Cerpen
Disukai
0
Dilihat
1,022
Gema di dalam kepala
Thriller

Bagian I: Resonansi Awal

Dunia Adrian terbuat dari suara. Bukan musik, bukan obrolan, melainkan tekstur sonik dari keberadaan itu sendiri. Baginya, keheningan adalah sebuah kebohongan; kanvas kosong yang menunggu untuk dilukahi oleh decit, desis, dan dengung yang tak terhindarkan. Apartemennya, sebuah studio di lantai dua belas yang menghadap ke rimba beton Jakarta yang tak pernah tidur, adalah laboratorium sekaligus kuilnya. Di sinilah ia membedah, menjahit, dan memahat gelombang suara menjadi emosi. Adrian adalah seorang sound designer, seorang arsitek ketakutan dan keajaiban untuk film-film yang mungkin tidak akan pernah kau ingat namanya, tetapi suaranya akan merayap di bawah kulitmu.

Malam itu, seperti ratusan malam sebelumnya, ia sedang bekerja. Proyek terbarunya adalah sebuah film horor psikologis berjudul Sang Penunggu. Tugasnya: menciptakan atmosfer audio untuk sebuah rumah tua yang ditinggali oleh arwah penasaran. Ironis, ia tahu. Ia menggeser-geser kursor di layar monitornya, memadukan suara langkah kaki di atas kayu lapuk dengan desah angin yang ia rekam sendiri di sebuah bangunan terbengkalai di Kota Tua. Jarinya menari di atas mixing console, menaikkan sedikit level frekuensi rendah dari suara napas yang serak, memberinya bobot yang terasa menekan dada.

Sempurna.

Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan mata, dan membiarkan karyanya menyelimutinya melalui headphone monitor seharga sepeda motor. Langkah kaki. Angin. Napas. Lalu sesuatu yang lain.

Sebuah bisikan.

Sangat samar, nyaris tenggelam dalam desis analog yang sengaja ia tambahkan untuk nuansa retro. Adrian menegakkan tubuhnya, jemarinya membeku di atas tombol pause. Ia memutar ulang sepuluh detik terakhir. Langkah kaki. Angin. Napas. Tidak ada apa-apa. Ia pasti kelelahan. Kopi keempatnya malam ini mulai terasa seperti air aki di lambungnya, dan jam digital di sudut layar menunjukkan pukul 02:17. Waktunya para hantu dan tenggat waktu keluar untuk bermain.

Ia melepas headphone dan mengusap wajahnya. Keheningan apartemen menyergapnya—bukan keheningan total, tentu saja. Ada dengung rendah dari kulkas di sudut dapur, desis pendingin ruangan, dan raungan samar sirene dari kejauhan. Orkestra malam Jakarta. Normal. Semuanya normal.

Ia kembali memasang headphone, siap melanjutkan pekerjaan. Kali ini ia mengisolasi setiap track audio. Track satu: langkah kaki, bersih. Track dua: angin, bersih. Track tiga: napas serak, bersih. Track empat: desis analog... bersih. Ia memutar semuanya bersamaan lagi. Langkah kaki. Angin. Napas. Desis.

“Bukan salahmu.”

Kali ini lebih jelas. Sebuah bisikan perempuan. Lembut, penuh sesal, namun terdistorsi, seolah datang dari balik dinding air. Jantung Adrian berdebam satu kali, keras, seolah memprotes. Ini tidak mungkin. Ia yang merekam semua ini. Ia yang menyusunnya. Tidak ada vokal dalam adegan ini. Ia memeriksa kembali properti setiap file audio, mencari anomali, jejak digital yang tidak seharusnya ada. Nihil.

"Stres," gumamnya pada diri sendiri, suaranya terdengar asing di ruangan yang sunyi. "Hanya stres." Ini disebut Auditory Pareidolia, fenomena psikologis di mana otak mencoba menemukan pola atau makna dalam suara acak. Sebagai seorang profesional audio, ia tahu betul tentang itu. Otaknya hanya sedang mempermainkannya, memproyeksikan hantu ke dalam mesinnya.

