Masukan nama pengguna
Cerpen: Pesugihan Nyi Roro Kidul
PANGGILAN DARI SELATAN
"Bay, kamu yakin nggak mau coba cari kerjaan di pabrik?" suara Ibu dari dapur terdengar lirih, nyaris kalah sama suara kipas angin yang berderit.
Bayu menengok sekilas dari kursi plastik di teras. Ia sedang merokok, memandangi langit yang kelabu.
"Pabrik sekarang mah susah, Bu. Lowongan banyak, tapi semua pakai orang dalam. Lagian, gajinya juga segitu-gitu aja. Capek doang."
Ibu diam. Hanya suara sendok mengaduk kopi yang menjawab. Bayu kembali menghembuskan asap rokok ke langit. Hatinya sepi. Dompetnya juga.
Tiga bulan nganggur. Tabungan habis. Motor digadai. Pacar—sudah jelas pergi. Alasannya klasik: nggak punya masa depan.
Malam itu, Bayu keluar rumah, jalan ke warung kopi di ujung gang. Tempat biasa ia nongkrong.
Di sana sudah ada Darto, temannya sejak SMA. Rambut gondrong, kaos oblong, dan selalu duduk di kursi yang sama.
"Woy, Bay! Akhirnya keluar dari sarang juga," sapa Darto sambil menyodorkan rokok.
Bayu menyambut, duduk.
"Lama nggak nongkrong, Bro. Duit tipis."
Darto terkekeh. "Kalau cuma nunggu duit jatuh dari langit, sampai tua juga nggak bakal dapat."
Bayu menyeruput kopi hitam yang panas.
"Lo percaya nggak, Bay... ada orang yang kaya mendadak, cuma gara-gara ritual?"
Bayu menoleh, setengah curiga.
"Jangan bilang pesugihan."
"Serius, Bay. Lo inget paman gue? Yang dulu tukang tambal ban di Cilacap? Sekarang dia punya dua rumah, mobil Fortuner, dan istri muda."
Bayu mendecak. "Ya siapa tahu dia menang judi atau warisan."
"Nggak, Bro. Dia bilang... dia pernah ke pantai selatan. Malam Jumat Kliwon. Bawa sesajen. Dan... dia ketemu seseorang."
Bayu tertawa kecil, tapi ada getaran di dalam dada. Antara takut dan penasaran.
"Ketemu siapa?"
"Nyi Roro Kidul. Ratu Laut Selatan."
Bayu tertawa lagi. "Lo mabuk ya, To?"
Darto menatapnya serius. "Gue tahu kedengarannya gila. Tapi gue sendiri pernah diajak ke sana. Nggak sampai ritual, cuma lihat dari jauh. Bay, tempatnya bener-bener beda. Malam, sepi, tapi hawa dinginnya aneh."
Bayu diam. Kopinya sudah dingin. Rokoknya tinggal puntung.
"Terus, lo ngajak gue ke sana?"
Darto mengangguk. "Kalau lo serius... kita bisa ke sana Jumat depan. Gue tahu jalurnya. Dan gue kenal orang yang pernah jadi mediator."
Bayu menatap kosong ke jalan yang gelap. Udara malam itu terasa lebih berat.
"Gue pikir-pikir dulu, To."
Tiga hari setelah obrolan itu, Bayu mulai mimpi aneh. Di mimpinya, dia selalu berada di pantai. Ombak besar, suara perempuan tertawa, dan bisikan-bisikan yang nggak jelas.
"Datanglah malam Jumat... bawa kain putih..."
Bayu bangun dengan peluh dingin. Nafasnya berat. Jantungnya berdetak cepat.
Keesokan harinya, Darto datang ke rumah.
"Lo kelihatan pucat, Bro. Jangan-jangan..."
Bayu mengangguk. "Gue mimpi. Tiga malam berturut-turut."
Darto menyeringai. "Itu tandanya lo dipanggil."
"Dipanggil sama siapa?"
"Ya, sama yang di selatan itu. Kalau lo mau lanjut, kita siapin. Tapi ingat, ini bukan main-main."
Bayu menatap Darto dalam-dalam.
"Kalau gue udah sampai sana, terus gue mundur, gimana?"
