Masukan nama pengguna
Panggilan telepon itu datang pada hari Selasa, di sela-sela deru mesin kopi dan dengung pendingin ruangan di kantor Arga yang sibuk. Di layar ponselnya, tertera nama "Pakde Bimo". Sebuah nama yang sudah belasan tahun tidak pernah muncul di sana. Arga tahu, hanya ada satu alasan mengapa kerabat dari kampung halamannya itu akan menelepon. Bukan untuk menanyakan kabar, bukan pula untuk mengucapkan selamat atas proyek terbarunya yang diliput majalah arsitektur ibu kota.
"Halo, Arga?" Suara di seberang terdengar ragu, bercampur kresek sinyal yang buruk, seolah datang dari dunia lain.
"Iya, Pakde. Ada apa?" Arga bertanya, nadanya sengaja dibuat datar, sebuah perisai yang telah ia asah selama bertahun--tahun.
Hening sejenak, hanya terdengar embusan napas berat. "Bapakmu, Ga. Bapakmu sudah tidak ada. Tadi pagi."
Arga tidak menjawab. Ia hanya menatap ke luar jendela kacanya, ke belantara beton Jakarta yang menjulang angkuh. Gedung-gedung itu adalah mahakaryanya, pelariannya. Di lantai 27 ini, ia merasa aman dari masa lalu. Namun, hanya dengan satu kalimat, jarak ribuan kilometer dan belasan tahun seolah lebur menjadi nol. Berita itu tidak menghantamnya seperti ombak. Ia lebih terasa seperti rembesan air dingin yang pelan-pelan membasahi kaus kakinya, mengganggu dan tak terhindarkan.
"Ga? Kamu masih di sana?"
"Iya, Pakde. Makasih kabarnya," jawab Arga, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. "Besok pagi saya usahakan sampai di sana."
"Hati-hati di jalan. Rumah dikunci, kuncinya Pakde pegang."
"Iya."
Panggilan berakhir. Arga meletakkan ponselnya di atas meja mahoni yang mengilap. Rekan kerjanya melirik sekilas, lalu kembali sibuk dengan gambar-gambar mereka. Tidak ada yang tahu bahwa fondasi dunia Arga yang tertata rapi baru saja retak. Ia menarik napas, lalu menelepon Rina, pasangannya.
"Sayang, aku harus pulang kampung besok," katanya, tanpa basa-basi.
"Pulang? Ada apa, Ga? Tumben sekali." Suara Rina lembut, penuh perhatian yang kadang membuat Arga tidak nyaman.
"Bapak meninggal."
Hening di ujung sana, lebih lama dari keheningan Pakde Bimo tadi. "Oh, astaga. Arga... aku turut berduka, ya. Kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja," dusta Arga. "Hanya perlu urus-urus beberapa hal. Mungkin dua atau tiga hari."
"Kamu mau aku temani?"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri," jawabnya cepat, terlalu cepat. "Aku berangkat sebelum subuh besok."
Malam itu, Arga berkemas dalam diam. Ia hanya memasukkan beberapa kaus, celana jins, dan perlengkapan mandi ke dalam ransel. Rina menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ia tahu ada benteng yang tidak pernah bisa ia tembus dalam diri Arga, dan benteng itu bernama "kampung halaman".
"Kalau kamu butuh apa-apa, telepon aku, ya. Kapan pun," kata Rina sambil memeluknya dari belakang. Arga hanya mengangguk kaku. Ia tidak terbiasa dengan sentuhan saat sedang merasa rapuh, maka ia berpura-pura tidak rapuh sama sekali.
Perjalanan itu dimulai pukul empat pagi. Jakarta masih terlelap dalam selimut polusi yang keperakan. Arga menginjak pedal gas mobilnya, membelah jalan tol yang lengang. Musik dari daftar putar favoritnya menggelegar, sebuah upaya sia-sia untuk membungkam suara-suara lain yang mulai merayap di kepalanya.
