Masukan nama pengguna
Bab 1:Ritual Sunyi di Aroma Waktu
Namaku Lara, dan duniaku beraroma kopi. Bukan sekadar metafora, tapi kenyataan harfiah. Aku mewarisi sebuah kedai kopi kecil dari kakekku, sebuah tempat yang terjepit di antara toko buku antik dan butik bunga yang selalu wangi. Kakek menamainya "Aroma Waktu", nama yang puitis dan sedikit melankolis, sama seperti beliau. Bagiku, tempat ini adalah segalanya: rumah, pekerjaan, dan benteng pertahananku dari riuh rendah dunia luar.
Hidupku berjalan dalam ritme yang teratur, nyaris seperti mesin jam. Pukul tujuh pagi, aku membuka pintu kayu berat kedai, membiarkan aroma biji kopi yang baru digiling menyapa jalanan yang masih setengah tertidur. Siang hari diisi dengan obrolan ringan para pelanggan, suara denting cangkir, dan desis mesin espresso yang menjadi musik latarku. Lalu, saat sore mulai merayap, kedai akan kembali lengang. Hanya menyisakan aku, Rian—barista muda yang lebih banyak tersenyum daripada bicara—dan beberapa pelanggan setia yang mencari ketenangan.
Di antara semua ritme itu, ada satu yang paling kunanti, sebuah ritual sunyi yang hanya aku yang menyadarinya.
Setiap hari, tanpa pernah meleset satu detik pun, tepat saat jarum jam di dinding kedai menunjuk angka tiga, seorang pria akan berjalan melewati jendela besar Aroma Waktu.
Dia bukan pelanggan. Dia tidak pernah menoleh, tidak pernah melirik ke dalam. Dia hanya berjalan lurus, dengan langkah yang mantap namun tidak tergesa-gesa, seolah sedang mengikuti jejak tak kasat mata yang hanya bisa ia lihat.
Aku memanggilnya "Pria Jam Tiga Sore". Tentu saja, hanya di dalam kepalaku.
Sosoknya tinggi dan tegap, meski bahunya tampak sedikit membungkuk, seolah memikul beban yang tak terlihat. Rambutnya hitam legam, sedikit panjang dan sering kali tampak acak-acakan ditiup angin sore. Pakaiannya selalu sederhana: kemeja flanel yang warnanya sudah sedikit pudar atau kaus polos berwarna gelap, dipadu dengan celana jins dan sepatu bot kulit yang tampak sudah menempuh ribuan langkah.
Namun, yang paling menarik perhatianku adalah ekspresinya. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas, tetapi matanya... matanya selalu menatap lurus ke depan dengan sorot yang kosong, seolah menembus semua yang ada di hadapannya. Ada semacam kesedihan purba di sana, kesedihan yang begitu dalam hingga seolah telah menyatu dengan dirinya. Dia tidak tampak marah atau frustrasi, hanya... hampa.
Selama hampir setahun aku mengamatinya. Aku tahu kebiasaannya seperti aku tahu cara membuat secangkir latte yang sempurna. Aku tahu kemeja flanel mana yang paling sering ia pakai (yang kotak-kotak hijau lumut). Aku tahu saat rambutnya butuh dipotong. Aku tahu di hari hujan, ia akan mengenakan jaket bertudung dan langkahnya akan sedikit lebih cepat, seolah ingin segera lari dari dinginnya air yang menerpa.
"Mbak Lara lihatin dia lagi, ya?" suara Rian memecah lamunanku suatu sore. Aku sedikit tersentak, memalingkan wajah dari jendela. Rian berdiri di belakang meja bar, mengelap gelas sambil tersenyum jenaka.
"Siapa?" tanyaku, berpura-pura bodoh.
Rian terkekeh. "Si Mas-Mas Misterius. Pria Jam Tiga Sore-nya Mbak Lara. Tiap hari, jam segini, pasti Mbak Lara bakal berdiri di dekat jendela, kayak lagi nungguin penampakan."
Pipiku terasa sedikit hangat. Aku tidak menyangka kebiasaanku begitu kentara. "Cuma kebetulan saja," elakku, sambil merapikan beberapa bungkus biji kopi di rak.
"Kebetulan kok setahun penuh, Mbak?" godanya lagi. "Aku sampai hafal. Jarum jam nyentuh angka tiga, Mbak Lara pasti cari posisi terbaik buat nonton."
Aku menghela napas, menyerah. "Aku cuma penasaran," akuiku pelan. "Tidakkah menurutmu itu aneh? Setiap hari, di jam yang sama, melewati rute yang sama. Dia seperti hantu yang terikat pada sebuah jadwal."
Rian mengangkat bahu. "Mungkin rumahnya memang lewat sini. Atau kantornya. Atau mungkin dia pelatih anjing yang lagi jalan-jalan... tanpa anjingnya," guraunya.
Aku tersenyum tipis. Mungkin Rian benar. Mungkin ada penjelasan yang sangat sederhana dan membosankan di balik semua ini. Mungkin aku saja yang terlalu banyak membaca novel misteri dan meromantisasi kebiasaan orang asing.
Tapi hatiku menolak percaya. Ada sesuatu dari pria itu, dari caranya berjalan, dari sorot matanya yang jauh, yang memberitahuku bahwa ini bukan sekadar rutinitas biasa. Ini adalah sebuah ziarah. Sebuah ritual. Tapi, untuk apa? Dan untuk siapa?
Rasa penasaran itu seperti benih kecil yang ditanam di dalam dadaku. Setiap hari, pada pukul tiga sore, saat aku melihatnya lewat, benih itu seolah disirami. Ia tumbuh semakin besar, akarnya mencengkeram hatiku, cabangnya memenuhi pikiranku. Aku mulai membayangkan berbagai macam skenario. Apakah dia seorang seniman yang mencari inspirasi? Seorang penulis yang mengalami kebuntuan kreativitas? Atau seseorang yang sedang mengenang masa lalu yang hilang di sepanjang jalan ini?
Malam harinya, setelah menutup kedai dan berbaring di tempat tidur di apartemen kecilku di lantai atas, bayangannya sering kali datang tanpa diundang. Aku mencoba memberinya nama. Elang? Mungkin. Nama yang terdengar kuat namun juga menyiratkan kesendirian. Arga? Terdengar kokoh seperti gunung. Bayu? Karena ia datang dan pergi secepat angin.
Fantasi-fantasi ini menjadi semacam hiburan rahasiaku. Sebuah cerita yang kutulis sendiri di dalam kepala, dengan Pria Jam Tiga Sore sebagai tokoh utamanya. Aku adalah naratornya, pengamat yang setia, yang tahu segalanya tentang dia dari kejauhan, namun tidak tahu apa-apa sama sekali.
Hingga suatu hari, sebuah kejadian kecil mengubah segalanya. Sebuah kejadian yang meruntuhkan dinding antara aku, si pengamat, dan dia, sang misteri yang berjalan.
Bab 2: Kunci yang Terjatuh
Hari itu adalah hari Selasa di bulan April. Langit Jakarta berwarna abu-abu pekat, menjanjikan hujan deras yang tertahan. Udara terasa lembap dan berat, membuat semua orang yang masuk ke Aroma Waktu mengeluh tentang cuaca. Kedai cukup ramai saat jam makan siang, namun kembali lengang menjelang pukul tiga. Hanya tersisa seorang mahasiswi di pojok yang sedang berjuang dengan laptop dan tumpukan bukunya.
Seperti biasa, aku sudah mengambil posisi di dekat jendela. Tanganku memegang cangkir teh kamomil hangat, uapnya mengaburkan sebagian pandangan ke jalanan. Aku menunggu. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat, sebuah antisipasi yang sudah menjadi bagian dari hariku.