"Lo boleh mundur. Tapi ada harga yang tetap harus dibayar. Sekali lo buka pintunya... lo nggak bisa sembarangan nutup."
Bayu diam lama. Akhirnya ia berkata, "Gue ikut. Jumat ini."
Darto menepuk bahunya.
"Siapin kain putih. Sama sesuatu dari orang yang lo sayang. Rambut atau kuku."
"Maksudnya apa?"
"Itu buat panggilan."
Bayu mengangguk pelan.
Malam Jumat Kliwon. Langit mendung, tapi bulan tetap tampak redup di balik awan. Bayu dan Darto naik motor ke arah pantai selatan. Tiga jam perjalanan.
Jam 11 malam mereka sampai di tikungan sunyi, masuk jalan setapak. Sepi. Gelap. Tak ada lampu.
Mereka jalan kaki ke bibir pantai. Bayu membawa tas kecil berisi kain putih dan beberapa helai rambut ibunya yang diambil diam-diam.
"Lo yakin ini aman?" tanya Bayu.
"Nggak ada yang aman, Bro. Tapi kalau lo mantap, ikuti aja."
Di tepi pantai sudah ada satu orang menunggu. Pria tua dengan kain sarung dan dupa.
"Ini anaknya?" tanya pria itu.
"Iya, Pak. Namanya Bayu."
Pria tua mengangguk. "Taruh sesajen di pasir. Buka kain putih. Duduk bersila. Jangan ngomong apa-apa."
Bayu menuruti. Hatinya deg-degan. Angin mulai kencang. Ombak bergemuruh. Pasir terasa dingin.
Pria tua membacakan mantra. Darto berdiri di belakang.
Tiba-tiba, udara menjadi hening. Seperti semua suara ditelan laut. Bayu merasa tubuhnya enteng.
Dari kejauhan, muncul siluet perempuan. Bajunya hijau, rambut panjang menutupi wajah.
Bayu ingin lari. Tapi tubuhnya tak bisa bergerak.
Perempuan itu mendekat. Langkahnya tak menimbulkan suara.
"Bayu..." suaranya lembut, tapi menggema.
Bayu mencoba bicara, tapi suaranya tak keluar.
"Kau memanggilku. Maka aku datang. Apa yang kau inginkan?"
Bayu membuka mulut. "Kekayaan. Hidup yang layak."
Perempuan itu mengangguk.
"Harga yang kau bayar adalah darah dan janji. Kau akan hidup berkecukupan, tapi harus memberi kembali. Siapkah kau?"
Bayu menelan ludah. Matanya melirik ke Darto. Tapi Darto hanya menunduk.
"Siap."
Perempuan itu tersenyum. Bayu tak ingat apa yang terjadi setelahnya. Gelap. Dan dingin.
Ia terbangun keesokan harinya di rumah. Di dalam sakunya ada seikat rambut, dan secarik kertas bertuliskan:
"Bulan depan. Jumat Kliwon. Beri aku darah."
RITUAL PERTAMA – KAYA DENGAN DARAH
Bayu menatap lembaran kertas di tangannya. Tulisannya bukan tinta biasa. Seperti darah yang sudah mengering. Hatinya merinding.
"Beri aku darah." Kalimat itu terngiang-ngiang sejak pagi. Ia duduk di depan cermin, menatap wajahnya sendiri. Kurus, matanya cekung, tapi... ada sesuatu yang lain. Sejak ritual itu, ia merasa tubuhnya lebih kuat. Nafasnya lebih ringan. Dan anehnya, orang-orang mulai bersikap beda.
Hari itu Bayu ke pasar, sekadar beli kopi dan rokok. Pedagang buah menyapanya dengan ramah, padahal dulu jarang senyum. Penjual warung memberi diskon.
"Mas Bayu sekarang auranya beda ya. Rezeki lancar, Mas?" tanya ibu warung.
Bayu senyum. "Amin, Bu. Doain aja."
Seminggu kemudian, ada SMS masuk. Nomor tak dikenal.
"Datang ke rumah Pak Darto. Ada yang harus dibicarakan."