Ia memutuskan untuk menyerah pada malam itu. Pekerjaan bisa menunggu. Kewarasannya mungkin tidak. Setelah memastikan semua pintu dan jendela terkunci—sebuah ritual yang ia lakukan dua kali setiap malam—ia merebahkan diri di tempat tidur. Dengung kulkas terdengar lebih keras sekarang. Desis AC terasa lebih tajam. Setiap suara kecil di sekitarnya menjadi tersangka. Ia menarik selimut hingga ke dagu, memejamkan mata, dan mencoba memaksa otaknya untuk diam.

Dan di ambang kesadaran, di antara bayangan dan mimpi, bisikan itu kembali. Kali ini tidak melalui headphone, tidak dari pengeras suara. Kali ini, gema itu terasa lahir dari dalam tempurung kepalanya sendiri.

“Bukan salahmu.”

Seminggu berlalu. Gema itu menjadi tamu yang tak diundang, datang dan pergi sesuka hati. Kadang ia muncul di tengah derau mesin fotokopi di kantor klien, kadang di sela-sela musik yang diputar di kafe tempatnya membeli kopi pagi. Selalu sama: bisikan perempuan yang terdistorsi, mengucapkan kalimat yang sama. “Bukan salahmu.”

Adrian berusaha melawannya dengan logika. Ia tidur lebih awal, mengurangi kafein, bahkan mencoba meditasi selama lima menit yang terasa seperti satu jam penyiksaan hening. Namun, gema itu tetap ada, bayangan sonik yang membuntutinya. Pekerjaannya mulai terganggu. Ia menjadi ragu pada telinganya sendiri, aset paling berharga yang ia miliki. Apakah desingan halus di track audio itu memang ada di sana, atau itu hanya sepupu jauh dari gema di kepalanya?

Hari itu ia bertemu dengan Elara, tetangga sebelah apartemennya. Mereka biasanya hanya bertukar senyum canggung di lorong, tetapi hari itu lift sedang dalam perbaikan dan mereka terpaksa menuruni dua belas lantai bersama lewat tangga darurat. Elara adalah seorang ilustrator lepas, dengan rambut ikal yang selalu terlihat sedikit berantakan dan noda cat samar di ujung jarinya.

"Proyek film horor lagi?" tanyanya, napasnya sedikit terengah.

Adrian mengangguk. "Bagaimana kau tahu?"

"Aku bisa mendengarnya kadang-kadang," jawab Elara sambil tersenyum. "Suara pintu berderit, lolongan serigala... sekitar jam tiga pagi. Dinding kita ini sepertinya terbuat dari kardus."

Adrian merasakan dingin menjalari punggungnya. "Kau... mendengar yang lain? Suara... perempuan, mungkin?"

Elara mengerutkan kening. "Perempuan? Tidak. Hanya efek suara seram dan sesekali kau mengumpat pada komputermu. Kenapa? Ada aktris yang datang ke apartemenmu?" Ia mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka.

"Ah, tidak. Bukan apa-apa. Hanya... bagian dari proyek," Adrian berbohong.

Percakapan itu membuatnya semakin gelisah. Jika Elara tidak mendengarnya, berarti suara itu benar-benar tidak ada di dunia fisik. Sumbernya adalah dirinya. Pikiran itu menakutkan, tetapi entah kenapa, juga sedikit melegakan. Jika ini adalah masalah psikologis, setidaknya ada jalurnya: terapis, mungkin obat-obatan. Itu lebih baik daripada kemungkinan bahwa apartemennya benar-benar berhantu.

Malamnya, ia mencoba sebuah eksperimen. Ia mematikan semua peralatan di studionya, bahkan mencabut kabel kulkas dan mematikan unit AC sentral. Ia duduk di tengah ruangan dalam keheningan yang absolut dan menekan. Hanya detak jantungnya sendiri dan aliran darah di telinganya yang terdengar. Ia menunggu. Satu jam. Dua jam. Tidak ada. Gema itu sepertinya membutuhkan media, sebuah suara lain untuk ditumpangi.

Tepat saat ia mulai merasa lega, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah nomor tak dikenal. Biasanya ia akan mengabaikannya, tetapi malam itu, rasa penasaran mengalahkan kehati-hatian. Ia mengangkatnya.

"Halo?"