Dan benar saja. Tepat saat jam berdentang tiga kali, dia muncul dari tikungan jalan. Hari ini ia mengenakan kaus hitam polos dan celana kargo berwarna khaki. Rambutnya sedikit basah oleh gerimis yang mulai turun. Ia berjalan dengan ritme yang sama seperti biasanya.
Namun, hari ini ada yang berbeda. Saat ia tepat berada di depan kedai, ia merogoh saku celananya, seolah mencari sesuatu. Gerakannya sedikit tergesa-gesa. Dan saat itulah terjadi. Sebuah benda kecil berwarna perak jatuh dari sakunya, mengeluarkan bunyi "ting" yang lembut di atas trotoar basah.
Dia tidak menyadarinya. Ia terus berjalan, tatapannya tetap lurus ke depan, pikirannya jelas berada di tempat lain.
Aku menahan napas. Benda itu berkilauan di antara tetesan air hujan. Sebuah gantungan kunci. Terlalu kecil untuk dilihat detailnya dari dalam kedai, tetapi aku tahu itu adalah sesuatu yang penting. Siapa yang tidak panik jika kehilangan kunci?
Jantungku berdebar kencang. Ini adalah sebuah pilihan. Aku bisa tetap di sini, di dalam duniaku yang aman dan hangat, dan membiarkan kunci itu tergeletak di sana. Mungkin nanti dia akan sadar dan kembali. Atau mungkin kunci itu akan hilang selamanya, terinjak pejalan kaki atau tersapu air hujan ke selokan.
Atau... aku bisa melakukan sesuatu.
"Rian, jaga kedai sebentar!" seruku, tanpa menoleh.
Aku meletakkan cangkirku dengan sedikit dentuman, mendorong pintu, dan berlari keluar. Gerimis yang tadi lembut kini mulai deras. Aku tidak peduli. Mataku terpaku pada dua hal: punggung Pria Jam Tiga Sore yang semakin menjauh dan kilau perak di atas trotoar.
"Tunggu! Mas! Tunggu!" teriakku.
Suaraku terdengar aneh, serak oleh angin dan hujan. Dia tidak mendengarku. Tentu saja tidak. Dia berada di dunianya sendiri.
Aku memungut gantungan kunci itu. Rasanya dingin dan berat di telapak tanganku. Itu adalah sebuah kunci rumah biasa, tetapi gantungannya berbentuk sayap malaikat kecil yang detailnya sangat halus. Cantik sekali.
Aku mulai berlari mengejarnya. Sepatuku menciptakan percikan air di trotoar. Napasku terengah-engah. Hujan kini turun dengan deras, membasahi rambut dan pakaianku dalam hitungan detik.
"Mas! Hei!" aku berteriak lagi, lebih keras.
Kali ini dia berhenti. Perlahan, sangat perlahan, dia menoleh. Untuk pertama kalinya dalam setahun, aku tidak hanya melihat punggungnya atau profil sampingnya. Aku melihat wajahnya secara utuh.
Dan itu membuatku berhenti berlari.
Dari dekat, kesedihan di matanya bahkan terasa lebih nyata, lebih dalam. Alisnya sedikit bertaut, menatapku dengan ekspresi bingung. Air hujan menetes dari ujung rambutnya, membasahi wajahnya yang pucat. Dia tampak seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi yang sangat panjang.
Aku berjalan mendekat, jantungku berdegup kencang di dada. Aku mengulurkan tangan yang memegang gantungan kunci itu.
"Ini... ini jatuh," kataku, suara nyaris berbisik. "Tadi, di depan kedai saya."
Pandangannya turun ke tanganku. Matanya melebar sepersekian detik saat melihat gantungan kunci berbentuk sayap malaikat itu. Ada kilatan emosi di sana—terkejut, lega, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan menyakitkan.
Dia tidak langsung mengambilnya. Untuk sesaat, dia hanya menatap gantungan kunci itu, seolah benda itu adalah artefak dari dunia lain. Kemudian, dengan gerakan yang sangat hati-hati, seolah takut benda itu akan pecah, ia mengambilnya dari telapak tanganku. Jari-jarinya yang dingin tanpa sengaja menyentuh kulitku. Sentuhan itu terasa seperti sengatan listrik kecil, mengirimkan getaran ke seluruh tubuhku.
"Terima kasih," suaranya serak dan dalam. Jauh lebih lembut dari yang kubayangkan.
"Sama-sama," jawabku. Kami hanya berdiri di sana, di tengah hujan deras, saling menatap. Aku merasa canggung luar biasa. Sekarang apa? Aku telah merusak ritualnya. Aku telah memasuki dunianya.
"Anda basah kuyup," katanya, matanya menatap rambutku yang lepek dan bajuku yang menempel di kulit. "Sebaiknya Anda kembali ke dalam."
Dia benar. Aku kedinginan dan mulai menggigil. "Anda juga," balasku.
Dia tersenyum tipis. Sangat tipis, nyaris tak terlihat, tetapi itu adalah senyuman pertama yang pernah kulihat di wajahnya. Senyuman itu tidak mencapai matanya, tapi cukup untuk mengubah raut wajahnya yang biasanya kaku. "Aku sudah biasa," katanya.
Lalu, tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia berbalik dan kembali berjalan, melanjutkan rutenya yang terinterupsi. Aku hanya bisa mematung, melihat punggungnya kembali menjauh, merasakan dinginnya hujan dan sisa kehangatan dari sentuhan jarinya yang singkat.
Aku kembali ke kedai dengan perasaan campur aduk. Rian menatapku dengan mata terbelalak.
"Mbak Lara nekat banget!" serunya sambil memberikanku handuk kering. "Aku kira Mbak mau ngajak kenalan pakai cara ekstrem."
Aku hanya tersenyum sambil mengeringkan rambutku. Aku tidak mengajaknya berkenalan. Aku hanya mengembalikan kunci. Tapi entah kenapa, rasanya seperti aku baru saja membuka sebuah pintu. Pintu menuju misteri yang selama ini hanya bisa kuamati dari balik jendela kaca.
Gantungan kunci sayap malaikat itu terus terbayang di benakku. Sebuah benda kecil yang menyimpan sejuta tanya. Sayap itu milik siapa? Dan mengapa benda itu begitu penting baginya?
Malam itu, aku tidak perlu lagi berfantasi tentang namanya. Aku telah mendengar suaranya. Aku telah merasakan sentuhannya. Pria Jam Tiga Sore bukan lagi karakter fiksi dalam kepalaku. Dia nyata. Dan ceritanya, aku merasa, baru saja dimulai.
Bab 3: Sebuah Nama dan Aroma Kopi Hitam
Keesokan harinya, aku merasa gugup bukan main. Perasaan yang aneh, mengingat aku hanya akan melakukan rutinitas yang sama seperti hari-hari lainnya. Namun, insiden kemarin telah mengubah atmosfer penantianku. Dulu aku menunggu dengan rasa penasaran yang pasif, sekarang aku menunggu dengan debaran jantung yang aktif. Akankah dia lewat lagi hari ini? Akankah dia menoleh? Akankah dia... masuk?
Aku mencoba menyibukkan diri. Mengatur ulang susunan kue di etalase kaca, menggiling biji kopi lebih banyak dari yang dibutuhkan, bahkan mengelap meja yang sudah bersih. Rian hanya memperhatikanku dengan senyum geli, tidak berkomentar apa-apa, yang entah kenapa malah membuatku semakin salah tingkah.
Pukul tiga kurang lima menit. Aku menyerah pada kepura-puraanku dan berdiri di pos jagaku, di dekat jendela. Tanganku berkeringat.