Setiap kilometer yang ia tempuh terasa seperti perjalanan mundur menembus waktu. Papan-papan penunjuk jalan—Cikampek, Cirebon, Semarang—terasa seperti bab dalam buku yang sudah lama tak ingin ia baca. Semakin jauh ia dari Jakarta, semakin jelas ia bisa mencium aroma rokok kretek kesukaan bapaknya, semakin jelas ia bisa mendengar suara langkah kaki bapaknya yang berat di lantai kayu rumah mereka, semakin jelas ia bisa merasakan tajamnya kata-kata terakhir yang mereka ucapkan dalam pertengkaran hebat belasan tahun lalu. Pertengkaran yang menjadi tiket satu arahnya menuju ibu kota.
Ia tiba di kota kecilnya saat matahari mulai condong ke barat. Tidak banyak yang berubah. Toko kelontong di perempatan jalan masih ada, pohon beringin di alun-alun masih sama rindangnya, dan waktu seolah berjalan lebih lambat di sini. Saat mobilnya berbelok ke gang menuju rumahnya, jantungnya mulai berdebar tak karuan.
Di sana, rumah itu berdiri. Besar, bergaya kolonial, dengan pilar-pilar putih yang catnya sudah mengelupas dan halaman yang rumputnya tumbuh liar. Rumah itu tampak lelah, seolah ikut menanggung beban kesendirian penghuninya selama bertahun-tahun. Beberapa tetangga yang melihat mobil Arga berhenti di depan rumah hanya melirik sekilas, tak berani mendekat. Kabar duka pasti sudah menyebar secepat angin.
Pakde Bimo keluar dari rumah sebelah, membawa segugus kunci berkarat di tangannya. Wajahnya tampak lebih tua dari yang Arga ingat.
"Sudah sampai, Ga," sapanya pelan, menyerahkan kunci itu. "Pemakamannya sudah selesai tadi siang. Maaf tidak menunggumu, tidak baik menunda-nunda."
Arga mengangguk. "Tidak apa-apa, Pakde. Terima kasih sudah mengurus semuanya."
"Bapakmu... di tahun-tahun terakhirnya dia sering sendirian. Kami sudah ajak untuk tinggal bersama, tapi tidak mau. Katanya mau menunggu rumah ini." Pakde Bimo menatap rumah itu dengan tatapan iba. "Silakan masuk. Istirahatlah. Kalau butuh apa-apa, panggil saja Pakde."
Arga ditinggal sendiri di depan pintu kayu jati yang menjulang. Ia memasukkan kunci ke lubangnya. Bunyi klik saat kunci itu diputar terdengar begitu nyaring di tengah keheningan sore itu, seolah baru saja membuka sebuah peti mati.
Pintu berderit terbuka. Aroma pengap, campuran dari debu, kayu lapuk, dan sesuatu yang samar-samar ia kenali sebagai aroma bapaknya, menyergapnya. Gelap. Arga meraba dinding mencari sakelar. Saat lampu neon di ruang tengah berkedip-kedip lalu menyala, ia melihat pemandangan yang membuatnya tercekat.
Semua perabotan ditutupi kain putih. Sofa, meja, lemari, semuanya tampak seperti hantu-hantu pucat yang duduk membisu. Lantainya berdebu tebal, menutupi tegel kuno bermotif bunga yang dulu sering ia amati saat kecil.
Rumah itu tidak hanya kosong. Rumah itu hampa.
Malam pertama adalah yang terberat. Arga tidak berani membuka kain-kain penutup itu. Ia hanya berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain, langkah kakinya menggema dengan aneh. Gema itu terdengar seperti menertawakannya. Lihat, kau pulang. Kau pulang ke tempat yang kau benci. Dan sekarang, di sini tidak ada apa-apa lagi untukmu.
Ia masuk ke kamar tidurnya yang lama. Ranjang besinya masih di sana, juga meja belajar tempat ia dulu menggambar denah-denah rumah impiannya. Ia mengusap permukaan meja yang berdebu, merasakan gelombang nostalgia yang menyakitkan. Ia memutuskan untuk tidak tidur di sana.