Hanya ada suara statik di seberang sana. Desis putih yang kasar, seperti radio yang kehilangan sinyal. Ia hampir menutup telepon ketika ia mendengarnya. Di sela-sela derau statik itu, lebih jelas dari sebelumnya, lebih dekat.

"Kau membiarkannya terjadi."

Kalimatnya berubah. Tuduhannya berevolusi. Jantung Adrian serasa diremas. Ponsel itu terlepas dari genggamannya, jatuh ke lantai dengan bunyi plastik yang memekakkan. Ini bukan lagi pareidolia. Ini bukan lagi stres. Ini adalah sesuatu yang lain. Sesuatu yang aktif. Sesuatu yang mengenalnya.

Pikirannya melesat panik. Siapa? Siapa yang melakukan ini? Bagaimana? Apakah ponselnya diretas? Apakah apartemennya disadap? Paranoia, yang tadinya hanya benih kecil, kini mekar menjadi bunga berduri yang menyesakkan dadanya. Ia merangkak, memungut ponselnya seolah itu adalah seekor ular berbisa. Layarnya sudah kembali gelap. Tidak ada jejak panggilan masuk. Seolah-olah telepon itu tidak pernah terjadi.

Malam itu, Adrian tidak tidur. Ia duduk di sofa, memeluk lututnya, menatap ke dalam kegelapan. Setiap bayangan tampak memanjang, setiap suara dari jalanan di bawah terdengar seperti ancaman. Gema di kepalanya kini telah menemukan gema di dunia luar. Batas antara internal dan eksternal mulai kabur, dan Adrian merasa dirinya tenggelam di antara keduanya. Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya bukan salahnya? Apa yang telah ia biarkan terjadi?

Pikirannya mencoba menggali masa lalu, mencari sebuah dosa, sebuah kelalaian yang mungkin menjadi jangkar bagi hantu ini. Tetapi yang ia temukan hanyalah kabut. Ada sebuah lubang hitam dalam ingatannya, beberapa tahun yang lalu, sebuah periode yang terasa buram dan tidak fokus. Sebuah kecelakaan, bisik sebuah sudut gelap di benaknya. Ya, ada sebuah kecelakaan mobil. Tetapi detailnya hilang, tertutup oleh amnesia parsial yang didiagnosis dokter sebagai respons trauma. Mereka bilang ia beruntung bisa selamat dengan beberapa tulang rusuk patah dan gegar otak ringan. Mereka tidak pernah memberitahunya lebih banyak, dan ia tidak pernah bertanya.

Hingga malam ini, ia tidak pernah punya alasan untuk melakukannya.

Bagian II: Disonansi yang Memuncak

Ketakutan Adrian kini memiliki wujud. Bukan lagi sekadar hantu sonik yang tak berwujud, melainkan sebuah agresi yang terarah. Seseorang, atau sesuatu, sedang mempermainkannya. Pertanyaan "apa" telah bergeser menjadi "siapa". Daftar tersangkanya pendek, karena lingkar pergaulannya memang sekecil itu. Di urutan teratas adalah Beno.

Beno adalah mantan kolega, seorang sound engineer berbakat yang sama ambisiusnya dengan Adrian. Mereka pernah menjadi teman, atau setidaknya versi pertemanan yang bisa terjalin di antara dua orang rival. Persahabatan mereka retak setahun yang lalu ketika mereka berdua bersaing untuk sebuah proyek besar di sebuah studio film ternama. Adrian yang mendapatkannya. Beno tidak menerimanya dengan baik. Ia mengucapkan selamat dengan senyum yang tidak pernah sampai ke matanya, dan sejak itu hubungan mereka mendingin menjadi basa-basi profesional yang canggung.

Beno ahli dalam teknologi audio. Jika ada orang yang mampu menyusup ke dalam sistem pengeras suara seseorang, meretas saluran telepon dengan audio terdistorsi, dialah orangnya. Motifnya? Balas dendam yang kejam dan rumit. Menghancurkan aset terbesar Adrian—telinga dan kewarasannya—akan menjadi kemenangan yang memuaskan bagi ego Beno yang terluka.