Bayu langsung berangkat. Rumah Darto kecil di ujung gang, tapi malam itu suasananya beda. Lampu depan padam. Tapi pintu terbuka.
"To?" panggil Bayu.
Darto muncul dari balik pintu. Wajahnya pucat.
"Masuk, Bro. Gue udah nunggu."
Di dalam ruangan, aroma kemenyan menguar. Di pojok ruangan, ada baskom kecil berisi air dan bunga tujuh rupa.
"Lo harus pilih sekarang," kata Darto tanpa basa-basi. "Pesan itu artinya waktunya ngasih 'bayaran pertama'."
Bayu duduk, gemetar.
"Apa maksudnya darah? Darah siapa?"
Darto menatapnya tajam. "Darah siapa aja. Tapi bukan darah sendiri. Bisa hewan. Bisa manusia. Tapi tiap pilihan ada konsekuensi."
Bayu menelan ludah. "Kalau hewan?"
"Makin besar nilainya, makin besar imbalannya. Tapi... kalau lo pilih darah manusia, lo akan dikasih lebih. Rumah, mobil, bisnis lancar."
Bayu menunduk. "Gue belum siap."
Darto mendekat. "Kalau lo nggak kasih dalam Jumat Kliwon berikutnya, semua yang udah lo dapet ditarik balik. Termasuk nyawa lo."
Bayu terdiam. Nafasnya sesak.
"Ada satu jalan keluar," bisik Darto. "Lo kasih darah... orang yang udah nyakitin lo. Mantan pacar lo. Orang yang ngebuang lo."
Bayu terdiam. Wajah Rina terbayang. Mantan pacarnya yang ninggalin dia waktu dia bangkrut. Sekarang, Rina pacaran sama pegawai bank.
"Gue pikirin," ucap Bayu.
Tiga hari kemudian, Bayu duduk di halte, menunggu Rina. Ia SMS Rina pakai nomor baru, ngaku sebagai petugas kurir paket, minta ketemu untuk konfirmasi pengiriman.
Mobil putih berhenti. Rina turun. Masih secantik dulu. Bibir merah, wangi parfum mewah.
"Mas? Mana paketnya?"
Bayu membuka topi. Rina kaget.
"Bayu? Astaga... kamu? Ngapain?"
"Cuma pengen ngobrol bentar. Lima menit aja."
Rina terlihat ragu. Tapi akhirnya mengangguk.
Mereka duduk di bangku taman dekat situ. Bayu mengeluarkan amplop berisi foto-foto masa lalu mereka. Rina menatapnya, bingung.
"Kamu masih simpan semua ini?"
"Aku nggak pernah buang kenangan. Cuma... aku nggak tahu, kamu anggap aku apa sekarang."
Rina diam. "Bay... kita udah beda jalan. Aku doain kamu sukses. Tapi aku juga punya hidup sendiri."
Bayu menatapnya tajam. Hatinya panas. Tapi wajahnya tetap tenang.
"Aku cuma mau satu permintaan terakhir. Bisa kasih aku sehelai rambut kamu?"
Rina menatapnya heran. "Rambut? Buat apa?"
"Jimat. Katanya bisa bawa keberuntungan."
Rina tertawa kecil. "Dasar masih percaya gituan. Ya udah deh."
Ia memotong sedikit rambutnya pakai gunting kuku dari tas, lalu memberikannya.
Bayu menerima dengan tangan gemetar.
Malam Jumat Kliwon datang.
Bayu kembali ke pantai. Darto menemaninya. Kali ini, ia membawa ayam cemani hidup dan sehelai rambut Rina.
Pria tua yang sama menunggu di sana.
"Sudah siap?"
Bayu mengangguk.
"Letakkan darah dan persembahanmu."
Ayam disembelih. Darahnya ditampung di tempurung kelapa. Rambut Rina diletakkan di atas kain putih.
Ombak menggila. Angin melolong.
Lalu suara itu datang lagi.
"Bayu... kau menepati janjimu. Maka kau akan kuberi apa yang kau mau."
Bayu terhempas ke pasir. Tak sadarkan diri.
Keesokan harinya... rekeningnya terisi 100 juta. Entah dari mana.