Pilihannya jatuh pada sofa panjang di ruang tengah. Ia hanya melepas salah satu kain penutup, membentangkannya, lalu merebahkan diri tanpa berganti pakaian. Lampu sengaja ia biarkan menyala. Dalam keheningan total yang hanya diselingi bunyi cicak dan derit kayu atap yang memuai, Arga mencoba untuk tidak merasakan apa-apa. Tapi semakin ia mencoba, semakin kuat perasaan itu datang. Bukan duka. Bukan pula lega. Melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti sebuah pertanyaan besar yang menggantung di udara.
Keesokan paginya, Arga terbangun karena sinar matahari yang menyorot garang dari celah jendela. Punggungnya sakit, dan kepalanya pening. Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa hanya duduk di sini dan membiarkan rumah ini menelannya hidup-hidup. Tujuannya jelas: bereskan barang-barang yang perlu dibereskan, cari surat-surat penting, hubungi agen properti, lalu pergi dari sini secepat mungkin.
Ia memulai dari ruang tamu, membuka semua kain penutup putih satu per satu. Debu beterbangan di udara, menari-nari dalam pilar cahaya matahari. Setiap benda yang tersingkap adalah sebuah artefak dari masa lalu. Album foto tebal dengan sampul beludru merah. Seperangkat cangkir teh porselen motif bunga yang hanya dikeluarkan jika ada tamu penting. Sebuah radio transistor tua yang tombolnya sudah macet.
Ia membuka album foto itu. Halaman pertama adalah foto pernikahan orang tuanya. Bapaknya, masih muda, tampak kaku dengan beskap dan blangkon. Ibunya tersenyum begitu cantik, senyum yang diwarisi Arga tapi jarang sekali ia gunakan. Ia membalik halaman demi halaman. Foto dirinya saat bayi, saat merangkak, saat pertama kali masuk sekolah. Di setiap foto, ada bapaknya. Terkadang tersenyum tipis, tapi lebih sering menatap kamera dengan sorot mata yang serius dan dalam. Sorot mata yang sama yang selalu membuatnya merasa sedang dihakimi.
Arga menutup album itu dengan kasar. Ini tidak produktif. Ia butuh dokumen, bukan nostalgia. Ia memutuskan untuk menuju ruangan yang paling ia hindari: ruang kerja bapaknya.
Ruang kerja itu terletak di bagian belakang rumah, jendelanya menghadap kebun yang tak terurus. Dulu, ruangan ini adalah tempat keramat. Arga kecil dilarang masuk tanpa izin. Di sinilah bapaknya, seorang akuntan di sebuah pabrik gula lokal, menghabiskan malam-malamnya, dikelilingi tumpukan kertas dan kepulan asap rokok.
Pintunya tidak dikunci. Saat Arga membukanya, aroma di dalamnya bahkan lebih pekat. Aroma kertas tua, tinta, dan tembakau yang seolah meresap ke dinding. Berbeda dengan ruangan lain, perabotan di sini tidak ditutupi kain. Semuanya tampak seolah baru saja ditinggalkan. Setumpuk koran di sudut meja, sebuah cangkir kopi dengan noda kering di dasarnya, dan sebuah asbak yang penuh dengan puntung rokok.
Meja kerja kayu itu besar dan kokoh. Di atasnya, selain tumpukan kertas yang Arga duga adalah tagihan dan dokumen pekerjaan, ada sebuah kalender meja yang terbuka di bulan ini. Tanggal-tanggal sebelum hari kematiannya dicoret dengan rapi. Bapaknya adalah orang yang teratur. Terlalu teratur.
Arga mulai membuka laci-laci. Laci pertama berisi alat tulis. Laci kedua berisi buku-buku tabungan dan beberapa sertifikat tanah. Bagus, pikirnya. Ini akan mempermudah urusan. Ia menyisihkan dokumen-dokumen itu. Laci ketiga terkunci.