Didorong oleh campuran paranoia dan tekad, Adrian memulai penyelidikan amatirnya. Ia mulai memperhatikan sekelilingnya dengan kewaspadaan seekor mangsa. Ia memasang aplikasi di ponselnya untuk mendeteksi perangkat penyadap. Ia memeriksa setiap sudut apartemennya, setiap stopkontak, setiap ventilasi udara, mencari lensa kamera sekecil lubang jarum atau mikrofon mini. Ia tidak menemukan apa pun, yang entah kenapa membuatnya semakin cemas. Itu hanya berarti pelakunya sangat, sangat ahli.

Suatu sore, saat sedang membeli makan siang, ia melihat Beno di seberang jalan, sedang berbicara di telepon. Kontak mata mereka bertemu sesaat. Beno tersenyum tipis dan mengangguk, sebelum kembali melanjutkan percakapannya. Senyum itu. Senyum yang sama seperti saat ia kalah dalam perebutan proyek itu. Dingin, penuh rahasia. Bagi Adrian, itu adalah sebuah pengakuan.

Gema itu terus berevolusi. Kadang-kadang ia akan mendengar suara pecahan kaca yang sangat singkat, atau derit ban mobil yang mengerem mendadak, tersembunyi di dalam lagu yang ia putar di Spotify. Fragmen-fragmen suara ini mulai memicu kilasan gambar di benaknya. Hujan deras yang memburamkan kaca depan mobil. Lampu jalanan yang pecah menjadi kaleidoskop warna. Aroma ozon dan logam yang terbakar. Wajah seseorang di kursi penumpang, berteriak tanpa suara.

Kenangan itu seperti pecahan beling; tajam, menyakitkan, dan tidak lengkap. Setiap kali ia mencoba untuk fokus pada salah satu kepingan, kepingan itu akan hancur menjadi debu, meninggalkan sakit kepala yang berdenyut.

Hubungannya dengan Elara menjadi jangkar sekaligus sumber kecemasan. Suatu malam, Elara mengetuk pintunya, membawakannya semangkuk sup ayam. "Kau terlihat pucat akhir-akhir ini," katanya, matanya yang jernih memancarkan kekhawatiran tulus. "Dan apartemenmu terdengar lebih... sunyi. Tidak ada lagi monster yang mengaum."

Adrian ragu-ragu sebelum mempersilakannya masuk. Sebagian dari dirinya ingin berteriak, menceritakan segalanya—tentang gema, tentang Beno, tentang lubang di ingatannya. Tapi bagian lainnya, bagian yang dominan, membisikkan peringatan. Bagaimana jika Elara adalah bagian dari ini? Bagaimana jika kebaikannya hanyalah sebuah topeng? Sebuah cara untuk memonitornya dari dekat?

"Hanya sedang jenuh dengan proyek itu," dusta Adrian, memaksakan seulas senyum. "Perlu sedikit istirahat."

"Baiklah," kata Elara, meletakkan mangkuk sup di meja. "Tapi jika kau butuh teman bicara... atau seseorang untuk memastikan tidak ada hantu di bawah tempat tidurmu, aku ada di sebelah."

Kebaikan Elara terasa seperti duri. Ia berterima kasih, dan setelah Elara pergi, ia menatap sup itu selama hampir satu jam sebelum membuangnya ke tempat sampah, takut sup itu telah dibubuhi sesuatu. Malam itu, ia membenci dirinya sendiri karena telah menjadi orang yang seperti ini.

Titik baliknya datang pada hari Jumat. Adrian sedang berada di studionya, dengan gugup mencoba menyelesaikan pekerjaannya untuk Sang Penunggu. Ia sedang mengerjakan adegan klimaks, di mana sang protagonis akhirnya berhadapan dengan arwah di rumahnya. Ia membutuhkan suara bisikan yang benar-benar mengerikan. Dengan enggan, ia memutuskan untuk menggunakan senjatanya sendiri. Ia akan merekam 'gema' itu jika muncul lagi, lalu memanipulasinya untuk film. Jika ia harus gila, setidaknya ia akan dibayar untuk itu.

