toko "Pusaka Hati," di antara benda-benda tua yang telah diselamatkan, dua jiwa akhirnya menemukan penyelamatan mereka sendiri.

Epilog: Gema yang Baru

Enam bulan kemudian.

Cahaya senja keemasan membanjiri alun-alun Kota Seruni. Elara duduk di bangku taman yang sama tempat ia dan Banyu pernah berbagi es krim, namun kali ini ia tidak sendirian. Kepalanya bersandar nyaman di bahu Banyu, sementara tangan mereka saling bertaut erat.

Di panggung kecil di sudut alun-alun, sebuah kuartet gesek sedang melakukan gladi bersih untuk pertunjukan malam nanti. Musik yang mereka mainkan terdengar familier. Itu adalah melodi yang lembut dan sedikit melankolis, tetapi kini telah berkembang menjadi sebuah komposisi yang utuh, kaya, dan penuh harapan.

"Kau menemukannya," bisik Elara. "Hati dari musikmu."

Banyu tersenyum, mengeratkan genggamannya. "Aku tidak menemukannya. Aku terinspirasi olehnya." Ia menatap Elara dengan tatapan penuh cinta. "Komposisi ini judulnya 'Pusaka Hati'. Ini tentang seorang wanita kuat yang merawat keindahan di tengah dunianya yang sunyi. Tentang bagaimana ia mengajarkan seorang musisi yang tersesat cara untuk mendengarkan lagi."

Pipi Elara merona hangat. Hidupnya telah berubah total. Toko "Pusaka Hati" tidak lagi menjadi benteng, melainkan surga yang ia bagi dengan Banyu. Tawa kini lebih sering terdengar di sana daripada keheningan. Terkadang, Banyu akan membawa gitarnya dan menciptakan musik di sudut ruangan sementara Elara bekerja, nada-nada mereka berpadu menjadi harmoni yang sempurna.

Kotak musik tua itu kini berdiri dengan bangga di rak di apartemen Elara, sebuah pengingat abadi tentang bagaimana sebuah melodi yang hilang telah menyatukan mereka.

Masa lalu tidak pernah benar-benar hilang. Gema dari luka Elara terkadang masih terdengar, terutama di hari-hari yang berat. Tetapi sekarang, gema itu tidak lagi menakutkan. Suaranya telah ditimpa oleh gema yang baru—gema tawa Banyu, gema musiknya, dan gema dari detak jantung mereka yang kini selaras.

Saat matahari terbenam di ufuk, mewarnai langit dengan palet jingga dan ungu, Elara menatap pria di sampingnya. Ia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi ia tidak lagi takut. Karena ia tahu, selama mereka bersama, mereka akan selalu bisa memperbaiki apa pun yang rusak. Mereka akan selalu menemukan kembali melodi mereka, bahkan di ujung senja yang paling sunyi sekalipun. Dan itu adalah janji yang lebih berharga dari pusaka mana pun di dunia.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)