Arga mencoba menggoyangnya, tapi laci itu kokoh. Ia mencari-cari kunci di sekitar meja, di dalam cangkir-cangkir pulpen, tapi tidak menemukannya. Ia hampir menyerah dan berencana untuk mencongkelnya nanti, saat matanya tertumbuk pada sebuah buku agenda tebal bersampul kulit hitam. Di halaman pertama tertulis nama bapaknya dengan tulisan tangan yang tegas dan miring. Arga membalik-balik isinya, sebagian besar berisi catatan angka dan jadwal yang tidak ia mengerti. Namun, terselip di halaman terakhir, sebuah kunci kecil berwarna perak.
Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Ia memasukkan kunci itu ke lubang laci dan memutarnya. Klik. Laci itu terbuka.
Isinya bukan dokumen penting atau uang simpanan. Isinya adalah sebuah kotak kayu berukuran sedang, polos tanpa ukiran. Kotak itu tidak berat. Dengan tangan gemetar yang mengherankan dirinya sendiri, Arga mengangkat kotak itu dan meletakkannya di atas meja. Ia ragu sejenak sebelum membukanya.
Di dalamnya, bukanlah harta karun. Melainkan setumpuk surat. Puluhan surat, diikat rapi dengan tali rami. Amplopnya berwarna gading yang sudah mulai menguning. Di setiap amplop, tertulis satu nama tujuan: Untuk Arga.
Namun, tidak ada satu pun yang memiliki prangko. Tidak ada satu pun yang pernah dikirim.
Tangan Arga terasa dingin. Ia mengambil ikatan paling atas. Surat pertama bertanggal tiga bulan setelah ia pergi ke Jakarta. Ia membukanya dengan hati-hati.
Untuk Arga,
Hari ini sudah sembilan puluh tiga hari sejak kau pergi. Rumah ini terasa lebih besar dan lebih sunyi. Tadi pagi, saat Bapak membuat kopi, Bapak tidak sengaja membuat dua cangkir. Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan.
Bapak tahu kau marah. Bapak juga marah. Tapi marah pada diri Bapak sendiri. Seharusnya Bapak tidak mengucapkan kata-kata itu. Seharusnya Bapak bisa lebih mengerti mimpimu. Tapi kau juga harus tahu, Jakarta itu keras, Nak. Bapak hanya takut kau terluka.
Jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa makan.
Bapak.
Arga meletakkan surat itu. Napasnya tercekat. Ia mengambil surat berikutnya, bertanggal setahun kemudian.
Untuk Arga,
Bapak dengar dari Pakde Bimo, kuliahmu lancar. Katanya kau dapat nilai terbaik di angkatanmu. Bapak tidak kaget. Kau memang selalu pintar. Lebih pintar dari Bapak. Ibumu pasti akan sangat bangga.
Terkadang di malam hari, Bapak masih sering duduk di ruang kerjamu yang lama. Bapak melihat gambar-gambar rumah yang kau buat. Kau menggambar rumah dengan banyak jendela besar dan taman di tengahnya. Rumah yang terang. Mungkin karena rumah kita ini terlalu gelap untukmu.
Bapak ingin sekali meneleponmu, hanya untuk mendengar suaramu. Tapi Bapak takut kau masih marah. Bapak takut suaraku hanya akan mengganggumu. Jadi, Bapak menulis ini saja.
Bapak.
Arga terus membaca. Surat demi surat. Ada surat yang ditulis saat ia wisuda, yang ternyata bapaknya tahu dari koran lokal yang memuat nama-nama lulusan terbaik. Ada surat yang ditulis saat Arga menelepon pertama kali setelah tiga tahun hanya untuk meminta tanda tangan untuk suatu dokumen, dan betapa senangnya bapaknya hari itu meski Arga berbicara dengan nada dingin.
Setiap lembar kertas adalah pengakuan dosa seorang ayah yang canggung. Seorang pria yang dibesarkan untuk tidak menunjukkan emosi, yang kehilangan istrinya dan tidak tahu bagaimana cara menjadi ayah sekaligus ibu. Seorang pria yang cintanya begitu besar tapi mulutnya begitu kelu.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu depan mengejutkan Arga. Ia mengusap matanya yang ternyata sudah basah. Ia menyimpan kembali surat-surat itu ke dalam kotak, menguncinya di laci, lalu bergegas ke depan.