BALASAN YANG MENYUSUL
Bayu duduk di kamar, menatap layar HP. Saldo rekeningnya terpampang jelas: Rp100.000.000. Jantungnya berdetak cepat.
"Ini beneran?" gumamnya.
Ia coba transfer sebagian ke rekening lain. Masuk. Uangnya nyata.
Hari itu juga, Bayu beli motor baru. Beat Street, warna hitam. Cash. Tukang dealer sampai senyum-senyum heran.
"Mas, menang undian ya?"
Bayu cuma tertawa kecil. "Iya, semacam itulah."
Besoknya dia beli HP baru. Ganti baju. Potong rambut. Semua tetangga kaget.
"Wah, Mas Bayu sekarang sukses ya. Kok tiba-tiba keren begini?"
Bayu hanya senyum. Tapi dalam hatinya, dia tahu... semua ini bukan hadiah. Ini utang.
Seminggu kemudian, malam Bayu terasa gelisah. Hujan gerimis, tapi udara panas. Ia nggak bisa tidur. Suara ombak bergemuruh di kepalanya.
Lalu... HP-nya bergetar. Bukan SMS. Bukan telepon. Tapi notifikasi video call WA. Dari nomor tak dikenal. Tapi namanya muncul: "Roro Kidul".
Bayu membeku.
Dengan jari gemetar, ia angkat.
Wajah perempuan berjubah hijau muncul. Rambut panjang menutup separuh wajah. Senyum manis... tapi dingin.
"Bayu... kau sudah menikmati yang kau minta. Sudah siap untuk memberi lagi?"
Bayu tercekat. "Aku... masih butuh waktu."
"Waktu sudah ditentukan. Jumat Kliwon depan. Kali ini, darah manusia. Kalau tidak... kau tahu akibatnya."
Sambungan terputus.
Bayu menjatuhkan HP. Nafasnya memburu. Tangannya dingin.
Esoknya, ia temui Darto di warung kopi.
"To, ini makin gila. Dia minta darah manusia. Bukan hewan lagi."
Darto mengangguk pelan. "Gue udah bilang, Bro. Setiap kali ritual, bayarannya naik."
"Gue nggak bisa bunuh orang. Gila itu namanya."
"Gak harus lo yang bunuh. Tapi lo yang tentuin. Bisa cariin korban. Bisa bayar orang."
Bayu geleng-geleng. "Nggak. Gue mau berhenti."
Darto menatap tajam. "Lo pikir ini kayak pinjol? Bisa berhenti gitu aja? Bro, lo udah ngutang ke iblis. Harga lo sekarang bukan cuma nyawa... tapi jiwa."
Bayu terdiam. Dalam hati, ia sadar: uang itu bukan berkah. Itu jebakan.
Hari-hari berikutnya, Bayu makin kacau. Ia lihat bayangan perempuan berbaju hijau di cermin, di belakang pintu, di jok motor.
Suara bisikan terus muncul. Bahkan saat ia tidur.
"Jumat Kliwon... Darah manusia..."
Bayu mulai kehilangan akal. Ia coba tanya ke kiai kampung, tapi waktu mendengar nama Nyi Roro Kidul, kiai itu langsung tutup mulut.
"Jangan sebut-sebut dia di sini, Nak. Itu jalan yang nggak bisa dibalik."
"Tapi saya mau keluar, Kyai. Saya nyesel."
Kyai itu menunduk lama. "Kalau sudah terikat, hanya bisa lepas dengan pertukaran jiwa. Harus ada yang mati menggantikanmu."
Bayu pulang dengan kepala pening.
Tiga hari sebelum Jumat Kliwon, ia duduk di halte, menatap jalan. Matanya sembab. Badannya kurus. Uang banyak, tapi hidupnya seperti dikejar sesuatu.
Tiba-tiba, ia melihat seorang lelaki tua menyeberang, nyaris tertabrak. Refleks, Bayu menolong.
"Hati-hati, Pak."
Lelaki tua menatapnya. Matanya tajam.
"Kau anak pesugihan. Aku tahu dari baumu."
Bayu terkejut. "Siapa, Pak?"
"Namaku Mbok Suro. Dulu aku juga hampir jadi budaknya. Tapi aku selamat."