Pukul tiga tepat. Jantungku seolah berhenti berdetak.
Dia muncul.
Dari tikungan jalan yang sama, dengan langkah yang sama. Hari ini ia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak biru tua. Jantungku kembali berdetak, kali ini dengan irama yang lega dan sedikit gembira. Dia tidak menghindar. Ritualnya tetap berjalan.
Saat ia mendekati Aroma Waktu, aku menahan napas. Inilah momen penentuannya.
Dia memperlambat langkahnya. Sedikit sekali, tapi aku menyadarinya. Dan kemudian, dia menoleh. Matanya bertemu dengan mataku melalui kaca jendela. Hanya sepersekian detik. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan, hanya sebuah pengakuan singkat bahwa dia tahu aku ada di sana.
Lalu ia kembali memalingkan wajah dan terus berjalan, menghilang dari pandangan.
Tubuhku lemas karena lega. Itu saja. Hanya sebuah lirikan. Tapi bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Itu adalah sebuah komunikasi tanpa kata, sebuah lanjutan dari percakapan kami di tengah hujan kemarin.
Kejadian itu menjadi pola baru kami. Setiap hari pukul tiga, dia akan lewat, memperlambat langkahnya sedikit di depan kedai, dan menoleh ke arahku. Aku akan berdiri di sana, kadang dengan cangkir di tangan, kadang hanya dengan senyum kecil, membalas tatapannya. Itu menjadi ritual baru kami, sebuah interaksi sunyi yang terasa intim dan privat.
Hampir dua minggu berlalu dengan cara ini. Aku mulai merasa nyaman dengan pertukaran tatapan kami. Aku tidak lagi mengharapkan lebih. Cukup bagiku untuk tahu bahwa aku tidak lagi menjadi pengamat yang tak terlihat.
Hingga pada suatu Jumat sore yang cerah.
Kedai sedang sepi. Rian sudah pulang lebih awal karena ada urusan keluarga. Hanya aku sendirian, menikmati alunan musik jazz lembut dari pengeras suara. Aku sedang membaca buku di belakang meja bar ketika lonceng di atas pintu berbunyi.
Aku mengangkat kepala, siap menyapa pelanggan dengan senyum. Dan senyumku membeku di bibir.
Pria Jam Tiga Sore berdiri di ambang pintu.
Dia tidak sedang berjalan melewatinya. Dia ada di sini. Di dalam Aroma Waktu.
Dia tampak sama canggungnya denganku. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana jins, matanya bergerak mengamati interior kedai—dinding bata ekspos, papan tulis kapur yang berisi menu, foto-foto hitam putih perkebunan kopi yang digantung kakekku.
"Selamat sore," sapaku, mencoba membuat suaraku terdengar normal dan tidak tercekat.
"Sore," balasnya. Suaranya yang dalam terdengar lebih jelas di dalam ruangan yang sunyi.
Dia berjalan perlahan ke arah meja bar, ke arahku. Sepatu botnya mengeluarkan suara pelan di lantai kayu. Aku bisa mencium aroma samar hujan dan tanah basah yang sepertinya selalu melekat padanya.
"Aku..." dia memulai, lalu berhenti sejenak, seolah mencari kata yang tepat. "Aku ingin berterima kasih sekali lagi. Untuk kuncinya."
"Oh, bukan masalah besar," kataku cepat. "Siapa pun akan melakukan hal yang sama."
"Tidak juga," katanya pelan. "Banyak orang tidak akan peduli." Ada jeda yang sedikit canggung. Aku bisa merasakan kegugupannya, yang anehnya membuatku sedikit lebih tenang. Ternyata dia juga manusia biasa.
"Mau... pesan sesuatu?" tawarku, kembali ke mode profesionalku. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa kupikirkan untuk memecah keheningan.
Dia tampak sedikit terkejut, seolah gagasan untuk memesan kopi belum terlintas di benaknya. Matanya melirik papan menu di belakangku. "Kopi hitam," katanya akhirnya. "Tanpa gula."
"Baik. Silakan duduk di mana saja yang nyaman," kataku sambil berbalik untuk menyiapkan pesanannya. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil cangkir. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku. Aku menghirup aroma biji kopi yang baru digiling dalam-dalam, mencoba menenangkan sarafku.
Kopi hitam tanpa gula. Sederhana, pahit, tanpa basa-basi. Cocok sekali dengan karakternya.
Aku membawa cangkir berisi cairan hitam pekat yang mengepulkan uap itu ke meja tempat ia memilih duduk, sebuah meja kecil di sudut dekat jendela—tempat favoritku.
"Ini kopinya," kataku sambil meletakkannya dengan hati-hati.
"Terima kasih," katanya. Ia menatap kopi itu sejenak sebelum menyesapnya perlahan. "Enak," komentarnya. "Pekatnya pas."
"Syukurlah kalau suka," jawabku. Aku seharusnya kembali ke belakang meja bar, memberinya ruang. Tapi kakiku seolah terpaku di lantai.
"Kedai yang bagus," lanjutnya, matanya kembali mengamati sekeliling. "Terasa... tenang."
"Terima kasih. Ini peninggalan kakek saya."
Dia mengangguk pelan, seolah mengerti. Kami kembali terdiam. Aku harus mengatakan sesuatu. Apa saja.
"Setiap hari," aku memberanikan diri. "Anda berjalan melewati jalan ini. Setiap hari pukul tiga."
Dia tidak tampak terkejut dengan pertanyaanku. Dia hanya menatap ke luar jendela, ke jalanan yang sama yang selalu ia lewati. "Iya," jawabnya singkat.
Aku menunggu, berharap ada lanjutan. Tapi tidak ada.
"Saya Lara," kataku akhirnya, mengulurkan tangan. Sebuah langkah berani, tapi aku tidak tahan lagi dengan semua misteri ini.
Dia menatap tanganku sejenak, lalu menjabatnya. Genggamannya kuat dan hangat, kontras dengan sentuhan dinginnya di tengah hujan waktu itu. "Elang," katanya.
Elang.
Nama yang pernah kubayangkan untuknya. Kebetulan yang aneh ini membuat jantungku berdebar.
"Elang," ulangku pelan. "Nama yang bagus."
Dia menarik tangannya dan kembali memegang cangkir kopinya. "Hanya nama," katanya.
Percakapan kami setelah itu mengalir dengan canggung. Aku bertanya apakah dia bekerja di sekitar sini (dia menggeleng). Aku bertanya apakah dia tinggal di dekat sini (dia juga menggeleng). Jawaban-jawabannya singkat dan tidak memberikan informasi apa pun, tetapi dia tidak tampak terganggu dengan pertanyaanku. Dia menjawabnya dengan sabar, meski dengan aura menjaga jarak yang kental.
Dia menghabiskan kopinya dalam diam, sementara aku kembali ke belakang meja bar, memberinya privasi yang sepertinya sangat ia hargai. Aku mencuri pandang sesekali. Melihatnya duduk di sana, di dalam kedaiku, terasa sangat sureal. Seperti karakter dari sebuah buku yang tiba-tiba melompat keluar dari halamannya dan duduk di dunia nyata.
Ketika ia selesai, ia berjalan kembali ke kasir. Ia meletakkan beberapa lembar uang di atas meja.
"Terima kasih untuk kopinya, Lara," katanya, menyebut namaku untuk pertama kalinya. Rasanya aneh sekaligus menyenangkan.
"Sama-sama, Elang," balasku.
Dia berbalik hendak pergi, tapi berhenti di ambang pintu. Tanpa menoleh, ia berkata pelan, "Sayap itu... milik putriku."