Ia menyalakan mikrofon kondensornya yang paling sensitif, sebuah Neumann U 87, dan meletakkannya di tengah ruangan. Ia memutar white noise dari pengeras suaranya dengan volume rendah, menciptakan kanvas sonik bagi gema itu untuk melukis. Ia menunggu, napasnya tertahan.

Lima menit. Sepuluh menit. Hening.

Tiba-tiba, dari headphone-nya, ia mendengarnya.

"Kau seharusnya tidak meninggalkannya."

Lebih jelas. Lebih tajam. Dan kali ini, di belakang bisikan itu, ada suara lain yang sangat samar. Suara detak. Tik... tok... tik... tok... Seperti sebuah metronom. Atau jam.

Jantung Adrian berpacu. Ia tidak mematikan rekamannya. Ia justru menaikkan gain pada mikrofon, mencoba menangkap setiap detail. Detak itu. Ia pernah mendengarnya di suatu tempat. Itu bukan suara jam biasa. Itu... detak penanda sein mobil.

Dan kemudian, kilasan ingatan itu datang lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Hujan. Lampu jalanan. Aroma logam terbakar. Dan wajah itu. Wajah di kursi penumpang. Wajah adiknya, Maya.

Maya.

Nama itu meledak di benaknya seperti sebuah supernova, membawa serta gelombang kesedihan dan rasa bersalah yang begitu dahsyat hingga membuatnya terhuyung. Maya, adiknya yang meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun yang lalu. Kecelakaan yang sama yang merenggut sebagian ingatannya.

Gema itu bukan hantu acak. Itu adalah Maya. Atau lebih tepatnya, gema dari ingatannya tentang Maya.

Getaran di sakunya menyentakkannya kembali ke masa kini. Pesan masuk di ponselnya. Dari nomor tak dikenal.

Isinya hanya satu baris:

Kau ingat sekarang, kan?

Rasa dingin yang melumpuhkan merayap dari tulang punggungnya ke ujung jarinya. Ini bukan lagi permainan balas dendam biasa. Ini personal. Beno, atau siapa pun pelakunya, tidak hanya mencoba membuatnya gila. Ia mencoba membuatnya mengingat. Tapi untuk apa?

Matanya liar memindai studio. Paranoia mencapai puncaknya. Jika mereka bisa mengirim pesan, mereka bisa melihatnya. Jika mereka bisa melihatnya, mereka tahu ia sedang merekam. Dan jika mereka tahu ia sedang merekam...

Adrian menatap mikrofon Neumann di tengah ruangan. Sesuatu tentangnya terasa salah. Posisi kapsulnya sedikit bergeser dari yang terakhir ia atur. Dengan tangan gemetar, ia mendekatinya. Ia mengetuk pelan penyangga logamnya. Suaranya terdengar benar. Tapi kemudian ia melihatnya. Sebuah goresan kecil di dekat dasar mikrofon, di mana penyangga bertemu dengan badan mikrofon. Goresan yang seharusnya tidak ada di sana.

Dengan obeng kecil dari perangkat pembersihnya, ia membuka sekrup di dasar mikrofon. Penutup bawahnya terlepas dengan sekali klik. Dan di dalamnya, terselip di antara kabel-kabel rumit, ada sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Sebuah benda kecil berwarna hitam, lebih kecil dari kuku kelingking, dengan sebuah lensa mikro dan lampu LED biru yang berkedip samar.

Sebuah pemancar. Audio dan video.

Adrian mundur selangkah, napasnya tercekat di tenggorokan. Selama ini. Selama ini ia tidak gila. Ia tidak membayangkan semuanya. Gema itu nyata. Bukan berasal dari dalam kepalanya, tetapi sengaja disiarkan kepadanya. Mereka tidak hanya meretas ponselnya; mereka telah menyusup ke dalam kuilnya, menodai altarnya. Mereka telah mengubah alat kerjanya menjadi senjata untuk melawannya.

Rasa takutnya tidak hilang. Tapi kini, rasa takut itu ditemani oleh sesuatu yang lain. Sesuatu yang panas dan membara. Amarah.

Permainan telah berubah. Ia bukan lagi bidak yang digerakkan di atas papan catur. Ia tahu sekarang ada papan caturnya, dan ia tahu salah satu pemainnya. Dan ia, seorang desainer suara, akan menggunakan dunianya sendiri untuk membalikkan keadaan. Ia akan menciptakan gemanya sendiri.