"Gimana caranya?" tanya Bayu cepat.
"Harus ada yang menggantikan. Tapi kalau kau mau menyelamatkan jiwamu sendiri, harus siap kehilangan orang yang paling kau cinta."
Bayu menelan ludah. "Ibuku?"
Mbok Suro mengangguk.
"Pilihannya cuma dua: korbankan satu nyawa, atau seluruh keluargamu akan dijemput satu-satu."
Bayu menunduk. Tangisnya pecah.
JALAN YANG TAK ADA PULANGNYA
Bayu mengunci kamar. Lampu dimatikan. Hanya cahaya dari layar ponselnya yang menyala. Ia membuka galeri foto: wajah Ibu, senyumnya, tangannya yang keriput tapi lembut.
"Aku nggak bisa, Bu... aku nggak sanggup," bisiknya, sambil meneteskan air mata.
Sudah dua malam Bayu tidak tidur. Bisikan itu makin sering datang, bahkan ketika ia terjaga.
"Jumat Kliwon semakin dekat, Bayu... darah... darah..."
Bayu berjalan mondar-mandir. Ia nyalakan dupa, harapannya bisa menenangkan. Tapi malah makin pusing.
Keesokan harinya, Darto datang. Membawa seseorang.
"Ini Ari," kata Darto. "Dia bisa bantu."
Ari, lelaki usia 20-an. Tatapannya tajam. Di lehernya ada tato trisula.
"Kalau lo beneran mau korbanin orang, gue bisa bantu. Lo tinggal pilih siapa. Gue yang eksekusi. Lo tinggal duduk dan nunggu transferan."
Bayu menggeleng cepat. "Gue nggak mau bunuh orang."
Ari tertawa. "Lo pikir pesugihan itu santunan sosial? Lo udah buka pintu, Bro. Sekarang tinggal pilih, siapa yang mau lo dorong masuk."
Darto menambahkan, "Kalau lo nggak sanggup, semuanya akan ditarik. Bukan cuma duit. Nyawa. Lu dan keluarga lu."
Bayu menatap kosong. Kepalanya berat.
Malam harinya, Bayu duduk di halaman. Ibu sedang tidur. Angin malam terasa dingin, menusuk. Bayu mengingat masa kecilnya. Saat masih sekolah, saat ibunya jual gorengan keliling demi nyekolahin dia.
Bayu menangis. Ia jatuh terduduk. Hatinya hancur.
"Aku mau keluar dari ini... aku nggak peduli uangnya!"
Tiba-tiba, angin kencang bertiup. Daun-daun beterbangan. Suara tawa perempuan menggema dari arah sumur tua di belakang rumah.
"Bayu... kau menyesal setelah menikmati kenikmatan?" suara itu dingin dan sinis.
Bayu berdiri. "Ambil aja semuanya! Aku nggak mau lagi!"
"Tidak semudah itu. Kau telah bersumpah. Kau telah memanggilku. Darah harus tetap dibayar."
Bayu menutup telinganya. Lari masuk rumah.
Keesokan paginya, Ibunya jatuh di dapur. Kepalanya terbentur. Bayu panik, membawanya ke klinik.
"Ibu tekanan darahnya drop, dan mungkin juga karena stres berat," kata perawat.
Bayu merasa dunia runtuh. Ia duduk di bangku tunggu, tak bisa berkata-kata.
Kemudian HP-nya bergetar. Sebuah SMS masuk:
“Dia akan kubawa jika kau tak menepati. Jumat tinggal dua hari.”
Bayu hampir melempar HP-nya ke lantai.
Malam itu, Bayu bertemu Mbok Suro lagi. Mereka bertemu di sebuah mushola kecil yang kosong.
"Aku sudah tak sanggup," ucap Bayu.
Mbok Suro menatapnya lama. "Kau harus lawan. Kau harus balikkan ritual. Tapi risikonya tinggi. Bisa gagal. Bisa nyawamu hilang juga."
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Kau harus kembali ke pantai. Tapi kali ini, bukan untuk memberi. Untuk memutus. Dan kau harus bawa satu benda: sesuatu yang pertama kali menghubungkan kalian."
Bayu mengingat. Rambut ibunya.