Lalu dia melangkah keluar dan menghilang, meninggalkanku mematung di belakang meja kasir. Kata-katanya menggantung di udara, penuh dengan makna dan kesedihan yang tak terucap.
Putrinya.
Gantungan kunci sayap malaikat itu milik putrinya. Kata "milik" dalam bentuk lampau itu bergema di kepalaku. Misteri tentang Pria Jam Tiga Sore baru saja terbuka sedikit, dan di baliknya, aku menemukan sebuah lubang kesedihan yang jauh lebih dalam dari yang pernah kubayangkan.
Bab 4: Fragmen Cerita yang Berserakan
Setelah kunjungan pertamanya, Elang tidak langsung menjadi pelanggan tetap. Dia kembali ke ritual lamanya: berjalan lewat tepat pukul tiga, melirik ke dalam, dan kami bertukar tatapan singkat. Namun, kini tatapan itu terasa berbeda. Tidak lagi diisi oleh rasa penasaran di pihakku dan ketidaktahuan di pihaknya. Kini ada semacam pengakuan bersama, sebuah rahasia kecil yang kami bagi. Rahasia tentang gantungan kunci sayap malaikat dan sebuah kalimat yang belum selesai: "Sayap itu... milik putriku."
Sekitar seminggu kemudian, pada suatu sore yang mendung, lonceng pintu kembali berbunyi. Elang masuk, membawa aroma hujan yang akan segera turun bersamanya. Dia tidak tampak ragu-ragu seperti pertama kali. Dia langsung menuju meja bar.
"Kopi hitam, Lara," katanya, dengan nada yang hampir terdengar seperti kebiasaan.
"Tentu," jawabku, mencoba menyembunyikan kegembiraan kecil yang meletup di dadaku. "Mau coba kue cokelat? Baru matang. Paling enak dinikmati saat cuaca mendung."
Aku tidak tahu dari mana datangnya keberanian untuk menawarinya kue. Mungkin aku hanya ingin membuatnya tinggal sedikit lebih lama.
Dia melirik etalase kue. "Boleh," jawabnya setelah jeda singkat.
Hari itu, dia duduk lebih lama. Hujan turun dengan deras di luar, menciptakan tirai air di jendela besar Aroma Waktu. Suara hujan menjadi musik latar percakapan kami yang masih terbata-bata.
Dia tidak banyak bicara tentang dirinya, tapi dia mulai bertanya tentangku. Tentang kedai ini. Tentang kakekku. Aku bercerita tentang bagaimana Kakek membangun tempat ini dari nol, tentang kecintaannya pada biji kopi dari berbagai daerah di Indonesia. Aku bercerita bagaimana aku, yang dulu bercita-cita menjadi ilustrator buku anak-anak, akhirnya jatuh cinta pada warisan kakekku ini.
"Ilustrator buku anak-anak?" tanyanya, ada sedikit perubahan nada dalam suaranya.
"Dulu," kataku sambil tersenyum. "Sekarang tanganku lebih terampil menggambar di atas buih latte daripada di atas kertas."
Dia terdiam, menatap pusaran uap di atas kopinya. "Dia suka menggambar," katanya pelan, nyaris tak terdengar di antara deru hujan.
Aku tahu siapa yang dia maksud. "Dia?" tanyaku hati-hati.
"Putriku," jawabnya. "Namanya Alya."
Alya. Sebuah nama yang indah.
"Dia suka menggambar pelangi dan kuda terbang," lanjut Elang, matanya menatap kosong ke luar jendela. "Kertas gambarnya selalu penuh warna. Tidak pernah ada ruang putih yang tersisa."
Aku hanya bisa mendengarkan, hatiku terasa sesak. Ini adalah pertama kalinya dia menawarkan sebuah fragmen dari ceritanya secara sukarela. Sebuah kepingan puzzle yang berharga.
"Dia pasti anak yang ceria," kataku lembut.
Elang mengangguk, sebuah senyum getir yang menyakitkan tersungging di bibirnya. "Sangat. Dia adalah matahariku."
Setelah itu, dia kembali diam, tenggelam dalam dunianya. Aku tidak memaksanya untuk melanjutkan. Aku memberinya ruang untuk bernapas dengan kenangannya. Saat hujan mulai reda, dia pamit pulang, meninggalkan piring kue yang kosong dan secangkir kopi yang tandas. Dia juga meninggalkan sepotong lagi hatinya di atas meja kedai kopiku.
Kunjungan-kunjungan Elang menjadi lebih sering. Tidak setiap hari, tapi mungkin dua atau tiga kali seminggu. Selalu di sore hari, kadang setelah ritual jalannya, kadang dia langsung masuk. Dia selalu memesan kopi hitam. Kadang-kadang, jika aku menawarinya, dia akan mencoba sepotong kue.
Percakapan kami seperti mengumpulkan kepingan puzzle yang berserakan. Setiap kali datang, dia seolah tanpa sengaja menjatuhkan satu kepingan.
Suatu hari, aku sedang memutar lagu klasik dari piringan hitam lama milik kakek. Sebuah sonata piano yang lembut dan melankolis.
"Chopin," katanya tiba-tiba dari mejanya.
Aku terkejut. "Kamu tahu?"
"Aku dulu seorang pianis," jawabnya singkat.
Dulu. Selalu ada kata "dulu" dalam setiap ceritanya. Dulu seorang pianis. Dulu punya seorang putri yang suka menggambar. Seolah hidupnya terbagi menjadi dua era: sebelum dan sesudah.
Dari kepingan-kepingan itu, aku mulai menyusun sebuah gambaran samar. Elang adalah seorang musisi. Dia memiliki seorang putri bernama Alya, yang ia panggil "matahari". Sesuatu yang tragis telah terjadi, sesuatu yang merenggut Alya darinya dan menghentikan musik dalam hidupnya.
Ritual jalannya setiap pukul tiga sore mulai terasa lebih masuk akal. Itu bukan sekadar jalan-jalan tanpa tujuan. Aku mulai curiga jalan itu memiliki makna. Mungkin rute itu melewati tempat-tempat yang penuh kenangan. Sekolah Alya? Taman bermain favorit mereka? Toko es krim tempat mereka biasa jajan?
Rasa penasaranku yang dulu terfokus pada "siapa" dia, kini beralih menjadi "apa yang terjadi" padanya. Tapi aku tidak berani bertanya. Aku takut pertanyaanku akan merusak kepercayaan yang dengan susah payah mulai ia berikan padaku. Kepercayaan yang ia titipkan dalam setiap cangkir kopi hitam dan setiap jeda hening di antara percakapan kami.
Suatu sore, aku memberanikan diri. Aku membawa buku sketsaku yang sudah lama tidak tersentuh ke kedai. Saat Elang sedang menikmati kopinya dalam diam, aku duduk di meja yang tak jauh darinya dan mulai menggambar. Aku tidak menggambar wajahnya, tentu saja tidak. Aku menggambar secangkir kopi, dengan uap yang membubung membentuk not-not balok yang samar.
Dia memperhatikanku. Aku bisa merasakannya.
"Kamu masih menggambar," katanya setelah beberapa saat. Itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan.
Aku mengangkat kepala dan tersenyum. "Hanya untuk iseng. Mencoba melatih tangan yang sudah kaku."
"Boleh aku lihat?"
Aku ragu sejenak, lalu mengangguk dan memberikan buku sketsaku padanya. Dia membukanya dengan hati-hati. Halaman demi halaman, ia melihat sketsa-sketsa lamaku: potret Kakek, sudut-sudut Aroma Waktu, bunga-bunga dari toko sebelah, dan beberapa karakter fantasi dari imajinasiku.
Dia berhenti cukup lama di sebuah halaman yang berisi gambar seorang gadis kecil berayun tinggi, rambutnya terbang ditiup angin, kakinya menendang ke arah langit.