Di ambang pintu, berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah di wajahnya. Ia membawa sebuah rantang di tangannya.
"Nak Arga, kan? Saya Lastri, tetangga depan rumah," katanya. "Saya dengar kamu pulang. Ini, saya bawakan sayur lodeh dan sambal terasi. Pasti belum sempat masak."
"Terima kasih banyak, Bu," jawab Arga, suaranya serak.
"Sama-sama. Saya turut berduka, ya, atas kepergian Pak Suryo," kata Bu Lastri, matanya menatap Arga dengan tulus. "Bapakmu itu orang baik, Nak. Meskipun pendiam."
Arga hanya mengangguk.
"Tahu tidak, hampir setiap sore, bapakmu itu duduk di teras depan. Di kursi goyang itu," Bu Lastri menunjuk ke kursi goyang rotan yang teronggok di sudut teras. "Duduk sambil merokok, ngelihatin jalan. Kayak nungguin sesuatu. Atau seseorang."
Jantung Arga serasa diremas. Menunggu.
"Beberapa kali saya coba sapa, 'Nunggu siapa, Pak?' Dia cuma senyum tipis, terus bilang, 'Nunggu gema-nya pulang.' Saya tidak mengerti maksudnya apa," lanjut Bu Lastri. "Ya sudah, ini diterima, ya. Dimakan selagi hangat."
Arga menerima rantang itu dengan tangan gemetar. Setelah Bu Lastri pergi, ia kembali ke ruang kerja. Ia tidak menyentuh makanan itu. Perkataan Bu Lastri terus terngiang. Nunggu gema-nya pulang. Apakah "gema" itu adalah dirinya?
Ia kembali membuka laci itu, mengeluarkan kotak kayu itu lagi. Tangannya kini mencari surat-surat yang lebih baru. Ia menemukan satu, yang tanggalnya sekitar lima tahun lalu. Ini adalah surat terpanjang dari semuanya. Tulisan tangan bapaknya tampak sedikit bergetar.
Untuk Arga,
Hari ini Bapak memberanikan diri membuka album foto lama milik ibumu. Ada satu foto yang membuat Bapak berhenti. Foto saat kau berumur sepuluh tahun, di hari ulang tahunmu. Bapak membelikanmu sebuah sepeda baru, tapi kau cemberut karena sepedanya bukan merek yang kau inginkan.
Malamnya, kau masuk ke kamar sambil menangis. Bukan karena sepeda. Tapi karena teman-temanmu mengejek Bapak. Mereka bilang Bapak pelit. Kau bertanya, 'Kenapa kita tidak sekaya keluarga lain, Pak? Kenapa Bapak tidak bisa membelikan apa yang aku mau?'
Saat itu, Bapak hanya diam. Bapak tidak bisa menjelaskan padamu bahwa Bapak baru saja menjual satu-satunya petak sawah warisan dari kakekmu. Bapak tidak bisa bilang bahwa uangnya bukan untuk foya-foya, tapi untuk ditabung demi biaya sekolahmu nanti. Bapak tidak bisa memberitahumu bahwa Bapak lebih baik kau anggap pelit, daripada kau merasa berutang budi dan tidak bebas mengejar mimpimu di masa depan.
Pertengkaran kita sebelum kau pergi ke Jakarta, akarnya juga sama. Kau menuduh Bapak tidak mendukung mimpimu menjadi arsitek karena Bapak bilang biayanya mahal. Padahal, di dalam hati, Bapak rela melakukan apa saja. Tapi Bapak tidak tahu cara mengatakannya. Mulut Bapak selalu terasa terkunci setiap kali ingin bicara soal perasaan dan uang. Yang keluar selalu nasihat-nasihat keras.
Maafkan Bapak, Nak. Maafkan kebisuan Bapak. Kebisuan itulah yang membangun tembok di antara kita. Sekarang, Bapak hanya bisa bicara pada kertas-kertas ini.
Bapak.