Bagian III: Kresendo dan Hening

Penemuan pemancar itu adalah percikan api di gudang mesiu. Paranoia Adrian mengkristal menjadi fokus yang dingin dan tajam. Ia tidak lagi menjadi korban pasif dari serangan sonik; ia kini adalah seorang pemburu. Lawannya, yang ia yakini seratus persen adalah Beno, telah melakukan satu kesalahan fatal: ia meremehkan mangsanya. Beno mungkin ahli dalam teknologi, tetapi Adrian adalah seniman. Dunianya adalah ilusi suara, dan sekarang ia akan menggelar pertunjukan terbaik dalam hidupnya.

Langkah pertama adalah berpura-pura. Ia memasang kembali pemancar itu ke dalam mikrofon Neumann-nya, memastikan semuanya terlihat persis seperti semula. Ia kemudian melanjutkan "kemerosotan mentalnya" dengan lebih dramatis. Di depan mata kamera yang tersembunyi, ia berbicara pada dirinya sendiri, berjalan mondar-mandir dengan gelisah, dan sesekali berteriak pada keheningan. Ia membiarkan Beno menikmati pertunjukannya, membiarkannya merasa menang.

Sementara itu, di balik layar, Adrian menyiapkan panggungnya. Studionya, yang tadinya adalah penjara, kini menjadi gudang senjatanya. Ia memiliki pengeras suara berkualitas studio yang tersembunyi di setiap sudut ruangan, sistem surround sound 7.1 yang bisa ia kalibrasi dengan presisi setingkat desibel. Ia memiliki perangkat lunak yang bisa memanipulasi, melempar, dan memantulkan suara ke titik mana pun di dalam ruangan, menciptakan ilusi akustik yang sempurna. Ia akan mengubah kuilnya menjadi rumah hantu digital.

Selama dua hari berikutnya, ia bekerja tanpa lelah. Ia mengumpulkan semua fragmen suara yang telah menghantuinya: bisikan-bisikan itu, derit ban, pecahan kaca. Ia membersihkannya, memperkuatnya, dan memetakannya ke dalam sistem pengeras suaranya. Lalu ia menambahkan lapisannya sendiri. Ia merekam suaranya sendiri, menirukan bisikan Beno dengan sempurna, lalu menurunkannya satu oktaf, memberinya kualitas yang mengancam. Ia menciptakan simfoni paranoia, sebuah opera yang ditulis khusus untuk satu penonton: Beno.

Umpannya adalah sebuah pesan teks yang ia kirim ke Beno dari nomor baru.

Aku tahu itu kau. Temui aku di studioku malam ini jam 10. Kita selesaikan ini.

Ia tahu Beno akan datang. Egonya tidak akan membiarkannya melewatkan kesempatan untuk melihat kemenangannya secara langsung, untuk menyaksikan kehancuran total rivalnya.

Tepat pukul 21:50, Adrian mematikan semua lampu di studionya, kecuali satu lampu meja yang menyorot kursi kosong di tengah ruangan. Ia duduk di depan mixing console-nya di sudut yang gelap, dikelilingi oleh cahaya monitor yang redup. Ia mengenakan headphone monitornya, bukan untuk mendengar, tetapi untuk mengisolasi dirinya dari ilusinya sendiri. Jari-jarinya melayang di atas fader, siap untuk menjadi dirigen.

Pukul 22:00 tepat, terdengar bunyi bel pintu. Adrian mengabaikannya. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi klik pelan saat Beno menggunakan kunci duplikat—yang entah bagaimana berhasil ia dapatkan—untuk membuka pintu. Sosoknya muncul di ambang pintu, siluetnya terpantul oleh cahaya lorong.

"Adrian?" panggil Beno, suaranya terdengar percaya diri, sedikit mengejek. "Kau mau bermain petak umpet?"

Ia melangkah masuk dan pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik yang keras—sebuah efek suara yang diputar Adrian melalui pengeras suara di dekat pintu. Beno sedikit terkejut, tetapi berhasil menyembunyikannya.