"Ini indah," bisiknya.
"Terima kasih," jawabku pelan.
Dia mengembalikan buku itu padaku. Matanya tampak berkaca-kaca. "Alya... dia akan suka gambarmu."
Jantungku berdenyut sakit untuknya. Aku ingin sekali merengkuhnya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun aku tahu itu adalah sebuah kebohongan. Tapi aku tidak melakukannya. Aku hanya duduk di sana, membiarkan keheningan yang penuh empati menyelimuti kami berdua.
Saat itu aku sadar, aku tidak lagi hanya seorang pemilik kedai kopi baginya, dan dia bukan lagi sekadar pelanggan misterius bagiku. Kami telah menjadi dua orang asing yang secara perlahan saling menyembuhkan luka dengan cara kami sendiri. Dia dengan memberikan fragmen ceritanya, dan aku dengan memberikan ruang yang aman baginya untuk meletakkan fragmen-fragmen itu.
Aroma Waktu bukan lagi hanya benteng pertahananku. Kini, tempat itu juga menjadi tempat perlindungan bagi Elang. Sebuah tempat di mana Pria Jam Tiga Sore akhirnya bisa berhenti berjalan sejenak dan menyesap pahit manisnya kenangan dalam secangkir kopi hitam.
Bab 5: Gema Musik yang Hilang
Rasa penasaranku tentang masa lalu Elang sebagai pianis semakin besar. Aku mencoba mencarinya di internet. Aku memasukkan kata kunci "Elang pianis Indonesia", "musisi klasik Elang", dan berbagai variasinya. Awalnya nihil. Terlalu banyak nama Elang, dan tidak ada satu pun yang tampak cocok dengan sosok melankolis yang biasa duduk di kedai kopiku.
Aku hampir menyerah, menganggap mungkin dia hanya seorang pianis amatir atau guru les piano. Hingga suatu malam, saat iseng mengubah kata kunci pencarian, aku menemukan sesuatu. Aku mencoba mencari dengan nama lengkap yang mungkin: "Elang Pratama". Dan hasilnya muncul.
Sebuah artikel lama dari sebuah majalah musik daring, tertanggal lima tahun yang lalu. Judulnya: "Elang Pratama: Maestro Muda yang Menghidupkan Kembali Klasik". Foto yang terpampang di artikel itu membuatku menahan napas. Itu dia. Lebih muda, dengan sorot mata yang berapi-api dan penuh gairah, senyum percaya diri tersungging di bibirnya. Dia tampak seperti orang yang sama sekali berbeda, namun aku mengenalinya. Itu adalah Elang sebelum dunianya runtuh.
Artikel itu memujinya setinggi langit. Elang Pratama disebut sebagai salah satu talenta piano klasik paling menjanjikan di generasinya. Konser-konsernya selalu penuh sesak. Interpretasinya terhadap karya-karya komposer romantis seperti Rachmaninoff dan Liszt dianggap brilian dan penuh jiwa. Artikel itu juga menyebutkan tentang istrinya, seorang penari balet bernama Rania, dan putri kecil mereka, Alya. Mereka digambarkan sebagai keluarga seniman yang sempurna dan harmonis.
Aku terus menggali. Aku menemukan video-video penampilannya di YouTube. Aku melihat jemarinya menari di atas tuts-tuts piano dengan kecepatan dan keanggunan yang luar biasa. Musik yang mengalir dari piano itu begitu kuat, begitu emosional, hingga aku bisa merasakannya meresap ke dalam tulangku. Sulit dipercaya bahwa pria dengan api sebesar itu di dalam dirinya adalah pria yang sama yang kini berjalan dengan langkah kosong setiap sore.
Lalu, pencarianku sampai pada titik henti. Sekitar tiga setengah tahun yang lalu, semua jejaknya di dunia musik tiba-tiba lenyap. Tidak ada lagi jadwal konser, tidak ada lagi wawancara, tidak ada lagi album baru. Elang Pratama seolah ditelan bumi.
Aku beralih mencari berita dari sekitar waktu itu. Dan hatiku hancur saat menemukannya. Sebuah berita kecelakaan lalu lintas. Sebuah mobil kehilangan kendali di jalan tol yang basah karena hujan. Dua korban jiwa: Rania dan Alya Pratama. Elang, yang mengemudikan mobil, selamat dengan luka fisik ringan.
Aku mematikan laptopku, tubuhku gemetar. Semuanya menjadi jelas sekarang. Ritual jalannya, kesedihannya yang tak bertepi, musik yang berhenti mengalun dari hidupnya. Dia tidak hanya kehilangan putri dan istrinya, dia juga kehilangan dirinya sendiri di dalam tragedi itu. Rasa bersalah pasti telah menggerogotinya hidup-hidup.
Setiap pukul tiga sore, waktu di mana kecelakaan itu mungkin terjadi, dia berjalan. Bukan sekadar mengenang, tapi menghukum dirinya sendiri. Menghidupkan kembali trauma itu setiap hari, berjalan di atas jejak rasa sakitnya. Gantungan kunci sayap malaikat itu bukan sekadar kenang-kenangan. Itu adalah satu-satunya peninggalan fisik dari malaikat kecilnya yang berhasil ia selamatkan.
Keesokan harinya, saat Elang datang, aku menatapnya dengan cara yang berbeda. Di balik wajahnya yang tenang, aku kini bisa melihat puing-puing tragedi yang ia pikul. Aku merasakan gelombang empati yang begitu kuat hingga rasanya menyakitkan.
Hari itu, aku melakukan sesuatu yang impulsif. Setelah menyajikan kopi hitamnya, aku berjalan ke sudut ruangan tempat piringan hitam kakekku tersimpan. Dengan tangan sedikit gemetar, aku memilih sebuah album. Bukan Chopin atau Mozart. Melainkan sebuah album kompilasi lagu anak-anak klasik Indonesia.
Aku meletakkan piringan itu di atas pemutar dan jarum pun turun. Melodi ceria "Naik-Naik ke Puncak Gunung" mulai mengalun lembut di seluruh ruangan.
Elang langsung mengangkat kepalanya. Tubuhnya menegang. Matanya menatapku dengan ekspresi yang tak terbaca. Ada keterkejutan, kebingungan, dan mungkin... sedikit kemarahan.
Aku takut aku telah melangkah terlalu jauh. Mungkin aku telah lancang menyentuh luka yang paling dalam. Aku siap untuk mematikannya jika dia meminta.
Tapi dia tidak berkata apa-apa. Dia hanya duduk mematung, mendengarkan lagu anak-anak yang sederhana itu. Rahangnya mengeras. Aku bisa melihat pergulatan batin di matanya. Setelah lagu pertama selesai dan berganti dengan "Balonku Ada Lima", dia akhirnya memecah keheningan.
"Kenapa kamu memutar ini?" tanyanya, suaranya serak.
"Aku tidak tahu," jawabku jujur, suaraku nyaris berbisik. "Aku hanya berpikir... kedai ini butuh sedikit keceriaan hari ini."
Dia menundukkan kepalanya, menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. Bahunya bergetar hebat. Dia menangis. Bukan tangisan meraung-raung, melainkan tangisan sunyi seorang pria yang telah menahan bebannya terlalu lama. Air mata jatuh tanpa suara ke atas meja kayu.
Hatiku ikut menangis bersamanya. Aku berjalan mendekat dan duduk di kursi di seberangnya. Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku tidak menyentuhnya. Aku hanya menemaninya, membiarkan musik anak-anak itu menjadi saksi bisu dari kesedihan yang akhirnya menemukan jalan keluarnya.