Dinding itu runtuh. Seluruh benteng pertahanan yang Arga bangun selama belasan tahun hancur berkeping-keping. Amarahnya, kebenciannya, rasa sakit hatinya—semuanya terasa konyol dan tidak berarti. Ia telah membenci seorang pria yang diam-diam mengorbankan segalanya untuknya. Ia telah lari dari seorang pria yang setiap hari menunggunya di teras.
Arga menelungkupkan wajahnya di atas meja kerja yang dingin itu, di antara surat-surat yang tak terkirim. Untuk pertama kalinya sejak ia menerima kabar duka itu, ia menangis. Bukan tangisan pelan, tapi isak tangis yang meledak-ledak, yang datang dari lubuk hatinya yang paling dalam. Ia menangis untuk bapaknya. Ia menangis untuk dirinya sendiri. Ia menangis untuk belasan tahun yang hilang, untuk kata-kata yang tak terucap, untuk pelukan yang tak pernah ada.
Gema yang selama ini ia kira adalah suara langkah kakinya sendiri di rumah kosong, ternyata adalah gema dari penyesalan bapaknya. Dan gema itu, kini telah menemukan sumber suaranya.
Arga tidak tahu berapa lama ia menangis di sana. Saat ia mengangkat wajahnya, hari sudah berganti senja. Cahaya jingga menerobos masuk melalui jendela, membuat partikel-partikel debu tampak seperti kunang-kunang emas. Rumah itu tidak lagi terasa menakutkan atau menindas. Keheningannya tidak lagi memekakkan telinga. Keheningan itu kini terasa seperti sebuah pelukan lembut. Rumah itu kini terasa penuh. Penuh dengan kehadiran bapaknya, penuh dengan cinta yang tak terucap, penuh dengan pengampunan yang tertunda.
Ia mengambil ponselnya. Tangannya masih sedikit gemetar saat ia menekan nomor Rina.
"Halo?" Suara Rina terdengar cemas. "Arga? Kamu baik-baik saja? Aku khawatir dari tadi kamu tidak ada kabar."
"Rin..." Suara Arga pecah. "Aku... aku tidak baik-baik saja."
Pengakuan itu keluar begitu saja, tanpa perisai, tanpa kepura-puraan. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan Rina melihat kerapuhannya.
"Ada apa, Ga? Cerita sama aku."
Dan Arga pun bercerita. Ia menceritakan semuanya. Tentang rumah kosong yang ternyata penuh. Tentang surat-surat yang tak terkirim. Tentang seorang ayah yang ia benci namun ternyata sangat mencintainya. Ia bicara sambil terisak, kata-katanya campur aduk, tapi Rina mendengarkan dengan sabar. Ia tidak menyela, tidak menghakimi. Ia hanya mendengarkan.
"Aku harus gimana sekarang, Rin?" tanya Arga setelah ceritanya selesai, suaranya terdengar seperti anak kecil yang tersesat.
"Kamu sudah melakukan hal yang benar, Ga. Kamu pulang," jawab Rina lembut. "Sekarang, izinkan dirimu untuk berduka. Izinkan dirimu untuk merasa."
"Aku... aku ingin kamu di sini."
Hening sejenak. "Aku berangkat sekarang. Mungkin tengah malam atau besok pagi aku sampai."
"Hati-hati di jalan," kata Arga, menirukan ucapan Pakde Bimo, namun dengan makna yang sama sekali berbeda.
Setelah menutup telepon, Arga merasa sedikit lebih ringan. Ia bangkit, berjalan keluar dari ruang kerja. Ia membuka semua kain penutup yang tersisa. Ia membiarkan rumah itu bernapas. Ia menatap kursi goyang di teras, dan kini ia bisa membayangkan bapaknya duduk di sana, menatap jalan dengan sabar. Ia masuk ke dapur dan memanaskan sayur lodeh pemberian Bu Lastri. Rasanya adalah rasa masakan rumah yang sudah lama ia lupakan.
Ia tidak lagi merasa terburu-buru untuk pergi. Rencana untuk menjual rumah itu menguap begitu saja. Bagaimana mungkin ia menjual satu-satunya tempat di mana ia bisa merasakan kehadiran bapaknya dengan begitu kuat?