"Oke, aku menyerah. Kau menang," kata Adrian dari kegelapan. Suaranya sengaja dibuat terdengar gemetar dan kalah. "Aku hanya... aku hanya perlu tahu kenapa."

Beno tertawa, tawa yang sombong dan puas. Ia berjalan perlahan ke tengah ruangan, menuju satu-satunya kursi yang terang. "Kenapa? Kau benar-benar tidak tahu? Kau merebut proyek itu dariku, Yan. Proyek yang seharusnya menjadi milikku. Kau selalu selangkah di depanku, selalu mendapatkan apa yang kau inginkan. Aku hanya ingin menunjukkan padamu bagaimana rasanya kehilangan kendali. Kehilangan senjatamu yang paling berharga."

"Telingaku... kepalaku..." bisik Adrian.

"Tepat sekali," kata Beno, duduk di kursi itu seolah-olah itu adalah singgasana. "Dan aku harus akui, ini lebih menyenangkan dari yang kubayangkan. Menontonmu hancur berkeping-keping secara real-time... karya terbaikku."

Adrian tersenyum dalam kegelapan. Pancingan berhasil ditelan. "Bagaimana kau tahu... tentang Maya?"

Senyum Beno memudar. "Riset, sobat. Sedikit riset. Laporan polisi lama bisa dibeli jika kau tahu siapa yang harus dihubungi. Amnesia parsial, respons trauma... itu seperti kanvas kosong. Aku hanya perlu melukis di atasnya. Memberimu sedikit dorongan untuk mengingat."

Saat itulah Adrian memulai orkestranya.

Ia menekan sebuah tombol. Dari pengeras suara di belakang Beno, terdengar bisikan pertama. Bukan suara perempuan. Suara Beno sendiri, yang telah direkam oleh pemancar di mikrofon.

"Ini lebih menyenangkan dari yang kubayangkan."

Beno tersentak, melompat dari kursi dan berbalik. "Apa-apaan ini?"

Dari pengeras suara di sebelah kirinya, suara Beno yang lain menjawab.

"Karya terbaikku."

"Hentikan ini, Adrian!" teriak Beno, matanya liar mencari sumber suara di ruangan yang gelap.

Sekarang giliran suara Adrian yang diputar, dingin dan tanpa emosi, seolah datang dari semua arah sekaligus. "Kau ingin pertunjukan, Beno? Aku akan memberimu pertunjukan."

Derit ban mobil yang memekakkan telinga meledak dari pengeras suara depan dan belakang secara bersamaan, membuat Beno meringkuk di lantai, menutup telinganya. Lalu suara pecahan kaca yang menghujani dari pengeras suara di langit-langit. Hujan deras mulai turun—suara rekaman badai yang diputar Adrian dalam volume maksimal, memenuhi ruangan dengan gemuruh yang menyesakkan.

Di tengah kekacauan itu, bisikan perempuan mulai terdengar lagi, gema asli yang memulai semuanya.

“Bukan salahmu.”

“Kau membiarkannya terjadi.”

“Kau seharusnya tidak meninggalkannya.”

Bisikan-bisikan itu kini tidak hanya ditujukan untuk Adrian, tetapi juga untuk Beno, berputar-putar di sekelilingnya seperti sekawanan lebah yang marah.

"HENTIKAN!" jerit Beno, kini benar-benar panik. Kepercayaan dirinya telah luntur, digantikan oleh teror murni. Ilusi yang ia ciptakan kini berbalik menyerangnya.

Dan kemudian, di puncak kresendo sonik itu, stres dan stimulasi ekstrem melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh terapi selama bertahun-tahun. Dinding di benak Adrian runtuh.

Kabut itu terangkat.

Ia tidak hanya melihat kilasan. Ia melihat semuanya. Malam itu. Hujan yang turun begitu deras hingga wiper mobil tidak sanggup mengejarnya. Ia dan Maya sedang bertengkar. Pertengkaran bodoh tentang rencana masa depan Maya untuk belajar di luar negeri. Adrian tidak ingin ia pergi. Ia egois. Ia menaikkan volume musik untuk menghentikan argumen mereka. Maya berteriak padanya untuk memperhatikan jalan. Adrian menoleh padanya, marah, dan berteriak balik.