Dia menangis cukup lama. Saat akhirnya ia mengangkat kepalanya, matanya merah dan bengkak, tetapi sorotnya tampak sedikit lebih ringan. Seolah sebagian beban berat yang membebani jiwanya telah terangkat.
"Setiap malam sebelum tidur," katanya dengan suara parau. "Aku akan memainkan lagu-lagu itu untuk Alya dengan piano. Dia akan bernyanyi dengan suaranya yang sumbang tapi penuh semangat."
Dia tersenyum. Senyum pertama yang benar-benar mencapai matanya. Senyum yang menyakitkan sekaligus indah.
"Terima kasih, Lara," katanya. "Terima kasih sudah mengingatkanku pada musiknya."
Sejak hari itu, sesuatu berubah. Dinding tak kasat mata di antara kami perlahan runtuh. Dia mulai lebih banyak bercerita tentang Alya dan Rania. Dia bercerita tentang bagaimana Rania akan menari di ruang tengah saat dia bermain piano. Dia bercerita tentang bagaimana Alya akan menempelkan stiker bintang di tuts-tuts pianonya. Dia tidak lagi hanya membagikan fragmen kesedihan, tapi juga fragmen kebahagiaan.
Musik memang belum kembali ke dalam jemarinya, tapi gema dari musik yang hilang itu mulai terdengar lagi di antara kami. Gema tawa Alya, gema langkah dansa Rania, gema alunan piano yang pernah mengisi rumah mereka dengan cinta.
Dan aku, Lara, pemilik kedai kopi yang sepi, merasa terhormat bisa menjadi pendengar setia dari simfoni kenangan itu. Aku sadar peranku bukan lagi sekadar menyembuhkan, tapi juga untuk mengingat. Membantu Elang mengingat bahwa sebelum tragedi, hidupnya pernah dipenuhi oleh musik yang paling indah.
Bab 6: Langkah Pertama Menuju Rute Baru
Musim berganti. Panas terik Jakarta perlahan digantikan oleh sore-sore yang lebih sejuk dan berangin. Hubunganku dengan Elang pun turut berkembang, dari sekadar pemilik kedai dan pelanggan menjadi sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum memiliki nama. Kami adalah teman, orang kepercayaan, dua jiwa yang menemukan ketenangan dalam kebersamaan yang sunyi.
Dia masih melakukan ritual jalannya setiap pukul tiga. Tapi sekarang, sering kali tujuannya adalah pintu Aroma Waktu. Kedai kopiku bukan lagi sebuah interupsi dalam ziarah kesedihannya, melainkan bagian dari ziarah itu sendiri. Sebuah tempat perhentian di mana ia bisa meletakkan bebannya sejenak.
Suatu sore, aku melihatnya berjalan mendekat dengan sesuatu di tangannya. Bukan tas, bukan payung. Sebuah pot terakota kecil. Di dalamnya, tumbuh sebuah tanaman sukulen berwarna hijau dengan ujung kemerahan.
"Ini untukmu," katanya sambil meletakkan pot itu di atas meja bar. "Sebagai ucapan terima kasih... untuk semuanya."
Aku tertegun. "Elang, ini indah sekali. Kamu tidak perlu repot-repot."
"Bukan repot," katanya. "Rania suka sekali merawat sukulen. Dia bilang, tanaman ini seperti cinta. Tidak perlu disiram setiap hari, tapi butuh banyak cahaya matahari." Matanya menatapku, dan dalam sorotnya, aku melihat kehangatan yang tulus. "Kamu adalah cahaya matahari itu, Lara."
Jantungku berdebar begitu kencang hingga aku takut dia bisa mendengarnya. Pipiku terasa panas. Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku hanya bisa memandangi sukulen kecil itu, sebuah simbol kehidupan baru yang ia bawa ke dalam duniaku.
"Aku akan merawatnya baik-baik," janjiku dengan suara sedikit gemetar.
Pot sukulen itu menjadi penghuni baru di meja dekat jendela, di tempat Elang biasa duduk. Menjadi pengingat konstan akan ikatan kami yang semakin kuat.
Percakapan kami menjadi lebih ringan. Kami tidak lagi hanya bicara tentang masa lalunya. Kami bicara tentang hari ini. Dia akan bertanya bagaimana hariku, siapa saja pelanggan aneh yang datang. Aku akan bertanya apa yang ia lakukan sepanjang pagi. Jawabannya sering kali samar—"hanya membaca" atau "hanya berjalan-jalan"—tapi aku tidak lagi merasa perlu untuk menggali lebih dalam. Aku percaya dia akan memberitahuku jika dia sudah siap.
Kami menemukan humor-humor kecil. Aku akan menggodanya karena selalu memesan kopi yang sama. Dia akan mengomentari gambar latte art-ku yang kadang-kadang gagal dan lebih mirip gumpalan awan daripada angsa. Kami tertawa. Tawa Elang, yang dulu begitu langka, kini mulai sering terdengar di sudut-sudut Aroma Waktu. Suaranya serak dan sedikit kaku karena lama tidak digunakan, tapi itu adalah suara terindah yang pernah kudengar.
Rian, sang pengamat setiaku, hanya tersenyum penuh arti setiap kali melihat kami bersama. "Kopi hitam kayaknya manjur ya, Mbak," katanya suatu hari saat Elang sudah pulang. "Bisa bikin Pangeran Es mencair."
Aku hanya melempar lap bersih ke arahnya sambil tersenyum.
Titik balik yang sesungguhnya terjadi pada suatu hari Sabtu. Hari itu adalah hari ulang tahun Alya. Aku tahu karena beberapa hari sebelumnya, Elang menyebutkannya dengan nada pelan. Dia bilang, Alya akan berusia sembilan tahun.
Aku sudah menduga dia tidak akan datang ke kedai hari itu. Ini adalah hari yang terlalu personal, terlalu menyakitkan. Aku yakin dia akan menghabiskannya sendirian, tenggelam dalam ritualnya.
Pukul tiga sore datang dan pergi. Tidak ada tanda-tanda Elang. Hatiku terasa sedikit kosong. Aku menghabiskan sisa sore itu dengan perasaan cemas, membayangkannya berjalan sendirian di bawah langit yang kelabu, memeluk kesedihannya erat-erat.
Saat aku hendak menutup kedai menjelang malam, ponselku berdering. Nomor tidak dikenal. Aku ragu-ragu mengangkatnya.
"Halo?"
"Lara? Ini Elang."
Suaranya terdengar berbeda di telepon, lebih dekat dan lebih rentan. "Elang? Kamu tidak apa-apa?" tanyaku panik.
"Aku... aku baik-baik saja," jawabnya. "Aku hanya... aku ada di taman dekat komplek perumahan lama. Taman tempat aku dan Alya biasa bermain." Ada jeda. Aku bisa mendengar suara angin dan jangkrik di latar belakang. "Aku tidak ingin sendirian malam ini. Maukah kamu... menemaniku?"
Permintaannya begitu tulus, begitu rapuh. Tanpa berpikir dua kali, aku menjawab, "Kirimkan alamatnya. Aku akan ke sana."
Aku segera menutup kedai, memesan taksi online, dan bergegas menuju alamat yang ia kirimkan. Taman itu kecil dan remang-remang, hanya diterangi oleh beberapa lampu taman yang redup. Aku melihatnya duduk sendirian di sebuah ayunan, menatap kosong ke ayunan lain di sebelahnya yang bergerak pelan ditiup angin.
Aku berjalan mendekat dalam diam dan duduk di ayunan kosong itu. Untuk waktu yang lama, kami tidak berbicara. Kami hanya berayun pelan, maju dan mundur, dalam ritme yang menenangkan.