Keesokan harinya, Arga membersihkan rumah. Ia menyapu lantai, mengelap debu dari setiap perabotan. Ia melakukannya bukan sebagai sebuah tugas, melainkan sebagai sebuah ritual. Setiap sudut yang ia bersihkan seolah membuka lapisan kenangan baru, namun kenangan itu tidak lagi menyakitkan. Ia bisa tersenyum saat menemukan koleksi kaset dangdut lama milik bapaknya. Ia bisa tertawa kecil saat melihat bekas coretan tingginya di dinding yang tidak pernah dicat ulang.
Ia membuka kembali kamar tidurnya yang lama, mengganti seprainya, dan membuka jendelanya lebar-lebar. Udara pagi yang segar masuk, membawa serta aroma bunga melati dari halaman tetangga.
Siang itu, ia menemui Pakde Bimo. Wajahnya tidak lagi kaku dan dingin.
"Pakde, terima kasih untuk semuanya," kata Arga, tulus.
Pakde Bimo menatapnya, seolah melihat sosok yang berbeda dari pemuda yang datang dua hari lalu. "Sama-sama, Ga. Itu sudah kewajiban."
"Soal rumah... saya tidak akan menjualnya," lanjut Arga. "Setidaknya tidak untuk sekarang. Saya butuh waktu."
Pakde Bimo tersenyum tipis, sebuah senyum lega. "Bapakmu pasti senang mendengarnya."
Sebelum kembali ke rumah, Arga meminta diantarkan ke pemakaman. Ia berdiri di depan gundukan tanah merah yang masih basah itu. Taburan bunga sudah mulai layu. Di nisan kayu sederhana itu, terukir nama bapaknya: Suryo Prawiro.
Arga tidak menangis. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan angin membelai wajahnya. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Percakapan mereka sudah selesai. Surat-surat itu adalah bagian pertama, dan pemahamannya adalah jawabannya. Di keheningan pemakaman itu, ia merasa damai. Ia berjanji dalam hati, bukan pada bapaknya, tapi pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi lari.
Saat Rina tiba sore itu, ia menemukan Arga sedang duduk di kursi goyang di teras, menatap senja yang memerah. Rumah di belakangnya tampak bersih, jendelanya terbuka, seolah ikut menyambut kedatangannya.
Rina tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di anak tangga di depan Arga, meletakkan kepalanya di lutut Arga. Mereka duduk dalam diam untuk waktu yang lama, ditemani suara jangkrik yang mulai bernyanyi.
"Rumah ini indah," bisik Rina.
Arga tersenyum, senyum tulus pertama yang dilihat Rina sejak ia mengenalnya. "Iya. Sekarang aku juga berpikir begitu."
Tiga hari yang direncanakan Arga berubah menjadi seminggu. Mereka menghabiskan waktu membersihkan sisa rumah, merawat kebun yang terbengkalai, dan sesekali mengobrol dengan Bu Lastri. Arga bahkan menunjukkan surat-surat itu pada Rina.
Saat tiba waktunya untuk kembali ke Jakarta, rasanya berbeda. Dulu, ia pergi untuk melarikan diri. Sekarang, ia pergi untuk kembali hidup, dengan membawa serta masa lalunya, bukan sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari dirinya.
Sebelum mengunci pintu depan untuk terakhir kalinya, Arga berhenti di ambang pintu. Ia menatap ke dalam ruang tengah yang kini rapi dan terang. Rumah itu tidak lagi kosong. Ia adalah sebuah arsip cinta, sebuah museum penyesalan, dan sebuah monumen pengampunan.
Ia menarik napas dalam-dalam, mengunci pintu, lalu berjalan menuju mobil di mana Rina menunggunya. Saat mobil itu melaju perlahan meninggalkan gang, Arga melihat rumahnya dari kaca spion. Ia tidak merasa sedih.
Gema itu tidak lagi menghantuinya. Gema itu kini telah menjadi bagian dari lagunya. Gema itu telah pulang, dan dalam kepulangannya, ia justru membebaskan Arga untuk benar-benar pergi.