Jumat Kliwon. Tengah malam. Bayu berangkat sendiri. Tanpa Darto. Tanpa Ari.
Ia bawa kain putih, rambut Ibu, dan segenggam garam serta batu dari mushola.
Pantai malam itu gelap. Ombak memecah seperti gelegar petir.
Bayu berdiri di tengah pasir. Membentangkan kain putih. Meletakkan rambut ibunya.
"Aku, Bayu, memutuskan perjanjian ini! Aku menolak kelanjutan pesugihan!"
Angin menderu. Ombak mengamuk. Langit berubah hijau. Sosok perempuan muncul dari air. Rambutnya menjuntai seperti ular. Matanya bercahaya.
"Kau berani mengingkariku?!" suaranya menggema.
Bayu gemetar, tapi ia berdiri tegak. Ia taburkan garam dan melempar batu ke arah laut.
"Aku tidak takut lagi! Ambil semuanya, tapi jangan ibuku!"
Perempuan itu mengerang. Lalu air laut naik, menggulung tubuh Bayu. Dunia menjadi gelap.
YANG TERTULIS TAK BISA DIHAPUS
Air asin memenuhi hidung dan mulut Bayu. Ia terbatuk, berusaha berenang, tapi tak ada arah. Semua gelap. Semua dingin.
Kemudian... hening.
Tiba-tiba ia terbaring. Tapi bukan di pasir. Di ruang putih. Dindingnya berkabut. Tak ada langit. Tak ada suara. Hanya detak jantungnya sendiri.
Lalu suara itu datang lagi.
"Bayu... kau pikir bisa lari dari perjanjian?"
Sosok perempuan berjubah hijau muncul. Kali ini, wajahnya jelas. Cantik, tapi matanya kosong. Tak ada belas kasihan.
"Aku nggak mau lagi! Ambil semua uangnya! Ambil motornya! Ambil HP-ku, baju baru, semuanya! Aku mau hidup biasa aja!"
"Kau terlambat. Perjanjian itu dibuat dengan darah. Dan yang ditulis dengan darah... tak bisa dihapus dengan air mata."
Bayu berteriak. "AMBIL AKU! JANGAN IBUKU!"
Perempuan itu mendekat. Tangan dinginnya menyentuh dada Bayu.
"Itu permintaanmu. Maka itu yang kuturuti."
Bayu menjerit.
Tubuhnya terangkat. Cahaya hijau menelannya. Jiwanya tercerabut.
Di rumah, sang Ibu terbangun dari tidurnya. Ia merasa ringan. Seperti beban besar telah terangkat.
Pagi harinya, polisi datang. Mayat ditemukan di pantai selatan. Pria muda, tubuhnya terdampar di antara karang. Wajahnya tenang.
Tak ada tanda luka. Tak ada kekerasan. Hanya selembar kertas tergenggam di tangannya:
"Ma, maafin Bayu. Aku nggak bisa jadi anak yang baik. Tapi aku nggak akan biarkan mereka ambil Mama. Aku bayar semua dengan nyawaku."
Ibu menangis. Tapi tangisnya tidak pecah. Hanya diam. Seperti laut setelah badai.
Darto hilang entah ke mana. Ari pun tak pernah terlihat lagi. Rumah mereka kosong. Orang-orang bilang malam hari sering terdengar suara perempuan tertawa dari dalam.
Mbok Suro meninggalkan kampung. Ia menulis surat singkat:
“Jangan pernah main-main dengan dunia yang bukan milikmu. Laut selalu tampak tenang... sampai ia menelanmu.”
Tahun-tahun berlalu. Tapi setiap Jumat Kliwon, seorang petani yang tinggal dekat pantai sering melihat siluet pria muda duduk di tepi laut. Menatap ombak. Merokok.
"Namanya Bayu," katanya. "Dia datang cuma sebentar. Tapi setiap kali pergi, ombak jadi tenang."
Mereka yang tahu... hanya bisa diam. Karena mereka paham:
“Tak semua yang mati itu hilang. Kadang, mereka hanya berganti tugas.”
TAMAT -
HEI KAMU, ...YA KAMU YANG BACA CERPEN INI... JANGAN TAHAYUL YAA!!