"Dia selalu minta diayun setinggi mungkin," Elang akhirnya berkata, memecah keheningan. "Dia akan tertawa terbahak-bahak, bilang dia bisa menyentuh bintang-bintang."
Aku tersenyum membayangkannya. "Dia pasti pemberani."
"Dia segalanya bagiku," bisik Elang.
Malam itu, di bawah kerlip bintang yang malu-malu, Elang menceritakan segalanya. Dia menceritakan detail kecelakaan itu. Hujan deras, jalanan licin, mobil dari arah berlawanan yang kehilangan kendali. Dia menceritakan keputusasaannya saat terbangun di rumah sakit dan mengetahui bahwa dia adalah satu-satunya yang selamat. Dia menceritakan rasa bersalah yang melumpuhkannya, yang membuatnya berhenti bermain musik, yang membuatnya meninggalkan rumah mereka karena setiap sudutnya meneriakkan kenangan.
Dia bercerita tentang bagaimana ritual jalannya dimulai. Rute itu adalah rute dari rumah lama mereka menuju sekolah Alya. Setiap hari, dia berjalan seolah sedang mengantar putrinya ke sekolah, sebuah perjalanan yang tidak akan pernah bisa ia selesaikan.
Aku mendengarkan semua itu, air mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Aku menangis untuk rasa sakitnya, untuk kehilangannya, untuk cinta luar biasa yang ia miliki untuk istri dan putrinya.
Saat ceritanya selesai, ia menatapku. Matanya yang basah memantulkan cahaya lampu taman. "Aku belum pernah menceritakan ini pada siapa pun," katanya.
"Terima kasih sudah memercayaiku, Elang," jawabku tulus.
Dia mengulurkan tangannya dan menyentuh pipiku, menghapus jejak air mataku dengan ibu jarinya. Sentuhannya lembut dan hangat. "Sejak aku bertemu denganmu, Lara... rasanya bebanku jadi sedikit lebih ringan. Kamu membuatku ingin mencoba berjalan di rute yang baru."
Jantungku berhenti berdetak. Dia mendekatkan wajahnya perlahan. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat. Aku tidak bergerak. Aku tidak menghindar. Di tengah taman kenangan yang penuh duka, aku merasa sebuah harapan baru mulai bersemi.
Dia menciumku. Sebuah ciuman yang lembut, ragu-ragu, dan penuh dengan emosi yang tak terucapkan. Itu bukan ciuman penuh gairah, melainkan ciuman yang penuh rasa syukur, kelegaan, dan janji akan sebuah awal yang baru.
Saat kami melepaskan diri, kami saling menatap dalam diam. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan. Malam itu, di hari ulang tahun malaikat kecilnya, Elang mengambil langkah pertamanya keluar dari jalur kesedihan yang telah ia tempuh selama bertahun-tahun. Dan aku, dengan segala kerendahan hati, merasa terhormat bisa berjalan di sisinya, menuju rute baru yang akan kami ciptakan bersama.
Bab 7: Simfoni Dua Hati
Ciuman di taman itu mengubah segalanya. Dinding terakhir di antara kami telah runtuh sepenuhnya, digantikan oleh jembatan keintiman yang kokoh. Keesokan harinya, saat lonceng pintu Aroma Waktu berbunyi tepat pukul tiga sore, Elang tidak masuk sendirian. Dia masuk sambil menggandeng tanganku.
Rian, yang sedang mengelap meja, nyaris menjatuhkan lapnya. Matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka, lalu seringai lebar terkembang di wajahnya. Dia mengacungkan dua jempol ke arahku saat Elang sedang tidak melihat. Aku hanya bisa tersipu dan menggelengkan kepala sambil tertawa kecil.
Hubungan kami tidak lagi terselubung dalam ambiguitas. Kami adalah sepasang kekasih. Kata itu terasa aneh dan mendebarkan saat pertama kali melintas di benakku. Elang tidak lagi hanya datang untuk minum kopi. Dia datang untuk menemuiku. Dia akan duduk di meja bar menemaniku bekerja, menceritakan hal-hal sepele yang ia baca di koran pagi. Kadang, jika kedai sedang sepi, dia akan membantuku, mengantarkan pesanan ke meja atau sekadar membereskan cangkir-cangkir kotor.
Melihatnya bergerak di dalam Aroma Waktu, di dalam duniaku, terasa begitu benar. Dia tidak lagi tampak seperti hantu yang tersesat. Dia tampak seperti seseorang yang telah menemukan tempatnya. Aroma kopi, kayu, dan hujan yang melekat padanya kini menyatu dengan aroma kedai, menciptakan wangi baru yang menjadi ciri khas kami.
Ritual jalannya masih ia lakukan, tetapi kini dengan makna yang berbeda. Itu bukan lagi sebuah ziarah penebusan dosa yang menyakitkan. Itu telah berubah menjadi sebuah perjalanan menuju harapan. Sering kali, setelah menyelesaikan rute kenangannya, ia akan langsung menuju kedai, dan senyum akan tersungging di bibirnya saat melihatku. Seolah perjalanannya melewati masa lalu hanya untuk menegaskan betapa ia bersyukur atas masa kini yang ia miliki bersamaku.
Suatu sore, saat kami sedang duduk berdua menikmati senja dari jendela kedai, aku memberanikan diri bertanya.
"Elang," panggilku lembut. "Pernahkah kamu berpikir... untuk bermain piano lagi?"
Dia terdiam. Tangannya yang sedang menggenggam tanganku sedikit menegang. Itu adalah topik sensitif yang selama ini kuhindari.
"Aku tidak tahu apakah aku masih bisa," jawabnya pelan, matanya menatap kosong ke tuts-tuts tak terlihat di atas meja. "Rasanya... seperti mengkhianati mereka."
"Bermain musik bukanlah sebuah pengkhianatan," kataku. "Itu adalah bagian dari dirimu. Rania jatuh cinta pada seorang pianis. Alya tertidur karena alunan pianomu. Musikmu bukan milik kesedihan, Elang. Musikmu adalah warisan cinta mereka."
Kata-kataku seolah menyentuh sesuatu di dalam dirinya. Dia menatapku lama, matanya berkaca-kaca. "Kamu selalu tahu apa yang harus dikatakan, ya?" bisiknya.
Aku hanya tersenyum dan meremas tangannya lebih erat. Aku tidak memaksanya lebih jauh. Aku tahu, seperti halnya ritual jalannya, keputusan untuk kembali ke musik harus datang dari dirinya sendiri, pada waktunya sendiri.
Beberapa minggu kemudian, dia datang ke kedai dengan ekspresi yang berbeda. Ada semacam tekad dan kegugupan di matanya.
"Tutup kedai lebih awal hari ini," katanya. "Ada tempat yang ingin kutunjukkan padamu."
Penasaran, aku pun menuruti permintaannya. Setelah memasang tanda "TUTUP" di pintu, aku mengikutinya. Dia tidak membawaku ke taman atau restoran. Dia membawaku ke sebuah gedung apartemen tua yang tampak tak terawat. Kami naik lift yang berderit ke lantai paling atas. Dia kemudian membuka sebuah pintu dengan kunci yang tampak sudah lama tidak digunakan.
"Ini... studio lamaku," katanya sambil menyalakan lampu.
Ruangan itu berdebu dan pengap. Perabotannya ditutupi kain putih, membuatnya tampak seperti pemakaman furnitur. Di tengah ruangan, berdiri sebuah objek besar yang juga tertutup kain. Sebuah grand piano.
"Setelah kecelakaan itu, aku tidak pernah sanggup kembali ke rumah kami," jelasnya. "Aku menyewa apartemen kecil dan menyimpan semua barang dari ruang musikku di sini. Lalu aku menguncinya dan tidak pernah kembali."