Hanya sedetik. Sedetik ia memalingkan muka dari jalan.

Ketika ia melihat ke depan lagi, sepasang lampu truk sudah memenuhi kaca depan. Ia membanting setir. Suara derit ban. Suara benturan logam yang meremukkan. Kegelapan.

Ketika ia sadar, kepalanya berdarah dan telinganya berdenging. Ia menoleh ke kursi penumpang. Maya terjepit, matanya terbuka, menatapnya. Bibirnya bergerak, membentuk kata-kata yang tidak bisa ia dengar karena denging di telinganya. Tapi ia bisa membacanya.

“Bukan... salahmu...”

Itu adalah kata-kata terakhirnya. Sebuah pengampunan yang tidak pantas ia dapatkan. Sebuah kebohongan yang penuh kasih.

Kebenarannya jauh lebih buruk. Itu adalah salahnya. Seluruhnya salahnya.

Air mata mengalir di pipi Adrian di sudut yang gelap. Bukan air mata ketakutan atau kemarahan, tetapi air mata kesedihan yang telah lama tertunda, kesedihan yang begitu murni dan dalam hingga terasa seperti logam cair.

Ia menekan satu tombol terakhir di mixing console-nya.

Semua suara berhenti.

Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih memekakkan daripada kebisingan sebelumnya. Beno terbaring di lantai, terisak-isak. Di tengah keheningan itu, Adrian berbicara, suaranya jernih dan stabil, tanpa perantara mikrofon atau pengeras suara.

"Kau salah, Beno. Kau tidak memberiku ingatanku kembali. Kau hanya memberiku gema-nya. Ingatan itu selalu ada di sana. Terkubur di bawah rasa bersalah."

Ia bangkit dan berjalan ke tengah ruangan, melangkahi Beno yang gemetar. Ia membuka pintu depan. Elara berdiri di sana, ponsel menempel di telinganya, wajahnya pucat karena khawatir. Ia pasti mendengar keributan itu. Di belakangnya, dua petugas keamanan gedung berlari di lorong.

Adrian menatap Beno untuk terakhir kalinya, bukan dengan amarah, tetapi dengan semacam rasa kasihan yang hampa. Beno telah mencoba menjebaknya dalam sebuah penjara psikologis, tetapi pada akhirnya, ia hanya berhasil menjebak dirinya sendiri dalam ketakutannya.

Beno ditangani oleh petugas keamanan. Elara mendekati Adrian, tangannya terulur tetapi ragu-ragu. "Adrian... kau tidak apa-apa?"

Adrian menatapnya, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa terlihat. "Tidak," jawabnya jujur. "Tapi aku akan baik-baik saja."

Beberapa minggu kemudian, studio Adrian terasa berbeda. Lebih sunyi. Lebih tenang. Proyek Sang Penunggu telah selesai, dan kliennya memuji karyanya sebagai yang paling atmosferik dan menghantui yang pernah mereka dengar. Mereka tidak tahu bahwa setiap derit dan bisikan dalam film itu dibayar dengan kepingan kewarasannya.

Gema dari luar telah hilang. Beno telah pergi, menghadapi konsekuensi hukum dan psikologisnya sendiri. Tetapi gema di dalam kepala Adrian tetap ada. Gema itu bukan lagi bisikan hantu yang terdistorsi. Gema itu sekarang adalah ingatan yang jernih tentang wajah adiknya, tentang tawa dan pertengkaran mereka, tentang kata-kata terakhirnya.

Gema itu menyakitkan. Setiap hari.

Tetapi itu adalah gemanya. Miliknya untuk ditanggung. Dan dalam keheningan studionya, di antara kabel dan pengeras suara yang kini diam, Adrian mulai belajar untuk hidup bersamanya. Bukan untuk melupakannya, bukan untuk membungkamnya, tetapi untuk mendengarkannya. Sebagai pengingat. Sebagai penebusan. Sebagai suara yang, pada akhirnya, adalah bagian dari dirinya. Dan dalam penerimaan itu, ia menemukan jenis keheningan yang baru: bukan ketiadaan suara, melainkan kedamaian di tengah kebisingan.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)