Dia berjalan perlahan ke arah piano itu. Dengan gerakan ragu-ragu, seolah takut pada apa yang akan ia temukan di baliknya, ia menarik kain penutup itu.
Debu beterbangan di udara. Di bawahnya, sebuah grand piano hitam yang megah berdiri dalam keheningan. Permukaannya kusam, tetapi kemegahannya tidak luntur. Ada beberapa stiker bintang yang warnanya sudah pudar menempel di beberapa tutsnya. Peninggalan Alya.
Aku menahan napas, merasakan kesakralan momen itu. Elang berdiri mematung di depan piano itu, pertempuran batin terlihat jelas di wajahnya.
Aku berjalan mendekat dan berdiri di sisinya. "Dia menunggumu," bisikku.
Elang menatapku, lalu kembali menatap piano itu. Dengan tarikan napas dalam, ia duduk di bangku piano. Jemarinya melayang di atas tuts-tuts yang berdebu, tidak menyentuhnya, seolah takut akan membangkitkan sesuatu yang menyakitkan.
Aku menunggu dengan sabar. Seluruh alam semesta seolah ikut menahan napas.
Lalu, dengan sangat perlahan, ia menekan satu tuts.
Sebuah nada Do yang sumbang dan sedikit teredam karena debu mengalun di ruangan yang sunyi.
Suara itu seolah memecahkan mantra. Elang menutup matanya. Jemarinya mulai bergerak. Awalnya lambat dan ragu-ragu, memainkan melodi yang sederhana dan melankolis. Sebuah lagu yang belum pernah kudengar, penuh dengan kesedihan dan kerinduan. Itu adalah lagu perpisahannya.
Air mataku kembali mengalir saat mendengarkan musiknya. Aku bisa merasakan semua rasa sakit, kehilangan, dan penyesalan yang ia tuangkan dalam setiap nada.
Namun, perlahan, musik itu mulai berubah. Temponya meningkat. Harmoninya menjadi lebih kompleks. Ada secercah harapan yang menyusup masuk, not-not yang lebih cerah mulai menari di antara melodi yang kelam. Musik itu seolah menceritakan perjalanannya: dari kegelapan yang pekat, pertemuannya denganku di tengah hujan, percakapan kami di Aroma Waktu, hingga ciuman kami di taman.
Puncaknya, musik itu meledak menjadi sebuah simfoni yang megah dan penuh kemenangan. Itu bukan lagi lagu kesedihan. Itu adalah lagu tentang bertahan hidup, tentang menemukan kembali cinta, tentang harapan. Jemarinya yang dulu terasa kaku kini menari dengan kekuatan dan gairah yang sama seperti yang kulihat di video lamanya. Api di dalam dirinya telah menyala kembali.
Saat nada terakhir bergema dan menghilang di ruangan itu, Elang membuka matanya. Dia menatapku, napasnya terengah-engah, wajahnya basah oleh keringat dan air mata. Tapi di matanya, aku tidak lagi melihat kehampaan. Aku melihat kehidupan.
"Aku menamainya 'Aroma Waktu'," katanya dengan suara serak. "Karena di sanalah aku menemukan waktuku kembali. Karena di sanalah aku menemukanmu."
Aku tidak bisa berkata-kata. Aku hanya bisa menghambur ke dalam pelukannya, menangis dan tertawa pada saat yang bersamaan. Di dalam studio yang berdebu itu, diiringi gema simfoni dua hati kami, aku tahu ini bukanlah akhir dari cerita kami. Ini adalah awal dari babak baru yang akan kami tulis bersama, nada demi nada.
Epilog: Pria yang Datang Setiap Hari
Satu tahun kemudian.
Sore hari di Aroma Waktu terasa berbeda. Lebih hidup, lebih hangat. Pot sukulen dari Elang telah tumbuh subur di dekat jendela, ditemani oleh beberapa tanaman hias lainnya. Di dinding bata ekspos, kini tergantung sebuah foto baru di antara foto-foto perkebunan kopi kakekku. Foto aku dan Elang, tertawa di taman, dengan ayunan di latar belakang.
Lonceng pintu berbunyi, menandakan pelanggan datang. Tapi aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa itu. Aku bisa mengenalinya dari langkah kakinya yang kini lebih ringan dan penuh semangat.
Elang masuk, membawa aroma sore hari bersamanya. Dia tidak lagi mengenakan pakaian yang sama setiap hari. Hari ini dia memakai sweter rajut berwarna terang yang kupilihkan untuknya. Dia tersenyum lebar saat melihatku di belakang meja bar.
"Kopi hitam seperti biasa, Nona Lara?" tanyanya dengan nada jenaka.
"Tentu saja, Tuan Pianis," balasku sambil tertawa.
Dia tidak lagi menjadi Pria Jam Tiga Sore. Dia kini adalah pria yang datang setiap hari, di jam yang tidak menentu. Kadang pagi hari untuk membantuku membuka kedai, kadang siang hari untuk makan siang bersama, kadang malam hari untuk menjemputku pulang. Ritualnya tidak lagi terikat pada waktu atau rute, melainkan terikat padaku.
Setelah membersihkan studionya, Elang mengubah tempat itu menjadi ruang kerja pribadinya. Dia mulai menggubah musik lagi. Bukan untuk panggung atau konser besar, tapi untuk dirinya sendiri. Untukku. Sering kali, malam hari setelah kedai tutup, kami akan pergi ke sana. Aku akan duduk di sofa sambil membaca atau membuat sketsa, sementara dia memainkan melodi-melodi baru yang indah untukku. Musik telah kembali menjadi bahasa cintanya.
Dia tidak pernah melupakan Rania dan Alya. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari dirinya. Tapi kini, dia membicarakan mereka dengan senyum, bukan dengan air mata. Dia menceritakan kenangan-kenangan lucu tentang mereka, berbagi kebahagiaan masa lalunya denganku tanpa merasa bersalah. Kami bahkan mengunjungi makam mereka bersama-sama, meletakkan bunga lili putih kesukaan Rania dan sebuah gambar kuda terbang yang kugambar khusus untuk Alya. Di sana, di hadapan mereka, Elang menggenggam tanganku dan berkata, "Mereka pasti akan menyukaimu, Lara." Dan aku percaya itu.
Malam itu, setelah menutup kedai, kami berjalan pulang bergandengan tangan, menyusuri trotoar yang dulu menjadi saksi bisu ziarah kesedihannya.
"Kamu tahu," kataku sambil menatap profil wajahnya yang kini lebih sering dihiasi senyum. "Aku dulu sangat penasaran denganmu. Aku membuat berbagai macam cerita di kepalaku tentang siapa dirimu."
Dia terkekeh. "Oh ya? Cerita seperti apa?"
"Rahasia," godaku. "Tapi tidak ada satu pun ceritaku yang sebagus kisah nyata kita."
Dia berhenti berjalan, menarikku lebih dekat, dan menciumku di bawah cahaya lampu jalan. "Kisah kita memang yang terbaik," bisiknya. "Dan ini baru permulaan."
Saat kami melanjutkan langkah, aku menatap bayangan kami yang memanjang di trotoar. Dua orang yang dipertemukan oleh takdir, oleh sebuah kunci yang terjatuh, dan oleh secangkir kopi hitam. Dia, seorang pria yang berjalan keluar dari masa lalunya. Dan aku, seorang wanita yang menemukan masa depanku di ujung jalannya.
Pria Jam Tiga Sore telah menemukan rumahnya. Bukan di rute jalanan yang sepi, tapi di sini, di dalam Aroma Waktu, di dalam hatiku. Dan aku tahu, simfoni kami akan terus mengalun, selamanya.